webnovel

Chapter 2 - Kecurigaan (1)

Abimala terdiam sejenak mendengar panggilan pelayan yang bernama Alister itu terhadapnya.

Jadi sekarang namaku Valias?

Dia merasa nama itu terlalu asing baginya.

Sejenak tidak ada jawaban. Namun kemudian Abimala mendengar suara dehaman berat, seperti dari suara seorang pria di umur 40 an.

"Masuk."

Pelayan tua itu, Alister–membuka pintu dan mempersilahkan Abimala masuk dengan tangannya.

Pemandangan yang menyambut Abimala adalah sebuah ruang makan yang seluas dua kali bangunan kost yang dia tinggali bersama 4 orang lainnya. Sebuah meja makan mewah dengan 6 buah kursi mengelilinginya. Empat di antaranya sudah terisi sedangkan dua kosong.

Abimala memutuskan untuk diam sejenak. Mengamati empat orang yang mengisi keempat kursi. Seorang pria dewasa yang sudah memasuki usia untuk menjadi seorang ayah, seorang wanita yang terlihat seusia, lalu seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan.

"K- Kakak.." Anak perempuan itu menoleh pada Valias. Wajahnya terlihat syok. Namun ada kesan senang. Sedangkan tiga orang lainnya memandangi Valias tanpa mengatakan apa-apa. Mereka berwajah datar walaupun mata mereka memancarkan sedikit rasa gugup. Tidak ada yang mengeluarkan suara selain si anak perempuan sebelum sang pria berdeham kecil lagi.

"Duduklah, Valias."

Pria itu lebih tua dari pamannya di kampung. Mungkin seusia ayahnya sekarang jika beliau masih hidup. Valias mengangguk sedikit lalu mendudukkan dirinya di atas bangku berkusion merah.

Hadden Bardev, yang barusan memberi tahu Valias untuk duduk. Menonton anak berumur 18 tahun itu mendudukkan diri di kursi yang berada lima meter di seberangnya.

Hadden menoleh kepada istrinya.

Ruri Bardev, balik menatapnya sebelum kemudian mengangguk. Hadden kemudian menoleh ke sisi kirinya, melihat keadaan kedua anak lainnya.

Mereka terlihat gugup. Dina, anak perempuan yang duduk paling dekat Valias terlihat hampir menangis. Sedangkan Danial memiliki keringat dingin di sisi matanya. Tangannya terlihat kaku. Mungkin sedang meremas serbet di atas pahanya.

Valias, anak tertuanya yang baru dia bawa ke rumah setahun lalu untuk pertama kalinya bersedia makan bersama keluarga dan kedua adiknya.

Hadden melihat rambut sebahu itu sebagai keunikan tersendiri untuk Valias. Helaian merah itu terlihat berkilau memantulkan cahaya lilin di dekatnya.

Hadden berdeham lagi sebelum berbicara.

"Bawakan makanannya."

Valias mendengar suara meja beroda memasuki ruangan. Kemudian Alister kembali muncul di sisinya dengan senyum yang sama meletakkan sebuah piring dengan seporsi steak dan sayuran di atasnya di atas meja di depan Valias.

"Silahkan menikmati, tuan muda."

Valias dalam waktu singkat sudah membiasakan dirinya dengan senyum Alister dan tidak bereaksi selain mengucapkan terima kasih pelan. Alister masih tersenyum namun dia menahan posisinya sebentar sebelum kemudian membungkuk sembari menyipitkan mata dan menghilang dari sudut mata Vilas.

Empat pelayan muda dengan pakaian serupa dengan Alister masing-masing meletakkan sebuah piring dengan hidangan yang sama di hadapan keempat orang lainnya.

Valias mengangkat wajahnya dan matanya berbentrok dengan mata anak perempuan berambut cokelat di sisi kanannya. Anak perempuan itu terkejut dan langsung menundukkan wajahnya. Valias menyadari tangannya yang mengeluarkan keringat dingin dan merasa heran sekaligus sedikit bersalah.

Apakah dia takut padaku?

Hadden menyadari Valias yang menolehkan wajah tanpa ekspresi pada adiknya dan memutuskan untuk berbicara.

"Mari kita berdoa."

Valias mengalihkan perhatiannya pada pria paruh baya di seberangnya. Pria itu sedang menoleh ke arah seorang anak laki-laki yang duduk di sebelah kirinya.

"Danial."

Valias diam-diam mencatat nama itu di benaknya. Anak yang bernama Danial itu mengangguk kecil lalu menyatukan kedua tangannya.

"Aku, Danial Bardev menyampaikan terimakasihku pada Dewa untuk makan malam dan kebersamaan yang diberkahkan pada keluarga kami. Shem."

"Shem." Ketiga orang lainnya berucap kecil di saat yang bersamaan.

Valias terdiam.

Dia menemukan dirinya berada di situasi canggung.

Ah, Tuhan kami berbeda.

Empat orang di depannya melihat Valias canggung sebelum memutuskan untuk mengalihkan pandangan.

"Mari kita makan."

Valias mendengar itu lalu perlahan menyentuh alat makan di hadapannya.

Abimala, Valias, dengan tenang mulai menyantap makanan yang sudah disajikan untuknya. Dia bisa merasakan tatapan orang-orang di depannya tapi dia pura-pura tidak menyadarinya.

"V, Valias."

Valias mengangkat wajahnya dan bertemu dengan tatapan orang di seberangnya beserta wanita yang Valias asumsikan sebagai pasangan suami istri.

Hanya aku yang berambut merah di sini. Mungkin pemilik tubuh ini anak adopsi?

"Ya, tuan."

Insting Valias memberitahunya untuk mengikuti gaya bicara orang tua tadi, Alister. Yang mengetuk pintu sembari mengatakan tuan dan nyonya

Keempat orang di hadapannya terlihat membeku dan kaku, tapi tidak terkejut.

Valias memiliki beberapa bayangan akan situasi yang ada di sekelilingnya itu. Tapi Valias akan memikirkannya nanti.

Sekarang dia ingin menghadapi situasi yang ada di hadapannya terlebih dahulu.

"Aku tidak akan campur tangan dengan hidupmu. Tapi- sebagai ayahmu, aku tidak bisa tidak khawatir padamu. Malam ini sudah bagus. Tapi, bisakah kau makan malam bersama kami lagi sekali-sekali di lain waktu?"

Valias mendengarkan suara lembut diiringi ragu itu dengan seksama.

Wanita yang ada sekitar lima meter di sisi kirinya turut angkat bicara setelah menyiapkan diri. "Ayahmu benar, Valias. Tidak apa jika kau tidak menyukaiku, Danial, dan Dina. Tapi tolong biarkan ayahmu melihat keadaanmu untuk meringankan beban hatinya."

Valias mengalihkan perhatiannya pada kedua tangannya yang masing-masing menggenggam sebuah pisau dan garpu. Mengiris steak yang masih banyak tersisa, bersiap membawa irisan daging itu sebelum berbicara.

"Oke."

Valias merasakan dua orang yang barusan bicara menghela nafas lega. Sedangkan dua anak yang lain merilekskan tubuh mereka.

Ruangan menjadi sedikit lebih tenang. Dengan iringan suara peralatan makan yang terdengar.

Valias menimbang-nimbang sejenak sebelum memutuskan untuk membiarkan sedikit makanan dan minumannya tersisa. Mengelap mulutnya dengan serbet yang dari tadi terlipat di atas meja. Dan bangkit berdiri.

"Alister." sebutnya.

"Ya, tuan muda." sang pelayan itu menjawab.

"Valias? Kau sudah mau pergi?"

Pria yang duduk di seberang bangkunya bicara dengan sedikit iringan kepanikan.

Valias menoleh sebentar dan membungkukkan sedikit tubuhnya. "Iya."

Pria itu terlihat membeku. Namun kemudian memasang senyum di wajah dan bersuara. "Baiklah. Beristirahatlah."

Valias mengangguk dan menoleh pada Alister.

"Tolong bawa aku ke ruanganku."

Alister mengangguk sambil tersenyum menyipitkan mata lagi sebelum berjalan mendahului Valias.

Sebelum meninggalkan ruangan Valias menyempatkan diri untuk melirik satu persatu pelayan muda yang ada di ruangan. Semuanya menunjukkan reaksi serupa. Seolah mereka sudah mengamati Valias sedari tadi sebelum terlonjak ketika diamati balik.

Valias menimbang-nimbang sesuatu sebelum memutuskan untuk merubah permintaannya.

"Tunggu."

Alister membalikkan tubuh menghadap Valias. Valias tidak mengalihkan perhatiannya dari keempat pelayan muda itu.

"Alister. Mereka pasti tahu letak ruanganku, kan?"

Valias bisa merasakan pandangan mata bingung keempat orang yang masih duduk di kursi makan dan kegugupan orang di depan visinya serta senyum Alister.

"Tentu, tuan muda."

Valias berujar.

"Minta salah satu dari mereka untuk mengantarku."

Keempat pelayan itu bergidik. Tapi Valias tidak menunjukkan reaksi.

"Baiklah, tuan muda. Ren." Pelayan tua itu menjawab dan mulai memanggil salah satu pelayan yang tengah berdiri tegang.

Salah satu dari mereka mengangkat wajah dan mengangguk kaku.

"Mari, tuan muda."

Pelayan yang bernama Ren itu segera berusaha menenangkan diri dan memandu Valias. Valias melirik Alister yang balas melirik sebelum tersenyum lagi tanpa menghentikan langkahnya. Valias pikir dengan dirinya meminta pelayan lain maka Alister akan melakukan perkerjaan lain. Tapi ternyata dia tetap menempel padanya. Valias akan membiarkan itu.

Dia meninggalkan pintu ruangan tanpa menyadari pandangan lekat keempat orang yang masih duduk di bangku meja makan ke arahnya.

Tiga orang berjalan bersama. Dua mengekori yang satu. Hingga orang yang berada di paling depan menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh.

"Silahkan beristirahat, tuan muda."

Valias mengangguk lalu memberi tahu pelayan itu untuk kembali. Sedangkan Alister mendahului Valias untuk membukakan pintu.

"Silahkan masuk, tuan muda."

Valias tidak lagi bergidik ngeri atau bingung dengan senyum ramah tamah namun mencurigakan Alister. Tapi sekarang dia memutuskan untuk terang-terangan menunjukkan wajah masamya. Tapi Alister tidak menunjukkan reaksi dan tidak terlihat peduli walaupun Valias yakin Alister menyadari ekspresi yang tengah dia miliki meski dengan wajah yang sedang menunduk itu.

Valias menonton Alister yang beranjak setelah dirinya menginjakkan kaki di dalam ruangan untuk meraih sesuatu di dinding. Tidak ada suara sesuatu yang ditekan atau ditarik tapi seketika ruangan menjadi terang.

Oh Tuhan.

Dengan ruangan yang menjadi terang keadaan di dalam ruangan itu pun terpampang jelas.

Ranjang dengan seprai dan benda-benda lainnya yang berserakan di atas kasur, lembaran kertas dengan tulisan dan gambar tersebar hampir di seluruh ruangan, buku berserakan, dan Valias bisa melihat beberapa bercak coklat di beberapa kertas itu.

Alister tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Berarti itu memanglah keadaan normal ruangan itu.

Ya ampun.

Valias memutuskan untuk mengorganisir pikirannya dan meminta Alister untuk meninggalkannya.

"Tidak perlu saya siapkan air mandi?" sang pelayan bertanya.

Alister mengamati Valias. Tuan mudanya mengeluarkan aura berbeda sejak tadi Alister temukan di koridor dekat taman.

"Tidak."

Valias tidak bisa melihat ekspresi Alister karena dia sedang membelakanginya. Kini senyum ramah itu sudah tidak ada lagi. Digantikan dengan ekspresi datar menusuk.

"Baiklah."

Valias diam di posisinya. Bertanya-tanya apakah Alister sudah beranjak pergi atau belum.

Tanpa Valias sadari, Alister sudah beranjak pergi dari ruangan dan menutup pintu tanpa suara.

Di luar sana Alister menyeringai.

***

Valias memutuskan untuk mengecek dan melihat bahwa Alister sudah tidak ada dan pintu sudah tertutup.

Ya ampun. Apakah dia hantu?

Valias merasa bahwa pelayan aneh itu tidak akan membawa bahaya padanya.

Dia mulai mengorganisir pikirannya. Berpikir.

Jika dirinya sedang merasuki tubuh sang Valias, apakah Valias yang asli masih ada, atau tidak?

Apakah Valias sudah tiada atau kini menggantikan posisi Abimala di sana?

Valias tidak memiliki banyak keluhan sebelumnya. Tidak ada yang membuatnya merasa bahwa dia harus kembali. Dia tidak punya keluarga selain pamannya yang pemarah itu. Tidak ada janji yang perlu dia tepati. Tidak ada seseorang yang menunggu atau membutuhkan kehadirannya.

Valias mulai ingat kalau sebelumnya dia menekan notifikasi itu sebelum cahaya menyakitkan mata muncul dengan   dirinya sudah mendiami tubuh anak remaja yang tengah dia diami setelahnya.

Notifikasi tentang diperbaharuinya novel situs yang mulai dia baca sejak dia memulai kehidupan mahasiswanya.

Itu pun karena temannya mendorongnya. Kalau tidak, Valias tidak akan membaca sebuah fiksi seumur hidupnya.

Valias meraih salah satu kertas dan mencari tahu apa isinya.

Tulisannya asing. Bukan bahasa Indonesia. Maupun bahasa yang Valias kenali.

Dan aku tidak mengerti artinya.

Tulisannya terkesan berburu-buru. Dan memiliki bercak coklat. Yang setelah diteliti lagi muncul dugaan aneh bahwa bercak merah itu adalah darah. Bercak merah kecoklatan di kertas yang ada di tangannya terlihat lebih baru dibanding kertas-kertas lain. Membuatnya berasumsi kalau kertas itu baru ditulis tidak lama sebelum dirinya menempati sang tubuh.

Mencoba melihat beberapa kertas lain dia juga tidak bisa mengerti artinya.

Menimbang-nimbang apakah dirinya akan membereskan ruangan itu atau membiarkannya seperti itu saja. Dia bukan orang yang merasa nyaman dengan apapun yang berantakan tapi ruangan itu bukanlah ruangan miliknya sendiri. Dia merasa dirinya tidak punya cukup hak untuk membenahi ruangan itu meskipun dia ingin.

Ruangannya sangat besar dan aku hanya memerlukan kasur dan kamar mandi.

Bahkan jika Valias tidak bisa menggunakan sisa ruangan karena kertas-kertas itu Valias tidak merasa itu masalah. Selain itu dirinya tidak melihat lemari pakaian. Ruangan tempatnya berada hanya diisi dengan kasur, sebuah kursi, dan sebuah lemari setinggi pinggang orang dewasa penuh laci. Dengan sisanya berupa kertas serta buku.

Valias mencoba meraih salah satu buku dan membacanya.

Kali ini dia bisa membacanya dengan halus. Simbol hurufnya memang berbeda tapi strukturnya sama. Asing, tapi dia bisa mengerti artinya.

Merasa heran kenapa dirinya bisa mengerti bahasa dan simbol tulisan yang belum pernah dirinya lihat tapi dia juga pandai mengakhiri segala macam rasa penasaran dan menerima segala hal yang terjadi jadi dia mengesampingkannya.

Kumpulan Mitos Di Wilayah Reiss, Valias membatin.

Dia tidak menemukan nama penulis maupun deskripsi. Tidak ada kata pengantar maupun hal lainnya. Dan Valias langsung disambut dengan isi.

1. Danau di Hutan Kristal

• Keberadaan elf tidak diketahui namun penulis menemukan sebuah telinga runcing di hutan tengkorak yang penulis yakini sebagai milik elf.

• Sebab keberadaan mayat telinga tidak diketahui.

• Ditemukan ketika penulis sedang mengumpulkan sampel tumbuhan di hutan tengkorak.

Valias tidak bisa menahan kerutan dahi dan senyumnya membaca satu halaman itu. Penuh fantasi dan hal tidak wajar. Serta istilah-istilah konyol.

Hutan Kristal? Hutan Tengkorak? Apa maksudnya?

Buku itu, terlihat seperti buku lama. Dengan kertas yang sudah menguning dan mengeluarkan bau khas buku yang mulai berjamur. Tulisannya seperti terbuat dari tulisan tangan dengan pena berujung lancip. Goresan simbol hurufnya tipis. Memiliki variasi ukuran besar kecil hingga sedang. Ciri khas tulisan tangan.

Valias mencari keberadaan jam untuk mengetahui waktu. Tidak ada apa-apa di sepanjang dinding kecuali kertas-kertas itu. Ketika membaringkan tubuh setelah menyingkirkan benda-benda lain seperti buku, kertas, pena, dan botol tinta—yang untungnya tertutup—selain selimut dan bantal, dia meraih satu bantal untuk dia gunakan. Dan barulah dirinya menemukan jam bundar kuno. Jarum jam menunjukkan pukul 7.

Mari tidur dan berpikir besok.

Dia memutuskan untuk tidur. Tidak membutuhkan waktu lama untuk terlelap.

***

Abimala jarang mendapatkan mimpi saat tidur. Dia akan tidur dan bangun tanpa mendapat bunga lipur. Tapi kali ini dia bermimpi bahwa dirinya tengah berada di sebuah tempat dimana dia hanya bisa melihat warna hitam. Menyadari hanya dia satu-satunya sebagai pemilik warna. Tertegun karena melihat penampilannya sebagai Abimala setelah mengecek dirinya sendiri.

Sebelum pertanyaan-pertanyaan muncul di benaknya, dia menyadari siluet merah agak jauh di depannya.

Siluet seorang remaja laki-laki dengan tubuh kurus dan berkulit begitu putih hingga menjurus pucat. Dengan rambut panjang sebahu berwarna merah.

Mungkin Valias asli.

Valias belum melihat penampilannya sejak dia menempati sang tubuh ringkih. Belum menemukan cermin sedari tadi. Yang dia ketahui hanyalah rambutnya yang sepanjang bahu dengan warna merah. Berkemeja putih, celana hitam, serta bertubuh ringkih nan kurus. Juga dengan kulit yang pucat.

Dan itulah rupa remaja laki-laki di depannya. Dalam penilaian Valias, anak remaja itu memiliki wajah tirus dan tampan. Tapi ada sedikit kesan cantik. Valias sudah tidak asing dengan tipe wajah tampan-cantik seperti itu.

Valias di depannya melipat kedua tangan di depan dada. Mengamati Valias dengan pandangan menilai. Hampir mengkritik. Sebelum tersenyum mencemooh dan perlahan menghilang dari visi Valias. Bagai asap yang menghilang tertiup angin.

Ketika Valias membuka mata, Alister sudah berdiri di sisi kasur, mengamati dirinya.

04/06/2022

Measly033