webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · Hiện thực
Không đủ số lượng người đọc
147 Chs

Kedinginan Pasti Naik Sendiri

"Ayo,silahkan duduk dulu," tawarnya. Hanjo tidak mau matanya juling karena memandang miring ke atas.

Gadis itu tersenyum lagi. Duduk pada kursi pada meja bulat beratapkan kain. Ia duduk menyilangkan kaki. Reflek Hanjo melirik. Sekilas. Putih mulus dengan tiga u.

Hanjo memutar otaknya. Gadis ini mengaku orangnya Marlon. Lalu kedua gadis kemarin itu siapa? Sama dengan terhadap dua cewek yang raib itu, Hanjo juga tidak percaya dengan gadis lesung pipit ini. Bisa saja semua gadis yang datang kepadanya mengakui hal yang sama. Orangnya Marlon.

"Apa buktinya kamu orang Marlon?" tanya Hanjo to the point.

"Maksudnya?"

"Aku tidak percaya kamu orangnya Marlon."

Gadis tersenyum. Tidak tampak marah atau kesal. "Aduh. Kenapa tidak percaya ya?" Ia pun bingung mesti mengatakan apa.

"Aku disuruh menenami Mas Hanjo. Seorang pria, Pak Bos CEO, yang tengah libur di Palau Pari. Aku tidak salah orang kan? Ini dengan Mas Hanjo?"

"Ya, aku Hanjo."

Gadis itu mengulum bibir. "Nah, aku suruh nemani Mas Hanjo di sini," ujarnya lagi dengan suara seindah bibirnya.

"Mhm, kamu sendirian?" Hanjo melanjutkan penyelidikan.

Gadis manis itu menggeleng. "Berdua."

"Dengan siapa?"

"Temen."

"Mana dia?"

"Bersama Bang Har di kamar."

Bukk! Kalaulah ada ikan paus melompat dari laut masuk ke kolam renang atau hiu membuka mulut hendak menerkam, Hanjo tidak bakal seterkejut ini. Dihembuskan nafas panjang berkali-kali. Membuang kekagetan yang luar biasa itu. Disambarnya gelas minuman. Diteguk habis.

"Teman kamu ada di dalam bersama Hardiman?" ulang Hanjo menyakinkan dirinya.

"Iya. Tak percaya pula?

"Kapan kalian datang?"

"Udah setengah jaman."

"Oke. Bagaimana aku bisa percaya kalau kalian orangnya Marlon?" tanyanya.

Hanjo tidak mau mengakui kalau ia barusan menghubungi Marlon namun HP-nya tidak aktif. Kasus dengan kedua cewek misterius itu mengingatkannya untuk hati-hati berbicara.

Gadis berhidung tipis itu kembali tersenyum. "Baik, Mas," ujarnya seraya mengeluarkan HP dari dalam tas.

Ia menghubungi seseorang. Mungkin Marlon. Lama android hitam tipis itu tertempel di telinganya. Tidak tersambung. Ia kembali memencet layar. Tak dibawanya ke telinga. Dipandangi saja. Kemudian ia menggelengkan kepala. Kecewa raut wajahnya. Tidak tersambung.

"Aduh. Bagaimana ini? Tidak aktif pula HP Bang Marlon itu," jelasnya dengan nada cemas.

Hanjo tertawa dalam hati. Rasain lu! Mau menipu aku pula. Pasti akan segera terbuka kedok kalian. Tapi jangan-jangan memang Marlon benaran yang dihubunginya. HP-nya tidak aktif. Sama seperti saat ia menghubungi.

Gadis itu tampak kebingungan. Diutak-atiknya kembali HP. Tidak menghubungi seseorang. Ditaroknya di atas meja.

"Wuih, airnya bening. Segar sekali. Pingin mandi aku," tutur gadis yang mengaku bernama Rere itu.

Hanjo tidak menanggapi. Ia mengusap-usap mulutnya. Ia ingin sekali Hardiman datang. Ada teman berbagi. Tidak bingung sendiri.

"Boleh aku ikut mandi?" usik gadis itu lagi dengan kerlingan mata.

Hanjo mau berkata "Boleh. Silahkan". Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut. Mulutnya terasa kaku. Hanjo kembali mengusap-usap mulut dengan lengkungan telapak tangan.

Terdengar deringan HP. Bukan HP Hanjo. Tapi HP gadis itu. "Nah, ini dia! Nelpon!" teriak gadis itu gembira. Segera didekatkannya ke telinga. "Bang, bagaimana ini? Aku sudah nyampe di lokasi. Sudah jumpa juga dengan Mas Hanjo. Tapi ia malah tidak percaya. Nih, Abang ngomong sama dia," cerocosnya.

Ia berdiri mendekati Hanjo. Menyerahkan HP-nya. Hanjo diam mendengarkan perkataan di HP.

"Sori, Bos. Aku bukannya tidak percaya. Tapi untuk memastikan saja. Soalnya semalam sudah ada yang gabung. Dua orang juga. Kupikir yang dari Bos itu," ungkap Hanjo tanpa menjelaskan lebih jauh..

Ia kembali diam mendengarkan.

"Heh, bagaimana ini? Aku yang salah ngomong? Aku bilang untuk Jumat malam kan?" tanya Hanjo heran.

Didengarkannya pula perkataan dari lawan bicaranya.

"Oalah. Miskomunikasi ini. Mungkin Bos salah dengar. Aku bilang Jumat malam. Tapi Bos menurut Bos Sabtu malam."

Hanjo diam lagi.

"Jadi, benar ini? Tidak salah ya?"

Hanjo mendengarkan lagi.

"Oke, Bos. Oke. Sori ya," tutur Hanjo mengakhiri pembicaraan dengan Marlon.

Disodorkan Hanjo HP itu kembali. Ops! Gadis itu tidak ada. Mejanya kosong. Ke mana dia?

Hanjo menggelengkan kepala. Berkali-kali. Dilihatnya gadis itu sudah ada di kolam renang. Berenang dengan gaya punggung. Punggungnya berada di atas permukaan air, lalu kedua tangan mengayuh dan kaki mendorong. Tapi tidak bergerak sama sekali.

Mata Hanjo memandang tidak berkedip. Bukan gaya renangnya. Tetapi pada gerakan air yang memecah mencari jalan di sudut sempit di antara kedua tonjolan. Hentakan kaki dan gerakan kedua tangan membuat tonjolan bergetar kuat.

Hanjo menyambar gelas. Uh, sudah kosong. Mangkuk salad buah pun tinggal airnya. Hanjo berdiri mau mengambil minuman ke dalam ruangan. Ia kehausan.

Tetapi tertahan pula langkahnya. Di ujung kolam dilihatkan gadis itu melambaikan tangan. Detik itu juga dia memutar langkah. Hanjo memilih langkah ke kolam renang. Tanpa babibu lagi. Ia melompat ke dalam.

Dengan dua kayuhan tangan, Hanjo sudah berada di sebelah gadis itu. "Sori ya tadi itu," kata Hanjo sambil mendorong air hingga memercik di wajah Rere. Gadis itu menutup dan tertawa. Tangan kanannya membalas memukulkan air ke wajah Hanjo.

Dan seperti yang sudah bisa dibayangkan, keduanya terlibat dalam permainan air. Meriah dan asyik. Saling siram. Saling dorong. Menghindar. Dikejar. Menghindar lagi. Dikejar pula. Dapat. Dipeluk. Tertawa. Melepaskan diri. Dipeluk lagi.

Kemeriahan dalam kolam renang itu tidak berlangsung. Tiba-tiba sudah ada Hardiman duduk di kursi rotan. Ia tidak sendirian. Ada seorang gadis pula di sampingnya. Bodinya semampai dengan tonjolan dan lekukkan yang kentara. Kedua duduknya menikmati bakso. Terlihat asap mengepul di atas mangkuk mereka.

Mereka tidak mengusik yang ada di kolam renang. Namun melihat keduanya, entah bagaimana, Hanjo merasa kedinginan. Ia tersadar sudah terlalu lama berada dalam air. Ia merentangkan tangan mengajak Rere naik. Gadis itu tak menolak.

"Kalian makan bakso diam-diam berdua. Lupa dengan kami," protes Hanjo.

Hardiman menghentikan sendoknya. "Dikasih tahu dianggap pula menganggu acara. Makanya dibiarkan sana. Bila sudah kedinginan pasti naik sendiri," kilahnya.

"Sekarang sudah kedinginan ya?" tebak gadis yang duduk di sebelah Hardiman. "Oh ya, kenalkan. Aku Selly, Mas," ujarnya menyentuh tangan Hanjo.

Hanjo melirik dan tersenyum. Memandangi sekilas Hanjo menilai Selly gadis yang keras hati. Rere lebih putih. Namun Selly lebih menantang. Hanjo lebih tertarik dengan Selly. Namun hal itu ditekannya saja. Ia ingat, libur ke Pulau Pari ini adalah dalam rangka menyenangkan hati Hardiman.

Di atas meja, di depan Hardiman dan gadisnya, ternyata ada dua mangkuk bakso lagi. Belum tersentuh. Tanpa perlu bertanya, Hanjo langsung memanaskan kerongkongannya dengan kuah bakso. Rere tersenyum sambil melap rambut dengan handuk. Keempatnya memanaskan badan guna melanjutkan aktivitas berikutnya.