webnovel

Fireworks

Segerombolan senior itu tengah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Ada yang bermain game, bercanda, bercerita atau hanya sedang mendengarkan saja. Namun salah satu seorang senior tidak sengaja melihat kearah Zefa, Maria dan Agus.

Ia merasa asing dengan wajah seorang gadis yang berada di tengah itu. "Ri. Siapa gadis di tengah itu? Kok aku gak pernah lihat wajahnya. atau jangan-jangan dia murid baru?" tanya senior itu kepada teman di sebelahnya yang bernama Ari.

"Hah? Seorang Joshua gak tau nama cewek yang ada di tengah itu?" tanya Ari yang sontak terkejut seraya menoleh ke arah Joshua.

"Ye.. kalau aku tahu, aku gak bakalan nanya bodoh!' sosor Joshua. Ia pun kembali memusatkan atensi ke arah ketiga adik kelasnya itu.

Biasanya, Joshua selalu ingat pada setiap siswa yang pernah berpapasan dengannya meski hanya satu kali. Namun, ia belum pernah melihat siswi yang satu ini.

Ari pun lantas menujuk ke arah Zefa dengan dagunya. "Tuh yang di tengah namanya Zefa, dia tuh gadis yang paling pinter di kelasnya. Dia memang jarang keluar kelas makanya jarang banget ada yang tahu dia. Sekalinya keluar, pasti di sangka anak baru," papar Ari. A

Joshua menganguk-anggukkan kepalanya. 'Pantes aja baru kelihatan' batin Joshua. Ia kemudian memusatkan kembali semua kefokusannya pada rekan sekelas dan mengabaikan ketiga adik kelasnya yang masih menimbang apa mereka akan melewati perkumpulan teman-temannya atau tidak.

"Gimana nih jadi gak?" tanya Maria. Ia menyenggol lengan kanan Zefa yang masih nampak bingung dan canggung, jika harus melewati orang-orang yang tengah asik mengobrol itu.

"Mereka cuma senior kelas Zefaaa... Gak bakal gigit," sambung Maria untuk mencoba menyakinkan.

Namun Zefa malah berfokus kepada seseorang beralis tebal—tampan dengan rahang tegasnya seolah mengatakan, bahwa ia adalah orang yang paling berkuasa.

Sejenak, sampai terbesit dalam pikiran Zefa, bahwa siapa saja yang berpacaran dengan wajah seperti tukang rentenir itu, jelas hidupnya tidak akan tentram.

"Ngapain lihat-lihat Joshua? Suka?" tanya Agus.

"Hm? E-enggak, wajahnya kelihatan garang aja, jadi agak sungkan kita lewat sana," sahut Zefa.

"Pantes aja sih, dia kan anak kepala sekolah, namanya Joshua," jawab Maria. Ia menghela napasnya sembari menepuk bahu Zefa. Maria kenapa merasa bahwa saat ini, ia tengah membawa murid baru di sekolahan ini serta memperkenalkannya kepada semua orang.

Zefa memang keterlaluan. Masa iya ia tidak kenal dengan Joshua si penguasa sekolah.

"Tenang Zefa kan ada aku kalau dia macem-macem," seloroh Agus. Ia menujuk dirinya sendiri sembari membusungkan dada. Walau Zefa benar-benar tidak bisa fokus kepada Agus.

Ia paling anti jika harus bertemu, berpapasan atau berbicara dengan Kakak kelas.

Melihat Bimo saja sudah membuat ia ingin makan hidup-hidup Kakaknya. Namun naas, sekarang ia juga harus melewati segerombolan senior itu.

"Ayo," ajak Maria. Zefa menghela napas berat, ia mempersiapkan mentalnya untuk melewati para senior itu bersama dengan Maria dan Agus. Walau detik yang Zefa harapkan dengan semakin terkikisnya jarak antara mereka dan dirinya.

Tepat saat ia melewati Joshua yang baru ia temui ini. Pria tersebut tiba-tiba saja berteriak hingga Zefa terlonjak kecil "Hei Zefa!" panggil Joshua.

Agus dan Maria spontan berhenti, meski si pemilik nama melanjutkan perjalanan tanpa menoleh sedikitpun. Sudah sesuai perkiraan dirinya, bahwa ini merupakan situasi buruk jika ia bersikukuh untuk lewat. Seharusnya, Zefa tetap teguh dengan pendirian, dan tetap diam di dalam kelas tadi.

Apalagi Joshua spontan mengikuti Zefa sampai kedua temannya saling bersinggungan lengan.

"Gimana nih?" bisik Maria.

"Gak tahu," balas Agus.

"Hei Zefa, sombong banget, temannya kemana?" tanya Joshua. Ia mengguratkan senyuman yang memamerkan barisan gigi putih tatkala Zefa baru menyadari, jika kedua temannya tertinggal di belakang.

'Aish kenapa mereka malah berenti' gumam Zefa. Ia kemudian lekas berbalik arah serta menghampiri kedua temannya. Akan menjadi masalah besar dan panjang jika ia meninggalkan mereka.

Zefa pun lantas menarik lengan Maria dan Agus bersamaan dengan menunduk sejemang kepada para senior yang memusatkan atensi kepada mereka bertiga.. "Maaf-maaf, permisi kak, kami mau lewat," ucapnya.

Joshua menyeringgai tatkala melihat tingkah Zefa yang langsung melewati dirinya sembari terus menyeret kedua temannya untuk berlalu pergi.

"Sadar gak sih, kalau si Zefa tuh gak ngelirik Joshua sama sekali?" ucap Erick. Joshua terkekeh tatkala temannya itu langsung membicarakan dirinya kepada rekan lain.

Joshua juga sama sadarnya saat tadi Zefa sama sekali Menghindari kontak mata dengannya. Ia lekas duduk kembali di samping Erick yang menepuk bahunya lembut.

"Padahal, Joshua kita ini ganteng ya kan? Hampir setengah cewek di sekolah ini naksir sama dia," bualnya.

"Nah bener juga kata Erik, kalau Zefa sampai gak ngelirik ke arah Joshua, berarti Lu gak ganteng lagi Bro," ejek Ari. Ia tiba-tiba saja tergelak tawa sampai Joshua bergernyit sebab Ari benar-benar kelewat batas ketika mengejek rekan sekaligus atasannya.

"Diam kalian!" tekan Joshua. Keduanya spontan membekap mulut ketika Joshua dengan raut wajah seriusnya itu mulai menyeramkan. Keheningan tiba-tiba saja melanda para senior tersebut, termasuk Joshua yang mulai memikirkan perkataan kedua temannya.

Benar juga apa yang Ari dan Erik katakan. Apa kharismanya berkurang atau ia kurang tampan sampai tidak bisa mencuri perhatian Zefa hanya dalam satu tarikan?

"Eh, tadi apa yang kalian bilang? Dia siswi pintar di sekolah?" tanya Joshua memastikan. Ari dan Erick saling bertukar pandang ketika Joshua mulai tertarik dengan topik yang satu ini. Padahal, mereka baru saja bertemu hanya dalam kurun waktu beberapa puluh detik.

"Ya, bisa dibilang begitu," sahut Ari. Joshua menyeringgai samar serta mulai bergelut kembali dengan pikirannya sendiri.

"Baik, ayo kita lihat seberapa pintar dia."

***

Zefa menunggu kedua temannya yang tengah memesan paket komplit beserta miliknya. Ia duduk sendirian di sebuah kursi meja kantin dan mengedarkan pandangan gusar.

Ini baru pertama kalinya lagi setelah menginjak kelas sebelas ia pergi ke kantin. Biasanya, Agus dan Maria sering membawa makanan ke kelas. Bukan dirinya yang kini pergi sendiri untuk menjemput makanan hingga Zefa hinggap di kanting kurang ramai, lantaran belum semua kelas masuk jam istirahatnya.

"Nih susu pisang kesukaan mu," ucap Maria. Ia lekas mendudukan diri di samping Zefa yang mengembangkan senyumnya tatkala Maria menyodorkan susu pisang kemasan.

"Lain kali, gak usah berhenti kalau dipanggil senior guys," ucap Zefa mewanti-wanti.

"Udah si, di bahas mulu," sahut Agus. Ia ikut mendudukan diri setelah membawa tiga mangkuk bakso dalam nampan. Maria lantas menarik satu mangkuk miliknya, begitupun dengan Zefa yang melakukan hal sama.

"Tahu nih si Zefa, dibahas mulu. Gak bosen apa?" sahut Maria. Zefa mendesis kepada kedua temannya yang benar-benar tidak pengertian. Ia menyedot habis susu pisang pemberian Maria serta meremas kotak tersebut untuk menyalurkan amarahnya.

"Kalian... Susah di kasih tahu," cetusnya. Agus dan Maria spontan tidak berkutik tatkala Zefa sudah sangat serius. Mereka memilih untuk fokus kepada makanan mereka.

Sebab Agus dan Maria juga tahu persis. Bagi Zefa, berurusan dengan kakak kelas adalah hal yang paling ribet baginya. Ia yang terbiasa sendiri merasa terbebani dengan keadaan saat ini, bahkah saat acara-acara yang berkaitan dengan senior di sekolahnya ia lebih memilih membuat surat izin dan tidak masuk sekolah.

Zefa sungguh tidak ingin berurusan dengan senior yang rata-rata belagu karena merasa bahwa mereka orang yang paling berpengalaman.

Ia kemudian menatap tajam kedua temannya itu. "Bagaimana mungkin kalian bisa diam saat senior itu memanggilku? Kalian harusnya ikut saja aku," ulangnya.

Sefa menghakimi mereka berdua, termasuk ia yang menekan semuanya kepada Agus yang spontan tersedak, tatkala amukan Zefa kini beralih kepadanya.

"Gus, kamu bilang tenang dan ikut aja karena kamu akan jaga aku? Tapi apa hah? Tadi aja merunduk kayak toge layu?" nyinyir Zefa.

"Tapi Fa, para adik kelas lainnya juga diem saat para senior itu bicara jadi kita ikutan diem," elak Maria. Ia dengan santainya melahap sebuah bakso kecil tatkala Zefa membesar-besarkan masalah yang terasa biasa saja.

"Aish kalian yah... Tahu begini aku tetap akan tidur di kelas," sahut Zefa.

Perasaannya saat ini tidak enak sekali.

***

Maria, Agus dan Zefa melewati jalan yang sama dan kali ini lorong tempat berkumpulnya para senior terlihat sepi. Dengan santai mereka melewati lorong tersebut. Setibanya di kelas Zefa langsung berjalan menuju ke bangku kesayangannya.

Walau ia merasa terheran, lantaran sebuah kotak kecil berada tepat di atas mejanya. Ia sontak mengangkat benda tersebut serta menelisiknya lebih seksama.

"Apaan tuh?" tanya Agus. Ia langsung duduk di kursi kosong sebelah kanan Zefa, memperhatikan kotak yang sama membuatnya ikut merasa penasaran.

"Gak tahu," sahut Zefa. Ia tidak terlalu peduli dengan isian dari kotak itu. Dirinya memilih untuk meraih tangan Agus kemudian meletakkan kotak itu tepat di atas telapak tangannya.

"Nih ambil." Zefa terlalu sungkan untuk membuka kotak tersebut. Ia memilih untuk menarik Buku-buku yang ada di dalam lack meja serta menumpuknya hingga dada dan lekas menyadarkan kepada di atasnya untuk lekas tertidur kembali.

"Lho, kenapa aku?" tanya Agus.

"Ambil aja," sahut Zefa malas.

"Emang gak penasaran sama isinya Zef?" tanya Agus kembali.

"Enggak, udah sana pergi Gus. Hus hus," usir Zefa. Ia mengibas-ngibaskan tangan kanannya. Walau Agus mendesis sebab Zefa jika sudah bertemu dengan kursi dan meja miliknya. Ia pasti akan tertidur.

Agus kemudian memilih untuk menghampiri Maria yang sudah bergulat dengan make up serta alat tempur jerawat miliknya.

"Mar, mau buka gak? Ada yang kotak ini sama Zefa," ucap Agus.

"Apa ini?" tanya Maria.

"Kurang tahu, mungkin kontak pandora yang mengubah kehidupan seseorang?"

To Be Continued...