webnovel

Curiga

Ketika Mila terbangun, dia sudah tidak menemukan Vian di sampingnya. Ia kecewa karena pagi itu suaminya tidak membangunkannya, setidaknya untuk berpamitan padanya.

Ia melirik ponselnya dan ada sebuah pesan masuk dari suaminya.

Vian : Maaf, aku ada rapat pagi ini jadi gak bisa antar kamu ke kafe.

Mila tidak membalasnya, dia menghela napasnya dan menatap sinar mentari yang memasuki kamarnya melalui celah jendela.

Ia berjalan hingga balkon kamarnya, melihat rumah sekelilingnya dari atas sana.

Tiba tiba pandangannya terkunci pada satu bayangan seorang lelaki yang sedang menyiram tanaman pagi itu.

Tanpa sadar Mila menarik sudut bibirnya hingga membetuk senyuman.

Lelaki itu nampak sedang bersenandung bila dilihat dari caranya menggerakkan bibirnya dan senyum di wajahnya.

"Lucu sekali," gumamnya. Ia masih betah melihat lelaki itu dari tempatnya berdiri, hingga Bara memergokinya jika sejak tadi dia sedang melihatnya.

Bara melambai kepada Mila dengan senang. Dan sontak Mila melambaikan tangannya juga pada Bara.

Hatinya ada rasa bergetar ketika melihat senyum lelaki itu di matanya.

Ada perasaan yang tak pernah ditemukan dari Vian selama ini.

Oke, Vian adalah lelaki yang baik meskipun ia dingin. Tetapi, Mila merasa ada kekurangan dari pria tersebut.

Ketika Laura terbangun, dia sudah tidak menemukan Christian di sampingnya. Ia kecewa karena pagi itu suaminya tidak membangunkannya, setidaknya untuk berpamitan padanya.

Ia melirik ponselnya dan ada sebuah pesan masuk dari suaminya.

Christian : Maaf, aku ada rapat pagi ini jadi tak bisa mengantarkanmu ke kafe.

Laura tidak membalasnya, dia menghela napasnya dan menatap sinar mentari yang memasuki kamarnya melalui celah jendela.

Ia berjalan hingga balkon kamarnya, melihat rumah sekelilingnya dari atas sana.

Tiba-tiba pandangannya terkunci pada satu bayangan seorang lelaki yang sedang menyiram tanaman pagi itu.

Tanpa sadar Laura menarik sudut bibirnya hingga membetuk senyuman.

Lelaki itu nampak sedang bersenandung bila dilihat dari caranya menggerakkan bibirnya dan senyum di wajahnya.

"Lucu sekali," gumamnya. Ia masih betah melihat lelaki itu dari tempatnya berdiri, hingga Aldi memergokinya jika sejak tadi dia sedang melihatnya.

Aldi melambai kepada Laura dengan senang. Dan sontak Laura melambaikan tangannya pada Aldi.

Hatinya ada rasa bergetar ketika melihat senyum lelaki itu di matanya.

Ada perasaan yang tak pernah ditemukan dari suaminya Christian selama ini.

Oke, Christian adalah lelaki yang baik meskipun ia dingin. Tetapi, Laura merasa ada kekurangan dari pria tersebut.

Vian, sama sekali tak pernah menyentuhnya. Ia sangat kecewa. Malahan dia berpikir jika Vian tidak menyukainya karena hal itu.

Mila masih saling berpandangan dengan Bara. Hingga tanpa sadar ayah Bara sudah berdiri dari belakang dan memukul kepala anaknya tersebut.

Senyum Mila seketika luntur melihat pemandangan kasar yang ada di depannya.

"Apa apaan itu kenapa ayahnya kasar begitu dengan Bara?" protes Mila. Dia masuk ke dalam. Ia tak mau Bara melihatnya saat dia sedang bertengkar dengan ayahnya.

**

"Tumben naik bus?" tanya seorang lelaki yang tiba tiba duduk di samping Mila. Dia sedang menunggu bus saat itu.

Bara tersenyum pada Mila, seakan tak pernah terjadi apa apa tadi pagi.

Dalam hati Mila dia bertanya tanya mengapa ayahnya bersikap seperti itu padanya. Namun ia urungkan karena itu adalah masalah pribadinya.

"Terus, kenapa kamu udah ada di sini? Bukannya kamu kerja jam tujuh malem?" tanya Mila. Ia bingung mau membawa pembicaraan mereka ke mana, hingga melontarkan pertanyaan bodoh tersebut.

Padahal dia sudah tahu jika Bara lebih nyaman di kafe daripada di rumah. Apa karena ayahnya?

Mila memandang Bara dengan perasaan tak biasa. Degup jantungnya terus berdebat ketika mata mereka berdua saling bertemu.

Bayangan bayangan yang terjadi beberapa hari yang lalu selalu terlintas di kepalanya.

Hingga ia menginginkannya lagi.

"Jangan melamun. Bus udah dateng." Bara menepuk pundak Mila lalu ia bergerak ketika bus berhenti di depan mereka.

Bara membiarkan Mila masuk duluan, diikuti olehnya.

Ketika melihat tempat duduk, hanya satu kursi kosong di sana dan Bara membiarkan Mila untuk menempatinya.

"Karena aku lelaki maka kamu silakan duduk aja," ucapnya berlagak sok keren, Mila hanya tersenyum melihat Bara seperti itu.

Di sepanjang perjalanan Bara selalu menceritakan kisah lucu padanya. Hingga Mila tertawa dan dilihat oleh sekelilingnya.

Dalam hati Mila ia berandai andai jika saja Vian seperti Bara. Membuatnya tertawa dengan lelucon payahnya. Mungkin Mila tak akan terjebak dengan perasaan ambigunya.

Kini ia merasa lebih nyaman dengan Bara dibanding dengan Vian.

Mila tak menginginkannya, tapi hatinya berkata lain.

"Kamu gak apa apa sama ayahmu tadi?" tanya Mila ketika rasa penasarannya tidak terbendung lagi.

"Oh, tadi?" tanya Bara sedikit ragu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Udah biasa kok," jawabnya. Ia memaksakan senyumnya di balik hatinya yang terluka karena perlakuan kasar dari ayahnya.

Dan mulai dari sana Mila tidak bertanya lagi. Ternyata lelaki itu menyimpan rasa sakit yang banyak orang tidak ketahui.

**

Arini mulai tidak suka ketika Hilda terlihat lebih dekat dengan Vian dibandingkan dirinya.

Pasalnya, sejak ia mengajak Vian makan malam dengannya. Sikapnya kini sangat sok dan bersikap seolah dia adalah tangan kanan Vian.

Arini tahu watak wanita itu, bisa jadi dia akan merebut Vian dari tangan Mila.

Dari gerak geriknya. Dia tampak seakan menggoda lelaki tersebut.

Tak seperti biasanya, Hilda mengenakan rok pendek yang tingginya di atas lutut.

Badannya yang berisi memang sangat cocok apalagi dia sengaja mengenakan atasan ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya.

Wangi parfumnya tak seperti biasa. Dari itu Arini tahu jika wanita itu sedang mencoba untuk menggoda Vian.

Saat di pantry, Hilda masuk dan hendak membuatkan kopi untuk Vian. Dan saat itulah Arini masuk untuk berbicara pada Hilda.

"Apa kamu punyai niat lain ke Vian?" tanya Arini sinis.

Hilda berdecih kemudian tersenyum miring. "Kenapa? Apa kamu takut?" Ia mengaduk kopi yang ada di tangannya. "Apa kamu ingin bersaing sama aku?"

"Dasar perempuan gila," gumam Arini, "Silakan, coba aja kamu goda Vian. Lihat aja nanti apa yang akan kamu dapatkan setelah ini." Arini keluar dengan perasaan begitu kesal. Tangannya mengepal dan ingin sekali menampar wanita yang belum lama bekerja di perusahaannya.

Di koridor dia berpapasan dengan Vian.

"Vian!" panggil Arini.

"Kenapa Trid?" tanyanya.

"Mau makan siang sama aku?" ajaknya.

Dan saat itu Hilda muncul dari pantry dengan nampan berisi kopi dan roti bakar.

"Pak Vian gak makan siang hari ini. Dia cuma makan roti dan kopi." Hilda menunjuk nampan di hadapannya dengan matanya.

Arini menatap Vian dengan penuh tanya.

"Maaf Rin. Aku lagi gak selera makan akhir akhir ini."

"Oh. Oke."

Lalu Hilda mengekor di belakang Vian kemudian masuk ke dalam ruanganya berdua.

"Dasar ular berbisa," gerutunya.

Jika Arini terlambat menyelamatkan Vian. Pasti dia akan masuk ke dalam perangkap wanita tersebut.

**

Jaehyuk tidak masuk bekerja karena sakit, jadi hanya ada Sinta di dalam kafe tersebut.

"Hey, Mil! Bagus kalau kamu dateng lebih awal karena Jaehyuk gak masuk hari ini," kata Sinta.

"Kenapa sama dia?" tanya Mila penasaran. Tak seperti biasanya lelaki itu tidak masuk bekerja seperti ini.

"Sakit, barusan dia telepon aku katanya matanya lagi sakit," jawab Sinta.

Mila terdiam. Ia ingat dengan ucapan Jaehyuk beberapa hari yang lalu. Pandangannya beralih ke Bara yang langsung membantu Sinta mencuci gelas.

"Apa jangan jangan Jaehyuk tahu?" tanyanya pada diri sendiri. "Tapi mana mungkin," lanjutnya lagi.

"Kenapa Mil?" tanya Sinta. Ia memandang Mila yang tampak cemas.

"Aku mau jenguk ke tempat Jaehyuk sebentar." Setelah mengatakan kalimat tersebut Mila langsung melesat keluar kafe.

"Mil! Ini akhir pekan! Pelanggan pasti banyak yang datang!" teriak Sinta.

"Tenang aja, ada aku yang bantu kamu." Bara tersenyum sambil mengelap gelas yang telah dicuci oleh Sinta.

Dia tidak tahu apa yang sedang menimpanya denan Mila saat ini.