webnovel

Chapter 24 - Ke perbatasan (1)

"Anda kembali dengan pakaian kotor seperti dugaan saya, tuan muda."

Valias meminum teh hangat manis dari Alister. Mendengar Alister berkata seperti itu Valias hampir tersedak.

Ha?

Valias membalas senyuman Alister dengan kernyitannya.

...Apa yang dia maksud dengan dia sudah menduganya?

Tapi Alister tidak mengatakan apapun lagi dan Valias pun memutuskan untuk melupakan keanehan pelayan tua itu.

Alister masih membantunya membersihkan tubuh dan berpakaian lalu memberikan sarapannya. Lukanya sudah mulai sembuh dan hanya tersisa korengnya saja. Lengannya sudah tidak diperban dan diobati lagi.

Valias menghabiskan sarapannya di dalam kamar dan mulai memikirkan hal apa yang akan ia lakukan hari itu. Mulai berpikir untuk kembali berdiam diri di ruangan baca mengintip isi buku-buku lagi.

Tapi mungkin kali ini dia akan membaca beberapa buku. Memperluas pengetahuannya tentang sang dunia cerita.

Pintu kamar dibuka oleh Alister dan Valias melihat sosok Dina dan Danial, berdiri berdua di depan pintu kamar.

"Kakak!"  Dina berhambur meraih pinggang Valias yang masih berpijak di dalam kamar.

"Kakak! Kakak terluka lagi? Kapan kakak kembali dari istana? Apa kakak baik-baik saja?"

Valias memegang bahu Dina setelah sempat terkejut dengan benturan tubuh anak itu ke tubuhnya. "Iya. Aku baik-baik saja. Cuma berdarah dari hidung seperti waktu itu. Tidak ada luka. Aku sudah cukup istirahat. Dan aku kembali tadi malam."

"Aku dengar istana diserang saat kakak masih di sana."

Valias memandang Danial yang menatapnya dengan wajah datar tapi dengan mata yang memancarkan kekhawatiran. Valias merasa Danial lucu dan memberi senyum hangat.

"Benar. Tapi aku baik-baik saja. Darimana kamu dengar itu?"

"Aku mendengarnya dari orang-orang di tempat latihan." Danial menurunkan pandangannya. Kalau Valias perhatikan lagi, Danial memakai setelan yang lebih santai dan terlihat sedikit berkeringat.

"Kamu langsung kesini setelah mendengar itu?"

Danial semakin menundukkan kepalanya. "Mereka bilang kakak terluka."

Oh..

Valias merasa kakak adik dan orangtua Valias begitu perhatian dan baik. Valias bertanya-tanya apa yang membuat Valias Bardev yang asli begitu dingin pada keluarganya.

"Apa lagi yang sudah kamu dengar?"

Danial memegang lengan kanannya. "Mereka bilang pelaku yang menyerang kakak menyerang istana. Dan kakak membantu yang mulia berbicara dengan mereka."

Valias menyetujui hal yang didengar Danial.

"Mereka menyakiti kakak lagi?!" Dina berseru. Valias langsung menepuk kepalanya.

"Tidak. Aku berdarah karena alasan lain dan mereka tidak menyentuhku sama sekali. Jangan khawatir."

"..Tapi kakak tetap berdarah." Danial kembali bicara.

"Iya, tapi sekarang aku sudah tidak apa-apa jadi kalian sudah tidak perlu khawatir." Valias memutuskan untuk menyerah meyakinkan orang-orang kalau dia sudah benar-benar tidak apa-apa.

"Aku akan pergi ke ruang baca. Kamu kembali lah. Dan Dina, jangan lupa sarapan dan belajar dengan guru Mallory, oke?"

"....Tapi kakak juga berdarah saat di ruang baca. Jangan memaksakan diri."

Danial menonton kepergian Valias dan mendapat tepukan di kepalanya.

"Kamu anak yang baik. Kamu akan menjadi pria yang hebat. Aku tidak akan memaksakan diri. Jangan tinggalkan latihanmu, mengerti?" Valias memberikan senyum kecil dan mengacak rambut Danial sedikit sebelum meninggalkan Danial dan Dina didepan kamarnya.

"Saya akan mengawasi kakak Anda, tuan muda. Tolong jangan khawatir." Alister memberikan senyum ramahnya seraya membungkuk ke arah Danial dan mulai mengikuti langkah Valias.

***

Valias sedang membaca buku di atas meja dan tamu yang tidak dia sangka datang menemuinya di dalam ruang baca.

"Hai Valias."

Wistar, dengan senyum jenakanya muncul di depan pintu ruang baca yang terbuka. Dylan yang berwajah datar berdiri di sampingnya.

Valias benar-benar tidak menyangka kedatangan mereka dan mengernyitkan dahi.

"Aku mengajak Dylan bersamaku."

Lebih tepatnya membawa paksa.

Duga Valias.

"Kapan Anda kembali, yang mulia Wissy?"

Valias memberikan senyum kecil dari kursinya. Wistar melihat senyum itu sebelum mengedipkan mata dan mulai tertawa terbahak bahak.

"Kau memang yang terbaik. Aku senang akhirnya kau memanggilku itu. Kau juga bisa bicara dengan lebih santai padaku, kau tau? Aku ingin berteman denganmu."

Valias hanya mengangguk khusyuk dan kembali melekatkan matanya pada tulisan di dalam buku di depannya.

"Ayo, Dylan. Kau dengar dia? Dia memanggilku Wissy. Kenapa kau selalu mengabaikanku?" Wistar meraih bahu Dylan dan menggiringnya paksa untuk duduk di meja yang sama dengan Valias.

"Kau baca apa?"

"Elf."

"..Kau tertarik dengan makhluk khayalan seperti itu?"

Valias merasa pertanyaan itu konyol karena sihir yang merupakan khayalan saja merupakan hal nyata di sini.

"Anda pernah mendengar tentang mereka?"

"Sudah kubilang untuk santai padaku. Dan ya. Ada beberapa buku yang menyebut mereka. Tapi bahkan orang-orang belum pernah melihat mereka. Aku yakin mereka tidak ada. Dan oh. Aku dan semua orang kembali pagi ini setelah kakak memberi tahuku. Jadi negosiasinya berhasil? Kau hebat, Valias. Aku benar-benar kagum padamu."

Wistar memasang senyum ceria. Matanya berbinar dan tampaknya dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Dylan mengangkat alisnya. "Negosiasi apa?"

"Oh, Dylan. Kau tidak tahu? Valias memberi tahu kakakku kalau dia tahu identitas pelaku penyerangan waktu itu. Orang-orang itu datang ke istana menemui kakak dan Valias menemani kak Frey bernegosiasi dengan mereka."

Dylan mengernyit. "...Darimana kau tau itu?"

Pertanyaan itu ditujukan pada Valias.

"Dylan. Kau tidak tahu apa-apa. Kau pikir kenapa ayahku meninggal tapi Valias hidup?"

Dylan membulatkan matanya.

"..Kau..? Kau bagian dari mereka? Kau sudah menemukan cara untuk mengatasi racun?"

Dylan langsung memukul meja, melekatkan pandangannya pada pria seumuran berambut merah di seberang duduknya.

Dylan sudah memikirkan banyak hal sejak kepulangannya dari istana dan mendengar rumor tentang keluarga Bardev dan Valias Bardev. Juga peristiwa malam itu.

Dylan tidak ingin percaya. Dugaannya, dugaan banyak orang, benar?

Dan Wistar sudah tahu. Tapi Valias tidak dihukum?

Valias cukup terkejut dengan gerakan tiba-tiba Dylan dan mulai merasa interaksi antara kedua tamunya itu melibatkannya dan membuatnya berada di posisi yang membuatnya tidak nyaman.

"Dylan. Valias mendapat pesan dari dewa dan mendapatkan cara untuk mengobati racun di tubuhnya!"

Dylan semakin mengernyit dan Valias ikut mengernyitkan dahinya diam-diam.

"....Dewa?"

"Ya. Dia mendapat pesan ini..." Wistar mulai mengulangi cerita Valias yang pria berambut merah itu ceritakan di depan dirinya dan Frey.

Dylan mendengarkan cerita itu dan kembali membulatkan matanya.

"..Kau??" Sekali lagi dia memandang Valias tajam yang masih tidak berani mengangkat wajahnya dari buku.

"Aku juga tidak tahu kenapa dia bisa tahu semua itu. Tapi mungkin dewa memberinya pesan lagi."

Dahi Valias semakin berkerut.

..Apa yang sebenarnya sudah kulakukan?

Omong kosong yang dia katakan menyelamatkannya dari kecurigaan tapi juga membawanya pada kesalahpahaman baru.

"..Kau.. aksimu malam itu.. itukah cara mengatasi racun?"

Dylan bertanya dengan mata nanar.

Tentu itu bukan cara yang benar. Melainkan hanya cara yang Valias gunakan untuk meminimalisir efek racunnya.

"Tidak. Dia sendiri masih tidak tahu caranya. Tapi setidaknya dengan semua darah itu racunnya kembali keluar dan membuatnya tetap hidup."

Wistar terlihat begitu bangga dengan semua pengetahuannya. Ini pertama kalinya Dylan mendengarkannya dan Wistar merasa begitu semangat dengan ocehannya.

Sedangkan Dylan masih memandang Valias di depannya dengan mata lebar, dahi berkerut, dan wajah tidak percaya.

Keheningan berlangsung. Valias masih menolak untuk mengangkat wajahnya.

Dia tidak bisa fokus, tapi memaksa dirinya untuk membaca kata-kata didepannya.

"Saya rasa tuan muda memang cukup mengejutkan orang-orang di sekelilingnya. Apakah ada rahasia lain yang Anda miliki, tuan muda."

Alister tersenyum palsu di belakang Valias yang menunduk.

"Iya kan? Aku tidak mengira ada orang seperti Valias di Hayden. Kau berpikir seperti itu juga kan?" Wistar menyikut lengan Dylan yang masih belum memalingkan mata bulatnya dari Valias.

..Sampai kapan dia akan melihatku seperti itu?

Valias sudah merasa tidak nyaman dan semakin merasa tidak nyaman setelah mendengar ucapan Alister.

Valias memutuskan untuk menutup bukunya dan pergi.

"Eh? Kau mau kemana?"

Valias menempelkan bibirnya rapat. "Ada yang ingin kulakukan." Valias pergi tanpa mengatakan apa-apa.

"Apa? Aku ikut!" Wistar ikut bangun dari kursinya. "Dylan!"

Wistar menggaet tangan Dylan dan menarik anak itu bersamanya.

Alister pun, mengikuti tuan mudanya pergi, meninggalkan kekacauan ringan yang tuan mudanya sebabkan mengetahui orang lain akan membereskannya.

Orang tua itu juga, cukup tertarik dengan apa yang akan Valias lakukan, dan ingin melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

Tempat yang Valias tuju adalah kamarnya. Dan Wistar, bersama Dylan ikut masuk tanpa tahu malu dan segera dikejutkan dengan pemandangan yang dia lihat.

"..I, Ini.." Wistar masih memeluk tangan Dylan dan tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Begitupun Dylan yang rasa kesalnya sudah kembali digantikan dengan ketidakpercayaan.

Mereka berdua memandang sosok berambut merah dengan tubuh kurus yang berjalan santai di antara kertas-kertas dan beberapa buku itu.

"..Valias.. Ini.." Wistar masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya dan masih memegang tangan Dylan. Tapi dia tidak mendengar Valias menanggapinya. Valias juga tidak memberi tatapannya dan justru mengambil sebuah buku dan membukanya.

Dylan menyadari noda cokelat di beberapa kertas, melepaskan tangannya dari Wistar yang masih tidak bergerak sama sekali dan tampak tidak sadar dengan kepergian tangan yang dia peluk, dan mengambil kertas yang menarik perhatiannya itu.

Dylan tidak mengerti tulisannya. Dia tidak pernah melihat tulisan seperti itu. Dia melihat beberapa kertas lain dalam jumlah yang cukup banyak yang juga memiliki noda cokelat di beberapa titik. Dan bahkan ada kertas yang memiliki noda cokelat dalam ukuran besar.

Apakah dia yang menulis ini?

Dia membawa matanya ke arah Valias yang diam berdiri di sisi ruangan dengan buku di tangannya.

Wistar, akhirnya tersadar dari lamunannya, meraih buku yang tidak sengaja diinjaknya.

"..Valias.. Kau menulis ini?" Wistar melihat dan membaca buku itu dan terkejut dengan isinya.

"....Bukan kau yang menulisnya. Tapi,"

Tulisan tangan dan sketsa. Bukan buku, melainkan jurnal.

Jurnal yang ditulis oleh orang yang seolah mengaku mendatangi tempat yang begitu asing bagi Wistar.

Apakah tempat-tempat ini benar-benar ada?

Wistar bertanya-tanya.

Semuanya. Sebutan dan gambar. Mereka terlalu asing dan tidak terasa nyata baginya.

Dylan, di tempat lain, membuka buku berbeda dan berpikiran sama.

Alister berdiri di dekat pintu yang masih terbuka, menyaksikan dua remaja yang memandangi tuannya dengan wajah tidak percaya. Alister ingin tahu, tapi tidak memiliki niatan untuk membacanya sendiri. Menyaksikan apa yang Valias lakukan dan tingkah sang pangeran dan putra duke sudah cukup memuaskannya.

Mereka melihat Valias menutup buku di tangannya dan meletakkannya kembali di tempat semula sebelum mengambil buku lain, membukanya sebentar, lalu berjalan ke arah Wistar dan Dylan. Lebih tepatnya ke arah pintu.

"Wissy. Apakah yang mulia Frey sedang sibuk?"

"Y-Ya? Ah. Kak Frey memang selalu sibuk. Tapi jika ada urusan dia akan membiarkanmu menemuinya."

"Em. Aku akan menemuinya."

"..Sekarang?"

"Sekarang." Wistar meletakkan buku di tangannya kembali ke lantai dan mengekori Valias. Begitupun Dylan yang ditinggal melakukan hal yang sama dengan wajah datarnya. Tapi matanya memancarkan rasa penasaran yang besar.

"Apakah saya perlu mendampingi anda, tuan muda?"

"Tidak. Aku akan pergi sendiri lagi."

Alister cemberut tapi tidak mengatakan apa-apa. "..Saya akan menunggu kepulangan Anda."

"Aku tidak peduli meski kau bilang akan pergi sendiri. Tempat yang akan kau datangi adalah rumahku dan aku akan mengajak Dylan bersamaku."

Valias tersenyum kecil tapi Wistar dan Dylan tidak melihat itu.

Pintu terketuk dan Mallory membuka pintu.

"Tuan muda? Ah." Mallory terkejut dengan keberadaan Wistar dan Dylan.

"Yang mulia. Tuan muda Adelard. Maafkan saya tidak mengetahui kedatangan Anda."

"Valias?" Hadden mengangkat wajahnya. Masih di bangku kerja mewahnya.

"Yang mulia. Dylan."

"Selamat siang, ayah. Aku akan pergi ke istana."

"..Lagi?" Hadden mengerutkan dahi. Tabib yang dia panggil tidak bisa datang. Tapi dia mendengar laporan pelayan bahwa anaknya terlihat baik-baik saja dan sedang berada di ruang baca dengan ditemani Alister. Dan sekarang anak itu sedang berada di ruangannya.

"Yang mulia Frey memanggilmu lagi? Tapi ayah pikir, kamu tidak ada urusannya dengan mereka lagi?"

Valias menggeleng.

Ada hal yang harus aku lakukan jika aku mau Bardev hidup damai seperti ini untuk seterusnya.

"Kali ini aku hanya akan bermain. Mungkin aku akan menginap di istana."

Wistar dan Dylan bertanya-tanya apakah Valias sungguh-sungguh dalam perkataannya tapi memilih untuk diam.

"..Benarkah? Kamu hanya ingin mengunjungi istana?" Hadden mengerutkan dahi, tidak terlalu peduli dengan keberadaan Wistar dan hanya terfokus pada putranya.

Hadden cukup terkejut dengan betapa santainya Valias mengucapkan itu. Bagaimanapun istana bukanlah tempat yang bisa didatangi seenaknya bahkan oleh bangsawan sepertinya. Bahkan meskipun Hadden sudah cukup menduga putranya memiliki kedekatan yang cukup erat dengan keluarga kerajaan walaupun mereka belum mengenal lama.

Hadden merapatkan bibirnya. Menahan keresahan di hatinya dan mencoba meyakinkan dirinya kalau putranya mengatakan hal yang sesungguhnya.

"..Ayah mengijinkan. Kamu janji tidak akan terluka?"

Valias memberikan senyum hangat dan mengangguk yakin. "Kali ini aku berjanji tidak akan membuat ayah khawatir. Ayah fokuslah pada pekerjaan ayah. Aku pamit."

Mallory mengantar kepergian tiga remaja itu sebelum melihat ke arah Hadden yang masih belum kembali melanjutkan pekerjaannya.

Mallory menghela nafas diam-diam.

Tuan Hadden yang malang.

Mallory bisa membayangkan keresahan apa yang Hadden rasakan saat ini.

04/06/2022

Measly033