webnovel

Vanilla Latte

Suara tawa yang begitu keras terdengar dari mulut Jeremi ketika pria itu membaca keseluruhan isi dari berkas yang diberikan Zefa. Sepasang mata Zefa dan Estevan saling beradu pandangan ketika melihat sikap Jeremi yang membingungkan sekaligus memalukan, Estevan menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Ada masalah apa, Pak Jeremi?" Dengan sebuah senyuman melengkung dibibirnya.

"Jika kalian ingin bekerja sama, kalian harus...." Jeremi sengaja memotong ucapanya dan menata kearah Zefa dengan tersenyum.

Estevan sudah tidak tahan lagi melihat sikap mesum dari Jeremi. Disaat ia hendak bangkit dari tempat duduknya, dengan cepat tangan Zefa memegang tangan Estevan yang berada diatas meja dengan tujuan menahan pria itu agar tidak mengamuk di restoran ink. Sontak Estevan mengarahkan maniknya kearah Zefa yang masih tenang dengan situasi saat ini, perlahan Estevan kembali meredam amarahnya yang hampir di ledakkannya. Estevan meneguk air dingin di atas nakas.

Amarah Estevan sudah mereda sekarang Zefa yang bertindak. Ia tersenyum kepada Jeremi lalu berkata, "Bagaimana? Apakah anda setuju?" Sambil membuka satu kancing bajunya.

Dengan cepat tangan Jeremi menyambar sebuah bolpoin yang di pegang Anza dan menandatangi sebuah dokumen kontrak lalu mengembalikannya kepada Estevan. "Saya harap bisa bekerja sama dengan perusahaaan Zorger Company dalam waktu yang lama." Jeremi tersenyum kearah Estevan lalu mengalihkan pandangannya kearah Zefa.

Zefa mengangguk serta senyuman dibibirnya perlahan memudar beriringan dengan Jeremi yang beranjak dari tempat duduknya. 'Kau harus membayar dengan harga yang mahal.' Zefa bangkit dari tempat duduknya lalu mengikuti Estevan yang berjalan berdampingan dengan Jeremi sedangkan dirinya berjalan bersebelahan dengan Anza dibelakang bos mereka.

Anza mendekat kearah Zefa lalu berbisik. "Aku akan selalu mengawasimu dan tidak akan membiarkanmu melukai Tuan Jeremi."

"Sejak kapan aku berniat melakukan itu kepada bosmu?" Zefa menjawab ucapan Anza dengan datar lalu ia menoleh kearah pria berkaca mata disebelahnya serta menghentikan langkahnya.

Anza juga menghentikan langkahnya dan menatap kearah Zefa.

"Lagi pula aku tidak berniat mengotori tanganku untuk pria bajingan sepertinya." Setelah mengatakan kalimat pedas seperti itu Zefa menatap tajam Anza yang sedang terkejut dengan perkataannya barusan lalu berjalan meninggalkan pria itu.

'Ternyata orang pintar adalah orang yang paling menakutkan, aku harus selalu mengawasi Tuan Jeremi.' Anza berlari menghampiri Jetemi yang sudah berajalan cukup jauh.

~

Didalam perjalanan pulang setelah melakukan pertemuan dengan Jeremi, didalam mobil Estevan mengendurkan dasi yang dari pagi mengikat lehernya dan menghempaskan punggungnya di kursi. "KENAPA KAU MENGHENTIKANKU TADI?" bentaknya sambil memejamkan matanya serta menyandarkan tengkuk kepalanya disandaran kursi.

Zefa yang sedang bermain game rubik menjawab dengan tenang, "Bukankah anda sendiri yang bilang kalau client tadi adalah client kita yang penting? Jadi saya juga harus melaksanakan tugas saya sebagai Sekertaris kantor."

"AKH!" Estevan menendang kursi di depannya sampai membuat sopir yang duduk di depan Zefa berjengkit terkejut.

'Benar, dia sendiri yang mengatakannya.' Zefa mengingat ulang kejadian satu jam lalu tepatnya saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke restoran.

Di depan lampu merah, mobil yang mereka kendarai berhenti. Zefa yang sedang membalas pesan dari Agus langsung menghentikan apa yang sedang dilakukannya saat itu, lalu menoleh kearah Estevan.

"Dengar, client kita saat ini sangatlah penting. Jika kita bisa mendapatkan tanda tangan dari pria itu, perusahaan akan berkembang dengan pesat karena saham yang di berikannya sangatlah tinggi."

"Lalu jika dia tewas. Apakah perusahaan masih bisa mendapatkan uang dari saham yang diberikan Pak Jeremi?"

"Perusahaan milik Jeremi masih memberikan memiliki kontrak saham dengan perusahaan Zorger selama lima tahun jadi walaupun pria itu mati tidak akan berpengaruh bagi perusahaan. Tugas kita hanya membuatnya menandatangi kontrak untuk kerja sama."

"Baik, Pak Estevan."

Saat dilayarnya tertulis kata 'Game Over' Zefa tersadar dari pikirnya dan saat itu juga mereka tiba di depan kantor perusahaan. Zefa bergegas turun dari mobil lalu membukakan pintu sebelum Estevan bergerak membuka pintunya sendiri. "Silankan, Pak Estevan."

Estevan keluar dari mobil dan tidak mengatakan apapun kepada Zefa lalu berjalan masuk kedalam kantor.

Zefa tidak memperdulikan sikap Estevan padanya, ia menutup pintu lalu melihat jam arloji yang ada ditangannya. "20.10 saatnya pulang." Zefa menggantungkan tali tas keatas pundaknya lalu berjalan ke arah mobilnya.

"Fa."

Sebelum Zefa membuka pintu mobil, ia menoleh ketika mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. "Agus, apa yang kau lakukan disini?"

Agus tak menjawab pertanyaan dari Zefa, tangannya langsung meraih tangan Zefa yang terluka serta menatapnya dengan cukup lama. "Aku tahu kau ingin sekali mati tapi, jangan pergi saat ini juga."

Zefa menarik tangannya dengan pelan. "Kau berlebihan," jawabnya dengan dingin. Di belakang Agus juga terlihat seorang pemuda asing yang belum di kenalnya.

Zefa tidak mengatakan apapun kepadanya namun, Agus langsung paham dengan apa yang dipikirkan sahabatnya itu. "Dia Lucas, kau tidak pernah bertemu dengannya karena dia bekerja pada malam hari, mungkin dia akan bekerja di hari sabtu dan minggu saja. Dia juga salah satu pekerja yang rajin dan dapat dipercaya," puji Agus sambil merangkul lengan Lucas.

"Anda berlebihan bos," jawab Lucas yang tersipu malu.

"Kapan aku bertanya padamu?" Zefa menatap datar wajah Agus dan hendak membuka pintu mobil namun, ditahan oleh sahabatnya itu.

Agus mendorong pintu mobil Zefa agar tertutup kembali lalu menatap wajah dinginnya. "Bukankah sudahku bilang kalau aku akan mengantarmu pulang?"

Zefa berdecak kesal, ia mengarahkan kunci mobilnya ke tangan Agus yang sudah menengadah. "Ini, bawa dengan pelan." Lalu kedua kaki jenjang gadis itu melangkah pergi meninggalkan Agus dan juga Lucas.

Agus mengoper kunci milik Zefa kepada Lucas dan berkata, "Bawa, jangan sampai rusak sebab jika ada satu garis kecil di mobilnya kau akan terbunuh." Setelah itu Agus menyusul Zefa yang pergi meninggalkan Lucas.

Lucas masih terdiam sambil memperhatian kunci dengan gantungan bunga matahari di tangannya itu. "Apakah dia Sekertaris Zefa? Tidakku sangka jika dilihat dari dekat dia terlihat lebih cantik." Senyuman gemas terukir diwajah Lucas, ia segera masuk kedalam mobil milik Zefa. "Bahkan didalam mobilnya juga tercium wangi vanila, tenang Seketraris Zefa. Aku akan membawa mobilmu ini dengan sangat hati-hati," gumannya setelah mengendus bau mobil milik Zefa, Lucas menepuk pelas kemudi mobil lalu menjalankannya.

To Be Continued...