webnovel

BUKAN SALAHNYA CINTA : Cintaku di Ujung Senja

"Jangan menangis Hanin, kalau kamu menangis cantikmu akan hilang. Lihat aku! aku berjanji padamu untuk segera kembali dan akan membalas tiap tetes airmatamu ini." (Rafka Arsha Fathan) "Aku mencintaimu dengan segala niat tulusku yang tanpa ada batas, memilihmu karena aku yakin kamu adalah takdirku, tidak perduli dengan jarak usia, atau rentang waktu." (Hasta Narendra) Hanin Humairah (21 th) seorang gadis cantik yang sudah tidak mempunyai orang tua selain tinggal dengan Dina ibu tirinya dan kedua saudara tirinya Amelia dan Jonathan. Rafka Arsha (21 th) sahabat sekaligus kekasih Hanin, terpaksa berhubungan jarak jauh dengan Hanin karena mengikuti orang tuanya yang pindah tugas di kota A. Hasta Narendra (35 th) seorang duda sahabat ayah Hanin mencintai Hanin dengan tulus dan berusaha membantu Hanin lepas dari siksaan Dina dengan bersandiwara menikahi Hanin. Karena cinta tulus Hasta, perasaan dan cinta Hanin berpaling dari Rafka dan beralih pada Hasta dan mereka menikah secara sah. Dalam pernikahannya selama satu tahun, Rafka kembali dalam kehidupan Hanin dan kembali mengejar cinta Hanin. Akankah cinta Hanin tetap bertahan untuk Hasta setelah tahu Rafka amnesia karena kecelakaan akibat putus cinta dengannya? Apakah cinta Hanin akan berpaling pada Rafka setelah Hasta meninggalkannya karena Hasta tidak bisa mempunyai keturunan??

NicksCart · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
43 Chs

PUJIAN HANIN

"Aku hanya ingin tahu keadaannya Mas, aku merasa bersalah kalau Rafka kenapa-kenapa dan semua itu karena aku." ucap Hanin di sela-sela isak tangisnya yang tidak bisa di tahannya lagi.

Kembali hati Hasta terluka melihat kesedihan Hanin yang begitu mencemaskan keadaan Rafka.

"Kamu bisa menghubungi Candra kalau kamu ingin tahu kabarnya Rafka." ucap Hasta berusaha memahami apa yang Hanin rasakan.

"Tidak Mas, aku takut kalau ternyata Rafka terluka parah itu akan membuatku semakin merasa bersalah." sahut Hanin menggigit bibir bawahnya dengan perasaan bersalah.

"Kalau kamu tidak tahu keadaannya, apa kamu tidak semakin memikirkan keadaan Rafka?" tanya Hasta merasakan luka lebih dalam jika demikian.

Hanin terdiam berusaha mengerti apa yang di ucapkan Hasta.

Perasaan bersalah pada Hasta mulai menyergap hatinya. Hanin baru sadar apa yang di katakannya sudah melukai perasaan Hasta.

"Tidak Mas, ada seseorang yang harus lebih aku pikirkan daripada Rafka." ucap Hanin seraya mengangkat wajahnya menatap penuh wajah Hasta.

"Siapa?" tanya Hasta dengan perasaan was-was dengan pikirannya kalau Hanin selain memikirkan Rafka, Hanin juga memikirkan Jonathan.

Hanin tersenyum, melihat wajah Hasta yang terlihat cemburu.

"Hanin...siapa?" tanya Hasta menghela nafas panjang menahan rasa cemburunya.

"Apa yang Mas Hasta pikirkan tentang diriku?" tanya Hanin sedikit menggoda Hasta seorang laki-laki yang sudah matang yang telah membuat hatinya merasa nyaman dan tenang.

"Tentang hal apa?" tanya Hasta tak mengerti. Dalam usianya yang sudah menginjak kepala empat apa yang harus di lakukannya untuk menghadap seorang Hanin yang masih berusia muda.

"Tentang siapa seseorang yang aku pikirkan? dan sangat penting dalam hidupku?" ucap Hanin dengan tersenyum.

Hasta terdiam, tidak bisa mengetahui siapa yang ada di hati Hanin saat ini. Semua begitu samar baginya. Hati dan cinta Hanin entah milik siapa.

"Mas...apa Mas Hasta tidak bisa menebaknya?" tanya Hanin lagi dengan perasaan gemas.

"Kalau aku menjawabnya dan ternyata jawabanku salah, kamu tidak akan marah kan Nin?" tanya Hasta sangat ragu untuk menjawab pertanyaan Hanin.

"Tentu saja tidak Mas, aku hanya ingin tahu saja suamiku sangat mengenal aku atau tidak. Sekarang jawab pertanyaanku Mas." ucap Hanin dengan tersenyum.

"Hem... kalau bukan Rafka, Jonathan." ucap Hasta dengan suara pelan.

"Apa Mas?? Rafka dan Jonathan? apa hanya kedua nama itu yang Mas Hasta pikirkan?" tanya Hanin dengan gemas.

Hasta menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Bukan Mas, bukan kedua nama itu. Rafka dan Jonathan adalah masa laluku." ucap Hanin menggeser duduknya semakin dekat dengan Hasta.

"Lalu... siapa? apa masih ada yang lain selain mereka berdua?" tanya Hasta semakin terluka karena cemburu.

"Mas...kita sudah menikah belum?" tanya Hanin dengan bersabar hati menghadapi Hasta yang tidak pernah berhubungan dengan siapapun.

"Sudah Hanin, kita sudah menikah tadi pagi." ucap Hasta merasa serba salah.

"Syukurlah, kalau Mas Hasta masih mengingatnya. Dan orang menikah itu berdasarkan apa? bukankah karena saling mencintai?" tanya Hanin menatap dalam wajah Hasta.

"Ya... seharusnya seperti itu. Tapi kita... tidak seperti itu, maksudku...kamu masih belum mencintaiku." ucap Hasta akhirnya keluar juga apa yang menggangu pikirannya.

"Jadi... Mas Hasta masih berpikir aku masih belum mencintaimu Mas?" tanya Hanin merasa bersalah.

Hasta menganggukkan kepalanya dengan pelan, mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Mas... lihat aku." ucap Hanin menangkup wajah Hasta dengan tatapan penuh.

Hasta membalas tatapan Hanin dengan hati yang semakin kacau.

"Kita menikah karena cinta Mas, aku ingin menikah denganmu karena aku mencintaimu Mas. Siapa orang yang aku pikirkan dan terpenting dalam hidupku adalah kamu Mas." ucap Hanin menatap lembut wajah Hasta yang begitu teduh.

Jantung Hasta menjadi berdetak sangat cepat mendengar ucapan Hanin yang tidak pernah di pikirkannya.

"Aku... sangat terkejut Nin, semoga aku tidak mendapat serangan jantung karena hal ini. Terkadang aku percaya kamu mencintaiku, tapi di sisi lain aku berpikir kamu masih mencintai Rafka dan itu membuatku merasa bersalah karena telah menikahi kamu." ucap Hasta berusaha terbuka pada Hanin karena Hanin telah terbuka padanya.

"Tidak Mas, jangan lagi berpikir seperti itu Mas. Aku sangat mencintaimu." ucap Hanin seraya menggenggam tangan Hasta dan mengecupnya perlahan.

"Hanin... apa kamu tidak mengantuk? ini sudah malam, Istirahatlah. Aku akan tidur di sofa." ucap Hasta tidak tega melihat Hanin duduk terus di sampingnya.

"Mas... kenapa harus tidur di sofa? kita sudah suami istri Mas?" ucap Hanin melihat wajah Hasta yang terlihat canggung.

"Aku tidak ingin tidur kamu terganggu Nin, aku tahu kamu belum siap untuk kita tidur bersama." ucap Hasta seraya bangun dari tidurnya namun kedua tangan Hanin menahannya.

"Jangan kemana-mana Mas, kita sudah suami istri sudah seharusnya kita tidur bersama. Aku tidak merasa terganggu tidur denganmu." ucap Hanin dengan sungguh-sungguh.

Hasta menatap wajah Hanin tak berkedip, tak mampu juga berkata-kata. Apalagi saat Hanin mendorongnya pelan untuk berbaring kembali.

"Tunggu ya Mas, aku harus berganti pakaian dulu." ucap Hanin sudah terbiasa memakai baju tidur saat sedang tidur.

Hasta menganggukkan kepalanya dengan tersenyum.

Sambil menunggu Hanin berganti pakaian, Hasta mengambil ponselnya dan melihat beberapa foto pernikahan yang hanya di rumah sakit.

Sebuah senyuman tampak terlihat di bibir Hasta dengan pandangannya yang tak lepas dari layar ponselnya.

"Ada apa di ponsel itu Mas? apa ada sesuatu yang membuat Mas Hasta tersenyum seperti itu?" tanya Hanin dengan tiba-tiba membuat Hasta terkejut dan langsung meletakkan ponselnya di atas meja tanpa sempat menutupnya.

Hanin mendekati Hasta, kemudian meraih ponsel Hasta untuk melihat ada apa di ponsel itu hingga membuat Hasta tersenyum bahagia.

"Tenyata foto kita yang membuat kamu tersenyum Mas?" tanya Hanin dengan menahan senyum.

Wajah Hasta memerah, merasa malu karena ketahuan.

"Aku senang melihat wajah kamu terlihat cantik Nin, tapi saat aku melihat fotoku sangat tidak pantas duduk di sampingmu. Aku terlihat tua." ucap Hasta merasa rendah diri.

"Siapa bilang tidak pantas Mas? aku lihat.. kita sangat cocok. Kalau aku boleh jujur, Mas Hasta tidak terlalu tua...dan aku bisa katakan kalau Mas itu sangat tampan." ucap Hanin seraya meletakkan kembali ponsel Hasta di atas meja.

Hasta menatap Hanin dengan tatapan tak percaya.

"Aku tidak percaya Nin, tidak ada yang bilang aku tampan. Aku rasa hanya kamu yang mengatakan hal itu." ucap Hasta menjadi salah tingkah.

"Kenapa kamu tidak percaya Mas? apa aku harus memanggil Bik Minah dan Pak Rahmat untuk memberikan pendapatnya? baiklah akan aku panggil sekarang." ucap Hanin seraya bangun dari duduknya namun tangan Hasta menahannya.

"Jangan Hanin, aku akan malu." ucap Hasta dengan wajah semakin memerah dengan pujian-pujian Hanin yang tak berhenti dari tadi.