webnovel

BAB 7

"Sakit, Kak," Clara mendekap pundak kirinya yang terkena bola.

Fajar menatap tajam kepada Roy yang berdiri bingung. Dan tanpa berpikir dua kali, Fajar menerjang Roy sampai jatuh terjerembab dan meninjunya berulang-ulang. Teman-teman mereka berkerubung tapi tidak ada yang melerai. Bahkan ada di antara mereka yang bersorak memberi semangat kepada kedua anak yang sedang bergulat itu.

"Fajar, Roy, hentikan!" teriak Corry.

"Kakak, jangan…" Clara juga berteriak.

Tapi mereka berdua seperti tuli. Mereka tetap bergulat di tanah. Kadang Fajar yang di atas, kadang Roy. Satu jotosan kuat mendarat di wajah Roy. Darah mengalir dari hidung dan sudut bibirnya.

"Fajar!!!" bentak Corry. Ia menarik paksa tangan Fajar yang seperti kesetanan. Roy bangkit hendak memukul lagi tapi Corry segera berdiri menghadang di tengah mereka.

Pak Handoko datang tergopoh-gopoh.

"Bapak terlambat. Dari mana aja, Pak?" omel Corry. "Toni, ayo, bawa Roy ke UKS."

Pak Handoko menggaruk kepalanya bingung.

Toni dan beberapa temannya memapah Roy ke UKS.

"Kamu!" Corry menuding wajah Fajar. "Berdiri di tengah lapangan itu sampai saya memanggil kamu nanti."

"Saya tidak salah, Bu," seru Fajar.

"Saya melihat sendiri kejadian tadi. Kamu keterlaluan. Berdiri di sana dan tunggu keputusan guru tentang hukumanmu." Seru Corry tegas.

Fajar berjalan gontai ke tengah lapangan. Matahari bersinar terik.

"Kamu nggak apa-apa?" Corry menatap Clara.

"Nggak, Bu. Tapi…" Clara memandang kakaknya yang berdiri sendirian di tengah lapangan di bawah terik matahari dan ditonton banyak orang.

"Kakakmu bersalah. Dia harus dihukum," Corry menyibakkan lengan baju Clara dan terkesiap mendapati bahu gadis itu sudah membiru lebam.

"Ayo, kita ke UKS dulu, Ra." Ajak Corry.

"Tapi Roy juga salah, Bu," kata Clara.

"Iya, dia pasti dihukum juga. Tapi kamu lihat tadi darah di hidungnya? Dia harus diobati dulu." Kata Corry.

Sesampai di UKS, Suster Aida tengah membersihkan luka Roy. Clara duduk.

"Ada kompres untuk lebam, kan, Sus?" tanya Corry.

"Ada, Bu. Di lemari obat paling atas," jawab Suster Aida.

Corry mengambil benda dimaksud dan menempelkannya ke lebam di bahu Clara.

"Sakit?"

"Agak perih, Bu," jawab Clara.

"Tahan sebentar, ya," kata Corry. "Ibu keluar dulu."

Clara mengangguk

***

"Saya harus bertemu orang tuanya Fajar dan Roy!" kata Corry tegas. "Fajar sudah keterlaluan."

"Kita perlu minta pendapat dari Kepala Sekolah, Bu," kata Bu Winda. "Nggak ada cara lain?"

"Cara lain bagaimana? Saya wali kelasnya jadi saya perlu bicara dengan orang tua mereka. Mereka harus diskors." Kata Corry.

"Diskors?" ulang Bu Winda.

"Saya setuju," kata Pak Handoko dan Pak Daniel kompak.

"Tapi ingat, orangtua mereka donator sekolah kita, lho," Bu Nadia mengingatkan. "Jangan sampai urusannya nanti jadi panjang."

"Kepala sekolah juga nggak ada, gimana dong?" kata Bu Sari.

"Saya yang tanggung jawab!" kata Corry tegas sambil melangkah ke luar kantor menuju UKS. "Siapkan saja suratnya, Bu."

"Bagaimana, Suster?" tanya Corry setelah sampai di ruang UKS.

"Darahnya udah berhenti mengalir, Bu. Dan sudut bibirnya udah saya jahit," jawab Suster Aida.

"Robek?"

"Iya, Bu. Cuma sedikit sih."

Corry menghampiri Roy yang masih berbaring di dipan. "Gimana, Jagoan?"

Roy beringsut sedikit dengan muka meringis. Sudut matanya memar dan ada lebam di pelipisnya.

"Kita ke rumah sakit, ya!" kata Corry.

Roy menggeleng dengan cepat. Ia agak susah berbicara karena mulutnya masih kebas karena pengaruh bius.

"Ya, udah, kamu istirahat aja dulu di sini, nanti kalau Ibu panggil, kamu datang, ya!" pesan Corry sebelum keluar.

"Baik, Bu." Jawab Roy patuh.

Corry mendekati Fajar yang langsung menunduk saat melihat gurunya datang. Tak ada lagi ekspresi marah di wajahnya. Ia sudah siap dimarahi.

"Fajar, ada yang sakit, Nak?" tanya Corry lembut.

Tenggorokan Fajar tercekat. Bukannya marah, tapi Bu Corry malah menanyakan keadaannya dengan suara lembut. Ia mengangkat wajahnya lalu menggeleng.

"Tadi kalian saling tinju, saling gebuk, masa nggak ada yang sakit?" tanya Corry.

"Benar, Bu, nggak ada," jawab Fajar.

Corry meraba wajah Fajar dan memeriksa setiap sudut. "Benar nggak sakit?"

Fajar mengangguk. Sikapnya tetap tegak.

"Bu…" seorang siswa perempuan mendekat. "Kata Bu Nadia, orang tuanya Fajar sudah datang, Bu."

"Iya, terimakasih, Nak."

Siswa tersebut berlalu. Corry menatap Fajar. "Kamu tahu kan kalau ayah kamu sibuk? Kamu sendiri yang bilang. Tapi karena ulahmu, dia harus meninggalkan pekerjaannya. Dia mungkin akan kehilangan miliaran keuntungannya karena waktunya habis di sini. Pikirkan itu!"

Fajar terdiam. Ia kembali menunduk.

"Ibu masuk dulu, ya," Corry menepuk pundak Fajar. "Ibu mau ketemu ayah kamu dulu."

Laki-laki itu duduk membelakangi pintu sehingga Corry tidak dapat melihat wajahnya saat ia memasuki ruang tamu sekolah. Tapi saat mereka berhadapan, ia mengingat bahwa laki-laki itu adalah orang yang bersama kepala sekolah beberapa waktu yang lalu dan yang membawa Clara ke rumahnya.

Laki-laki itu masih muda dan tampan. Widya benar. Laki-laki itu muda dan berkharisma. Umurnya berkisar antara 35 sampai 40 tahun.

"Selamat siang," laki-laki itu berdiri dan menyalami Corry. "Saya Frans Utama."

"Orangtuanya Fajar, kan?" Laki-laki itu mengangguk. Corry menjabat tangannya sekilas tapi ia dapat merasakan kekuatan genggaman tangan laki-laki itu. "Silakan duduk. Saya Corry, wali kelasnya Fajar."

"Saya datang untuk memenuhi panggilan dari sekolah."

"Tentunya Anda sudah tahu apa masalahnya, kan?"

"Bahwa anak saya berkelahi dengan temannya," jawab Frans.

"Kalau saja permasalahannya sesederhana itu." Kata Corry. "Fajar berkelahi dengan Roy yang menyebabkan Roy terluka."

"Tentunya takkan ada asap kalau tak ada api, kan?" balas Frans. "Fajar tidak akan berbuat begitu kalau tidak ada penyebabnya."

"Ya, dia akan menghajar siapa saja yang mengganggu keluarganya. Itu ajaran dari Anda, kan?" kata Corry.

"Saya tadi sudah melihat anak saya dihukum di tengah lapangan," Frans tidak menjawab perkataan Corry. "Apa itu tidak cukup?"

"Itu cuma pemanasan. Dia akan diskors!"

"Diskors?" ulang Frans. "Sampai sebegitunya? Itu nggak adil."

"Adil?" Corry mendelik. "Dia hampir membunuh Roy, Anda bilang itu tidak adil?"

"Tapi anak saya hanya membela dirinya dan adiknya. Kenapa cuma dia yang dihukum?"

"Mereka berdua dihukum." Kata Corry tegas.

Terdengar pintu diketuk. Mereka berdua sama-sama menoleh. Roy berdiri di depan pintu. "Selamat siang, Bu."

"Masuklah," kata Corry.

Roy masuk dan berdiri di samping meja Corry.

"Anda lihat anak ini?" Corry menunjuk Roy. "Dia korban kebrutalan anak Anda dan ini sudah yang kedua kalinya." seru Corry.

Frans mendekati Roy. Ia juga tampak terkejut melihat kondisi Roy yang babak belur. "Maafkan anak saya, Nak. Dia pasti punya alasan melakukan itu."

Corry mempersilahkan Roy duduk.

"Saya akan bertanggung jawab. Saya akan membawanya ke rumah sakit dan menanggung biaya pengobatannya."

"Ya, tentu saja." kata Corry. "Masalahnya bukan hanya biaya. Orang tua Roy tidak kekurangan. Mereka juga sanggup membiayai Roy. Ini masalah tanggung jawab."

"Saya tahu," kata Frans.

Pintu kembali diketuk. Fajar berdiri di sana dengan kulit kemerahan dipanggang matahari. Frans langsung berdiri menyambutnya.

"Fajar…"

"Daddy," Fajar dengan nyaman memeluk ayahnya erat. Corry dapat melihat kedekatan ayah dan anak itu.

"Sekarang Anda bisa tanya cerita sebenarnya. Mereka berdua ada di sini," kata Corry. "Dan jangan lupa, saya ada di sana saat kejadian."

Frans memandang Corry lama tapi gadis itu tidak bergeming. Ia balas menatap tajam. Akhirnya pandangannya beralih kepada kedua anak yang duduk berjauhan di sofa yang sama.

"Fajar, ada apa tadi?" tanya Frans.

"Tadi dia," Fajar menunjuk Roy. "Mainnya curang. Fajar memaki dia tapi dia malah melempar bola. Fajar ngelak tapi bolanya malah kena sama Rara."

"Saya nggak bermaksud melukai Rara. Saya nggak sengaja," sela Roy.

"Anak saya hanya ingin membela adiknya," kata Frans.

"Tapi dia tidak boleh main hakim sendiri. Kalau tadi saya nggak ada di sana, entah bagaimana nasib Roy," kata Corry.

"Tapi anak saya sudah dihukum. Apa itu tidak cukup?"

"Cukup?" emosi Corry mulai naik lagi. "Bagaimana dengan Roy? Bibirnya robek dan harus dijahit. Apa setimpal dengan hukuman berdiri di tengah lapangan?"

"Tapi tidak harus diskors, kan?" sergah Frans.

"Diskors?" Roy dan Fajar berseru bersamaan. Mereka berpandangan.

"Iya, diskors," Corry mengalihkan pandangannya kepada kedua muridnya itu. "Itu kan yang kalian mau? Dan selama diskors kalian bisa merenung dan memperbaiki sikap kalian."

Bu Nadia memasuki ruangan sambil membawa dua buah amplop. "Orang tua Roy berhalangan hadir hari ini, Bu. Mereka sedang di luar kota."

Corry memandang Roy.