webnovel

Counting Stars

Zefa mendengarkan setiap cerita dari Gregorio dengan menopang dagu ke atas telapak tangan sambil terus memperhatikan pria itu hingga sampai mie yang dipesannya telah datang.

'Sebelum berangkat aku berfikir untuk menikmati makam malamku dengan tenang dan sepertinya aku harus melupakannya terlebih dahili bocah ini sepertinya sangat semangat menceritakan kisahnya' batin Zefa dan tibalah saat Gregorio diam, Zefa langsung melontarkan perkataan. "Sebelumnya kau harus makan dulu, kau tidak akan bisa hidup jika tidak makan." Sembari mendorong mie yang masih hangat ke depan Gregorio.

Gregorio tersenyum saat melihat Zefa yang meperhatikannya. "Terima kasih, tapi ngomong-ngomong berapa umurmu? Kau terlihat seperti anak SMA tapi pemikiranmu sangat dewasa sekali."

Setelah Zefa menelam mie yang ada di dalam mulut dia menjawab, "Umurku duapuluh lima tahun."

Seketika itu kedua alis Gregorio terangkat serta matanya melebar saat mendengar perkataan Zefa yang mengejutkan. "Du-dupuluh lima tahun?"

Zefa mengangguk. "Ya." Melihat wajah Gregorio yang syok Zefa dapat menyimpulkan. 'Aku yakin dia pasti kaget karena kaku pendek' batin Zefa.

'Wah, aku tidak menyangka kalau Zefa sebenarnya adalah seorang wanita biasa tapi wajahnya terlihat seperti anak SMA, meski dia jarang tersenyum' batin Gregorio yang masih syok saat mengetahui umur Zefa yang sebenarnya.

Zefa mengabaikan ekspresi yang diperlihatkan Gregorio kepadanya dan terus fokus dengan makan malam saat ini sebab setelah makan malam dia masih harus melihat beberapa dokumen yang diberikan Lucas tadi siang. 'Benar, aku harus segera menghabiskan ini dan cepat pulang'

"Oh ya, apakah kau punya nasehat agar aku dapat meraih mimpiku?" tanya Gregorio yang sedang membutuhkan kata-kata bijak.

Zefa meneguk soda yang berada di atas nakas kemudian berkata, "Untuk apa kau berusaha karena pada akhirnya akan membuang waktu dan untuk apa juga kau berusaha kalau pada akhirnya gagal? Apakah kau belum sadar kalau usahamu itu pasti akan gagal? Kita ditakdirkan untuk menjasi manusia yang gagal jadi kau tidak perlu berusaha dengan keras."

Mendengar perkataan Zefa, Gregorio langsung tertawa sebab menurutnya perkataan Zefa sangatlah bijak sekaligus menyindir dirinya yang selalu gagal karna kurang berusah. 'Aku yakin kalau Zefa hanya ingin aku lebih berusaha oleh karena itu dia berkata seperti itu'

'Aneh' batin Zefa sambil menggeleng heran.

Disaat tengah menikmati makan malamnya, Gregorio yang sedang menuduk tidak sengaja melihat cincin yang ada di jari manis Zefa. 'Apakah dia sudah menikah? Haruskah aku bertanya?' Dan setelah menimbang-nimbang akhirnya Gregorio bertanya, "Apakah kau sudah menikah?"

Zefa mengangkat kepala saat mendengar pertanyaan Gregorio. "Apa?" tanya balik Zefa yang bingung sambil mengangat satu alisnya.

"Ya, itu karena aku melihat cincin di jari manismu jadi aku berfikir kalau mungkin saja kau sudah menikah."

"Oh ini." Zefa mengangkat kelima jari lalu memperhatikan jari manisnya. Terlihat disana sebuah logan dengan ukiran bunga matahari melingkar tepat di jari manisnya. "Aku belum menikah tapi, aku mendapatkan cincin ini dari orang yang berharga untukku."

"Wah, pasti akan sangat menyenangkan jika ada seseorang seperti itu di hidupmu," kata Gregorio lalu memakan mie yang sudah menggantung di sumpit. "Lalu bagaimana keadannya sekarang? Pasti dia sehat da...."

"Dia telah tiada," potong Zefa cepat. Dia sedang tak ingin berbasa-basi mengenai kematian kekasihnya dan kembali menikmati makanan di mangkuknya.

Seketika itu juga Gregorio langsung meletakan sumpit ke atas mangkuk. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu."

"Tak apa, kejadian itu juga sudah terjadi lima tahun lalu," jawab Zefa tenang seolah dia tak lagi merasakan kenangan yang menyakitkan itu.

'Aku benar-benar merasa bersalah karena bertanya seperti itu kepada Zefa tapi, apakah orang itu kekasihnya?' batin Gregorio seraya menatap Zefa yang telah menghabiskan makanannya.

Zefa mengusap mulut dengan tisue lalu bangkit dari tempat duduk. "Hari ini aku akan mentraktirmu tapi saat kau bertemu denganku, kau yang harus mentraktirku."

"Kau mau kemana?"

"Pulang, tetaplah bernafas walaupun dunia ini terasa berat." Zefa menepuk bahu Gregorio kemudin berjalan keluar dari kedai.

Gregorio tersenyum saat melihat Zefa yang melambaikan tangan ke arahnya ketika melewati jedela samping tempat duduknya, perlahan dia menudukkan kepala dan kembali menikmati mie di depan. 'Beruntung sekali, aku dapat bertemu dengan orang sepertinya meski dia tidak mengingatku' batin Gregorio seraya memandang uang Zefa yang berada di bawah mangkuk.

~

Sesampainya di rumah, Zefa teringat dengan seseorang yang menghubunginya saat di penjara. Zefa mengeluarkan ponselnya kemudian melihat kotak telfon terbaru.

"Oh pak Evan, kenapa dia menghubungiku?" tanya Zefa saat melihat nama bosnya dari layar ponsel.

Tanpa pikir panjang Zefa langsung menghubungi Estevan dan tak lama kemudian pria itu menerima telfon dari Zefa. Tanpa berbasa-basi Zefa langsung bertanya, "Halo pak, saya sekertaris Zefa ad..."

"BAGAIMANA BISA KAU TIDAK MENERIMA TELFON DARI ATASANMU?" tanya Estevan yang memotong perkataan Zefa.

Zefa langsung menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar bentakan dari Estevan. 'Aish! Lihatlah pria ini, tidak bisakan dia berkata dengan lembut kepada seorang wanita? Tenang Zefa tenang' batin Zefa dengan mengepalkan tangan.

Zefa menghela nafas panjang untuk menghilangkan emosinya dan saat suasana emosinya sudah stabil barulah Zefa menjawab, "Tadi ada keperluan mendadak jadi saya tidak sempat menerima telfon dari Anda."

"Apakah kau tidak mendengar berita kalau Gregorio, artin yang baru debut itu sedang berada di Jakarta?"

'Oh pantas saja aku merasa tidak asing dengan namanya, ternyata Gregorio adalah seorang artis' batin Zefa yang teringat dengan nama artis muda itu. "Besok saya akan menghubunginya dan memintanya menandatangani kontrak."

"Baiklah, aku serahkan semua padamu." Tepat setelah itu Estevan mematikann telfon secara sepihak dan membuat Zefa langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.

Dia menatap langit kamar sambil bergumam, "Aku sangat malas melihat dokumen yang dikirim Lucas. Berarti tadi aku sedang berbicara dengan seorang artis? Tapi dimataku dia hanya seorang anak remaja yang tidak bahagia."

Setelah itu Zefa menatap kearah nakas yang berada di sampingnya lalu meraih foto Joshua dan dirinya. Perlahan buliran air mata keluar dari salah satu matanya saat melihat foto Joshua yang tersenyum.

"Lihatlah pria garang ini, kenapa kau harus pergi secepat itu?" Senyum tipis mulai melengkung di bibir Zefa tepat setelah dia mengusap air matanya. "Kau tahu, meski sudah lima tahun berlalu aku masih sangat merindukanmu. Rasanya sudah sangat lama sejak aku tak bisa melihatmu lagi, jika ada kesempatan untuk kedua kalinya pasti aku tidak akan menyia-menyiakanya."

Tak lama setelahnya Zefa menjatuhkan pigura kesamping ranjang kemudian menutup kedua mata dengan lengannya. "Sungguh sangat miris sekali hidup seperti ini tapi, seperti inilah takdir itu."