webnovel

Best Wedding Games

"Bawa mereka ke ruangan itu!" perintah Daris lagi menunjuk sebuah ruangan yang masing-masing disekat oleh kain. Preman itu dengan patuh menuruti ucapan bos mereka. Memperlakukan mereka dengan kasar, tak peduli pria ataupun wanita. Hanya satu yang Daris inginkan yaitu kehancuran mereka semua.

Miow26xyz · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
32 Chs

11- Ibu Hamil Aneh

Chapter 11 : Ibu Hamil Aneh

**

Suara tidak mau dibantah tetap terdengar meski sudah berulang kali mereka membujuk sang ibu hamil agar melupakan keinginannya. Bukannya apa, setelah es krim terpenuhi, sekarang Arisha kembali membuat mereka kebingungan bagaimana mewujudkannya.

"Gue nginep di tempat lo ya, Dan. Mau ya, pokoknya harus mau!" Nada memelas hingga tak ingin dibantah kembali terdengar dari mulut Arisha Shasmira membuat mereka semakin kewalahan untuk menurutinya.

"Boleh sih tapi kan.." Danifa bukannya menolak hanya saja ia bingung. Keadaannya sudah berbeda dengan dulu. Semua gara-gara Daris. Danifa diusir dari rumahnya dan segala fasilitasnya di cabut sedangkan Fadhil dimarahin habis-habisan oleh keluarganya dan sempat diasingkan. Namun untunglah kesengsaraan mereka semua tidak berlangsung lama. Mereka masih bisa menyewa rumah kontrakan kecil-kecilan dan cukup layak ditinggali. Mereka berhemat. Apalagi untuk biaya wisuda yang tak sedikit.

"Kamar di rumah gue cuma dua, Sha. Satunya kecil banget. Lo mau tidur dimana dong?" Danifa mencoba menjelaskan, bukannya menolak, ia justru sungkan jika Arisha tidur di rumahnya. Pasti Arisha akan kesulitan tidur. Bagaimana tidak, dari kecil Arisha memang dilimpahi kekayaan. Hidupnya tercukupi, pastinya Arisha tidur nyenyak di kasur yang nyaman. Bukannya kasur kapuk yang akhir-akhir ini ia tiduri.

Arisha terdiam. "Kita tidur di kamar lo, Dan. Yang laki-laki tidur di luar, ya ya." Arisha memelas lagi. Memohon agar mereka mau. Danifa yang juga tidak tega pun mengangguk. Apalagi ia sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama sahabatnya. Ada sesuatu yang ingin Danifa ceritakan tapi selalu tidak memiliki waktu yang tepat.

Akhirnya mereka pun mengangguk dan segera pergi ke rumah Danifa karena hari pun sudah malam. Sesampainya mereka disana, Arisha langsung mendudukkan dirinya di kursi dengan nyaman. Ia memperhatikan sekelilingnya. Ia yakin kalau Danifa merasa tidak nyaman tinggal disini. Arisha tahu kalau Danifa juga dari kecil disuguhi dengan kemewahan. Pasti ini pun berat dijalani oleh Danifa.

"Minum dulu." Irsan menyodorkan segelas susu ibu hamil yang ia beli di alfamart terdekat sekaligus membeli beberapa cemilan dan kopi untuk mereka menonton pertandingan bola.

Arisha meminumnya sekali teguk karena ia juga kehausan. Ia sedikit mengernyit ketika merasakan rasa susu yang tidak pas di lidahnya. "Aku mau yang vanilla. Gak suka strawberry." Kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya. Arisha menatap Irsan ingin melihat reaksi lelaki itu, namun tampaknya Irsan biasa-biasa saja.

"Habisin dulu yang ini baru beli yang baru," jawab Irsan sabar. Mau tak mau Arisha mengangguk. Setelah minumnya habis, Irsan segera mencuci gelas yang dipakai agar tidak merepotkan Fadhil dan Danifa.

Danifa keluar dari kamar membawa bantal dan selimut lalu meletakkannya di ruang tengah. Ia berjalan menghampiri Arisha yang masih duduk. "Bantal sama selimut udah gue taroh, seadanya aja ya," ujar Danifa tak enak.

"Gak masalah, maaf repotin." Danifa mengangguk. Ia melirik pada Arisha yang sudah meminum susunya. Biang kerok dari semua masalah yang tiba-tiba terjadi hari ini. Mulai drama es krim hingga ingin menginap.

"Kamu tidur, sudah jam 11 ini." Irsan menghampiri Arisha setelah mencuci piring. Mendengar ucapan Irsan, Arisha segera bangkit berdiri dan masuk ke kamar bersama Danifa. Tak lama, Naila keluar dari kamar mandi setelah buang air dan ikut bergabung dengan kedua sahabatnya.

Irsan mendekati Emyr dan Fadhil yang sudah duduk di depan tv dengan cemilan yang ia beli tadi ditemani secangkir kopi. "Maaf repotin kalian."

"Wajar aja bumil," jawab Emyr yang tak terlalu mempermasalahkan keinginan istri temannya yang aneh. Dengan santainya ia mencomot keripik kentang rasa sapi panggang.

"Apa yang mereka lakuin ke elo, San?" Tanya Fadhil memecah keheningan. Sedari tadi ia memang gatal ingin bertanya, namun selalu tidak memiliki kesempatan. Ia pun kurang nyaman jika harus bertanya mengenai 'luka' yang dibuat oleh Daris. Semakin mereka mengungkitnya, kebencian itu makin besar.

"Gue disodorkan minuman yang dicampur obat. Gue dimasuki ke kamar yang ternyata ada Arisha disana. Lo pasti tahu apa yang terjadi kan? Semuanya terjadi begitu saja." Irsan menerawang kembali kejadian kelam tersebut. Amarahnya tiba-tiba saja naik. Keinginan membalas dendam pada Daris kian kuat. Ia ingin Daris juga merasakan kehancuran yang sama dengannya.

"Apa hubungannya sama Arisha dan temannya?" Emyr bertanya setelah ia diam-diam mendengarkan.

"Gue masih mencari tahu."

"Bokap lo gimana, Dhil?" Fadhil menghela nafas. Kepalanya ia sandarkan pada pinggiran sofa. "Bokap marah, asingin gue. Danifa juga. Ya gitu kami melarat sekarang. Lo?" Tanya Fadhil balik pada Emyr.

Mendapat pertanyaan seperti itu Emyr terdiam sebelum kembali memakan keripik kentangnya. "Bokap gue? Seperti biasa, gak peduli," jawab Emyr acuh meski di dalam hatinya ia sakit.

Irsan dan Fadhil terdiam. Tidak berbicara lagi. Mata mereka fokus ke arah satu benda yang menampilkan pertandingan bola. Namun pikiran mereka melayang kemana-mana. Hidup mereka berubah meski ada beberapa yang tidak berubah. Emyr merasakannya.

***

Naila menatap Arisha dengan pandangan sedih. Diantara mereka memang Naila yang paling sensitif hatinya. Wajar saja Naila hidup di tengah keluarga yang dibesarkan oleh kasih sayang dan cinta. Berbanding terbalik dengan suaminya, Emyr.

"Terus mama lo gimana, Sha?"

"Gue gak tahu. Mereka gak pernah hubungin gue lagi. Papa gue bahkan usir gue dari rumah. Siapa yang mau nerima anak yang sudah hamil di luar nikah? Orang tua gue udah terlanjur kecewa, Nai." Arisha menangis sesegukan. Danifa yang juga tak teha memeluk sahabatnya memberi kekuatan. Beda halnya dengan Naila yang ikut menangis. Bahkan tangisannya lebih keras dibanding Arisha.

"Pernah gue mau gugurin anak ini tapi gue sadar. Anak ini gak salah, untung saja Tuhan buka pikiran gue waktu itu kalau enggak gue gak tahu lagi gimana. Bisa-bisanya gue mikir mau bunuh anak gue sendiri...." Tangis Arisha semakin pecah. Danifa yang berusaha menahan pun akhirnya lepas juga. Malam itu mereka menceritakannya, berharap masih ada harapan, berbagi duka bersama.

"Papa mama gue gak tahu masalah apa yang terjadi. Emyr datang dan tiba-tiba melamar. Dia bilang dia udah jatuh cinta sama gue dan takut terjadi apa-apa. Emyr meyakinkan kedua orang tua gue meski mama gue sekarang beda." Gantian Naila yang bercerita.

"Gue nikah sama Emyr di KUA. Mama gue bahkan menjauh dari gue waktu itu. Gue gak pernah---" Sesegukan itu membuat Naila kesusahan melanjutkan ucapannya. Namun Arisha dan Danifa tahu kalau Naila sakit. Berpisah sehari dengan mamanya saja, Naila menangis apalagi kalau didiamkan oleh mamanya dan menjauh saat hari pernikahan anaknya. Naila tidak bisa mendeskripsikan secara gamblang bagaimana perasaannya.

"Udah dong, udah jam segini tidur ya," bujuk Danifa. Ia tak ingin bercerita, cukup ia menyimpannya sendiri. Lagipula mereka butuh penguat. Kalau semuanya sedih, tidak ada yang bisa menghibur.

"Jelek tahu!"

"Ish lo, Dan. Gue masih cantik gini," kata Arisha tak terima. Ia menghapus air matanya.

"Cantik? Iya sih tapi sedikit melar," kata Naila polos. Arisha semakin memberengut tidak suka. Biasanya apa yang dikatakan Naila memang kebenaran. Anak yang satu itu diantara polos dan bodoh.

"Kampret!"

"Eh bumil gak boleh ngumpat, gak baik tahu," tegur Danifa. Arisha yang sudah kesal merebahkan dirinya. Diikuti oleh Naila dan Danifa. Mereka satu ranjang bertiga. Saling mengobrol hingga mereka terlelap.

Pukul 1 malam.

Arisha terbangun. Perutnya kelaparan minta diisi. Ia menoleh ke kanan melihat Danifa yang tidur memeluk guling membelakanginya sedangkan sebelah kiri ada Naila yang meringkuk. Arisha ingin membangunkan, namun ia juga tidak tega. Ia bangun dengan hati-hati agar tidak membuat keduanya terbangun.

Tiba-tiba saja Arisha ingin nasi goreng.

Di ruang tamu yang merangkap ruang keluarga itu ada Irsan, Emyr dan Fadhil yang tidur di depan televisi. Bungkus makanan berserakan. Bekas cangkir kopi yang tersisa masih disana. Arisha mengigit bibirnya bingung. Ia tidak membawa dompet otomatis ia tidak punya uang. Lagipula mau beli pakai apa dirinya? Jalan kaki? Di pukul satu dini hari? Oh tidak membayangkan banyak preman dan begal berkeliaran membuatnya bergidik.

"Arisha?"

Suara itu membuat Arisha terlonjak kaget.

"Ngagetin aja sih!" Teriak Arisha reflek membuat mereka yang terbuai dalam alam mimpi bangun.

"Kenapa?"

"Maling!" Teriak Naila yang keluar kamar dengan rambut berantakan.

"Dimana malingnya?" Tanya Danifa yang sudah siap dengan sapu ditangannya.

Mereka melongo.

"Kok bengong sih?"

"Kalian ngapain?" Tanya Emyr dengan suara serak khas bangun tidur. Dirinya masih mengantuk.

"Kan ada maling. Arisha teriak tadi." Arisha meringis merasa bersalah.

"Kenapa?" Tanya Irsan yang mendekat ke arah istrinya. Siapa tahu istrinya itu menginginkan sesuatu. Arisha mengigit bibirnya ingin menangis ketika suara lembut Irsan mengalun di telinganya. Nada perhatian terdengar jelas disana. Terlebih melihat wajah-wajah teman dan Irsan yang kelelahan. Arisha merasa bersalah karena sudah membangunkan mereka semua.

"Lo kenapa, Sha? Kok mau nangis sih?"

"Laper," cicit Arisha sukses membuat semuanya melongo. Danifa mendengus sebal.

"Mau makan nasgor," jawab Arisha pelan. Irsan mengangguk mengerti.

"Kamu tunggu sini ya, aku beli." Mendengar ucapan Irsan senyum di bibir Arisha terbit.

"Aku juga mau," sambar Naila mengundang tatapan Emyr. Naila tidak mengindahkan. Irsan pun mengangguk lalu pergi menarik Emyr yang masih setengah sadar. Membiarkan Fadhil menjaga para wanita.

"Rese ya bini lu," Emyr menggerutu.

"Wajar ibu hamil." Irsan mengulang perkataan Emyr lagi membuat Emyr mendengus sebal.

Tak lama kemudian, mereka pun kembali dengan pesanan Arisha dan titipin Naila. Danifa sudah membawa piring dan sendok di ruang tengah sedangkan Irsan membuka bungkus nasi goreng untuk Arisha.

"Makan." Arisha langsung menyambar makanannya dengan cepat dan lahap. Para lelaki menggeleng sedang Naila dan Danifa ikut makan berbagi bersama.

Irsan menyodorkan segelas air pada istrinya yang langsung diteguk. "Kenyang?" Arisha mengangguk sambil mengelus perutnya.

"Jangan makan banyak, Sha. Nanti tambah melar," kata Naila polos.

"Gue gak melar, gak gendut!" Sanggah Arisha tak terima.

"Gue yang liat tahu, lo aja yang gak ngerasa,"kata Naila tak mau kalah. Mata Arisha berkaca. "Masa sih?" Tanya Arisha menunduk.

"Olahraga aja, Sha!" celutuk Danifa yang membuat Arisha berbinar.

"Tapi lo kan lagi hamil, kenapa gak ikut kelas olahraga hamil gitu?"

"Gak ada temennya kecuali kalian mau ikut." Sekarang Arisha kembali memelas. Matanya memohon.

"Gue kan gak hamil, gak mungkin ikutan dong," jawab Naila.

"Yaudah hamil sana!" Ucapan Arisha membuat Naila shock dan Danifa melotot tajam seakan --minta gue bacok lo hah--dengan tatapannya.

"Enak banget lo ngomong," sungut Danifa.

"Tinggal sperma buahin sel telur terus jadi deh," ucap Arisha asal. Mereka yang mendengarnya melotot tak percaya sekaligus malu.

"Di bank sperma kan banyak atau minta sama siapa kek."

"Ngaco!" Sungut Danifa merasa ucapan Arisha semakin tidak waras.

"Gak usah ngegas!" Kata Arisha kesal lalu masuk ke kamar untuk tidur. Diikuti oleh Irsan di belakangnya.

"Lo temenin aja, San. Biar kami tidur sini," kata Fadhil yang akhirnya bicara. Irsan mengangguk pelan.

"Apaan tuh ibu hamil!" Gerutu Danifa.

"Arisha gila!" Cibir Naila.

"Tidur." Mereka pun tidur di atas karpet. Emyr memeluk Naila dari belakang, Fadhil telungkup dan Danifa yang tidur menghadapnya.

Tbc