webnovel

Best Wedding Games

"Bawa mereka ke ruangan itu!" perintah Daris lagi menunjuk sebuah ruangan yang masing-masing disekat oleh kain. Preman itu dengan patuh menuruti ucapan bos mereka. Memperlakukan mereka dengan kasar, tak peduli pria ataupun wanita. Hanya satu yang Daris inginkan yaitu kehancuran mereka semua.

Miow26xyz · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
32 Chs

10-Sensitif

Chapter 10 : Sensitif

**

Danifa menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan mereka aman untuk menyebrang. Namanya juga malam minggu tak heran memang jika jalanan ramai sekali. "Lama banget sih," gerutu Arisha yang sedari tadi kesusahan untuk sekedar menyebrang jalan.

Mendengar gerutuan Arisha, Danifa memperhatikan wanita yang menyebabkan mereka berada di pinggir jalan dengan tatapan orang yang selalu mengarah pada mereka. Tak heran memang jika Arisha selalu menjadi pusat perhatian. Danifa sebagai seorang wanita pun mengakui jika Arisha adalah wanita cantik dan menarik bagi kaum lelaki. "Lo gak usah ikut, Sha. Bahaya," kata Danifa yang dijawab gelengan oleh Arisha.

"Eh eh, bentar gue mau pipis dulu. Kalian tunggu sini, jangan kemana-kemana awas ya!" Setelah mengancam, tanpa menunggu jawaban temannya, Naila langsung berlari masuk ke arah cafe. Gerakannya yang masuk terburu-buru menimbulkan tatapan aneh dari orang-orang.

"Kenapa tuh cewe?" Tanya Fauzi menunjuk dengan dagu. Mukanya menunjukkan raut wajah penasaran. Mendengar pertanyaan Fauzi, mereka yang berada di sana ikut menoleh, sama penasarannya.

Emyr mengerutkan kening. Seperti Naila. Itu istrinya, kan? Tentu saja ia kenal dengan bentuk tubuh dan baju yang dipakai Naila tadi. Memastikan, ia menoleh ke meja dimana Naila bersama sahabatnya. Namun meja itu kosong, hanya tersisa bekas gelas sisa mereka yang belum dibersihkan.

Rupanya, Fadhil dan Irsan juga merasakan hal yang sama. Mereka tak menemukan keberadaan istri mereka. Tak lama kemudian, Naila kembali berlari keluar setelah mengatakan pada pelayan cafe. Entah apa yang mereka bicarakan itu tidak penting sekarang.

Emyr bangkit dari duduknya untuk mengejar Naila. Di belakangnya juga ada Fadhil dan Irsan. Kening mereka semakin berkerut ketika melihat ketiga wanita itu yang berada di pinggir jalan seperti menunggu. Emyr semakin mendekat. Tak lama ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan ketiga wanita itu.

"Naila!" Seruan itu membuat sang empunya nama menoleh. Agak bingung ketika melihat Emyr yang--entahlah--ia tidak tahu apa arti dari tatapan matanya, tampak memperhatikannya lekat membuat Naila sedikit tidak nyaman.

"Mau kemana?" Emyr menatap ketiganya. Danifa memutar bola mata malas. Tanpa menjawab pertanyaan dari Emyr, tangannya membuka pintu depan mobil. "Masuk, Sha," suruh Danifa. Arisha mengangguk dan ketika ia ingin masuk, tangannya dicekal oleh Irsan. Ia menatap tangannya dan Irsan bergantian. Memperingatkan agar lelaki itu melepas genggaman tangannya.

"Mbak, jadi gak?" Tanya supir gojek yang mereka pesan tadi. Ia sudah menunggu cukup lama. Belum lagi sepertinya masih ada drama yang akan disuguhkan depan matanya padahal orderannya sekarang lagi banyak.

"Gak jadi mas, maaf ya. Ini ongkosnya," ujar Fadhil memberi selembar uang untuk menutup mulut supir gojek yang mulai mengomel. Melihat kepergian supir itu membuat ketiga wanita menahan kesal. Terlebih Arisha. Rasanya ia ingin menangis. Ya ampun, hanya es krim saja ia bisa secengeng ini.

"Sha." Danifa menyentuh pundak Arisha. Naila mendorong Emyr pelan supaya menjauh darinya dan mendekat pada sahabatnya. Ia memeluk Arisha mencoba menenangkan ibu hamil yang ngidamnya tidak terwujud.

"Diam disitu!" Kata Danifa tajam pada lelaki yang bingung dengan situasi sekarang.

Naila dan Danifa mengelilingi Arisha. "Kok nangis, Sha? Pengen banget ya?" Tanya Naila yang juga ikut sedih. Arisha menggeleng sambil menyeka air mata sialan yang turun di pipinya.

"Gara-gara mereka tuh, lebay banget! Jadi gimana Sha?" Danifa kembali menyalahkan para lelaki yang masih berdiri tak jauh dari mereka. Perkataan Danifa yang sengaja dibuat keras tentu saja didengar oleh mereka membuat mereka makin kebingungan dan salah tingkah.

"Di deket sini gue lihat ada tadi. Kita jalan aja."

"Gimana kalau gue aja yang beli? Lo sama Naila disini?" Tawar Danifa mencoba bernegosiasi. Arisha menatap Danifa lekat sebelum akhirnya mengangguk. Melihat respon Arisha, Danifa tersenyum.

"Gue lupa bawa dompet," kata Arisha kaget ketika ia hendak mengambil uang. Ia baru ingat jika ia kesini tak membawa tasnya sama sekali. Irsan benar-benar tak memberinya kesempatan.

"Tenang aja. Tunggu sini gak lama kok." Danifa pun mulai berjalan namun Fadhil segera mengerjarnya.

"Mau kemana?!" Tanya Fadhil dengan nada suara yang tinggi sukses membuat Danifa terkejut dan menghentikan langkahnya.

"Kenapa sih gue mau jalan sebentar doang, gak usah lebay!" Sungut Danifa. Ucapan Danifa menyulut emosi Fadhil lagi.

"Lebay?!"

"Iya, lebay. Udahlah diam disana. Gue ada perlu." Danifa mulai berjalan lagi tapi Fadhil menarik tangan Danifa untuk kembali. "Lepas, Fadhil!"

"Fadhil!" Teriak Danifa kesal ketika Fadhil masih saja memegang tangannya. Bahkan pegangan laki-laki itu semakin erat.

"Fadhil, lepasin Danifa," kata Naila membantu sahabatnya. Ia tidak suka melihat Fadhil memperlakukan Danifa dengan kasar.

"Minggir!"

"Fadhil!" Teriakan Arisha membuat Fadhil berhenti. Ia melepaskan pegangannya pada Danifa. Terlebih ia bingung ketika melihat Arisha yang menangis. Melihat itu, Danifa menghempaskan tangan Fadhil hingga pegangan tangannya terlepas dan ia segera berlari menuju sahabatnya. Memeluk Arisha erat. Hanya ingin memenuhi keinginan seorang ibu hamil, mereka harus melewati banyak rintangan. Suka lebay memang!

Irsan yang sedari tadi diam karena tidak paham dengan situasinya pun mulai bergerak ketika melihat istrinya yang menangis. Ia menarik Arisha dalam pelukannya. "Kok nangis?" Ia menyeka air mata istrinya. Menatapnya penuh perhatian. Mereka melihatnya. Naila dan Danifa terdiam. Pikiran mereka nelangsa. Benarkah itu Irsan?

"Kenapa?" Irsan mengurai pelukannya. Merapikan anak rambut yang berantakan dan mnyelipkannya ke telinga Arisha agar ia bisa melihat wajah istrinya dengan jelas. Arisha tidak menjawab. Ia malu lebih tepatnya. Hanya sebungkus es krim mereka melewati begitu banyak drama.

"Arisha mau es krim Aice itu, makanya kita mau beliin dia," kata Naila menyambar. Arisha yang malu semakin menenggelamkan kepalanya pada dada Irsan.

"Aice?" Irsan mengulang lagi, siapa tahu ada yang salah dengan pendengarannya.

"Iya, dia mau es krim itu. Liat instagram Sisi yang makan itu jadi Arisha mau. Makanya gue mau beliin tapi kalian lebay!" Sindir Danifa pada Fadhil yang memalingkan wajahnya, merasa malu sendiri dengan tingkahnya yang berlebihan.

"Ngidam ya?" Tanya Irsan pada Arisha yang masih tak mau menatapnya. Irsan tersenyum lebar.

"Kenapa gak bilang aja?" Irsan mencoba melepaskan pelukannya tapi Arisha semakin mengeratkannya. Ia juga malu pada Emyr dan Fadhil melihat sifat cengengnya. Pasti kedua lelaki itu sedang mengutuk kelakuannya sekarang.

"Aku beliin ya, kamu tunggu disini sama Naila dan Danifa." Mendengar ucapan Irsan, Arisha melepas pelukannya. Tanpa menjawab, ia langsung berjalan ke arah sahabatnya. Masih tak berani menatap para manusia yang ada di dekatnya. "Ayo."

Mereka kembali masuk ke cafe membiarkan ketiga lelaki menatap kepergian istri mereka. "Serius itu Arisha Shasmira?" Tanya Fadhil gagap.

"Gue kira apaan tadi." Emyr menghembuskan nafas kasar jika mengingat reaksinya tadi.

"Gue gak salah dengar kan kalau dia lagi ngidam? Berarti dia hamil?" Tanya Emyr masih tak mengerti, mencoba menuntut jawaban dari Irsan namun sahabatnya yang satu itu lebih memilih diam. Melihat kebungkaman Irsan, Emyr menduga kalau asumsinya benar.

"Bgst! Daris sialan! Segitunya jahatnya dia sama lo, San! Jahanam!" Umpat Fadhil. Rasanya ia ingin menonjok muka bedebah satu itu.

"Udah, gue mau beli es krim dulu. Kalian nunggu aja di dalam." Tak mau ribet menjelaskan, Irsan berlalu ke arah motornya. Emyr dan Fadhil bertatapan sebelum masuk kembali ke cafe. Dimana ketiga wanita itu sudah bergabung dengan Fauzan dan Fauzi.

"Lo nangis ya?" Pertanyaan Fauzi mengundang tatapan tajam Naila dan Danifa. Bukan apa-apa, ia hanya takut kalau Arisha kembali menangis. Perasaan ibu hamil yang satu ini begitu sensitif.

"Oh iya, nama gue Fauzan. Ini Fauzi. Kalian gak usah kasih tahu nama kalian, gue udah tahu," kekeh Fauzan.

Danifa memutar bola mata malas. Ia mengeluarkan hpnya membuka aplikasi instagram. Sebuah postingan yang baru muncul membuat Danifa terdiam.

Darshaaagn.

Ia tahu siapa itu. Daris sendiri yang memberitahukannya. Jangan lupakan kalau ia pernah menjalin kasih dengan pria yang sudah menjebaknya dengan seorang pria dalam sebuah pernikahan. Waktu memang tidak mudah ditebak. Dulu mereka saling menyayangi, sekarang tidak lagi. Justru yang ada rasa permusuhan itu makin besar.

"Dan!" Danifa tersentak. Ia hanpir saja menjatuhkan handphonenya.

"Kenapa sih?"

"Gak papa." Danifa mengambil minuman yang berada di depan Fadhil dan langsung menyeruputnya. Tak peduli dengan tatapan Fauzan dan Fauzi yang aneh dengan apa yang ia lakukan. Minum minuman orang lain dalam satu sedotan yang sama padahal mereka baru kenal? Danifa tidak peduli. Toh Fadhil juga suaminya. Ia perlu sesuatu yang bisa mendinginkan kepalanya. Melihat postingan Darsha membuat dendamnya kembali muncul ke permukaan. Tak sabar rasanya melihat Daris memohon ampun padanya. Apalagi Parto, Laila dan Maira. Ketiga anak buah Daris itu tidak akan mudah dilupakan begitu saja olehnya.

Fadhil hanya diam mengamati. Tak masalah dengan Danifa yang langsung meminum minumannya. Hanya saja ia begitu terganggu dengan raut wajah yang ditampilkan oleh istrinya. Apa yang ia sembunyikan?

"Nah itu Irsan," kata Fauzi yang melihat Irsan masuk.

"Apaan tuh San?" Tanya Fauzan melihat plastik putih yang berada di tangan Irsan. Irsan tak menjawab. Ia memberikan es krim yang diinginkan oleh istrinya.

Arisha terbelalak, tak menyangka jika

Irsan membelinya banyak es krim. Semua varian ada. Wajar saja, harga es krimnya juga murah. Mata Arisha berbinar melihatnya. Begitupula Danifa dan Naila.

"Banyak banget tuh es krim," celetuk Fauzi.

"Bagi dong satu."

"Belilah, punya uang kan?!" Sungut Naila yang mulai kesal dengan kedua pria yang ikut bergabung dengan mereka. Naila mencari es krim yang ia mau. Begitupula dengan Danifa. "Yang mochi jangan diambil," Arisha memperingatkan.

Naila mengambil yang semangka dan melon sedang Danifa mengambil mangga dan nanas.

"Makasih," ucap mereka bersamaan lalu memakan es krimnya. Begitupula dengan Arisha yang memakan es krim mochi miliknya. Lagi lagi tak peduli dengan tatapan para lelaki yang kaget, takjub dan mau juga.

"Yaampun enak!" Seru Naila ketika memakan es krim rasa melonnya.

"Sekulkas gue beli nanti!" Ujar Danifa menimpali.

Arisha tak menanggapi. Ia hanya menikmati es krimnya dalam diam. Bahkan sekarang ia sudah membuka bungkusan kedua. Irsan memperhatikannya. Melihat Arisha yang senang karena keinginannya terpenuhi. Keinginan Arisha atau bayinya?

"Jangan banyak-banyak, nanti sakit," kata Irsan sambil mengumpulkan sampah bungkusan es krim. Mata Arisha tak sengaja menatap Irsan. Perasaan malu itu kembali. Mengingat ia yang menangis karena es krim yang berada di tangannya sekarang. Dengan cepat, Arisha mengalihkan. Matanya melihat para lelaki yang juga menatap ia dan sahabatnya. Arisha melihat es krim yang berada di depannya dan para lelaki itu bergantian.

"Mau?" Satu kata yang direspon anggukan berlebihan oleh Fauzan dan Fauzi.

"Ambil aja, satu doang ya, jangan banyak-banyak, yang mochi jangan, sisain yang mangga juga, sama melon," pesan Arisha yang didengar oleh mereka. Irsan tersenyum dan masih memperhatikan Arisha memakan es krimnya.

Tbc