webnovel

37. Zein Dari Masa Lalu

"Eh, siapa yang lagi nyatain cinta? Gue cuma lagi nyanyi, kok. Sembarangan!" Keira langsung membantah sesadarnya dari rasa terpaku.

"Cuma nyanyi?" Zein mengangkat satu alisnya. "Sayang banget, padahal gue udah seneng lho."

"Lo kan selalu seneng lihat orang lain menderita," sahut Keira cepat.

"Tapi lo kelihatan suka rela tuh daripada menderita," Zein menimpalinya.

"Iish, itu sih harapan lo aja!" Keira segera menghabiskan minumannya. "Zein, Mama lo kok lama?" katanya kemudian, mengalihkan pembicaraan.

"Yah, seperti yang gue bilang, Mama kalau bicarain urusan kerja bisa berjam-jam. Kenapa?" Zein menatap Keira lagi.

"Jadi meskipun Mama lo di rumah, lo nggak selalu bisa ngobrol-ngobrol berdua? Apa lo nggak sering ngerasa kesepian?"

"Itu udah biasa. Lagian gue lebih suka berada di tempat yang tenang kadang-kadang."

"Rumah kakak lo rame apa?" tanya Keira lagi.

Zein mengangguk. "Kakak gue punya anak kembar, usianya baru dua tahunan. Lo bisa bayangin tiap kali gue tinggal di sana ributnya kayak apa," ujarnya.

"Terus, kalau lo lagi sendirian di rumah nggak takut apa?" Keira mengamati isi rumah itu. Menurutnya rumah Zein sangat cocok dijadikan tempat syuting film horor.

"Takut apa? Setan? Hantu?" Zein tersenyum miring pada Keira. "Ngapain takut? Kan gue vampirnya."

Keira langsung membuang arah. Ia jadi teringat lagi Zein yang berpura-pura jadi vampir membuatnya tampak seperti orang bodoh. Lebih parah, Zein juga mengambil kesempatan dalam kesempitan terhadapnya.

"Jadi gimana rasanya digigit vampir?" tanya Zein sambil nyengir. "Sejujurnya ini juga pertama kali gue melakukannya. Gue penasaran dengan apa yang sering Alvin ceritakan."

Keira melirik Zein tajam, "Alvin cerita apa emangnya?"

"Alvin punya cewek baru-baru ini."

"Dih, bocah nggak waras kayak dia bisa punya pacar juga ternyata," gumam Keira, tak habis pikir.

"Jangan ngeledek," Zein tertawa. "Pacar Alvin lumayan cakep, lho. Dia sekolah di SMA Perdana."

"Terus apa hubungannya Alvin punya pacar sama lo kayak gitu?" tanya Keira, tak mau tahu perihal Alvin dan pacarnya.

"Yah, lo tahu kan kalau orang lagi jatuh cinta? Mereka itu mesra. Alvin suka cerita sama gue apa yang dia lakukan sama ceweknya. Makanya...."

Dukkk!!!

Keira langsung menyepak kaki Zein tanpa perlu bergerak banyak dari posisi duduknya. "Dasar bodoh! Kurang ajar!" Ia menyemprot cowok itu. "Itu kan karena mereka pacaran. Lo nggak bisa berbuat seperti itu sama gue. Kita nggak pacaran. Lagian kalau gue punya pacar gue juga nggak mau diapa-apain seenaknya."

"Masak?" Zein menatap Keira geli.

"Ya namanya orang pacaran ya pacaran aja. Ngobrol kek, jalan bareng kek, makan bareng kek. Nggak boleh aneh-aneh. Dosa, tau?"

Zein tertawa kecil. "Keira kok gemesin, sih. Ah, gue jadi pengen nyium lagi rasanya."

"Tante! Tante!" Keira langsung berlari menaiki tangga lalu mengetuk pintu ruangan yang dimasuki Mama Zein.

"Ada apa?" Mama Zein yang baru saja selesai menerima telpon membuka pintu. "Ada apa, Keira?" tanya wanita itu.

"Zein, Tante," Keira mengadu.

"Kenapa lagi? Apa yang Zein lakukan sama kamu?"

"Zein nggak ngapa-ngapain, Ma. Orang cuma bercanda, kok. Keira aja yang panikan," Zein menjawab tanpa dosa.

"Kamu ini suka banget sih godain Keira? Kalau kamu mau nunjukin rasa sayang sama seseorang bukan begitu caranya. Perlakukan dia dengan baik dan perhatian. Kalau kamu kayak gini terus, yang ada Keira malah takut sama kamu."

Keira ingin tertawa mendengar ceramah Mama Zein. Cowok itu tampak cemberut. Melihat Keira tersenyum ia pun langsung melancarkan tatapan mengancam.

"Tante, Keira boleh pinjam toilet?" tanya Keira kemudian.

"Ah, ayo Tante tunjukin toiletnya!" Mama Zein pun segera menggiring Keira memasuki ruang bagian belakang.

"Ini kamar Zein ya, Tante?" tanya Keira saat melewati sebuah pintu. Di daun pintu kamar itu ada stiker bergambar bintang jatuh. Keira pernah melihat stiker yang sama di badan motor Zein.

"Iya, disebut markas juga bisa," Mama Zein tertawa kecil. "Zein suka banget sama kamarnya. Kalau nggak ada Oki dan bosan main gitar, Zein lebih sering menghabiskan waktunya di kamar buat baca buku."

"Baca buku?" tanya Keira tekejut.

"Iya. Tante kan lebih sering tinggal di Surabaya, Zein jadi nggak ada teman di rumah. Dia nggak terlalu kerasan tinggal di tempat kakaknya. Oki juga nggak setiap malam bisa nginap nemenin dia. Jadi Zein menghabiskan waktu sepinya sehari-hari buat belajar," cerita Mama Zein. "Dia biasa baca buku mulai dari majalah otomotif sampai buku pelajaran. Sering juga dia ngerjain soal-soal yang belum diajarkan. Tuh, kamarnya sampai mirip perpustakaan. Dulu-dulunya emang Tante sih yang desak dia gemar baca biar pinter dan banyak wawasan. Papanya juga dulu suka bercanda kalau ibunya seorang dosen, berarti anaknya nggak boleh kalah pintar."

Penjelasan itu membuat Keira termenung. Sedikit demi sedikit kini ia pun mengerti alasan Zein bisa mengalahkannya dalam nilai pelajaran. Pantas saja cowok itu otaknya briliant meskipun jarang ikut pelajaran. Rupanya Zein sudah belajar sendiri selama ini. Zein menghabiskan waktu di rumahnya untuk mempelajari semua materi. Pasti ia sudah bosan mempelajari hal yang baginya diulang-ulang sehingga sering bolos pelajaran.

Setelah keluar dari kamar mandi Keira bergegas kembali ke ruang tamu. Namun di tengah jalan Keira menghentikan langkah, tepatnya di depan kamar Zein. Mendadak ia teringat perkataan Oki tempo hari sewaktu di kantin.

Gue tahu baru-baru ini Zein nyimpan banyak foto cewek di kamarnya.

Keira jadi penasaran cewek itu seperti apa. Ia ingin sekali mengetahui muka cewek yang Zein suka. Kebetulan pintu kamar itu sedikit terbuka. Keira menengok kanan kiri sebentar. Sepertinya Mama Zein sudah kembali ke ruangannya. Zein juga pasti masih berada di ruang tamu.

Keira menahan napas. Ini pertama kalinya ia akan menyelinap ke kamar seseorang. Mungkin ia hanya akan mengintip jika dirinya terlalu takut ketahuan sehingga dianggap tak tahu sopan. Dengan hati berdebar maka Keira pun melongokkan kepala ke celah pintu yang terbuka.

Mungkin fotonya ditempel di dinding kamar, pikirnya dengan pandangan mengedar. Namun aneh, Keira tak kunjung menemukan sesuatu yang dicarinya. Keira coba maju satu langkah. Mungkin di bagian depan lemari atau dekat cermin, pikirnya lagi sembari sedikit mendorong daun pintu.

Srrreeeekkkkk.

Sebuah pemandangan tiba-tiba membuat Keira terbelalak. Ia tak pernah menduga jika Zein ternyata berada di dalam kamar. Cowok itu baru saja melepas seragamnya, kaos dalamnya, lalu....

"Aaaakkk!" Keira menjerit dan langsung menutup mukanya dengan kedua tangan. Zein yang sudah bertelanjang dada dan sedang menurunkan resleting celananya tersentak mendengar teriakan itu. Ia segera menarik lagi resleting celananya ke atas dan menatap takjub Keira.

"Lo ngapain sih masuk kamar gue segala?" seru Zein. "Denger, ngintipin orang ganti baju juga termasuk dosa, ngerti?" celetuknya seraya menghampiri Keira yang kaku di tempat. Zein menarik tangan Keira dari wajahnya agar bisa melihat raut cewek itu.

"G-gue nggak sengaja," cicit Keira dengan muka membara. Melihat Zein bertelanjang dada tepat di depannya tentu membuatnya salah tingkah. Ia merasa semakin malu kala ketahuan Zein sedang memperhatikan badannya.

"Lo selalu bilang gue mesum tapi ternyata lo sendiri..." Zein tak lekas melanjutkan ucapannya dan malah geleng-geleng kepala. "Barusan kan Mama udah bilang lo harus tahu batasnya, Keira."

"Zein, lo ja-jangan salah pa-paham!" Dengan gagap Keira berusaha meluruskan dugaannya. "Gue tadi cuma... cuma...." Ia bertambah gugup saat Zein mendekatkan wajahnya. Hanya dengan jarak beberapa senti antara muka dengan muka, tentu saja Keira jadi kesulitan bernapas.

"Keira, Keira," bisik Zein sembari tersenyum tipis. "Kenapa lo kayak gini sama gue?"

Keira menatap Zein yang begitu dekat dengannya begitu bingung, tak tahu apa maksud perkataannya.

"Gue pengen benci sama lo, gue pengen nggak kenal lagi sama lo, tapi apa yang udah gue lakuin?" kata Zein, seakan sedang berdialog pada dirinya sendiri. "Gue justru ngelakuin apa aja buat lo. Gue nggak bisa nurutin otak gue, dan malah pengen melindungi orang yang seharusnya gue benci."

Keira terdiam mendengar kata-kata itu. Keira terpaku. Sekali lagi kecurigaannya akan Zein 8-D terbesit tiba-tiba di kepala. Perasaannya jadi campur aduk. Bahkan Keira hanya bergeming saat Zein mengecup pipinya lalu mendorongnya keluar dari kamar.

Keira terbengong lama di tempat. Entah kenapa ia mulai kembali berpikir jika Zein adalah Zein 8-D adalah orang yang sama. Beberapa hal benar-benar membuat mereka sebagai sosok yang mirip. Namun jika Raditya Alfahzan adalah Zein dari SMP lantas Ryu siapa?

Keira yakin, siang itu di koridor SMP Harapan tempat di mana ia menyuruh Zein berhenti memperhatikannya sepi. Tak mungkin ada orang lain yang mendengar percakapan mereka. Jadi mustahil Ryu mengetahui hal itu jika dia bukan Zein. Kecuali jika Zein 8-D yang menceritakan hal itu sendiri pada Ryu. Namun tetap saja rasanya tak mungkin.

***

"Zein, cepat kamu anterin Keira pulang! Harus hati-hati! Jaga Keira baik-baik dan jangan macam-macam, oke?" pesan Mama Zein saat Keira berpamitan.

"Iya, Ma. Nggak usah berlebihan aku juga udah ngerti kali," Zein menjawab sambil memakai jaket. "Ayo!" ia lalu berpaling pada Keira agar segera mengikutinya.

Hari sudah sore dan udara cukup dingin. Zein yang melihat Keira masih memakai seragam sekolahnya berdecak. "Dasar ya," gumamnya sambil melepas jaket yang baru ia pakai. "Nih dipakai! Entar lo masuk angin lagi."

Keira cuma diam saat Zein menyampirkan jaket ke pundaknya. Pikirannya masih kalut. Perasaannya mengatakan jika Raditya Alfahzan memanglah Zein SMP tapi bagaimana dengan Ryu? Keira sungguh tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Z-zein?" Keira kaget saat Zein memakaikan jaket kepadanya.

"Lo kayak patung ondel-ondel. Diajak ngomong diam aja." Zein tak mempedulikan kekagetan Keira. Ia justru berlagak seperti sedang memakaikan jaket pada seorang anak balita. "Siniin tangan lo!"

"Gu-gue bisa makai sendiri," Keira langsung mundur lalu memakai jaket itu segera.

Di perjalanan pulang Keira masih diam saja. Sesekali ia memperhatikan Zein dari belakang. Kenapa Zein ingin membencinya? Apa karena karena kesan pertama mereka di kelas tidak menyenangkan? Atau Zein membenci Keira karena masa lalu di SMP? Apakah Zein memang ketua kelas 8-D itu? Tapi Zein pernah mengaku jika mereka belum pernah saling kenal sebelumnya. Belum lagi identitas Ryu.

"Kei, lo mau pulang apa bonceng gue terus?" suara Zein menyadarkan Keira bahwa mereka sudah tiba di tempat tujuan.

"Ah, udah sampai, ya?" gumam Keira. Ia segera turun lalu membuang napas lelah. Pikirannya benar-benar kusut saat ini. Mungkin ia harus mempertanyakan hal itu sekali lagi pada Zein atau juga pada Ryu.

"Loh, Zein?" Keira celingukan saat tahu Zein sudah tidak ada di motornya. "Zein?!" Ia lalu berteriak.

"Boleh mampir nggak?" Ternyata Zein sudah berada di teras rumahnya. Ada Fadil dan Papa Keira juga di sana. Mereka tampak sedang mengobrol.

"Lo apa-apaan sih?" Keira menggeram sambil mendekati mereka. "Ini kan rumah gue, kenapa malah lo yang ninggalin tuan rumahnya?"

"Tuan rumah apaan? Bengong terus dari tadi kayak orang gila di pinggir jalan," ledek Zein.

"Ah, Kei sih biasa kayak gitu. Makanya gue sering nyaranin lo, Zein. Kalau ngajakin dia jalan bawa tali buat ngikat lehernya. Kei emang gitu sih. Kadang suka bengong nggak jelas. Takutnya kesambet setan kan payah," ceplos Fadil.

"Ah, kamu ini sama adik sendiri suka begitu ya?" Papa Keira menyela. "Daripada diikat ya mending digandeng. Iya kan, Zein?"

Tiga laki-laki itu pun tertawa. Karuan saja Keira jadi kesal. "Ckk, nggak Ayah, nggak anak, nggak dia!" Keira menunjuk Zein sengit. "Kalian sama aja. Nyebelin! Udah ah, capek! Mau mandi terus tidur," gerutunya sambil berjalan masuk.

***

"Halo, ada apa, Kei? Tumben lo nelpon gue. Ada apa nih?"

"Halo, Tina. Kapan nih ada waktu? Gue pengen ketemu sama lo, sama Vinny juga."

"Emh, kapan ya? Besok gue ada les Inggris. Tapi gampang lah, entar gue kabarin kalau gue sama Vinny ada waktu. Kita bisa main ke rumah lo lagipula."

"Oke."

"Ada apa, Kei? Lo lagi ada masalah?"

"Nggak sih. Sebenarnya, gue lagi pusing aja. Lo masih ingat soal Zein, kan?"

"Zein siapa?"

"Ehm, bukan. Maksud gue Ryu, teman SMP kita."

"Ooh, yang di pesta pernikahan itu ya?Kenapa sama dia? Apa dia masih suka sama lo? Atau jangan-jangan, sekarang lo juga udah suka dia nih? Ehem!"

"Aduh, plis deh, Tina. Bukan itu masalahnya."

"Terus apa?"

"Coba bilang sama gue, apa yang lo ingat tentang Ryu di SMP. Terus terang gue agak lupa sama dia."

"Ryu anak yang suka ngecengin lo itu, kan? Waktu di SMP, dia ngefans banget sama lo. Tapi siapa sih yang nggak tahu Keira? Cewek pakem yang kerjaannya cuma belajar dan nggak pernah peduli cinta-cintaan. Ryu cuma salah satu dari penggemar lo yang hanya bisa memandang waktu itu."

"Terus nama lengkap dia, lo tahu nggak?"

"Kalau nggak salah sih Ryu Mahesa Putra. Bener nggak?"

"Lo masih ingat ternyata."

"Ya ingat lah, gue kan dulu sekretaris kelas. Gini-gini otak gue lumayan buat nyimpan nama orang."

"Emang lo sekretaris pas kelas 8?" tanya Keira heran.

"Nggak. Kan gue jadi sekretaris pas kelas 9."

"Tapi bukannya Ryu cuma sampai kelas 8 satu sekolah sama kita? Cuma sebentar pula."

"Kei, lo lagi ngomongin siapa sih sebenarnya? Amnesia apa gimana lo? Orang gue aja sekelas sama Ryu pas kelas 9 kok, sama Gilang sama Rossa juga. Kita di kelas 9-A, sedangkan lo sama Vinny di 9-B, kan? Lagian Ryu bukan anak dari 8-D. Kita nggak sekelas sama dia pas kelas 8."

"Ta-tapi Zein bukannya pindah pas kelas 8? Pas kita di 8-D, kan?"

"Zein yang pindah pas kelas 8? Oalah, Kei, Kei. Lo lagi ngomongin orang lain toh? Bilang dong dari tadi."

"Hah, orang lain gimana? Lo... lo beneran ingat Zein ketua kelas 8-D itu kan, Tin?"

"Sedikit, sih. Zein cowok yang ditaksir Rossa tapi suka ngelihatin lo itu, kan? Dia anaknya serius, pendiam. Cuma itu yang gue ingat. Kalau mukanya sih gue udah lupa kayak gimana. Bentar doang sih sekelas sama dia."

"Jadi Ryu dan Zein orang yang beda?"

"Ya iya lah. Lo pinter-pinter tapi ingatan lo payah, Kei. Eh, udah jam berapa nih? Gue mau ngerjain tugas Kimia dulu, ya? Lo tahu kan semenjak masuk kelas IPA gue jadi rajinnya nggak ketulungan? Pokoknya besok kapan-kapan gue main ke rumah lo, deh. Gue bisa ngajak Vinny, Rossa dan juga Gilang. Bye, Keira!"

Keira secara tak sadar sudah menjatuhkan ponselnya. Ia masih tidak percaya dengan apa saja yang baru diketahuinya dari Tina. Pikirannya benar-benar kacau. Ternyata Ryu bukanlah Zein SMP. Raditya Alfahzan adalah Zein yang sebenarnya. Dia memanglah Zein dari 8-D. Anak yang pindah dan membuat Keira dihantui rasa bersalah karena ucapannya.

Rupanya selama ini Keira sudah salah paham. Pantas Ryu tak pernah mau mengakui dirinya sebagai Zein. Ternyata dia memang bukan orang itu. Ryu cuma teman SMP seangkatannya. Jika begitu dia tidak pernah berbohong saat mengaku sebagai penggemar berat Keira.

Mendadak Keira merasa takut. Kini ia tahu kenapa Zein ingin membencinya. Kini Keira mengerti. Zein memang pernah bilang kalau sebenarnya ia membenci Keira. Zein menyumpahi Keira untuk jatuh cinta kepadanya. Zein ingin membuat Keira cinta mati kepadanya. Dan semua itu ia lakukan hanya untuk membalas dendam. Untuk membalas dendam pada Keira atas apa yang pernah terjadi di masa lalu mereka.