Aku menghentikan mobil di halaman parkir gedung apartemen termewah di New York. Del Millero Central Tower, sebuah brand properti yang berada di bawah perusahaan besar Del Millero. Perusahaan terbesar di dunia yang berasal dari Spanyol.
Dengan harga yang bisa mengubah hidupku dalam sepuluh tahun ke depan, di sinilah tempat bos baruku berada. Perintahnya yang menyuruhku untuk menemuinya di pagi hari ini membuatku berakhir di sini.
Menghela napas untuk menenangkan diriku, aku berusaha untuk menebalkan pertahanan diriku. Entah apa yang akan dilakukan Rafael Dimitriou nanti, aku harus bisa melawannya. Aku tidak boleh lemah. Aku bukan gadis lemah.
Akhirnya, aku keluar dari mobil dengan langkah mantap yang lembut. Berusaha terlihat biasa saja dan tidak terkejut dengan bagian dalam lobi yang tampak mewah, bahkan pelayanan dari para pekerja gedung apartemen ini cukup sopan dan elegan.
Aku masuk ke lift yang kosong, dan hendak menyentuh layar canggih yang menunjukkan nomor nomor lantai namun seorang pria yang berlari ke arah lift yang akan tertutup sebentar lagi membuatku menekan ikon agar pintu terbuka lagi.
Pria dengan setelan formal itu akhirnya masuk, dan aku bisa mencium aroma smooky parfumnya yang menusuk hidungku.
"Terima kasih, Nona." Ucapnya padaku.
Aku menoleh seraya menekan angka 95, di mana tempat penthouse bos gila itu berada.
Aku menatap wajah tampannya yang, astaga dia benar benar tampan, sedang menatapku dengan senyuman manisnya. Dia tidak punya lesung pipit, tapi ada dua gigi gingsul yang membuatnya terlihat semakin tampan saat dia tertawa. Tubuhnya atletis, dan semua yang terpasang di tubuhnya terlihat sangat mewah.
Dan, pastinya pria ini bukan orang biasa.
Aku mengangguk dengan canggung. "Tidak apa apa. Lantai berapa?"
"140, please."
O-ow. Kesadaran kalau kami akan menghabiskan waktu yang sedikit lama di lift ini membuatku sedikit canggung. Aku menekan tombol angka terakhir lantai ini yang dia sebutkan, dan kemudian melangkah mundur untuk menyender di dinding lift.
"Apa kau penghuni di sini?" tanyanya.
Aku menggeleng, "Bosku yang ada di sini."
"Ah." Dia mengangguk. "Siapa bosmu?"
"Rafael Dimitriou."
Keterkejutan terlihat di wajahnya sekilas, lalu yang ada hanya sebuah wajah ramah yang dia pasang sejak tadi. "Rafael. Aku tidak menyangka dia semanja ini sampai harus merepotkan orang."
Aku tersenyum kecut "Ya, bukannya tugas seorang bos adalah merepotkan pegawainya?" balasku.
Dia tertawa sampai kedua matanya menyipit.
"Kau mengenalnya dengan baik?" tanyaku penasaran. Dari cara menyebutnya pria ini sepertinya dia akrab dengan Rafael. Dan, mungkin saja pria ini bukanlah kolega bisnis Rafael. Dia tidak akan menyebut nama bos besar berengsek itu dengan santai.
Pria tampan itu menaikkan bahu, "Ya, kami satu kampus."
Aku menganggukkan kepala mengerti. "Sepertinya kalian dekat."
"Lebih seperti 'dia ingin menendang wajah tampanku saat kami bertemu'." Balasnya dengan tawa yang membuatku mau tak mau tertawa juga. "Aku Zane. Kau?" dia menawarkan tangan maskulinnya.
Aku menjabatnya dengan kikuk, "Aku Aubrey. Senang berkenalan denganmu, Zane." Aku menelan ludah saat merasakan tangan besarnya yang kasar, dan kemudian aku melepaskannya dengan cepat.
Zane menurunkan tangan ke sisinya, dia mengangguk. "Senang berkenalan denganmu juga, Aubrey." Dia masih menampakkan wajah ramah dan lucunya yang benar benar terlihat tampan.
"Lalu, apa keperluanmu di sini, Zane?" tanyaku berusaha untuk membalas keramahannya.
Zane menggaruk kepalanya yang miring dengan telunjuk kanannya, "Rapat bisnis."
"Rapat di lantai tertinggi gedung ini? Luar biasa." Aku bersuara dengan nada kagumku yang aku tahan-tahan. Aku pernah melihat foto foto dan beberapa artikel tentang apa saja yang ada di dalam lantai tertinggi gedung ini, yang menurutku sangat luar biasa. Dari ketinggian yang hampir mencapai 500 meter, siapa saja bisa melihat kota New York secara keseluruhan. Semuanya tampak kecil dan indah. Restoran mahal dan bar eksklusif juga ada di sana untuk menjadi pendamping saat kita menikmati keindahan pemandangan atas kota New York, dan ada banyak fasilitas fasilitas untuk dinikmati para pengunjung. Mengunjungi lantai teratas gedung ini sudah menjadi salah satu angan anganku. Sayangnya, harga untuk menikmati itu setara dengan harga sewa flatku selama dua tahun. Benar benar mahal.
Aku bahkan tidak berani berharap untuk bisa ke sana, karena takut itu tidak akan terwujud.
Zane menatapku dengan hidung mengerut sebentar, yang aku tebak karena reaksiku yang terlalu semangat. Tapi kemudian dia menarik senyumnya lagi, dan kemudian berkata. "Apa kau ingin ke sana?"
Aku berkedip. Apa reaksiku terlalu ketara, dan terlihat menyedihkan baginya sampai dia bertanya seperti itu?
"Siapa yang tidak? Bagi budak korporat seperti kami, mungkin itu adalah salah satu angan angan untuk penyemangat kerja kami." Jawabku.
Dia terkekeh sembari mengangguk. "Ya, kau benar." Ada jeda, dia kemudian menatapku lekat. "Lalu, jika ada seseorang yang mengajakmu untuk kencan semalam di sana. Apa kau akan menerimanya?"
Aku memiringkan kepala, "Mungkin jika aku sudah mengenal baik orang itu, aku akan melakukannya."
"Lalu, apa kau ingin kita saling mengenal?"
Pertanyaannya membuatku melotot padanya.
"Apa salahnya? Kau sangat baik, ramah, dan juga sangat santai padahal kita baru bertemu dan baru berbincang beberapa kata. Dan, aku pikir kita akan menjadi teman baik."
Kata katanya tidak membuatku lebih baik. Itu malah terasa aneh. Tidak seharusnya seorang pria langsung mengajak berteman di saat mereka baru saja bertemu. 'tapi kau bahkan sudah bercinta dengan pria yang baru kau kenal beberapa jam. Aku menepis suara batin sialanku itu.
Dia tertawa karena, aku rasa, melihat raut tidak mengenakkan yang tercetak jelas di wajahku "Astaga, aku bisa menjamin kepadamu kalau aku bukan psikopat atau pembunuh berantai, atau penipu."
"Itu yang dikatakan seorang psikopat, pembunuh berantai, dan penipu."
Tawa pria asing yang sangat tampan itu semakin keras. Aku bahkan tidak tahu apa yang lucu dari ucapanku itu. Aku menatapnya dengan kening yang berkerut.
"Aku bersumpah padamu, Aubrey." Ucapnya dengan sungguh sungguh saat tawanya sudah berhenti. "Aku akan membiarkan Rafael Dimitriou menendang wajahku jika aku melakukan itu."
Aku menggeleng pelan, "Naah, dia tidak mungkin rela menendang wajahmu hanya karena itu."
Zane terdiam beberapa detik dengan matanya menatapku lekat, ada seringai di sana yang membuatku sedikit bergidik ngeri. "Dia akan." Jawabnya pendek dengan wajah misterius.
"Apa maksudmu?"
"Kau adalah satu satunya orang yang diperbolehkan datang ke tempat pribadinya. Aku bertaruh kalau dia tertarik padamu."
Dia benar, dan itu membuatku takut. Aku hanya berdeham, "Kau hanya mengada ada, Zane."
Zane terkekeh, "Bisa saja aku hanya mengada-ada, tapi melihat sekertaris terdekat nya tidak diperbolehkan datang ke tempat pribadinya, aku jadi berpikir seperti itu."
Aku tidak menyambut hal itu dengan serius, "Mungkin dia mencoba untuk mengubah kebiasaannya."
Zane menaikkan bahu. "Mungkin saja." Dia kemudian melemparkan senyum lagi padaku. "Apa kau tidak tertarik dengan bosmu itu?"
Aku mengerutkan kening. Sebelum aku menjawabnya, dia sudah berkata lagi.
"Melihat kau yang, bahkan, tidak tertarik padaku....kau mungkin tidak tertarik pada nya."
Keningku semakin berkerut. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Karena banyak yang mengatakan kalau aku lebih tampan dan menarik daripada bos sialanmu itu. Jadi, yah, kau bisa memikirkannya sendiri."
Aku tertawa mendengar kepercayaan dirinya yang benar benar patut di acungi jempol. Aku tidak tahu bagaimana caranya membandingkan ketampanan para pria karena menurutku semua pria tampan, yang membuat berbeda hanya pesona dan aura yang mereka berikan pada orang orang di sekelilingnya.
Aura Zane menyenangkan, ceria, dan cara berbicaranya yang santai . Dia tampan dengan cara itu. Berbeda dengan Rafael Dimitriou yang mengintimidasi dengan aura dominan yang menyeramkan. Dan, Rafael mempesona dengan cara itu. Jadi, yah, begitu aku tidak bisa membandingkan mereka. Yang bisa aku bandingkan hanya kelakuan mereka. Yang satu berengsek dengan cara menyeramkan, dan aku pikir yang ini berengsek dengan cara menyenangkan. Tapi bukankah itu yang semakin berbahaya? Dia bisa saja membuat wanita salah paham dengan sifatnya itu.
"Aku tidak tertarik dengan pria yang membanggakan ketampanan mereka bak tropi." Balasku.
"Jadi, kau tertarik dengan pria yang seperti apa?"
Aku menarik senyum, merapatkan tali tasku, "Pria yang bukan seperti itu."
"Bagai jarum dalam jerami untuk mencari pria baik di jaman sekarang, Aubrey."
Dia menyebalkan karena dia benar, aku terkekeh pelan. "Kalau begitu, mungkin hidup sendiri lebih baik."
Zane diam saat pintu lift terbuka menampakkan pintu masuk berbahan kaca menuju ruang tengah penthouse milik Rafael Dimitriou. Di kedua sisi ada dua pria kekar dengan kaca mata yang menjaga tempat ini, aku rasa. Aku menarik napas untuk menenangkan diriku yang tiba tiba gugup.
"Sampai jumpa lagi, Aubrey."
Aku menoleh ke belakang pada Zane yang menyeringai, "Selamat tinggal, Zane." Balasku dengan sarkastik.
Dia tertawa.
Aku melangkah maju menjauh dari lift yang tertutup. Bersiap untuk menghadapi sumber kesialanku.
..................................
Aku melangkah mengikuti salah satu bodiguard yang menunjukkan di mana Rafael berada saat ini.
Penthouse ini sangat luas dengan dua lantai yang dihiasi oleh pemandangan gedung gedung pencakar langit New York yang terpampang di balik dinding kaca dan juga diisi oleh beberapa perabotan mewah yang membuatku menelan ludah. Aku juga melihat ada kolam di balkon lantai satu yang mengikuti lebar ruang tengah yang ada di dalam, dan kemudian bagian dapur yang dibatasi oleh dinding kaca di sela sela ruang tengah.
Pria kekar ini membawaku ke tangga dengan keramik hitam yang terletak di ujung ruangan, aku melangkah naik dan setengah mati menahan diriku agar tidak pingsan dalam prosesnya.
Apa yang ada di lantai dua kembali memanjakan mataku. Di sini ada meja counter panjang berwarna hitam yang berhadapan dengan pemandangan kota New York dengan banyaknya botol botol berbagai macam jenis alkohol yang tersusun dengan rapi di lemari. Sudah seperti bar, tapi milik pribadi. Di depannya ada sofa melingkar berwarna abu abu, sebuah meja biliar yang berada tidak jauh dari sofa, dan kemudian dua lemari besar dengan banyaknya buku.
Pria kekar ini membawaku melewati bar pribadi itu menuju sebuah lorong terang pendek. Di ujung sana ada sebuah dinding berwarna biru gelap yang membatasi, dan sebuah pintu di tengah tengahnya. Tanpa bertanya apa pun, aku sudah tahu kalau ini adalah letak kamar Rafael.
Dia menarik knop pintu, tidak lebar namun cukup bagiku untuk masuk. "Masuk saja, Miss. Mr Dimitriou ada di dalam."
Aku menelan ludah, "Apa itu sopan? Kenapa kita tidak masuk bersama saja?" tanyaku.
Dia menggeleng, "Mr D sudah menyampaikan kalau kau hanya perlu untuk masuk saja."
Aku menelan ludah, dan kemudian tersenyum segaris pada bodiguard itu. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih."
Menarik napas dan menghembuskannya pelan. Aku mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi sedetik setelah aku melangkahkan kaki ke dalam kandang buaya itu.
Semoga saja dia tidak melakukan hal hal aneh lagi padaku.
Aku melangkah satu sampai tiga langkah, menatap sekeliling kamar yang luasnya dua kali lipat daripada flatku. Ranjang berukuran kingsize warna abu abu ada di tengah tengah ruangan, berhadapan dengan dinding kaca dan balkon, lalu sisa dinding lainnya diwarnai dengan warna biru gelap terdapat meja nakas di sisinya.
Ada meja besar dengan PC di ujung ruangan, dan kemudian ada dua pintu yang bersisian di bagian dinding kanan ruangan, lalu sofa kecil yang berada tidak jauh dari ranjang. Semua terlihat rapi dan elegan, dan sepi. Aku mengedarkan pandangan mencari cari pria yang menyuruhku untuk datang ke penthouse mewahnya ini. Yang pada akhirnya membuatku merasa tidak berdaya dan berpikir 'betapa miskinnya aku'.
Aku mengedarkan pandangan ke segala arah dengan canggung, aku kemudian duduk di sofa dan kembali memeriksa pekerjaan yang sudah kususun sebelumnya. Jadwal hari ini, beberapa proposal dan laporan laporan yang diabaikan karena pergantian bos baru. Tadi malam aku tidak bisa tidur, jadi aku lebih memilih mengerjakan semua ini, dibantu oleh sekertaris Direktur Utama yang lama. Namanya Ms. Johnson, dan dia sekarang menjabat sebagai pegawai eksekutif di bawah Rafael Dimitriou juga. Jadi otomatis itu akan mempermudahku.
Pintu yang terbuka membuatku berjengit kaget, dan otomatis membuatku menatap ke asal suara.
Bosku yang baru itu keluar dari salah satu pintu dan kemeja putih dan celana jeans tanpa jas. Aku menatap gaya berpakaiannya yang menurutku terlalu santai itu. Selama aku bekerja di perusahaannya, aku tidak pernah melihat Direktur Utama yang lama menggunakan pakaian sesantai ini. Celana jeans? Memangnya dia pikir kami akan bertamasya?
"Selamat pagi, sir."
Matanya birunya menatap ke arahku dengan pandangan lekat, sebelum dia mendekat ke arahku, dan aku baru sadar ada dasi yang menggantung di tangannya. Dia menyerahkan padaku saat dia sudah berada di depanku. Menghela napas, aku berdiri dan melakukan apa yang dia inginkan. Aroma musk bercampur dengan smooky khas dari tubuhnya tercium saat aku mendekat padanya.
Aku menarik dasi dari tangannya, menaikkan kerah kemejanya, dan mencoba untuk menahan mataku tidak menatap wajahnya. Aku bisa merasakan bagaimana intensnya bosku ini menatapku, aku bergidik ngeri.
"Aku pikir kau akan terlambat karena terlalu asik mengobrol dengan pria itu di lift."
Aku mengerutkan kening. Dari mana pula Rafael mengetahui itu?
"Kau pasti bertanya tanya bagaimana bisa aku mengetahuinya, kan?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik karena kami sangat dekat.
Aku melipat dasi itu dengan cepat. Aku menggeleng, dan kemudian berkata, "Aku yakin, somehow, kau mempunyai akses untuk melakukan apa pun yang kau inginkan. Bahkan melihat rekaman CCTV." Jawabku.
"Pintar sekali menjawabku."
Aku hanya menaikkan bahu, mengikat simpul terakhir dasinya dan kemudian menjauh. "Aku tidak akan bekerja di perusahaanmu jika aku bodoh, sir."
"Jika kau pintar, kau tahu tata krama saat berbicara," Aku bisa merasakan jari telunjuk Rafael di daguku, yang membuatku mengangkat tatapan ke arahnya. Aku menatap mata birunya yang terlihat seperti Blue Hole lautan itu. "...yaitu, menatap lawan bicara."
Aku menghela napas, dan menepis jari di daguku itu dengan pelan. "Kau harus bersiap siap, sir. Kita harus berangkat satu jam lagi." Ucapku.
Menunduk untuk meraih iPadku, tetapi tangan pria itu mengambilnya. "Ikut aku sarapan." Ucapnya dengan nada memerintah miliknya yang sudah bosan kudengar. Bukan hanya menggunakan suara, dia juga menarikku keluar kamar. Aku dengan tertatih tatih mengikutinya seraya menaruh tasku di bahu.
"Kau tidak perlu menarikku, sir." Ucapku dengan sebal.
Di depanku, dia menaikkan bahu. "Kau terlalu lamban. Aku tidak sabar." Ucapnya tanpa menoleh.
Aku tidak menjawab apa apa, dan hanya bisa menahan kekesalan di dadaku. Dia menarikku melewati bar pribadinya, dan melangkah terus sampai aku melihat sebuah dapur di balik dinding di ruangan bar tadi. Di sini ada dapur juga, yang membuatnya berbeda dari dapur di lantai satu adalah di sini lebih kecil, meja makannya juga kecil.
Kenapa ada dua dapur? Pertanyaan itu tidak aku suarakan.
Dia melepaskan tanganku dan kemudian duduk di salah satu kursi di meja makan. "Buatkan aku sarapan." Dia menatapku dengan tatapan tajam. "Aku ingin roti lapis dan kopi." Dan, dia menunduk, entah melakukan apa dengan iPadku.
Rasanya, aku ingin sekali mengumpat di depan wajahnya.
Ini bukan jobdesk milikku. Aku tidak pernah melakukan ini saat bekerja bersama Yelena. Apa yang aku lakukan adalah seputar kantor dan tidak pernah masuk ke ranah pribadi. Dan, kini aku bahkan harus memasakkan bos baruku sarapan.
What a job!
Menghela napas, aku melangkah pelan ke arah konter dapur. Terpaksa harus melakukan apa yang dia inginkan. Jika aku melawan dan selalu menunjukkan tandukku padanya, aku takut dia akan melakukan sesuatu padaku. Yang sangat tidak aku inginkan.
Pertama, aku akan membuatkannya kopi. Aku memunggunginya, menarik gelas, dan mengambil biji kopi yang sudah tersedia di tempatnya. Kemudian, aku menaruhnya ke dalam mesin kopi, lalu menekan tombol On di sana.
Aku masih tetap memunggungi pria itu sampai kopi itu selesai. Dan kemudian menyeduhnya dengan air panas. Dapur kecil yang mewah dan modern ini membuatku leluasa melakukan apa pun tanpa takut untuk melakukan kesalahan.
Memutar tubuhku, aku melangkah untuk menaruh segelas kopi di depannya. Dan, kemudian aku kembali memasak sarapan dengan menu yang diinginkan. Semua sudah tersedia di sini dan ini memudahkanku.
Aku mati-matian mencoba untuk mengabaikan pria itu yang mengawasi segala gerak gerikku dengan mata biru tajamnya. Aku ingin ini cepat selesai, jadi aku sebisa mungkin melakukan ini dengan cepat. Bagaimanapun, berada di kantor lebih baik daripada berdua di sini, di tempat teritorialnya yang membuat dia bebas melakukan apa saja denganku.
Tidak butuh waktu lama, aku menyajikan sarapan di depannya.
"Kenapa hanya satu? Apa kau tidak sarapan?" tanyanya, menaruh iPad di atas meja.
"Aku sudah sarapan, sir." Jawabku, menarik iPadku dan memilih untuk kembali memeriksa pekerjaanku sampai dia selesai.
Dalam hati, aku berharap-harap kalau hari ini perjalanan hidupku akan berjalan normal.
Semoga saja.