"Anthony akan tinggal bersamaku." ucap seorang laki-laki yang tak lain adalah anak dari wanita dan pria yang kini tengah berada di hadapannya saat ini.
"Apa kamu sadar apa yang kamu katakan Rian?" ucap sang Ayah, menatap anak sulungnya dengan dingin. Rian adalah anak pertama dari pasangan Dirga dan Gisel. Dan anak pertama yang membuat keluarganya malu karena perlakuan nya yang membangkang dan sulit di atur.
"Aku tidak sedang mabuk Yah."
See, cara membalas ucapan Ayahnya saja seperti ini, tidak sopan. Itulah pikir Ayahnya.
"Aku tak akan memberimu ijin untuk membawa Anthony, cukup kau saja yang pergi tapi tidak untuk Anthony. Dia adalah anak yang penurut tidak seperti dirimu."
"Dia tidak seperti yang kalian kira, selama ini dia sama tersiksanya denganku bahkan lebih tersiksa dari apa yang pernah aku rasakan dulu. Aku akan tetap membawa Anthony lagi pula aku tak memerlukan ijin dari kalian..."
Plakk.
tamparan keras dari tangan sang Ayah membuat Rian sampai memalingkan wajahnya bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah. Anthony yang melihat kejadian itu hanya bisa berdiam diri tak mampu melawan ataupun membela.
"Lumayan." ucap Rian sebari mengusap sudut bibirnya yang berdarah Ia kembali menatap kedua orang tuanya.
"Aku baru menyadari jika aku dan Anthony memiliki orang tua seperti kalian...." ucap Rian menggantungkan perkataannya, Dirga dan Gisel hanya diam setelah menyadari perbuatan kasarnya dengan menampar anaknya sendiri.
"Jika aku diberi pilihan lebih baik mati atau tinggal bersama kalian dengan semua perintah kalian, tentu saja aku akan memilih opsi pertama begitupun dengan Anthony yang pastinya memilih jalan yang sama denganku. Selama ini dia ingin bebas dari semua tuntutan kalian, tapi karena dia tak memiliki keberanian yang cukup untuk berhadapan dengan kalian dengan senang hati aku yang harus turun tangan. Aku dan Anthony tak pernah menyesal ataupun membenci kalian yang telah merawat kami, hanya saja jika kalian menyayangi kami berdua jangan jadikan kami sebuah robot mainan kalian."
"Ayo Anthony kita berangkat." Rian berjalan keluar rumah di ikuti dengan Athony yang menyeret kopernya, Ia menoleh kepada kedua orang tuanya yang dimana mereka hanya diam menatap nanar kepergian kedua anaknya.
Dosakah Anthony meninggalkan mereka? Batinnya.
***
"Kau telat?" tanya Talitha dengan wajah yang terlihat bodoh karena menanyakan hal tersebut kepada pria dengan nilai tertinggi pringkat ketiga di semester 3 ini.
Anthony menatap bingung kepada sang Ketua OSIS di depannya, memang apa anehnya jika dirinya telat? Apakah setiap anak terpintar disana, mereka harus bersikap terheran-heran melihatnya? Mereka kan juga sama seperti yang lain hanya saja IQ mereka yang membedakan.
"Kenapa? Anak pintar sepertiku tak boleh telat?" Talitha menaikan sebelah alisnya.
"Dasar narsis." decaknya, Anthony mengulum senyumnya melihat wajah cantik nan imut Talitha, meskipun gadis itu memiliki sikap yang galak dan perfectsionis tapi jika dilihat-lihat gadis itu sangat lucu jika sedang marah.
"Karena hanya kau saja yang telat lakukan dengan cepat hukumanmu, aku akan mengawasimu sampai selesai." Gadis mungil itu hendak beranjak pergi Anthony menahan pergelangan tangannya, Talitha menoleh dan melihat tangannya yang sedang di pegang oleh pria yang di cintainya secara diam-diam itu. Tiba-tiba asupan udara di sekitarnya terasa menipis.
"Ada apa?" tanya Talitha sebisa mungkin Ia menetralkan ekspresinya.
"Berapa putaran?" tanyanya, Talitha berdehem mencoba menghilangkan tenggorokan nya yang kering sekaligus menghilangkan rasa gugupnya.
"Karena kau sendiri dan aku ingin cepat masuk kelas, kau bisa melakukan 5 putaran saja."
"Kau sangat baik terima kasih." Talitha melongo mendengar perkataan pria yang mengatakan dirinya baik itu, baru pertama kali Ia merasa benar-benar menjadi orang yang baik hanya karena perkataan Anthony.
Ahh, aku bisa gila jika terus menerus menyimpan perasaan menyebalkan ini. Batinnya
Anthony adalah pria yang diam-diam sudah Talitha sukai sejak tahun pertama mereka memasuki SMA meskipun selama SMP dan SD mereka sekolah di tempat yang sama tapi tak sekalipun mereka di pertemukan karena perbedaan kelas dan juga suasana sekolah yang terlalu luas bagi mereka. Hingga akhirnya mereka di pertemukan di kelas yang sama yaitu 11 IPA 1.
"Heh!" Talita memekik kaget saat seseorang menepuk bahunya, Ia menengok membuat debaran jantungnya memacu lebih cepat.
"Ada apa Anthony?" tanyanya dengan nada jutek.
"Aku sudah menyelesaikan hukumanku, terima kasih sudah menemaniku."
Cup
Anthony berlari menjauh meninggalkan Talitha yang masih berdiri di tengah lapangan dengan wajah terkejutnya, setelah mendapatkan kecupan singkat dipipinya.
apa aku sedang bermimpi? Dan kapan pria itu menyelesaikan hukumannya? Ini pasti karena dia terlalu berhalusinasi mengingat pertemuan pertamanya dengan Anthony.
Talitha membalikan tubuhnya memandang punggung Anthony yang semakin mejauh, tangannya terangkat untuk menyentuh pipinya yang dikecup tadi Ia tak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya. Bahkan Ia melompat-lompat kegirangan tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang melihatnya.
"Heh ondel-ondel, kau sudah gila ya?" sebuah teriakan seorang gadis mampu membuat kegiatan Talitha terhenti, Ia melihat ke arah wanita yang sedang berdiri di pinggir lapangan bersama sahabatnya Tasya.
"Bukan urusanmu!" teriak Talitha judes, sedangkan Angelin dan Tasya saling pandang merasa bingung dengan tingkah ketua OSIS nya tersebut.
"Kayaknya dia butuh istirahat." Angelin mengangguk sabari menatap Talitha yang sudah pergi dari lapangan menuju kelasnya.
"Aku tak percaya jika seseorang yang jutek dan dingin bisa luluh hanya karena cinta." Angelin kembali mengangguk tanpa sadar. Masih dengan menatap kepergian Talitha.
"Sepertimu contohnya." Angelin yang merasa terjebak menoleh dengan sinis ke arah sahabtnya itu.
"Apa maksudmu?"
"Kurasa IQ mu semakin hari akan semakin turun jika sudah terkuasi oleh kata yang bernama Cinta."
"Kau itu terlalu berlebihan."
"Itu Fakta Angelin."
"Terserah kau."
***
Tak terhitung jika sudah 5 bulan Devan menjadi siswa di sekolah barunya tersebut yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian semester 4 untuk kenaikan kelas.
Tak terhitung juga jika kedekatannya dengan Angelin semakin membaik bahkan mereka selalu berjalan-jalan atapun hanya sekedar mengobrol ria, meskipun keduanya tidak dalam hubungan pacaran, tapi mereka tak mempermasalahkan hal tersebut mereka menikmati dan nyaman satu sama lain tanpa harus menyandang status pacaran.
"Angelin." gadis itu menoleh dengan wajah tanya.
"Jika nanti aku berhasil mengalahkan Anggara, apa kau mau mengabulkan satu permintanku?" ucapnya, Angelin diam setelah lama menatap pria di sampingnya itu Ia memalingkan wajahnya ke depan melihat kota jakarta yang di penuhi dengan gedung dan kemacetan jalan dimana-mana. Ya saat ini mereka berdua tengah berada di atas gedung sekolah yang sudah menjadi tempat yang sering mereka berdua datangi bahkan menjadi tempat yang paling sering di kunjungi oleh mereka selama berada di sekolah.
"Angelin." panggil Devan karena melihat gadis di sampingnya tak merespon pertanyaannya.
"Iya? Apa Devan?"
"Jadilah kekasihku." Angelin lagi-lagi terdiam dengan keterkejutannya matanya beralih untuk menatap mata coklat Devan.
"Hanya itu permintaanku, jika aku berhasil mengalahkan Anggara sampai semester akhir nanti." ucapnya melanjutkan. Angelin masih dalam keterdiamannya, Ia merasa senang sekaligus sedih secara bersamaan entah apa penyebabnya Angelin masih belum tahu jawabannya.
Di usapnya pipi mulus Angelin oleh Devan menggunakan ibu jarinya lalu Ia mendekatkan wajahnya, Angelin hanya mampu memejamkan mata saat merasakan bibir Devan menyapu bibirnya dengan lembut.
Pria itu mempu membuat Angelin terlena dengan sentuhannya, bahkan Ia selalu menginginkan lagi dan lagi. Gila memang tapi begitulah yang Ia rasakan.
Rasa cinta dan suka berbeda, tergantung bagaimana cara kau membedakannya antara suka dan cinta yang justru selalu salah kalian tapsirkan sehingga membuatmu salah arah.