"Bagas, keluarlah. Kamu juga harus bersiap-siap. Kiara akan memakai kamar ini untuk mempersiapkan diri, Mama yang akan membantunya berhias," Mama meminta Bagas untuk ke luar dari kamar.
"Bagas ingin mengobrol dengan Kiara. Mama tidak ada pengertiannya sama sekali." Bagas memasang wajah memelas.
"Ini sudah sore, nanti kita tidak ada waktu. Mama juga harus mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum membantu kekasihmu."
"Iya, Bagas ke luar. Mama seperti tidak pernah muda saja," Bagas melangkah ke luar dengan wajah yang cemberut.
Kiara hanya tersenyum melihat tingkah kekasihnya. Di depan Mamanya, Bagas ternyata sangat manja sekali. Jauh berbeda kalau dia sedang berada di Sekolah, sosok yang sangat dewasa.
"Nah, Kiara sekarang bersiap-siaplah. Mama akan ke kamar mempersiapkan diri dulu, baru setelah itu membantumu untuk berhias. Kunci pintunya."
"Iya Ma, terima kasih," jawab Kiara. Dirinya merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ini, disayangi seorang wanita yang telah melahirkan laki-laki yang dia cintai.
Mama berlalu dari kamar yang akan Kiara tempati untuk bersiap diri. Di ruang tamu Mama melihat Bi Irah baru saja menutup pintu depan. "Siapa Bi?" tanyanya.
"Bapak baru saja pulang, Bu," jawab Bi Irah sopan.
Mama lalu bergegas pergi ke arah di mana kamarnya berada. "Pa, sudah pulang?" tanyanya setelah melihat suaminya berada di dalam kamar.
"Hari ini Presdir memulangkan semua karyawan pulang lebih awal untuk acara nanti malam. Tidak terasa perusahaan yang didirikan oleh Tuan Smith Albert Winston sudah berdiri selama 25 tahun, ini adalah perayaan perak perusahaan."
"Setahu Mama juga, nama perusahaan di ambil dari nama Tuan Smith sendiri, SAW. Dulu hanya ada satu cabang inti, sekarang perusahaannya berkembang pesat bercabang di mana-mana. Di bidang konstruksi merambah di setiap kota bernaung di bawah SAW."
"Iya, tetapi sayangnya Tuan Smith tidak berumur panjang, kecelakaan pesawat. Anehnya, jasadnya tidak ditemukan. Mungkin jasadnya di makan binatang buas karena waktu itu pesawat jatuh di tengah hutan. Hanya jasad istrinya saja yang berhasil dievakuasi dan dikuburkan."
"Kita tidak pernah tahu akan bernasib seperti apa di hari esok, hari ini kita bernapas mungkin besok nyawa sudah tidak menyatu dengan raga kita lagi. Bersyukurlah Pa, hari ini kita masih bisa menghirup udara untuk bernapas," Mama tersenyum memeluk sayang sang suami dari belakang.
"Iya, Ma," jawab Papa tersenyum mengusap lembut jemari tangan Mama yang melingkar diperutnya.
"Kita harus bersiap-siap Pa, sebentar lagi hari berganti malam. Mama juga harus membantu Kiara untuk berhias." Mama melepaskan pelukannya lalu melangkah ke meja rias melepaskan perhiasannya satu per satu.
"Kiara?" tanya Papa. "Siapa?"
"Masa Papa lupa sih. Kiara teman satu Sekolahan Bagas, kekasihnya Bagas. Mereka sudah pacaran 2 tahun."
"Lupa." Papa terkekeh pelan. " Di mana dia sekarang?" tanyanya kemudian.
"Mama menyuruhnya mempersiapkan diri di kamar tamu. Nanti Mama juga yang akan membantunya berhias."
"Baguslah," jawab Papa datar. "Baju Papa sudah Mama siapkan?"
"Sudah. Papa akan terlihat gagah kalau memakai setelan jas ini." Mama mengeluarkan satu setel jas berwarna hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu dari dalam lemari.
"Bagus." ucap Papa. "Punya Bagas warna apa?"
"Abu-abu, anakku akan semakin gagah kalau nanti memakainya."
"Tentu saja, Papanya saja gagah begini." Papa tertawa kecil menyanjung dirinya sendiri sedikit membusungkan dadanya.
"Mama atau Papa yang duluan ke kamar mandi?" tanya Mama kemudian.
"Bagaimana kalau kita berdua?" Papa menggoda Mama menaik turunkan alisnya.
"Nggak, kalau kita mandinya berdua nanti ujung-ujungnya tidak pergi ke acara. Mama saja yang duluan." Mama lalu cepat-cepat masuk ke kamar mandi dan segera menguncinya.
Terdengar suara Papa yang tertawa terbahak-bahak dari luar pintu kamar mandi. "Papa sudah tua begitu, masih saja pikirannya genit," gumam Mama senyum sendiri melihat wajahnya di cermin yang ada di dalam kamar mandi.
...
"Tuan seperti seorang pangeran dari negeri khayangan. Sangat tampan dan gagah," puji Pak Bowo yang melihat Tuannya sedang bercermin di kamar.
"Apakah benar?" tanya Leo tersenyum melihat pantulan Pak Bowo di cermin.
"Tentu saja Tuan, buat apa saya bohong. Lihat saja nanti kalau Tuan sudah datang ke tempat acara, hanya wanita buta yang tidak tertarik dengan Tuan. Kalau saja Bapak juga wanita, pastinya juga sudah jatuh cinta sama Tuan," Pak Bowo sungguh-sungguh sangat memuji Leo, diakhiri dengan tertawa kecil.
"Untung saja Pak Bowo bukan wanita," kata Leo yang ikut tertawa kecil.
"Tuan, tidak terasa hari ini sudah 25 tahun perusahaan berdiri. Sejak Tuan Besar Smith tidak ada, perusahaan berkembang pesat di bawah kepemimpinan Tuan."
Leo terdiam sejenak di depan cermin, kemudian melangkah ke arah jendela. Berdiri terdiam melihat ke luar, alam pikirannya teringat kedua orang tuanya.
"Orang tuaku sekarang berada di surga, mereka sedang melihatku dari sana. Apakah mereka bangga kepadaku?" tanya Leo.
"Tentu saja Tuan, mereka pasti sangat bangga melihat Tuan seperti sekarang," jawab Pak Bowo.
"Mereka meninggalkanku sendirian saat umurku 17 tahun. Masa muda, aku habiskan untuk belajar dan bekerja keras. Untuk orang yang tidak mengenalku, aku adalah manusia yang paling beruntung," sejenak Leo terdiam dengan senyum sinis tersungging dibibirnya, raut wajahnya penuh misteri.
"Saat Tuan Besar dan Nyonya Besar kecelakaan, Tuan masih sangat muda."
"Mereka tidak tahu betapa kerasnya hidupku. Sayap yang aku kembangkan agar perusahaan berkembang pesat seperti saat ini," Leo terdiam sejenak, tatapannya tajam menembus gelapnya malam. "Harus menyingkirkan orang yang menghalangi jalanku," lanjutnya.
"Berada di dunia bisnis memang terkadang seperti itu Tuan." Pak Bowo memotong pembicaraan Leo.
Leo mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Di buka dan diambilnya sebatang, menyalakan dan menghisapnya dalam-dalam. Tatapannya kembali melihat gelapnya malam di luar jendela. "Kamu hanya mengenalku di rumah saja Pak Bowo, kamu tidak mengenalku seluruhnya. Aku bukan orang baik, tanganku tidak bersih." Nampak Leo tersenyum sinis di antara kepulan asap yang menutupi sebagian wajahnya.
"Setiap orang mempunyai perjalanan hidup yang berbeda Tuan."
"Begitu pun denganku. Ada sosok diriku yang tidak kamu kenal, suatu saat kamu akan tahu siapa diriku yang sebenarnya." Leo menghisap rokoknya kuat, menghembuskannya perlahan menutupi wajah tampannya yang menyimpan seribu misteri.
"Buat kami Tuan adalah orang baik. Kami para pelayan tidak pernah melihat Tuan melakukan kejahatan apa pun kecuali ---," Pak Bowo menggantungkan kalimatnya.
"Kecuali tidur dengan banyak wanita, bukan begitu?" Tatapan Leo beralih melihat ke arah Pak Bowo dengan tersenyum.
Pak Bowo terdiam, pikirannya bingung harus menjawab apa.
"Tidak usah takut, aku juga mengakuinya. Memang benar, entah sudah berapa banyak wanita yang aku tiduri." Leo tertawa kecil.
"Maaf Tuan," Pak Bowo menjadi tidak enak hati.
"Tidur dengan banyak wanita hanya salah satu dari sisi gelapku. Banyak yang tidak kamu ketahui, kenapa aku bisa mengembangkan sayapku sampai bisa sesukses ini. Orang yang lemah hanya akan menjadi alas kaki untuk orang yang kuat. Suatu saat kamu juga akan tahu siapa sebenarnya Leonardo Albert Winston."
Pak Bowo terdiam, pikirannya berusaha mencerna apa maksud dari perkataan Tuannya.
"Sudah waktunya aku harus pergi ke acara perusahaanku. Selama aku tidak ada, pastikan Mansion dalam keadaan aman." Leo mematikan rokoknya.
"Jangan khawatir Tuan, semua akan baik-baik saja di sini. Nikmati saja acaranya."
Leo kembali bercermin, merapikan rambutnya yang di sisir ke belakang. Tersenyum sinis melihat pantulan dirinya di cermin "Leonardo Albert Winston, kamu aktor yang paling hebat di muka bumi ini, yang manakah dirimu?"