webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · Hiện thực
Không đủ số lượng người đọc
147 Chs

Randi Menyerahkan Video

"Kena macet lagi?" tanya Melina begitu Randi duduk.

Randi mengangkat muka tertawa sumbang. Gadis ini sudah bisa menebak alasan yang akan disampaikannya. Tentu tidak mungkin lagi menggunakannya.

"Sori, aku ketiduran," alasan Randi.

"Ketiduran di rumah? Di hotel?" kejar Melina pula.

"Hehe di mobil."

Melina memanggil pelayan cafe dan mempersilahkan Randi memesan makanan dan minuman. Melina meneruskan sarapannya.

"Apa yang kamu dapatkan di Pulau Seribu," tanyanya.

Randi tidak langsung menjawab. Ia meneguk terlebih dahulu kopi klasik panas yang baru datang. "Aku merokok ya?" ujarnya kemudian memberitahu sekaligus minta izin.

Melina diam saja. Sengaja menghentikan suapan menunggu penjelasan Randi. Namun pria berambut gondrong itu tidak buka mulut. Ia malah merogoh saku celana. Mengeluarkan sesuatu. Disodorkan ke depan Melina di atas meja.

"Dapat HP ini di sana?" tanya Melina heran. "Untuk apa?"

"Ops, sori," ujar Randi seraya menjangkau HP tersebut. Diaktifkan lalu mengusap layarnya. Kembali disodorkannya pada Melina. "Lihat videonya."

Melina membiarkan HP itu tetap berada di atas meja. Ia hanya memajukan kepalanya sedikit untuk melihat tayangan video.

Gadis itu terkejut. Reflek ia menarik kepalanya. Lalu memandangi Randi dengan sorot mata marah. "Kenapa pula aku kamu kasih video porno itu? Jangan main-main!" tegasnya.

Randi kembali meneguk kopinya. Nasi goreng yang berada di depan belum disentuhnya. "Coba lihat lagi," ujarnya.

"Untuk apa aku lihat video begituan," tolak Melina sengit. "Kamu jangan kurang ajar!" Matanya mendelik tajam.

Randi tersenyum. "Bukan kurang ajar," kilahnya seraya mengambil android hitam itu untuk mengaktifkan kembali tayangan di layar. "Perhatian dengan jelas siapa aktornya."

Randi menyerahkan HP itu ke tangan Melina. Melina menghentikan sarapannya. Ia menekuk kepala memperhatikan tayangan video di layar HP. Beberapa detik kemudian gadis itu kembali tersentak. Kaget. Reflek badannya terdorong ke belakang. Ke sandaran kursi.

Mulutnya terbuka dan membulat memandang Randi. "Jadi...jadi, itu videonya? Itu video di si Kodok?" tanya Melina kaget setengah mati.

Seakan untuk memastikan pandangan matanya tidak keliru, didekatnya HP itu. Kembali dipandangi dengan mata melotot. Betul. Tidak salah matanya. Tampak dengan jelas Hanjo bergumul dengan seseorang. Melina menggeleng-geleng.

Diserahkannya kembali HP itu pada Randi. Melina mendorong piring bubur kacang hijau yang masih tersisa separoh. Hilang selera makannya. Diteguknya segelas air putih. Beberapa kali.

"Bagaimana kamu bisa mendapatkan video ini?" tanya Melina yang masih diliputi rasa heran. Tidak percaya kenapa Randi bisa mendapatkannya.

"Tak perlu ditanya bagaiaman caranya. Tapi itulah yang kudapatkan di Pulau Seribu," jelas Randi dengan datar.

"Hanjo ke sana bukan bersama wanita. Tetapi bersama Hardiman. Bersenang-senang mereka ke sana. Refresing," tambah Randi.

"Bersama Hardiman?" Untuk kesekian kalinya Melina terkejut. Kaget. Sangat jauh berbeda dengan dugaannya. Ia dan Lucya sama-sama yakin Hanjo membawa wanita ke Pulau Seribu.

Dan Hardiman memang betul-betul belum bisa dipercaya. Ia hanya janji-janji di mulut saja.

"Lihat lagi lebih lanjut. Ada video Hardiman itu juga. Lebih satu jam tayangannya," papar Randi lagi.

Melina menggeleng. "Sudah. Sudah Aku percaya," potongnya cepat.

Rando menyimpan senyum. Ia menyendok nasi goreng istimewa dengan irisan daging ayam kering.

"Siapa wanita itu?"

"Wanita mana?"

"Yang dibawa mereka ke sana."

Dijelaskan Randi dua wanita yang ada tayangan video bersama Hanjo dan Hardiman adalah wanita yang disiapkannya. Dicarinya di Pulau Seribu. Bukan wanita yang dibawa Hanjo dari Jakarta.

"Kamu yang ambil videonya?" tanya Melina lagi.

Randi terkekeh. "Sutradara tentu tidak pegang kamera. Itu tugas kameramen."

Tidak dijelaskan Randi bagaimana ia mendapatkan informasi Hanjo yang membooking dua orang wanita untuk Sabtu malam. Tetapi ia bisa menyodorkan wanita lain yang sudah disiapkannya pada Jumat malam dengan mulus tanpa kecurigaan. Bagaimana ia menunjukan secara rinci apa yang mesti dilakukan kedua wanita itu disamping melayani mereka. Randi yakin kedua pria bersahabat kental itu belum sadar kalau mereka sudah masuk dalam perangkap yang dimainkannya.

Melina kemudian menyampaikan terima kasihnya kepada Randi. Diakuinya, video yang dibuatkan dan didapatkan Randi akan menjadi barang bukti. Akan banyak gunanya.

"Ada kopian video itu?"

"Ambil sekalian dengan HP-nya," kata Randi pula.

"Kenapa?"

"Biar hanya satu BB-nya."

Melina setuju dengan pikiran Randi. Dengan demikian hanya ia sendiri yang memegang barang bukti itu.

"Kerjaan aku masih berlanjut?" tanya Randi kemudian.

"Kita stop dulu. Nani kalau diperlukan lagi aku hubungi kamu."

"Oke."

"Siang nanti aku transfer ke rekeningnya."

"Oke. Sekalian untuk kedua wanita itu," sebut Randi.

Melina tidak keberatan. "Berapa untuk mereka?"

"Berapa ya?" Randi pun belum punya gambaran besarannya. Ia juga tidak menyebut angka-angka saat mengajak kedua gadis itu berkerjasama.

"Sepuluh cukup?" tanya Melina.

"Masing-masing sepuluh?"

Melina mengangguk.

"Kupikir itu sesuai dengan hasil pekerjaan mereka."

"Oke. Siang aku kirim semua."

Randi mengacungkan jempol. Setelah Melina pamit, ia kembali melanjutkan makan nasi goreng.

*

Hanjo melompat ke dermaga. Hardiman mengikuti di belakangnya.

"Oke, Bro. Terima kasih banyak," ujar Hardiman menepuk pundak Hanjo. "Terima kasih untuk refresingnya."

"Tak perlu berterima kasih. Itu toh sudah kewajiban aku?" sebut Hanjo.

"Kewajiban?"

"Kewajiban seorang kawan adalah menyenangkan hatinya kawannya. Kewajiban aku untuk membuat Bro gembira dan segar."

"Ya. Terima kasih untuk kewajibannya itu," ujar Hardiman tertawa.

"Betul. Tapi jangan lupa pula dengan kewajibannya."

"Kewajiban yang mana pula itu?" tanya Hardiman.

"Kewajiban untuk menerangi jalan aku. Biar aku tidak salah melangkah," ujar Hanjo yang sudah mulai paham menggunakan bahasa kiasan.

"Maksudnya?" Hardiman yang malah tidak paham.

"Masalah aku dengan anak-anak Mamoi, jangan biarkan aku jalan sendirian. Salah langkah aku nanti."

"O, kalau itu tentu tidak, Bro. Aku siap memberikan advis dan senter untuk berjalan agar tidak kegelapan," sebut Hardiman mengikuti gaya bahasa Hanjo.

Keduanya tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perut. Tawa panjang mereka terhenti begitu mengetahui ada perempuan bertubuh subur berada di depan mereka dengan berkacak pinggang.

"Woi, enak betul ketawanya," ujar wanita berambut pendek itu.

Melihat wanita itu, Hardiman yang pertama menghentikan tawanya. "Wah, Inang udah di sini toh?" sapanya menyungingkan senyuman.

Wanita itu mendelik. "Udah sejam aku menunggu."

"Eh, Ito. Tadi itu ombak besar angin kuat. Makanya kapal terpaksa lambat dan hati-hati," jelas Hanjo pada istri Hardiman yang dipanggilnya Ito.

"Bagaimana liburnya? Pasti enak ya?" tanyanya dengan nada ejekan.

"Namanya refresing. Pasti menyenangkan."

"Sengaja menunggu aku pergi ke luar kota dulu. Biar tidak diajak. Biar menyenangkan dengan bebas. Begitu kan?"

Hardiman memegang tangan istrinya. "Tentu tidak begitu. Si bos besar itu yang tiba-tiba punya ide. Refresing sekaligus memantau peluang bisnis di pulau," jelas Hardiman berusaha menghentikan ocehan istrinya.

"Oke, Bro. Kita pisah ya. Besok siang aku ke kantor," ujar Hardiman pada Hanjo.

Hanjo tersenyum melihat pasangan seperti angka 10 itu berjalan tergesa menuju mobil mereka.