"Bapak tidak akan bertanya siapa yang memulai karena Siapapun yang memulai duluan kalian pasti memiliki alasan tertentu bukan." Mereka diam.
"Sekarang katakan apa yang membuat kalian berkelahi seperti tadi?" Dahlan bertanya dengan baik-baik seolah dia sedang bertanya pada anaknya sendiri.
"Kalian masih tetap akan tetap diam?" pertanyaan wali kelas kembali mereka abaikan seolah malas walau hanya untuk membuka mulutnya.
"Sekarang katupkan kedua bibir kalian." Anggara dan Devan yang mendengar itu tak mengerti maksud pak Dahlan.
"Diam dan jangan bernafas melalui mulut." katanya melanjutkan. Akhirnya mereka melakukan apa yang di perintahkan.
"Angkat kedua telunjuk kalian." Anggara dan Devan saling pandang sekilas merasa bingung tapi tetap melakukan.
"taruh kedua telunjuk kalian di hidung kalian." mereka menurut.
"Tekan" mereka menurut lagi. Dahlan menahan senyumnya saat melihat tinggkah anak muridnya yang menuruti perkataannya saat ini, melihat mereka yang terlihat membutuhkan oksigen akhirnya Dahlan menyuruh mereka bernafas.
"Bapak mau membunuh kami?" Tanya Anggara. Yang malah di balas dengan kekehan dari wali kelas nya tersebut.
"Itu hukuman karena kalian tak menjawab pertanyaan saya, bapak membutuhkan jawaban jujur kalian sama hal nya seperti kalian tadi yang membutuhkan oksigen." orang pintar seperti mereka berdua tentu saja langsung mengerti apa maksud dari pekataan wali kelasnya itu.
"Segitu pentingkah jawaban kita untuk bapak?" Dahlan mengangguk.
"Tentu saja, bapak harus tahu apa yang terjadi pada anak murid bapak agar kejadian ini tak terulang kembali."
"Kenapa bapak harus peduli sama urusan pribadi kita, cukup jalankan tugas sebagai wali kelas tanpa berurusan dengan privasi orang." komentar tajam terlontar dari mulut pedas Anggara. Dahlan hanya tersenyum menanggapinya dia sudah kenal dan tahu bagaimana sifat Anggara sehingga Ia dapat memakluminya.
"Justru karena ini tugas bapak sebagai wali kelas kalian, bapak berhak mengetahui masalah yang terjadi kepada kalian apalagi jika ini terjadi di lingkungan sekolah."
Dan akhirnya mereka menyerah dan memilih untuk menceritakan apa yang terjadi, pak Dahlan bahkan sempat di buat tertawa mendengar penjelasan mereka.
"Kalian ini sudah 17 tahun tapi masih seperti anak kecil." Dahlan mengomentari, Anggara dan Devan hanya diam mendengar komentar dari wali kelasnya itu karena mereka tahu pak Dahlan pasti akan memberikan respon yang sudah mereka duga. Ya memang benar Devan baru menyadari jika dia dengan bodohnya menyetujui permainan itu hanya karena Anggara mengatakan dirinya bodoh.
Tidak, ini tidak seperti Devan yang dulu dingin dan cuek pada sesuatu yang menurutnya mengganggu, tapi kenapa sekarang dia mudah sekali emosi jika berhadapan dengan Anggara.
Meskipun tidak tahu apa maksud Anggara sendiri menantangnya hanya karena perkataan bodoh. Karena Devan sendiri tahu jika orang pintar seperti Anggara masih bisa berpikir jernih untuk memutuskan sesuatu, tapi bukankah orang pintar juga bisa menjadi bodoh seperti dirinya yang dengan mudah menyetujui permainan itu.
Sudahlah mungkin Anggara saat itu hanya merasa terpancing emosi karena perkataannya.
"Bapak senang jika kalian bertekad untuk mendapatkan nilai yang bagus, tapi jangan jadikan ini sebagai permainan karena bagaimanapun di setiap permainan akan ada kata game over, entah siapa yang akan mendapatkan nya kalian harus bisa melewatinya mengerti?"
"Mengerti pak."
"Sekarang saling meminta maaf."
"saya rasa murid baru ini yang seharusnya minta maaf duluan karena dia yang memukul saya duluan." ucap Anggara. Devan yang mendengarnya menatapnya kesal.
"Minta maaf secara bersamaan!" pak Dahlan menegaskan dan akhirnya mereka hanya bisa pasrah menuruti perintahnya.
***
Hujan deras mengguyur jalanan aspal sehingga air bercipratan membuat Angelina mudur sedikit untuk menghindari cipratan air tersebut yang mengenai sepatunya.
Ya, kini Angelina tengah di sebuah halte untuk perjalanan pulang dia tidak sendiri tapi Devan juga ada disana tepatnya di sampingnya karena banyak siswa lain yang berteduh di halte dengan tujuan sama membuat halte itu penuh sehingga Devan dan Angelina harus berdempetan, dan gadis itu harus menyeimbangkan tubuhnya jika tak ingin jatuh karena dirinya berdiri tepat di ujung halte jika oleng sedikit saja akan membuat nya keluar dari halte itu dan air hujan akan mengguyur tubuhnya, Angelina tak ingin itu terjadi.
Sekuat tenaga dia memeluk tubuhnya saat angin sore serasa menusuknya sampai tulang, Ia lupa tak membawa jaket kesayangannya sehingga membuat dia hanya bisa menggunakan tas untuk menghangatkan tubuhnya yang Ia peluk secara erat.
Disaat hujan turun semakin deras Angelina merasakan seseorang memakaikan jaket padanya, dilihatnya orang itu Devan. Pria yang masuk ruang BK di hari pertama sekolah karena berkelahi dengan Anggara dan pria yang membuat dadanya berdetak tak karuan saat matanya bertemu dengan mata coklat Devan.
"Kenapa?"
"Hah?"
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Devan.
"Ah tidak. Maaf." Devan terkekeh melihat kegugupan gadis itu dan demi apapun Angelina merasa terpesona dengan Devan yang tengah tersenyum saat ini, pria itu benar-benar tampan dan mempesona.
"Terima kasih untuk jaketnya tapi kau__"
"Aku pria, bisa menahannya." Devan memotong dan gadis ber poni itu hanya mengangguk.
"Kemana tujuanmu?" Devan kembali bertanya dengan pertanyaan berbeda.
"Bukan urusanmu." Angelina kembali memasang wajah jutek setelah sadar jika Ia terlalu melewati batas.
"Kenapa tidak memesan taxi saja?" sarannya, Angelina memang akan memesan taxi jika batrei ponselnya tidak habis.
"Batrei ponselku habis." jawabnya.
"Kau bisa menggunakan ponselku." Angelina terlihat ragu saat Devan mengeluarkan ponselnya dari saku celana abu-abunya itu.
"Aku akan pesankan, kemana tujuanmu."
Sudahlah hapus dulu gengsimu untuk saat ini Angelin, batinnya berkata.
"Apartemen xxx." ucapnya.
"Kau tinggal disana?"
"Tidak aku hanya ingin menjenguk temanku."
"Kau punya teman." habis sudah kesabaran Angelina.
"Sudahlah lupakan." Anggelina dapat mendengar tawa pria itu, mungkin dia sedang mengejek Angelina.
"Aku hanya bercanda." Anggelina menoleh menatap Devan yang sedang memesan taxi dari ponselnya, Ia heran dengan pria di depannya itu sikapnya sangat jauh berbeda pada saat di sekolah tadi dengan yang sekarang, seolah Angelina bertemu orang yang sama dengan sikap yang berbeda.
"Tidak masalah kan jika kita bareng?" Devan kembali bertanya.
"Kau tinggal disana?" Devan mengangguk.
***
Lift rasanya berjalan begitu lambat, kini Angelina dan Devan sudah sampai di Apartement dan sedang menuju lantai 17 tempat dimana tujuan keduanya sama.
"Kau sudah berapa lama tinggal disini?" Angelina bertanya sebari menghilangkan keheningan diantara mereka karena hanya mereka berdua yang berada di lift tersebut.
Devan menoleh sebelum menjawab.
"Sekitar 2 minggu lalu." Angelina hanya menggangguk menanggapi.
Tiba-tiba lift berhenti di lantai 10 dan beberapa orang masuk hingga membuat Devan maupun Angelina terpojok, Devan menghadap kearah gadis yang tengah terpojok tersebut lagi pula tak mungkin kan Ia membelakanginya lebih baik seperti ini meskipun terasa sangat canggung. Tapi Devan suka. Aiisshh.
Anggelina hanya diam tak berkutik sedikitpun takut jika sesuatu hal yang tak di inginkan terjadi, Ia benar-benar mendapatkan ruang yang sempit walau hanya untuk bernafas karena banyaknya orang yang menaiki lift ini membuatnya harus terpaksa berada dalam posisi yang tak mengenakan untuk dilakkan ataupun di lihat orang lain takut jika orang mengira hal yang tidak-tidak padanya. Tapi karena orang-orang di lift seperti tak mempermasalahkan ataupun mempedulikannya mereka hanya santai mengobrolkan tentang hal yang tak dapat Angelina mengerti.
"Kau_" Angelina mendongak menatap mata coklat itu saat Devan bersuara.
"Cantik."
Apa? Angelina tak salah dengar bukan jika apa yang baru saja Ia dengar benar-benar nyata dan tak sedang bermimpi. Angelina rasa ini bukanlah dunia mimpi karena Ia merasakan sakit pada kakinya yang terasa pegal. Jadi ini tidak di dalam mimpi ini adalah dunia nyata.
Saat hendak berbicara, lift berhenti, dan orang-orang yang berpakaian kantor tersebut berhamburan keluar lift, Devan segera menjauhkan diri dari Angelina dia berdehem mencoba menghilangkan kekeringan di tenggorokan. Satu lantai lagi Angelina dan Devan sampai di lantai 17.
***
"Udah berapa kali ku bilang! Ikuti apa yang aku katakan saja, kenapa kau tak mengerti juga. Memangnya kau mau terus hidup seperti ini?" Ucap seorang pria dengan marah tidak, dia sudah terlihat murka dengan segala masalah yang terjadi pada hidupnya maupun hidup sang adik yang sangat Ia sayangi.
"Aku akan kena marah mereka kak jika aku tak mewujudkan keinginannya." jawab sang adik dengan wajah muram. Sang Kakak menghela nafas kasar dan berdecak pinggang.
"Mulai sekarang kau tinggal disini, bersama kakak."
"Tapi kak__"
"Tidak ada bantahan Anthony." adiknya yang tak lain adalah Anthony itu menunduk takut dengan kemarahan sang Kakak. Jika sudah marah besar seperti ini Anthony hanya bisa diam seperti biasanya dan menyerahkan semuanya kepada Rian kakaknya.
"Biar Kakak yang berbicara dengan Mamah dan Papah." ucap Rian mengakhiri.
Ya inilah kehidupan Anthony dan kakaknya Rian. Penuh penderitaan dan tekanan yang tak ada habisnya.
Sejak kecil mereka selalu di kekang oleh kedua orang tuanya untuk selalu mendapatkan nilai atau prestasi yang bagus di sekolah, tapi karena Rian sudah tak sanggup lagi dengan sikap kedua orang tuanya yang selalu memaksa dan mendorong dirinya untuk terus belajar membuat Rian menyerah dan memilih pergi dari rumah yang saat itu Ia baru memasuki kelas 1 SMP.
Hidupnya sudah terasa bebas setelah dirinya pergi, meskipun begitu hidup yang Ia jalani tak semudah yang di pikirkan. Kelaparan, tak punya tempat tinggal tetap. Saat itu Ia hanya menginap di rumah teman-temannya secara bergantian agar dia tak terlalu merepotkan satu teman saja, lagi pula punya teman kan memang harus siap menolong saat sahabatnya perlu pertolongan.
Rian sangat bersyukur memiliki teman yang masih selalu setia padanya meskipun teman-temannya itu sudah tak seangkatan dengannya lagi karena Rian harus tinggal kelas sehingga ketika teman-temannya berhasil naik kelas Rian hanya bisa meratapi takdir yang Ia dapatkan.
Sibuk dengan sekolah dan kerja part time Rian sama sekali tak pernah menyesal dengan keputusan yang telah dia ambil, setelah melewati semuanya kini Rian sudah semakin membaik Ia sudah mendapatkan kehidupan yang cukup menyenangkan bahkan kini dia sudah mendirikan sebuah kafe yang selalu banyak di kunjungi para remaja.
Usaha memang tak pernah menghianati hasil, meskipun sekarang hidupnya sudah lebih baik Ia tak pernah sekalipun menghapus masa lalu ataupun membenci kedua orang tuanya.
Masa lalu membuatnya sadar jika dirinya harus menjadi lebih baik dari sebelumnya.