webnovel

Awal sebuah kehilangan 2

Setahun sudah berlalu, kini Ramona duduk di kelas 2 SMP, Yusran Kelas 2 SMA, masing-masing menyibukkan diri dengan rutinitas, Alhamdulillah di tahun ke dua ini ekonomi keluarga Hendrinata mulai membaik, berkat Rahmat Allah pak hendri begitulah sebutan nama ayah Ramona mendapatkan tangkapan ikan yang banyak setiap harinya, dari hasil itu pak Hendri mampu membeli Sebuah Kapal Pukat lengkap dengan alat tangkap ikan. Pak Hendri memiliki 20 orang anak buah yang akan menangkap ikan dilaut sekaligus memasarkannya. Ramona merasa bahagia, baginya bukan karena uang tetapi kini ayahnya tidak perlu lagi meninggalkan mereka untuk mencari nafkah, ibunyapun kembali riang gembira.

Setiap minggu keluarga Hendrinata pergi ke kota, mengajak seluruh keluarga rekreasi di tempat wisata, namun Pak Hendrinata selalu menasihati anak-anaknya untuk jangan pernah berubah, tetaplah tawadhu, selalu istiqomah karena Terkadang hidup itu sama dengan perputaran roda, kadang di bawah kadang pula di atas.

"Setelah ini kita berkunjung ke rumahnya paman Adhy, sudah lama kita tidak mengunjunginya". Ajak Pak Hendrinata kepada istri dan anak-anaknya.

"Iya papa, aku dengar Bibi Ain sakit parah, yuk kita kesana". Rukiah sebagai anak pertama membenarkan ucapan ayahnya dan turut mengajak semua untuk berkunjung dengan tak lupa membeli buah-buahan sebagai bingkisan untuk orang sakit. Semua naik angkot yang disewa pak hendrinata, yang membawa mobil adalah Gunawan suaminya Rukiah. Turut serta Istri Nuriman Lusi dan anaknya Mira yang berusia 3 Tahun, ada si Gendut Tian anak Rukiah dan Gunawan yang kini berusia 8 Tahun.

Sesampainya di rumah paman aku nyaris tak bisa bernafas, dadaku terasa sesak. "Apa yang terjadi padaku". Ramona berusaha menarik nafas pelan agar sesaknya berkurang. Dia tak ingin mengganggu keluarganya yang saat ini menjenguk bibi ain yang terbaring sakit. Nampak di atas ranjang berbaring sesosok wanita sebaya ibunya, dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Hanya tinggal kulit membungkus tulang.

"Sakit apa ain ?" Pertanyaan pak hendrinata memecah keheningan.

"Hasil pemeriksaan dokter semuanya normal, akhirnya kami memilih untuk dirawat di rumah saja. Saat ini sedang menjalani terapy mbah Gusti". Jawab Paman Ady. Nampak matanya mulai berembun.

"Disantet kali". Spontan Yusran melontarkan kata-kata yang membuat kami semua terhenyak. kecuali Mira dan si gendut Tian yang tidak mengerti sama sekali arti kata-kata itu. Aku sendiri mengerti kok karena sering muncul tayangan di TV tentang film-film horor. Ihhh ngeri juga aku membayangkannya, dadaku yang sesaknya mulai berkurang kini terasa lagi. Aku mohon pamit ke dapur untuk ambil air minum, tak kudengarkan lagi pembicaraan mereka karena aku sengaja tak ingin mendengarnya.

"Papaaaaaaa..." Ramona berteriak ketakutan.

"Apa yang terjadi ?" semua berlari ke arahku yang saat itu ketakutan sambil menunjuk ke arah dapur.

"Itu...i....itu ta...ta...tadi ada kucing hitam besar melintas" Jawabku terbata-bata, aku langsung lunglai untung kak Nuriman segera menahanku dan tak sempat jatuh ke lantai.

"Astagfirullah...."Paman Adhy seperti baru menyadari jika bibi ain ditinggal sendirian di kamar karena semua ke arah dapur karena mendengar teriakanku.

"Innalillahi wainna ilaihi rajiuun". Paman Adhy menangis pilu kami semua segera bergegas ke dalam kamar. Bibi Ain menghembuskan nafas terakhirnya setibanya paman adhy di kamar.

Semua keluarga Hendrinata berduka, Paman Adhy terlihat tabah. Dia sudah melakukan yang terbaik untuk istrinya tapi Allah berkehendak lain. Pak Hendrinata terlihat memeluk ibu Melisa istrinya, Ibu Melisa terlihat shock tatapannya terlihat kosong, Almarhumah adalah adik kandung ibu Melisa. kondisinya tak jauh beda dengan Ramona yang berada dalam pelukan Nuriman. Setelah proses pemakaman selesai semua kembali kerumah masing-masing.