Seragam putih abu adalah identitas Rumi kalau hari Senin datang begini. Ia sama dengan yang lainnya. Harus duduk mendengarkan apapun yang dikatakan oleh gurunya dan mencatat lalu mengerjakan semua tugas yang diberikan. Ia akan mulai terbebani kalau bel pagi berdering, lalu bebannya mulai hilang dipikul pundak bersama langkah kaki yang berjalan pulang ke rumah tercinta. Dulunya memang nyaman, tetapi untuk sekarang, ia tinggal seorang diri. Tentu saja, duka masih melekat di dalam dirinya. Semalam, ia tidur meringkuk di bawah selimut, kedinginan dengan badan yang terasa begitu sakit. Hatinya pasti terluka, itu sebabnya dia merasakan hal aneh pada raganya juga.
Satu poin penting dari semuanya, Rumi harus mulai mencari pekerjaan paruh waktu yang ekstra untuk bisa melanjutkan sekolah dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Ia tak bisa terus berdiam diri dengan pemikiran yang kalut dan hati yang berkabut. Cepat atau lambat, keadaannya pasti akan berubah. Ekonomi semakin sulit jika ia terus hidup sebagai parasit begini. Bibinya kemarin pergi, selepas mengumbar janji. Katanya akan membiayai hidup Rumi sampai dua bulan ke depan. Selama itu, Rumi harus memutar otak untuk melanjutkan kehidupannya.
"Ini buat lo." Seseorang mengejutkan Rumi. Gadis yang sedari tadi fokus menatap tulisan yang ada di depannya itu, kini mulai mendongak dan menatap siapa kiranya yang baru saja membuyarkan fokus milik dirinya saat ini.
Ah, Genta. Dia adalah Genta Aditya Aji. Orang-orang biasa memanggilnya dengan Genta. Si juara satu yang pandai dalam semua hal di sekolah ini. Ia adalah kapten basket, juga ketua OSIS yang mengurus banyak hal. Terlalu sibuk untuk berurusan dengan gadis-gadis di sekolah mereka, itu sebabnya jika ditanya pasal status hubungan, Genta adalah di jomblo tampan yang tak punya tambatan hati. Lantas ketampanan yang ada di dalam dirinya, hanyalah pajangan tak berguna. Ia tak pernah memanfaatkan itu dengan benar. Genta bukan tipe pemuda yang suka tebar-tebar pesona dengan cara yang murah.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Rumi tersenyum aneh. Ia menarik sekaleng minuman dingin yang dibelikan oleh Genta untuknya.
"Mencacat sesuatu?" --tanya apa, menjawab apa. Ya, itulah si remaja tampan berhidung lancip dengan mata elang yang tajam dan alis legam menyiku di kedua ujungnya. Genta ini tergolong jajaran pria tampan, selaras dan sejajar dengan kekasih Rumi. Sayangnya, mereka punya kepribadian yang berbeda.
Gilang, kekasih Rumi adalah remaja yang tergolong tak acuh jika sudah berada dalam dunianya sendiri. Kadang kala, pria itu tak mau tau dan tak mau ikut campur ke dalam urusan sang kekasih. Rumi bak orang yang putus cinta, mau pergi jauh, bersama pria lain, ia tak tega meninggalkan Gilang begitu saja. Namun, kalau dituruti begitu terus, hati Rumi lama-lama yang hancur.
"Gue harus mencari kerja paruh waktu," ucapnya dengan nada melirih. Kesal? Mungkin sedikit. Tuhan tak memberi Rumi banyak waktu untuk menyelami semua kekesalan yang ada di dalam hatinya. Gadis itu sudah dipaksa untuk kembali berdiri selepas jatuh tersungkur di atas tanah. Kejamnya, Tuhan benar tak menyisakan orang baik di sekitar Rumi yang benar dekat dengan gadis itu. Rasanya, ketidakadilan bertubi-tubi menghantam Rumi. Mau marah, tetapi pada siapa?
Semua yang terjadi, tentu bukan salah Bi Nana, adik kandung dari ibunya. Jauh dari ini, ia sudah menjadi seorang wanita penghibur. Nana melarang Rumi untuk tidak ikut dengannya adalah cara yang bijak. Ia tak mau Rumi rusak bersamanya.
"Ah, benar juga. Gue turut berduka cita, Rumi. Nenek lo pasti tenang dan mendapatkan posisi yang paling baik." Genta tersenyum manis. Ia menepuk-nepuk pundak temannya dengan ringan. Sesekali mengusapnya untuk memberi energi positif pada teman sekelasnya ini.
"Gimana sama Gilang?" tanyanya lagi. Ia membuat Rumi kembali memusatkan pandangan mata untuk dirinya. "Maksud gue ...." Genta menghentikan sejenak kalimatnya. "Ah, sudahlah. Itu gak penting."
Mendengar kalimat itu, Rumi hanya bisa tersenyum tipis. Ia tak mengatakan apapun selepasnya. Rumi bukan orang yang mau mencurahkan isi hati pada orang lain. Ia lebih suka memendam semuanya sendirian. Akan lebih baik begitu.
"Meskipun lo sibuk kerja paruh waktu, jangan lupa untuk fokus belajar. Sebentar lagi, kita akan ujian nasional. Jangan sia-siakan itu, oke?" Remaja jangkung itu kembali tersenyum manis. Ia membuat Rumi yang tadinya hanya diam membisu kini mulai menatap ke arahnya dengan teduh. Genta adalah pemuda yang baik. Siklus hidup yang diumar olehnya pun selalu bernilai positif. Dari keluarga yang mapan, ayah ibu lengkap mendukung semua yang Genta cita-citakan. Semua yang ia ingin, didapatkan dengan mudah. Kebahagiaan lengkap dengan segala prestasi yang ia miliki. Itu sangat berbanding terbalik dengan Rumi. Hidupnya sudah bak pasien sekarat yang dengan bodoh, meminta Tuhan untuk memberi napas yang lebih panjang.
"Hm, tentu saja."
"Jika ada apa-apa, lo bisa bilang ke gue. Gue akan membantu sebisa mungkin. Jangan sungkan sebab kita tak terlalu akrab sebelumnya," imbuhnya lagi. Ia kembali membuat Rumi tersenyum ringan. Genta tahu, Rumi bukan tipe gadis yang banyak berbicara. Hanya sesekali saja, ia berbicara pada orang asing. Selebihnya, Rumi selalu berbicara pada orang-orang tertentu saja. Genta bukan termasuk orang 'tertentu' itu.
Sekarang pandangan mata Rumi kembali menatap kertas yang ada di depannya. Melanjutkan aktivitasnya dengan Genta yang mulai menatap sekeliling. Taman belakang sekolah, memang sepi. Apalagi kalau bukan jam istirahat begini. Eh, tapi jangan salah. Rumi dan Genta tak sedang mangkir dari pembelajaran. Kebetulan aja, waktu sedikit memberikan kelonggaran untuk kelas mereka tak mendapatkan guru hari ini. Jadi Rumi memilih untuk menyisih dari keramaian dan datang kemari.
"Ada waktu luang di akhir pekan?" Genta kembali membuka suaranya. Lagi-lagi sukses menarik perhatian Rumi.
"Tidak, emangnya kenapa?"
"Katanya lo mau cari kerja paruh waktu, gue ada kenalan yang mungkin saja cocok sama lo. Mungkin itu bisa jadi bahan pertimbangan." --Remaja yang benar-benar baik! Genta sempurna dengan kepribadiannya. "Jadi, kalau lo mau, gue antar ke tempat temen gue untuk kalian bisa mengobrol."
Rumi tak pernah absen dari senyumnya. "Tentu. Makasih banyak."
Genta mengangguk. "Ngomong-ngomong, kenapa pria yang bersandar di sisi gerbang belakang sekolah itu terus menatap ke arah kita?" tanya Genta tak mengerti. Ia mengarahkan pandangan mata tepat tertuju pada sisi pintu gerbang belakang sekolah.
"Bukankah gerbangnya selalu terkunci?" tanyanya lagi. Kali ini sukses menarik perhatian Rumi untuk menatap ke arah yang sama.
Rumi diam sejenak. Wajah pria itu tak asing! Rumi bertemu dengannya kemarin!
"Mr. Tonny Ayres?" Mata Rumi menyipit. Benar! Itu pria yang sama!
"Hah? Lo kenal dia?"
... To be Continued ...