webnovel

Bukan Wanita Satu-Satunya

"Mila, kamu kah itu?"

Suara seorang pria paruh baya mengalihkan perhatian Mila.

Dan suara itu adalah suara ayahnya yang kebetulan sedang lewat di sana.

"Ayah udah kerja? Ayah sehat kan?" tanya Mila sembari menghampiri ayahnya.

"Iya ayah sangat sehat. Tapi apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu ke sini untuk menemui suamimu?"

"Ah, enggak. Aku cuma kebetulan mengantarkan pesanan kopi ke sini. Jadi sekalian aku buatkan untuk Vian," jawab Mila.

"Pak Deni mana properti yang ku minta?" ucap salah seorang staff produksi yang kebetulan melintas di sana.

"Ah iya, baik. Aku akan segera ambil," jawab Pak Deni.

"Maaf Mila, ayah hari ini sedang sibuk. Jadi kita lanjutkan nanti aja ya ngobrolnya," ucap Pak Deni kemudian berlari untuk mengambil barang yang di minta oleh tim produksi.

Bukannya pergi, Mila malah mengejar ayahnya.

"Apa yang kamu lakukan? Ayah kan sudah menyuruhmu untuk pergi," kata Pak Deni heran melihat putrinya malah mengikutinya ke gudang.

"Aku masih ada waktu, jadi aku akan membantu ayah sebentar. Lalu apa saja yang harus kita bawa?" tanya Mila.

"Hmm, baiklah kalau begitu. Kamu bisa bawakan kotak berisi bola-bola kecil yang ada di sana. Dan ayah akan membawa buku-buku ini," kata Pak Deni.

Mila lalu mengambil kotak yang di maksud oleh ayahnya.

Kemudian mereka keluar bersama untuk menuju ruang produksi.

"Kamu nggak keberatan kan membawanya Mila?" tanya Pak Deni yang mengkhawatirkan putrinya.

"Nggak ayah, Mila kan masih muda jadi masih punya banyak tenaga. Justru ayah sepertinya yang merasa keberatan," jawab Mila.

Dia memandangi ayahnya yang memang nampak kesulitan.

"Nggak, ayah sudah terbiasa," jawab Pak Deni.

"Apa pekerjaan ayah setiap hari memang sesulit ini?" tanya Mila tiba-tiba.

"Nggak ada pekerjaan yang mudah di dunia ini. Semua tergantung dari bagaimana kita menjalaninya. Dan ayah menikmatinya semua pekerjaan ayah selama ini,"

Jawaban dari ayahnya menyesakkan hati Mila.

Selama bertahun-tahun baru kali ini dia mengetahui apa pekerjaan ayahnya di perusahaan.

Dia pikir selama ini semua orang yang bekerja di sebuah kantor pasti bekerja dengan nyaman.

Tapi ternyata pikirannya selama ini salah.

Langkahnya terhenti, dia memandangi punggung ayahnya yang masih terus berjalan.

Mengapa baru kali ini dia tersadar jika ayahnya sudah semakin tua?

Bahkan sebelumnya dia masih tetap bekerja sambil menahan sakit kronisnya.

Sungguh tidak terbayangkan bagaimana kesulitannya ia selama ini.

"Kenapa kamu berhenti? Ruang produksinya masih di depan,"

Suara dari ayahnya menyadarkan lamunan Mila.

Dia bergegas menghampiri ayahnya dan kembali meneruskan perjalanannya menuju ruang produksi.

"Sampai di sini saja. Karena selain staff tidak boleh masuk," kata Pak Deni.

Dan Mila hanya mengangguk menuruti apa perkataan ayahnya.

Namun dia tidak langsung pergi dari sana.

Dia masih ingin melihat ayahnya.

Dari depan pintu yang sedikit terbuka, Mila melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Ayahnya terus mondar-mandir mengikuti interupsi dari para staff produksi.

Mereka terus saja menyuruhnya mengambil ini dan itu.

Sungguh pemandangan yang membuatnya miris melihatnya.

"Emang keterlaluan ya Pak Vian. Lihat tuh, mertuanya masih saja jadi kacung di perusahaan menantunya," kata salah seorang staff wanita yang berdiri di depan Mila.

"Iya kamu benar. Malah lebih parah lagi, kata orang-orang tadi istrinya ke sini mengantar pesanan kopi. Padahal dia istri direktur kenapa dia masih bekerja di kedai kopi kecil. Sungguh bikin malu saja," timpal wanita satunya.

Mila sungguh terkejut mendengar percakapan mereka.

Dia tidak menyangka jika orang-orang yang bekerja di sini sibuk menggunjingkan suami dan ayahnya.

Air mata Mila memaksa ingin keluar.

Namun sekuat tenaga ia tahan.

Karena tak sanggup lagi mendengar hinaan dari mereka Mila lalu keluar dari kantor.

"Apa sehina ini pekerjaanku dan ayah? Kenapa mereka memandang rendah pekerjaan kami? Apa salah kami?" gumam Mila.

Dia memandangi dirinya melalui kaca spion motor.

"Apa aku harus meminta Vian untuk menyuruh ayah berhenti bekerja? Aku bisa membiayai hidupnya dengan masih menjadi pekerja kafe. Tapi ayah pasti akan sedih jika tiba-tiba harus kehilangan pekerjaannya,"

Karena belum menemukan jawaban dari kebimbangannya akhirnya Mila putuskan untuk kembali ke kafe.

***

Vian memandangi interior kafe yang ia kunjungi.

Sejak ia bertemu dengan Mila beberapa bulan silam, ia terus saja terbayang wanita itu.

Entah apa yang ada di pikirannya, tapi saat ia tidak sengaja melihat bekas kafe yang dijual ia langsung membelinya.

Dan saat Mila menerima lamarannya, dia putuskan untuk memberikan kafe itu sebagai hadiah untuk wanita itu.

Baru hari ini kafe itu selesai di renovasi.

Kafe itu di design dengan nuansa minimalis.

Interior berwarna abu-abu dan putih serta tempat duduk berwarna merah maroon.

Dan terdapat jendela kaca besar di empat sisi sudut kafe.

Serta sebuah panggung mini untuk live musik.

Vian sangat puas dengan design kafe ini.

Dia tidak sabar ingin menunjukkannya kepada Mila.

Jadi istrinya itu tidak perlu lagi bekerja di sebuah kafe kecil.

Karena sebentar lagi dia akan memiliki kafe miliknya sendiri.

Sebelum pergi dari sana Vian mengamati papan nama kafe yang terpampang di luar gedung.

Memastikan tidak ada kesalahan dalam penulisannya.

Tempat itu Ia beri nama Mil's Cafe.

Semoga saja Mila suka dengan nama itu, pikir Vian.

Kini dia hanya tinggal menjemput Mila di tempat kerjanya.

Dia sangat tidak sabar menunggu reaksi dari wanita itu saat melihat hadiah kejutan darinya.

Tepat saat ia tiba di sana, Mila langsung keluar dari kafe tempat ia bekerja.

Dia lalu masuk ke dalam mobil Vian.

Meskipun Mila belum sepenuhnya melupakan kejadian siang tadi, tapi dia tidak ingin suaminya itu khawatir padanya.

Masalah yang ia hadapi cukup ia simpan saja untuk dirinya sendiri.

"Jadi kita mau ke mana?" tanya Mila saat mobil Vian mulai berjalan.

"Tunggu saja. Nanti kamu akan tahu," jawab Vian seadanya.

Sungguh dia bukan tipe orang yang pandai merangkai kata-kata manis.

Padahal bukan keinginnya untuk mengatakan hal dingin pada Mila.

Dia sudah terkadang berlatih untuk berbicara lebih manis, tapi saat dia sudah berada di depan wanita itu mendadak semua yang ia ucapkan berbeda dengan apa yang ia pikirkan.

Entah sampai kapan ia akan menjadi orang yang dingin seperti ini.

Namun ia berharap Mila akan menunggu hingga ia siap berubah menjadi orang yang lebih baik. Lalu Vian akan mempertimbangkan menjadikannya istri yang sebenarnya.

Mila mengerutkan keningnya saat mobil Vian tiba di pelataran pemakaman.

"Jadi dia mau mengajakku ke sini? Hmm bukan maksudku untuk menolak ajakannya mengunjungi mendiang istrinya. Tapi karena ternyata hal ini gak sesuai dengan ekspektasi ku saja," batin Mila saat ia ikut turun dari mobil Vian.

"Karena lewat sini, jadi kita mampir ke sini sebentar," kata Vian.

Lagi-lagi dia bisa tahu apa yang Milaa pikirkan tanpa harus menanyakannya.

Mila hanya memandangi suaminya yang tampak masih begitu mencintai mendiang istrinya itu.

Dia tidak tahu sampai kapan dia harus menjadi nomer dua setelah wanita itu.