webnovel

Bunga Menari

*Sudah Tamat* Terbelenggu dalam peliknya kisah masalalu membuat Clarista hampir masuk rumah sakit jiwa. Di akhir batasnya, seakan sudah takdir ia dipertemukan dengan laki-laki yang memiliki kepribadian dengan sosok seseorang dari masalalunya itu. Berkali-kali menolak, takdir tetap menjadikan laki-laki yang baru hadir ini sebagai pendampingnya. Hingga Clarista lelah menolaknya, pasrah dia pada takdirnya. Tapi ... apa kali ini akan berakhir sama lagi? Apakah laki-laki yang baru ini juga akan meninggalkan selamanya seperti sosok masalalunya? Lantas, ia ... apakah akan berakhir menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa seperti yang sebelumnya terlintas dalam benaknya?

Lee_TaaRi · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
264 Chs

Perlahan Menepis Jarak

Riki tertawa. "Jadi hemat kalau pulang bareng gue, Ta."

Jder!

Mendadak saja terdengar kilatan petir usai cahaya menggelegar. Mendongak menatap gumpalan awan hitam itu membuatku mendengus. Jika lama-lama di sekolah atau terus berdebat dengan kak Eclot yang ada aku akan kehujanan nanti.

"Yakin masih mau nolak? Ayok, aku bawa jas hujan kok," ajaknya lagi yang seakan tak peduli sekalipun aku masih memiliki ribuan cara untuk terus menolaknya.

Mendengus pasrah lantaran tak lagi ada harapan. Pada akhirnya aku hanya bisa mengangguk ringan.

"Yes! Godaan cowok tampan kayak gue emang seratus persen mempan kan?" Lagi-lagi dengan tampang tengilnya itu dia menggoda membuatku mati-matian menahan tawa.

Seperti kemarin, dia memakaikan helmet. Bukan manja, namun aku benar-benar tak bisa.

Hampir tiga puluh menit berkendara, kami tiba di depan rumahku.

Menilik ke sekitar, kenapa terang lagi? Padahal cuacanya tadi benar-benar gelap?

"Kayaknya kalau tadi lo naik angkot hujannya bakalan turun deh, Ta. Tapi karena lo sama gue makanya nggak jadi hujan!" ujar Riki kepedean.

Tapi raut wajahnya yang membanggakan diri itu justru membuatku tergelak.

"Ngarang, mana ada kayak gitu?" balasku dengan kekehan geli.

"Lagian sudah sore banget, kakak pulang sana. Nanti Refi marah-marah lagi," suruh ku.

"Dih doi nganterin pulang malah diusir. Mau minta nomor Refi nggak? Kalau lo bosen belajar chat dia aja," usulnya namun dia menyerahkan ponsel miliknya.

Lagi-lagi aku tertawa. Ponsel yang ada di dalam saku ku keluarkan.

"Mana nomernya? Biar aku aja yang chat dia duluan nanti," kataku memberanikan diri.

Walaupun memang di ponselku ada grup sekelas namun tak satupun nomer yang tersimpan. Untuk mengetahui nama mereka aku hanya modal baca username atau tengok foto profil saja.

Riki meringis, aku tahu bukan itu yang dia mau.

"Fine, kalah!"

"Gue yang minta, Ta? Lo cengengesan gitu pasti tahu kan. Ayolah tulis nomor lo aja, ya?"

Melihat dia sengaja memasang tampang anak kucing kelaparan, tanpa sadar aku kembali tertawa. Aish dasar deh dia ini, bagaimana bisa dia bersikap manis begitu?

"Ya udah sini," putusku. Gegas ku ketik nomor dalam ponselnya lantas mendial.

Ponselku yang menyala menunjukkan sederet nomornya membuat Riki tersenyum lebar.

"Makasihhh, Sayang!"

Sa- apa tadi?

Dia memanggilku sayang?

Aku ingat bahwa seseorang pernah mengatakan padaku. Jika kamu terlalu mudah di dapatkan maka dia bisa dengan seenaknya saja melepaskan.

"Gue pulang, makasihhh!" Riki berseru sambil memutar arah.

Tersadar bahwa dia belum membantuku melepaskan helmet, mendadak aku jadi kesal. Ya sudah, pada akhirnya bibi membantuku melepaskannya sambil tertawa-tawa tak jelas.

Ah dia memang pandai membuatku kesal juga.

Tring!

Saat hendak membuka pintu ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

08XX

'P'

'Ta!'

'Sorry, gue lupa bantu tadi. Bisa lepasin nggak? Kalau nggak gue kesana, tapi udah sampe rumah sih ini.'

Melihat tiga pesan itu saja aku sudah langsung sadar bahwa dia sengaja melakukannya agar memiliki topik untuk membuka obrolan.

Reply to 08XX

'Bisa, dibantu bibi kok.'

Hanya satu balasan saja pasti sudah cukup. Dan lagian sudah waktunya mandi, kepalaku panas sekali karena memikirkan banyak hal.

Melepaskan semuanya asal. Duduk di bawah shower yang menyala membuat hati dan benakku terasa jauh lebih dingin ketimbang tadi. Ah, melegakan sekali. Untung tadi pintu kamar juga sudah ku kunci.

Kejadian Riki kemarin yang mendadak muncul tak akan terjadi lagi. Karena jujur saja aku benci saat seseorang memasuki privasiku sesuka hati mereka.

"Wajahnya memang tengil ya?" tanyaku entah pada siapa.

Hampir satu jam bertahan di posisi ini. Barulah aku keluar saat badanku yang polos mulai menggigil kedinginan. Semacam kebiasaan, sehabis mandi aku jarang langsung mengenakan pakaian.

Menunggu hingga beberapa waktu lebih dulu. Atau mungkin aku akan segera bergelung di bawah selimut. Bangun-bangun nanti jam sembilan malam, makan, dan belajar.

"Membosankan," gumamku.

Tak ada rutinitas yang stabil. Bangun dan makan sesuka hati. Kadang sikapku yang bebal ini pasti menyusahkan bibi, namun wanita itu masih saja sama. Dia tak mau pergi meskipun gajinya tak seberapa dan setiap saat kesusahan merawatku.

Namun karena kebaikannya, aku lega. Setidaknya masih ada satu orang yang tetap menungguku di rumah ini. Kala aku pulang masih ada sambutan hangat. Ketika merasa lelah masih ada tempat bersandar yang nyaman.

Rasanya menyenangkan bisa mengatakan semua ini dengan setulus hati. Meringkuk sambil membenarkan selimut. Entahlah, aku hanya ingin tidur saat ini. Apapun yang akan terjadi nanti, atau esok hari pasti sudah direncanakan oleh sang pencipta.

Aku akan mengikuti alurnya jika bisa, namun menentang dan melawannya adalah satu cara agar hidupku bisa berjalan seperti harapan. Karena semua orang memang selalu beranggapan bahwa cara mereka memang yang paling benar bukan?

***

"Pagi, Bik," sapaku.

Tadi malam aku bangun jam setengah dua. Malas untuk tidur lagi membuatku memutuskan untuk belajar saja. Memang tak akan mendapatkan peringkat pertama namun setidaknya aku harus masuk sepuluh besar untuk diriku sendiri.

"Wah, semangatnya bikin mata saya silau hahaha. Mau berangkat bareng mas Riki lagi kah, Non?"

Mendapat jawaban itu, gegas aku menggeleng. Sejak semalam ponselku mati. Memang saat mengisi daya sengaja aku mematikannya karena tak ada yang spesial.

Lagipula siapa yang akan mencariku malam-malam?

"Nggak ah, orang mau naik bis kok. Bibik masak apa?" tanyaku sambil duduk di kursi.

"Sayur sop, brokolinya bibik kasih banyak banget kok. Non kan suka," jelas bibik.

Tersenyum lebar diriku meresponnya. Iya, memang brokoli seenak itu hingga aku menyukainya. Rasanya yang lain aku tak membutuhkannya. Kubis, wortel, buncis dan kentang hanya parasit saja. Mereka menggangu namun karena bibi tak menjauhkannya kadang aku susah payah memakannya.

"Non?"

"Bapak pulang nanti, ah maksudnya mampir," ujar bibi kikuk.

Aku terdiam membeku. "Sudah waktunya ya?" tanyaku.

"Iya," balas bibi.

"Nilai non bagus-bagus semua jadi saya yakin pasti aman. Jangan lihat saya kayak gitu. Nggak mungkin kok gaji dipotong lagi," ucap bibi yakin.

Dia sih yakin, namun aku tidak. Papa bukan orang yang semudah itu sekarang.

Nilaiku tak baik, uang jajan untuk setahun ke depan akan dipotong habis-habisan. Meskipun selama ini aku jarang jajan, semuanya memang masih akan di tabungan. Namun bibi kan butuh uang untuk belanja bulanan.

"Kalau gaji bibi dipotong karena nggak becus rawat aku, kita pakai uang jajan setahun lalu aja ya!" kataku mantap.

Bibi tertawa kecil. "Non, semua nilai non bagus kok."

Sistemnya sekarang, papa akan datang setahun sekali. Nilaiku menentukan uang jajan ku. Maka dari itu fokus di kelas, memahami semua pelajaran jauh lebih baik ketimbang bekerja siang malam.

Setidaknya aku masih harus bersyukur karena mereka mau merawatku dengan baik.

"Iya, pokoknya buat antisipasi kan kita usah buat rekening baru. Bik? Jangan tinggalin aku ya."

"Sendirian itu, menyakitkan, Bik ...."

To be continued ....