webnovel

Chapter 17 - Kau... (2)

A/N: insert chapter of fluff

Valias membuka mata dan Alister memberinya teh.

"Hm."

Teh kali ini asam dan sedikit pahit. "Saya pikir terlalu banyak gula tidak baik untuk tubuh anda, tuan muda."

Valias tidak menjawab dan tidak mencoba menoleh pada Alister.

"Nona muda menunggu anda di depan ruangan." Alister tersenyum seperti biasanya.

"Dina?"

Valias bertanya-tanya ada apa tapi kemudian berpikir tidak baik membuat seorang anak kecil menunggu. "Biarkan dia masuk."

"Saya mengerti." Valias menontoni Alister bergerak membuka pintu.

"Tuan muda mempersilakan Anda masuk, nona."

"Benarkah?" Valias mendengar suara Dina. Alister tersenyum ramah dan mengangguk. Kemudian sosok Dina muncul dari balik pintu yang terbuka.

"S, Selamat pagi, kakak." Dina tidak masuk dan berdiri diam di dekat pintu. Dia terlihat begitu kaku seolah memaksa dirinya untuk hanya melihat ke arah Valias.

"Pagi. Ada sesuatu yang kau mau?"

"....Aku ingin menghabiskan waktu dengan kakak." Dina menjawab malu-malu.

Alis Valias terangkat. "Aku?"

"..Iya. Aku ingin lebih mengenal kakak. ..Aku ingin kakak tau apa saja yang aku lakukan setiap hari."

Valias tidak menduga itu. Tapi dia tidak berniat menolak. "Baiklah. Setelah bersiap aku akan menemanimu, oke?"

"Ah. O- oke.."

"Saya akan membantu Anda, tuan muda. Lengan itu masih tidak boleh terkena air." Alister tersenyum menghampiri ranjang saat Valias menurunkan kakinya hendak ke kamar mandi.

"Di mana aku harus menemuimu?"

"Ya? Uh.. aku akan menunggu di depan kamar kakak."

"Begitukah? Duduk saja di kursi itu." Valias menunjuk kursi di dekat kasur dengan dagunya. Kursi yang waktu itu dia gunakan ketika Alister mengeringkan rambutnya.

"A, Aku akan menunggu di luar saja."

"Aku memaksa." Valias memamerkan senyum sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi bersama Alister.

Dina terdiam di sana selama beberapa detik. Dia gugup. Tapi jauh di dalam hatinya Dina ingin tahu segala hal tentang kakaknya. Apa yang kakaknya tulis di kertas-kertas yang ada di depannya saat ini, apa makanan kesukaan kakaknya, apa yang membuat kakaknya merasa senang, Dina ingin tahu semuanya.

Dina memperhatikan kursi yang tadi ditunjuk kakaknya.

Kursi kakak.

Dina pikir, dirinya juga penasaran dengan barang-barang yang digunakan kakaknya.

Dengan ragu-ragu, dia melangkahkan kakinya ke arah kursi itu. Mengamati kursi yang setinggi tubuhnya itu. Tangannya meraba kusion yang ada. Kusion berwarna hijau.

Kursinya polos. Berbeda dengan kursi di kamarnya yang memiliki ukiran-ukiran bunga.

Dina merasa kursi itu cocok dengan kakaknya. Bantal kursi berwarna hijau dan rambut merah kakaknya, Dina jadi ingin melihat kakaknya duduk di kursi itu.

Kakaknya tidak banyak bicara. Tapi ketika dia bicara, suaranya lembut dan menenangkan. Membuat Dina merasa aman dan senang. Dina memanjat kursi itu lalu duduk di atasnya. Kursinya lebih tinggi dari miliknya. Dina pikir kursi itu seperti kakaknya.

Tinggi, sederhana, tapi nyaman.

Dina menghabiskan waktu menunggunya mengamati pintu kamar mandi dimana Valias dan pelayan pribadi kakaknya berada. Tak lama kemudian pintu terbuka. Valias muncul dengan pakaian rapih.

"Ayo." Dina turun dari kursi dan berjalan bersama Valias keluar ruangan.

"Jadi, apa yang biasanya kau lakukan?"

Dina yang sempat terkejut dengan pertanyaan Valias langsung memberikan jawabannya. "Aku akan sarapan bersama Lika di kamarku. Tapi kali ini aku mau sarapan bersama kakak."

Valias terkekeh pelan "Oke." Mengikuti langkah Dina ke taman waktu itu. Di sana sudah ada sebuah meja dan dua kursi. "Kakak duduklah." suara Dina. Membuat Valias mengikuti ucapan anak itu dan duduk di salah satu kursi yang ada.

Pelayan Dina, yang Valias pikir bernama Lika menyajikan dua mangkuk sup dan dua piring roti di atas meja. Matanya bertemu dengan mata Valias sebelum dia balikkan dengan buru-buru. Valias mengerti jika Lika gugup. Dia tidak akan mengatakan apa-apa.

"Ayo makan kak," ajak Dina. Valias mengikuti kemauan Dina. Mengambil sendok dan menyuapkan sup ke dalam mulutnya.

Dina mengamati Valias dengan begitu serius. Valias menyadari itu tapi sudah memutuskan untuk pura-pura tidak tahu.

"Kamu tidak makan?"

"O, oh." Dengan itu Dina mulai menyuap sup nya juga.

"Enak?"

"Y- Ya." Sebenarnya Dina tidak menyadari enak atau tidaknya. Dia hanya terfokus pada Valias.

"..Aku menanyakan pendapat Lika tentang makanan apa yang akan kakak suka. Lika bilang kalau orang sakit lebih baik memakan sup seperti ini. Jadi aku meminta Lika menyiapkannya." Dina melihat Valias lagi. Valias juga menatapnya. "Kakak suka?"

"Ya. Aku pasti akan menyukai apapun yang Dina siapkan untukku. Terimakasih, Dina." jawab Valias lembut.

Dina terlihat begitu bahagia dan kembali memperhatikan bagaimana Valias memakan makanannya.

Melihat Valias makan membuat Dina senang. Kakaknya begitu kurus dan pucat. Dina akan membuat kakaknya makan lebih banyak.

Mereka berbincang. "Makanan apa yang kakak suka?"

"Aku suka apapun."

Abimala tidak bisa memilih-milih dalam mengisi perutnya. Tapi Abimala lebih sering makan masakannya sendiri.

"Kakak suka tomat?"

"Ya."

"Aku tidak suka tomat."

Valias tertawa. "Kenapa?"

"Rasanya aneh."

"Oh ya?"

"Iya. Lalu, apa yang membuat kakak senang?"

"Melihat Dina senang sudah cukup untuk membuatku senang."

Pertanyaan-pertanyaan terus Dina lontarkan dan Valias menjawab semuanya. Dina seolah memuaskan segala keingintahuan yang dia pendam selama satu tahun setengah itu dan akhirnya menemukan jawaban atas segalanya.

"Kalau begitu, makanan apa yang Dina suka?" Valias balik bertanya.

"Aku suka kue. Kue dengan krim yang banyak."

"Kau mau mencoba membuatnya sendiri?"

"Membuatnya sendiri? Maksud kakak membuat kue dengan krim yang banyak?"

Valias mengangguk. Merasa begitu terhibur dengan tingkah Dina. Dina masih kecil dan begitu ekspresif juga jujur. Valias belum pernah berhadapan dengan anak kecil. Tapi dia mengerti jika orang-orang menyukai anak seperti Dina. "Iya. Kita akan mencoba membuat kue dengan krim yang banyak yang kamu suka itu."

"..Kakak akan membuatnya juga?"

Valias mengangguk. "Kita akan membuatnya bersama."

"Benarkah?" seru Dina. Berwajah sumringah. "Kapan kita akan melakukannya?"

"Kapanpun kau mau. Kita bisa melakukannya saat kau tidak punya jadwal belajar." Valias menyuap makanan miliknya.

"Di akhir pekan! Danial dan aku bisa bebas melakukan apapun di akhir pekan. Kita bisa membuat kue dengan krim yang banyak di hari itu!"

"Baiklah." Valias tersenyum.

Matahari mulai bergerak lebih tinggi menyinari bangunan mansion. Valias dan Dina mulai merasa silau. Valias mengajak Dina untuk masuk ke dalam. Dina bisa melihat tonjolan warna hijau dan biru di tangan Valias yang mengenggam tangannya.

Dina tidak mengerti kenapa warna kulit kakaknya begitu berbeda dengan miliknya.

Dina tidak suka.

Valias menyadari tatapan Dina pada tangannya.

Ini tubuh Valias Bardev. Bukan miliknya. Dia tidak merasakan apapun yang salah dengan tubuh itu. Tubuhnya memang agak kurus dan pucat. Dia juga sudah pingsan dua kali dengan tubuh Valias Bardev. Tapi mengabaikan hal itu, Valias merasa saat ini tubuh yang dia rasuki itu baik-baik saja.

Mungkin memang warna kulit Valias Bardev lah yang lebih pucat dari orang-orang kebanyakan.

Valias sudah tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang aneh. Selama dirinya merasa baik-baik saja, maka tidak ada yang perlu dikahawatirkan. Bagi Abimala, kesehatan jauh lebih penting daripada penampilan.

"Apa ada sesuatu di tanganku?"

"Tidak.."

Dina menggeleng pelan.

"Apakah jadwal belajarmu sudah dekat?"

"Iya."

"Apakah aku harus pergi?"

Mata Dina melebar. "Tidak!" Kali ini Dina menggelengkan kepalanya cepat.

"Aku akan menghabiskan seharian ini dengan kakak." Dina melihat ke arah Valias yang lebih tinggi darinya ragu-ragu. "Kakak mau menemaniku belajar?"

Valias langsung menjawab. "Tentu saja. Apakah tidak apa-apa?"

"Iya. Aku akan meminta pada guru Mallory untuk membolehkan kakak duduk di sampingku."

Valias memasang senyum kecil. "Lakukan yang kau mau. Aku akan mengikuti apapaun kemauanmu hari ini."

"Benarkah?" tanya Dina meminta kepastian.

Valias menganggukkan kepalanya pada Dina yang baru setinggi pinggangnya.

"Oke. Ayo." Dina menarik tangan Valias dan Valias membiarkan Dina menuntunnya hingga sampai kedepan sebuah pintu.

Alister yang sejak tadi mengikuti mereka berdua bersama Lika muncul di depan Valias dan membuka pintu itu.

"Silahkan, tuan muda."

Valias tidak menanggapi Alister yang tersenyum palsu itu dan melangkah masuk memegang tangan Dina.

"Selamat pagi, nona. Ah.."

Orang itu, Mallory berdiri memegang buku dan melihat keberadaan Valias.

"Tuan muda Valias. Saya tidak menduga kunjungan Anda kesini."

Valias melihat orang itu teringat dengan orang yang bersama Hadden di taman hari lalu.

Oh. Jadi dia guru Mallory.

"Iya. Dina ingin aku menemaninya seharian ini. Apakah aku boleh ikut mendengarkan? Aku tidak akan mengganggu."

"Aku ingin kakak duduk bersamaku. Bolehkah?" Dina memelas.

Menerima tatapan memohon seperti itu tentu Mallory tidak bisa menolak. Dia terkekeh. "Tentu, nona Dina. Tuan Count juga pasti senang mengetahui kakakmu menemanimu belajar." Mallory memberi senyum hangat. Dina tersenyum lebar dan langsung mengajak Valias duduk.

Valias hanya duduk tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dia mendengarkan bagaimana Mallory mengajarkan

Dina tentang tata bahasa, puisi, dan matematika.

Tema pelajaran yang sangat cocok untuk gadis seperti Dina. Di beberapa menit tertentu Dina akan melirik Valias dan mendapati Valias melihatnya balik. Dan di setiap momen itu Valias akan memberikan senyum kecilnya. Membuat Dina tersenyum ceria dan kembali fokus dengan buku di atas meja.

Mallory diam-diam menangkap momen-momen itu juga dengan kedua matanya.

Ini pertama kalinya Mallory melihat Dina begitu bersemangat dalam belajar.

Tuan Count juga seperti itu.

Mallory berpikir, mungkin kehadiran Valias Bardev di keluarga Count yang dia layani saat itu akan membuat hari-hari di kediaman Bardev menjadi lebih berwarna.

Mallory penasaran dengan masa depan seperti apa yang keluarga Bardev itu akan tunjukkan padanya.

"Sudah selesai, nona. Anda juga belajar dengan baik hari ini."

"Itu karena kakak menemaniku hari ini. Untuk seterusnya aku akan belajar lebih banyak lagi." Dina memamerkan senyum pada Valias mengharapkan tepukan di kepala dari kakaknya. Dan Valias memberikan itu.

Mallory menonton pemandangan itu dengan hati hangat. Interaksi antara kakak dan adik memang menyenangkan. "Itu semangat yang bagus nona. Kakak Anda serta Tuan dan Nyonya pasti juga akan senang. Kedepannya pun saya akan mengajarkan hal-hal baru pada anda."

"Iya! Aku pasti akan menjadi perempuan hebat seperti yang kakak bilang!"

Ha..

Mallory melihat bagaimana Dina tersenyum begitu lebar padanya dengan tangan Valias di kepalanya dengan hati lega.

Andai Count melihat ini.

Hadden pasti akan senang. Dan mungkin akan bekerja di ruangannya dengan wajah penuh senyum seperti di hari itu.

"Aku pergi dulu, guru."

"Iya. Sampai ketemu besok."

Mallory mengantar keluarnya Valias dan Dina yang bergandengan tangan. Ketika Mallory membuka pintu, Danial sudah ada di depan sana dengan sedikit keringat setelah berlatih seni pedang.

Dina melihat keringat di dahi Danial dan semakin bertekad untuk belajar pedang juga.

"..Kakak?"

"Hai Danial. Kau habis apa?"

Danial tampak terdiam sebentar sebelum menjawab. "Aku habis berlatih seperti biasa."

"Berlatih?"

"Iya! Danial memiliki seseorang yang mengajarinya seni pedang!" Dina menggantikan menjawab.

"Oh begitukah?"

"Kenapa kakak bersama Dina?"

Valias yang menerima pertanyaan itu menjawab lembut. "Dia memintaku untuk menghabiskan satu hari bersamanya. Kau juga belajar pada guru Mallory?"

"Iya, tuan muda. Saya mengajar nona Dina dan tuan muda Danial." Mallory menjawab dari balik pintu dengan senyum lembut.

"Oh.. Yasudah. Aku dan Dina duluan. Semangat." Valias menepuk pundak Danial.

"Dah kakak.." Satu tangan Dina melambai pada Danial.

"Silahkan masuk, tuan muda. Apakah ada masalah?"

Danial diam dengan kepala menoleh ke arah adik dan kakaknya sebelum menggeleng singkat dengan wajah datar. Mallory sudah menjadi guru Danial dan Dina sejak mereka sudah menginjak umur untuk menerima pelajaran. Mallory sudah pandai menebak arti di balik ekspresi datar Danial. "Tuan muda iri dengan nona Dina? Kenapa tidak meminta tuan muda Valias untuk menghabiskan waktu dengan Anda?"

"Siapa yang iri?" Danial mendengus. Tapi tentu Mallory menyadari warna merah di ujung telinga tuan mudanya itu. Mallory pura-pura percaya.

"Baiklah kalau Anda tidak merasa begitu. Kita akan mulai pelajarannya." Mallory memberikan senyum lebar.

***

"Apakah ada sesuatu yang ingin kakak lakukan?"

"Apakah tidak ada lagi yang perlu kamu lakukan?"

"Ada.." Dina menjawab dengan suara pelan. "Tapi aku juga tidak mau memaksa kakak bersamaku terus."

Valias mengamati ekspresi sedih Dina.

Aku tidak punya apapun untuk dilakukan. Apa aku perlu bertanya pada Hadden untuk sesuatu yang bisa dikerjakan? "Tidak sama sekali. Aku sudah bilang aku akan menemanimu satu hari ini. Seseorang harus memegang kata-katanya, kau tau?"

"..Iya."

Dina terdiam sebentar sebelum mendongak memandang Valias dengan wajah ceria. "Itu kalimat baru yang aku dengar. Kakak pasti sangat pintar!"

Valias meringis mendengar itu. Itu hanya pepatah umum yang dia dengar dulu. Mungkin Dina melihatnya sebagai Valias Bardev yang menghabiskan waktu dengan buku-buku di ruang baca. Nyatanya Valias tidak membaca buku sebanyak itu dan tidaklah sepintar yang Dina kira.

Tapi dia tidak akan membiarkan Dina melihat itu. Orang yang lebih tua harus menjadi contoh untuk yang lebih muda. Valias harap dirinya bisa menjadi apa yang Dina lihat sebagai dirinya.

"Kau akan mendengar dan menemukan lebih banyak seiring kau tumbuh dewasa."

"Kakak akan mendampingiku?"

Dina ingin tumbuh cepat menjadi perempuan hebat yang Valias bilang dirinya akan menjadi suatu hari nanti. Dina ingin Valias melihat itu. Dina ingin Valias menyaksikan segala pertumbuhannya.

Bahkan ketika aku menikah seperti ayah dan ibu, aku ingin kakak melihatku.

Dina memiliki tekad itu di dalam dirinya.

"Tentu. Sekarang ayo kita temui gurumu itu. Hal apa lagi yang akan kamu pelajari hari ini?"

Kelas yang akan Dina lakukan adalah kelas dansa. Ketika seorang anak bangsawan mencapai umur 18 tahun, mereka akan memiliki pesta mereka sendiri, dan akan berdansa dengan ayah mereka. Ruri membuat Dina belajar dansa dari sekarang.

"Dina? Siapa kakak ini?"

Seorang wanita seumuran Alister tampak terkejut melihat kehadiran Valias yang tangannya digenggam oleh Dina.

Guru dansa Dina akan mendatangi kediaman Bardev dua kali setap pekan untuk menjadi instruktor dansanya. Dia tidak mengenal siapapun selain Dina, Ruri dan Lika yang selalu mendampingi nona muda yang menjadi muridnya. Dia hanya pernah melihat Hadden dan Danial ketika mereka berpapasan suatu hari. Tapi dia belum pernah melihat laki-laki berambut merah itu.

Laki-laki yang tangannya digenggam Dina begitu kurus dan pucat. Membuat dia terkejut dan bertanya-tanya identitas laki-laki itu.

"Ini kakakku."

"Kakak?"

Dia bertanya-tanya. Merasa ragu dengan pendengarannya. Setahunya kakak Dina adalah tuan muda Danial. Dia mulai berpikir mungkin laki-laki berambut merah tersebut adalah seorang bangsawan lain atau orang yang Dina anggap sebagai kakaknya.

"Ijinkan saya. Tuan muda ini adalah Valias Bardev. Putra tertua keluarga Bardev." Alister muncul dari balik tubuh Valias.

"Oh dewa. Maafkan saya. Selamat siang, tuan muda Valias. Saya menyesal tidak menyadari identitas Anda." Sang instruktur merendahkan tubuhnya.

"Tidak masalah. Selama ini keberadaanku dirahasiakan. Wajar Anda tidak tahu." Valias memberi senyum kecil. " Saya dengar Anda guru dansa Dina?"

"Iya, tuan muda. Nyonya Ruri memanggil saya ke kediaman Bardev untuk menjadi instruktor nona Dina."

"Baiklah Dina. Aku akan menontonmu di sini, oke?"

Valias menyentuh bahu Dina yang menggenggam tangan kirinya.

Dina merasakan sentuhan itu dan merasa ragu untuk melepaskan genggamannya. Rasanya dia ingin bolos dari kelas dansa hari ini. Dia tidak mau berpisah sama sekali dari Valias.

"Dina?" Valias merasakan Dina yang tidak kunjung melepaskan tangannya.

"K.. Kakak."

"Iya?"

Dina mengangkat wajahnya cepat.

"Kakak mau menemaniku belajar dansa?"

04/06/2022

Measly033