webnovel

08 Tulus Or Stupid

Alex tatap Darkos tajam, "aku dan Atin berpacaran. Tak harus kau lindungi, biar aku melindungi milikku. Lain kali kau dekat Atin, berhadapan denganku. Kita tentukan siapa yang pantas dengan cara lelaki."

Darkos tidak cegah Alex. Otak sibuk memproses ucapan Alex.

"Imposibble. Lebih baik aku pastikan langsung."

***

Atin menatap bingung Darkos. Darkos bertanya soal hubungan ia dan Alex. Itu artinya Alex bilang ke Darkos. Padahal sudah Atin tegaskan, hubungan mereka tak boleh diketahui orang-orang kampus.

Atin pikir Alex sepemikiran. Buktinya Alex melarang Atin menunjukkan kalung pemberiannya. Sekarang Alex ingkar janji.

"Alex yang bilang, tolong jujur, Atin."

"Kenapa kau harus tahu? Aku paham kau penasaran, tapi maaf, ini privasi. Alex hanya mengertakmu agar tak ikut campur urusannya."

"Kau urusanku, Atin. Aku care ke kamu. Oke, kamu peduli ke diri sendiri. Kau tak butuh orang lain ikut campur. Aku tanya, apa aku harus jadi pacarmu juga agar kau terbuka? Maaf, kalau tiba-tiba, Atin. Hati dan otakku berontak. Aku tak suka kau cuek. Kau menyakiti perasaanku walau kamu tak pernah minta diperhatikan. Kau buat aku kesal, Atin. Sampai kapanpun aku akan terus ikut campur."

Atin senyum miris. Kalau begitu, Darkos tak jauh beda dengan Alex. Sifat keras kepala mereka buat susah. Atin refleks menghela napas. Niat Darkos baik. Tetap berlebihan jika bagi Atin.

Atin mengalihkan pandangan, sebelum Darkos bicara begitu, Atin suka sikap Darkos. Berporos ke depan. Darkos peduli ke masa depan. Sayang bagi orang lain tindakan itu terkesan monoton, kaku dan membosankan.

Well, setiap orang punya standard hidup sendiri. Tolak ukur kesuksesan tak bisa disamaratakan.

"Benar. Tolong jangan sebar hal ini. Aku tak tahu harus bersyukur, sedih atau bagaimana. Aku masih Atin. Ingin lulus dan meraih masa depan. Terima kasih atas kebaikan hatimu, Darkos. Aku bersyukur. Sebagai bentuk lain rasa terima kasihku, tolong jangan tunjukkan simpatimu dalam bentuk tindakan berlarut-larut, kita tak pantas. Kita beda."

Atin menjeda ucapan. Ia tak enak. Menguatkan tekad, Atin lanjut berucap, "kamu baik, ku harap kau tidak mensia-siakan waktu untuk orang sepertiku. Dedikasikan kebaikanmu ke aspek lain. Dengan cara jangan dekat aku dan membocorkan informasi ini. Itu sangat membantu. Selanjutnya, saat aku perlu, simpan rasa kemanusiaanmu untukku di lain kesempatan. Itu pun kalau masih ada, jika tidak, aku tetap bilang terima kasih. Kau tak usah khawatir, sejak berpacaran, Alex bersikap baik. Dia hanya posesif."

Ekspresi datar Darkos bilang Atin melukai perasaan dan sisi sosialnya. Niat baik yang diberhentikan, sama tingkatannya dengan menghargai tertunda. Darkos kecewa.

Pada akhirnya Darkos mengangguk. Setidaknya Atin bilang akan 'bergantung' ke darkos saat perlu bantuan. Kalimat tidak langsung itu pun Darkos anggap bentuk penghormatan tersendiri.

"Baiklah, jangan sungkan datang padaku saat kamu butuh, Atin."

Diakhir kalimat Darkos senyum tipis. Begitupun Atin.

Tanpa mereka tahu interaksi tersebut dilihat Alex. Urat-urat leher Alex mencuat mengisyaratkan betapa ia kesal.

"Sial," ujar Alex, tangan mengepal kuat.

***

Sesuai yang Atin dan altex rencanakan diawal, setelah kelar beraktivitas, keduanya menuju rumah Alex.

Tak terjadi hal aneh, Alex bersikap biasa. Memergoki Atin dan Darkos bicara seolah tak pernah terjadi. Alex tak menunjukkan kejanggalan setelah lihat Atin dan Darkos.

Defenisi hidup Alex, ada yang namanya ketepatan waktu, sekon pas. Kalau sudah, baru Alex bergerak. Kebanyakan langsung sih. Alex bukan orang konsisten.

Alex tipe lelaki bertindak sesuai selera hati.

Saat itu Alex masih bisa tahan. Tiba di rumah barulah Alex bergerak. Alex kunci pergerakan Atin, memojokkan Atin di dinding.

Atin kaget.

"Ada apa, aku salah?" Atin menunduk. Takut. Aura yang Alex pancarkan gelap. Napas hangat lelaki itu juga tak kalah menakutkan. Napas saling bersautan. Alex bersmirk, Atin masih tanya salah. Tidak peka. Tidak paham kesalahan sendiri.

Biar Alex ingatkan. Atin anggap interaksi dengan Darkos normal, tapi bagi Alex jelas tidak!

Alex tak mau kehilangan orang yang ia cintai.

"Kau bicara dengan Darkos di perpustakaan. Aku gak suka."

Netra Atin membulat, Alex membolos jam pelajaran hanya untuk memata-matai aktivitasnya.

Kekanakan. Harus Atin perbaiki alur berpikir Alex. Pakai cara khusus, kalau tak begitu Alex marah. Kemungkinan berhasil berkisar 20-30%. Tak ada salah mencoba.

Pertama, Atin menunduk dalam, ia merasa bersalah.

"Maaf, aku ingin hidup normal. Berinteraksi dengan orang lain belum tentu aku meninggalkanmu. Kalau kau bersikap begini, kita tak nyaman. Aku tertekan. Kau lebih buruk saat membullyku. Posisi kita sudah beda, Alex."

Air mata tak dapat Atin bendung. Atin serius, Atin tidak memanfaatkan emosi atau bahkan kepekaan menipu Alex. Atin sakit.

Alex tak suka lihat orang yang ia cintai menangis. Perlahan Alex elus wajah Atin. Saat orang dicintai menangis, secara tak langsung menunjukkan Alex payah. Tak becus menjaga hati atau setidaknya buat orang yang dicintai nyaman.

"Jangan nangis, ku mohon."

Wajah Alex terlihat bersalah, ekspresi tersebut berubah di persekian detik berikutnya. Bagai Alex berperibadian ganda. Si 4 D menakutkan.

"Kamu yang salah, aku tak minta maaf. Atin, kamu harus melakukan sesuatu untukku, agar setidaknya aku lupakan sedikit rasa kesal. Sudah ku bilang jangan dekat Darkos, aku sensitif padanya. Bagimu interaksi dengannya wajar, tapi baiku tidak. Parameter pengukuran kita beda," ujat Alex tegas.

Masih belum ia lepas kunkungan pada Atin. Mungkin akan lama Alex megukung Atin. Alex suka. Mode ambil kesempatan dalam kesempitan on.

Alex dekat Atin, Atin berada penuh dalam jangkauan, dalam penglihatan, ruang lingkung dan yang terpenting hanya untuknya. Alex tak mau berbagi, Atin sudah jadi gak paten!

Atin masih menangis. Sulit. Seandainya Atin mengambil jurusan psikologi khusus ketenagakerjaan psikiater pun, tetap saja sulit. Alex keras, hanya percaya terhadap hal yang ia anggap benar. Saat ada sisi 'kebetulan' baru mereka nyambung. Itu pun kalau ada, Alex tak kalah pintar berdebat.

"Alex, aku ingin orang berada didekatmu nyaman atau tidak?"

"Mau," jawab Alex lugas.

"Kalau begitu tolong dengarkan aku. Tak semua fleksibel atau statis. Pemahaman bersifat relatif. Kau tak harus berpegang teguh ke sesuatu yang saklek. Hal yang bagimu benar, tak peduli apapun anggapan orang lain, belum tentu semuanya benar. "

Susah payah Atin kumpulkan tekad. Setelah itu, Atin harus bersyukur Alex tak mengamuk. But, saat berhasil, Atin selangkah lebih dekat. Mengambil sedikit hati Alex.

"Kau baik Alex. Berdebat tak menghasilkan apapun. Kita tak selesai. Intinya, kau mau buat orang nyaman. Salah say caranya adalah dengan hargai privasi masing-masing. Selama aku masih bisa kau percayai, maksudku kita saling percaya, kita bisa. Kau… percaya padaku, kan?"

Atin lihat Alex intens. Masih terdengar suara sengugukan. Sulit bicara, Atin berusaha. Sejak berpacaran dengan Alex, Atin janji pada ditinya. Ia ubah sistem berpikir Alex.

*****