Beruntung, ponsel Putri berbunyi di saat yang tepat. Dia permisi untuk menerima panggilan setelah mempersilakan Gilang duduk di kursi teras. Selama menelepon, Putri hanya menjawab iya dan baik, Bu. Panggilan berakhir, Putri kembali berhadapan dengan Gilang. Namun, kini wajahnya sengaja dibuat seperti sedang merasa bersalah.
"Maaf, Pak Gilang, saya tidak bisa pergi dengan Bapak. Tadi, Ibu saya telepon, minta agar saya menyusul ke acara hajatan," jelasnya panjang lebar.
Sebenarnya, Asih menelepon bukan untuk minta disusul. Dia hanya berpesan agar Putri tidak usah masak banyak dan makan malam duluan. Acara hajatan yang dihadiri Asih dan anak-anak panti masih lama, sehingga akan pulang terlambat. Mereka juga sudah tentu mendapatkan makanan dari tuan rumah. Namun, demi menghindari Gilang, Putri terpaksa mencampurkan kebohongan dengan kebenaran.
"Ah, ya, ya. Tidak apa, lain kali saja kalo begitu," sahut Gilang sok bijak. Namun, dia masih tak menyerah. "Atau mau saya antar?" tawarnya.
"Tidak bisa, Pak," sergah Putri cepat. "Kasian, Bapak, soalnya saya mau mandi dulu. Lagi pula tempat acaranya itu masuk jalan sempit. Mobil enggak bisa lewat. Saya entar pakai ojek online saja," jelasnya lagi.
"Ya sudah. Kalo begitu, saya permisi," pamit Gilang.
Dia pun segera meninggalkan panti dengan hati dongkol. Sementara Putri masuk ke panti sembari menghela napas lega. Namun, untuk berjaga-jaga, Putri tetap akan memesan ojek online setelah mandi, lalu pergi ke gang sempit untuk membeli bakso langganannya. Gadis itu khawatir Gilang tidak percaya dan diam-diam mengawasi.
Usai mandi, Putri langsung memesan ojek online. Untunglah, dia tak perlu lama menunggu. Putri pun segera berangkat menuju warung bakso langganannya. Baru 5 menit meninggalkan panti, dia seketika bersyukur.
Ternyata, dugaan Putri tepat 100 persen. Meskipun terlihat melaju dengan alami, mobil Gilang tengah menguntit. Jika Putri tidak memiliki kewaspadaan tinggi, tentu tidak akan menyadarinya.
Ojek berbelok ke jalan sempit. Mobil Gilang tidak bisa lagi mengikuti. Namun, entah kenapa Putri merasa belum bisa tenang, seperti ada firasat buruk. Benar saja, Gilang benar-benar nekat. Pemuda itu terlihat turun dari mobil dan memilih berjalan kaki. Ojek juga tidak bisa melaju kencang di jalan yang banyak anak-anak.
"Apa yang harus kulakukan?" gumam Putri dalam hati saat warung bakso sudah terlihat.
Putri mengedarkan pandangan. Rupanya, keberuntungan masih berpihak kepadanya. Tak jauh dari warung bakso, ada rumah yang sedang hajatan. Dia pun minta diturunkan di depan rumah tersebut.
Setelah membayar ongkos, Putri memasuki rumah dengan santai. Dia juga menyapa beberapa orang, bertingkah seperti tamu undangan lain. Putri menghabiskan waktu sekitar 15 menit untuk memastikan Gilang benar-benar sudah tak lagi mengawasinya, barulah ke luar dari rumah hajatan.
"Ck! Hampir saja. Memang berurusan dengan serigala sangat menyusahkan. Hidungnya terlalu tajam untuk mengendus kebohongan," gerutu Putri sembari berjalan ke arah warung bakso.
Seperti hari-hari biasa, warung bakso langganannya ramai. Tak banyak kursi kosong yang tersisa. Putri pun memilih bangku panjang di depan etalase kaca, lalu duduk di sebelah seorang gadis muda. Namun, baru saja meletakkan pantat di bangku, dia tercekat.
"Lho, Mbak ini temennya si julid yang benci tari tradisional itu, 'kan?" sapa Putri.
Ya, gadis muda berkemeja cokelat yang duduk di sebelahnya adalah Tiana. Putri menjadi refleks teringat kejulidaan Rani. Namun, dia mendadak merasa bersalah ketika melihat wajah sendu Tiana. Jika dipikir-pikir lagi, gadis itu justru membela tari tradisional saat Rani menghina dulu.
"Ah, anu ... soal sahabat saya, maafkan dia, ya, Kak. Ada alasannya kok dia sampai seperti itu," sahut Tiana dengan suara bergetar.
Ya, sesayang itu dia dengan Rani. Setelah bertengkar hebat dan sampai saat ini masih perang dingin, Tiana tetap mencoba memperbaiki nama sang kawan. Sementara Putri menjadi sedikit penasaran. Jika mengingat Rani begitu sombong dan anti dengan kemiskinan, terlalu aneh melihat sahabat si julid itu makan jajanan pinggir jalan. Dia jadi terpikirkan untuk memancing Tiana.
"Enggak masalah juga, sih, Mbak. Tapi, aku juga mau terima kasih. Kalo enggak salah, mbaknya sempat membela tari tradisional," sahut Putri ramah.
Tiana tampak terharu. Dia sekali mengucapkan maaf dan juga berterima kasih karena Putri tidak membencinya. Setelah saling memperkenalkan diri, Putri terus mengajak Tiana mengobrol sambil sesekali menyantap bakso. Baru 10 menit berlalu, mereka sudah terlihat sangat akrab seperti sudah bersahabat sejak kecil.
Ya, membuat lawan bicara menjadi nyaman dan menceritakan apa saja memang keahlian Putri. Sekarang, dia menjadi tahu penyebab sikap angkuh Rani dan kebencian gadis itu terhadap tari tradisional. Putri menjadi sedikit iba terhadap nasib Rani.
"Orang tua kadang malah menghancurkan anak sendiri seperti orang tua temen Dik Tiana, tapi masih banyak orang tua yang juga luar biasa support," komentar Putri usai Tiana bercerita. Dia terdiam sejenak sebelum kembali bicara. "Meksipun mereka sudah tidak ada, aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti bapak dan ibuku. Mereka benar-benar mendukung dan memfasilitasi cita-citaku yang ingin menjadi penari terbaik," tambahnya.
"Saya turut berduka cita, Mbak."
"Tidak apa. Meninggalnya juga sudah lama." Oleh karena suasana berubah melankolis, Putri cepat mengalihkan pembicaraan. "Kalo cita-cita Dik Tiana, apa?" tanyanya.
Tiana menggaruk kepala dengan pipi merona. "Aku ingin menjadi pelukis yang mendunia, Mbak. Tapi, kayaknya masih jauh deh dari harapan," sahutnya, lalu menyengir lebar.
"Yang namanya menggapai cita-cita pasti perlu proses. Yang penting kita terus memberikan usaha terbaik," nasehat Putri.
Wajah Tiana semakin semringah saat memperlihatkan foto-foto lukisannya. Putri menilainya dengan objektif, bahkan bisa menunjukkan kelebihan dan kelemahan lukisan secara mendetail. Api semangat dalam dada Tiana terasa berkobar-kobar. Sekarang, dia mengerti kenapa Aldi bisa menyukai gadis itu dibandingkan Rani. Rasa nyaman tidak bisa dibandingkan dengan kecantikan semata. Mereka terus mengobrol hingga bakso di mangkok telah habis. Mereka saling berpamitan setelah saling bertukar nomor ponsel.
***
Ruang kerja Direktur Keuangan diwarnai dengan tawa bahagia tiga "serigala" menyebalkan. Putri merasa jengah, tetapi harus berpura-pura ikut terkena euforia. Dia sudah memasang wajah penuh senyum sejak tadi pagi. Bimasakti, Broto, dan Gilang memang tengah merayakan keberhasilan proyek.
Putri ikut berada di sana karena diminta untuk mengambil berkas yang harus segera diserahkan kepada Dirja. Dia pun menerima berkas sambil terus berekspresi seperti abdi setia. Namun, Putri menggunakan sedikit trik untuk mengintip isi berkas. Hatinya langsung terbakar amarah meskipun bibir tetap tersenyum. Ya, dia menemukan hal mengerikan dalam dokumen, rencana penggusuran rumah warga dengan cara tidak manusiawi dan ganti rugi yang tidak masuk akal.
Rasa geram membuat tubuh menjadi panas. Putri tahu tak akan kuat menahan emosi jika terus berada di antara para serigala busuk itu. Akhirnya, dia permisi dan bergegas menuju pintu.
"Tunggu, Putri!" seru Bimasakti membuat jantung Putri seakan berhenti berdetak.
"Iya, Pak Bima?" Putri kembali ke hadapan Bima yang tampak mengacak-acak dokumen lain di meja.
"Saya liat dulu berkas yang kamu mau kamu bawa."
Putri bertambah bingung. Namun, Bimasakti tak terlalu peduli. Dia merebut berkas, lalu memisahkan beberapa lembar dokumen dari map, tepat di bagian-bagian kezaliman terhadap rakyat kecil. Kini, berkas proyek itu hanya berisi poin-poin yang bersih dari konspirasi kotor.
"Nah, sekarang kamu bisa serahkan kepada presiden direktur untuk ditandatangani," titah Bimasakti.
Putri pun meninggalkan ruangan direktur keuangan. Namun, Dirja sedang tidak berada di tempat. Sekretarisnya menerima berkas dan meminta Putri kembali besok. Setelah berterima kasih, dia kembali menuju ruangan Bimasakti untuk melaporkan perkembangan berkas tersebut.
Gelagat aneh Bimasakti yang tampak ketakutan jika berkas lengkap diterima Dirja membuat Putri penasaran. Dia pun mengatur strategi untuk memancing Bimasakti, Gilang, ataupun Broto agar membeberkan informasi penting.
"Oh iya, Pak, maaf kalo saya lancang," tutur Putri hati-hati.
Bimasakti mengerutkan kening. "Iya, ada apa?"
Putri tampak mengatur napas sejenak, sebelum bersikap sok polos."Berkas yang tadi kenapa tidak diberikan semua, padahal bagian yang tadi Bapak tinggal idenya sangat bagus, keuntungan bisa berkali lipat," pancing Putri.
Gilang tergelak. "Iya untungnya bagus, tapi kalo diliat Eyang Dirja bisa mampus kami, Put."
Putri mengerutkan kening. "Kok, bisa, Pak? Harusnya, kan, Pak Dirja malah seneng gitu," tanyanya dengan wajah yang benar-benar tampak polos.
"Apa kau tidak tau sejarah perusahaan ini, Put? Eyang Dirja dan Om Dirga itu sangat mencintai keadailan dan kejujuran. Mereka paling anti dengan rencana kami," jelas Gilang.
"Ah, dulu juga Pak Dirja marah sekali pas proyek Mall Maju Jaya, 'kan?" celetuk Broto, membuat telinga Putri seketika berdiri.
"Ya, ya, padahal aku hanya memilih cara praktis dan efisien, tapi Papa dan Bang Dirga malah membenciku. Kadang, aku tak mengerti pemikiran mereka. Arunika dan Syailendra itu hanya orang luar, tapi seperti lebih berharga daripada anak dan adik sendiri. Cih! Ya, memang ada sedikit kesalahan sehingga mereka mati," gerutu Bimasakti ringan, seolah nyawa manusia yang melayang hari itu bukan hal berharga.
Putri sempat terpaku untuk beberapa detik. Beruntung, tiga pria jahat itu sedang asyik mengolok-olok kebijakan Dirja dan mendiang Dirgantara sehingga tidak menyadari perubahan raut wajahnya. Dia pun bisa kembali berpura-pura antusias dengan kisah kejam itu, bahkan ikut memuji-muji kebengisan Bimasakti. Ada rasa perih bercampur malu bergejolak dalam dada. Selama ini, Putri ternyata telah memendam dendam kepada orang yang salah. Sekarang, dia mengerti kenapa Aldi dan Sulistyawati meminta untuk mengamati dengan benar.
"Emangnya Pak Dirja sama Pak Dirga ini punya cara lain gitu, Pak? Tapi kurang bagus dan tidak efisien begitu?" komentar Putri setelah berhasil menguatkan hati.
"Iya, mereka ingin merelokasi dulu, tapi itu memerlukan biaya dan waktu lebih banyak. Menurutku, sangat tidak efisien," sahut Bimasakti.
"Sulit memang kerja sama dengan makhluk sok jujur seperti Dirga itu, Bim. Untung saja, dia sudah kau singkirkan. Sayang sekali memang, Aldi dan Shinta selamat. Bocah sialan sok suci itu malah membuat putriku tergila-gila," timpal Broto.
Putri semakin tercengang. Ternyata, kekejaman Bimasakti jauh lebih mengerikan. Saudara sendiri pun dibunuh demi ambisi. Sebenarnya, dia masih ingin bertanya, tetapi ponsel Bimasakti tiba-tiba berbunyi. Lelaki itu menerima panggilan cukup lama, lalu mengajak Gilang dan Broto pergi dan berpesan kepada Putri untuk memeriksa beberapa dokumen.
Sepeninggal, tiga serigala busuk itu, Putri tercenung. Dia tak mungkin bisa memeriksa dokumen dengan keadaan tidak stabil. Beruntung, jam kerja sudah habis. Putri segera kembali ke ruangannya untuk membereskan barang-barang, lalu pergi ke taman yang tak jauh dari kantor.
Begitu sampai di sana, dia menumpahkan tangis penyesalan. Tubuhnya bergetar hebat. Bayangan wajah sedih Aldi, Sulistyawati, dan Shinta terasa mencekik.
Tik Tik Tik
Seolah semesta mengerti kesedihannya, langit juga ikut menumpahkan air mata. Rinai hujan mencumbu bumi. Putri tak mengacuhkannya. Dia hanya terdiam sembari menatap hampa bunga-bunga di taman yang mulai basah. Namun, secara mendadak tetesan air dari langit tak lagi menyentuh tubuhnya. Hawa panas tubuh terasa begitu dekat, membuat Putri refleks berbalik dan seketika tersentak.
***