webnovel

36. Rumah Vampir

"Jadi apa aja yang udah Edward lakuin sama lo sebelum gue datang?" tanya Zein begitu ia dan Keira sampai di tempat parkir.

"Meskipun gue udah lari dan teriak-teriak tapi tetep aja, dia berhasil nyium pipi gue," aku Keira dengan berat. Kepalanya bahkan tertunduk tanpa bisa ditahan.

"Dia nyium lo?" seketika mata Zein melebar. "Brengsek bener tu bangsat! Bagian mana yang dia cium?"

"Di sini." Dengan polos Keira menunjuk pipi sebelah kirinya.

"Njir, berani-beraninya dia!" umpat Zein tak henti-henti. Ia lalu mengusap lembut pipi Keira dengan tangannya.

"Lo ngapain?" tanya Keira heran.

"Bersihin muka lo dari sentuhan Edward," jawab Zein lalu CUP! "Gue yakin ini udah steril," ucapnya setelah mengecup sejenak pipi Keira.

"Zein!" Keira jelas kaget atas tindakan itu. "Dasar lo nih, sama aja kayak dia!"

Cowok itu malah tertawa saat Keira memukul lengannya. "Ayo, naik!" serunya sembari menaiki motor.

"Zein, lo jangan seenaknya gitu dong sama gue. Gue nggak suka disentuh-sentuh sembarangan. Gue nggak mau jadi kayak cewek murahan. Gue nggak mau dicap cewek gampangan," omel Keira.

"Ooh," Zein cuma membulatkan mulut seraya meraih helmnya.

"Ooh?" Keira menirukan suara Zein dengan kesal. "Kita kan sebenarnya cuma teman, nggak serius pacaran. Jadi tolong jangan seenaknya. Coba dipikir, mana ada teman yang suka nyium temannya sendiri?"

"Tentu aja ada," jawab Zein tanpa ragu. "Yaitu teman yang suka temannya sendiri."

"Apaan sih? Lo bilang lo nggak mau terlibat hubungan cinta, jadi misal lo suka seseorang ya itu derita lo. Lo nggak boleh nyentuh-nyentuh dia seenaknya. Apalagi nyium. Nggak sopan banget perbuatan lo."

"Kei," mendadak Zein menoleh dan menatap cewek itu. "Kayaknya ini moment yang tepat deh buat ngungkapin perasaan seseorang. Jadi kenapa sekarang nggak lo ungkapkan cinta aja sama sosok yang lo sukai di sini?"

"Huh, percuma emang ngomong sama preman," dumal Keira lalu naik membonceng Zein. "Capek gue tuh. Sampai kapan sih lo mau kayak gini?"

"Sampai lo nyatain cinta sama gue," sahut Zein sambil mulai melajukan motornya.

"Kenapa nggak lo aja yang coba nyatain cinta sama gue?" sahut Keira sebal.

"Emang menurut lo, perasaan gue gimana sama lo?" tanya Zein. "Ingat, gue pernah nyumpahin lo cinta mati sama gue. Jadi ya lo yang harus maju duluan. Lagian apa susahnya sih nyatain cinta?"

"Jelas aja itu su—" Keira langsung menghentikan ucapannya. "Lo sengaja bikin gue suka sama lo tapi lo cuma mau nolak gue, kan?" tudingnya curiga.

"Kalau lo mau tahu jawabannya kenapa nggak tembak gue sekarang aja?" tantang Zein.

"Sori, gue nggak punya senapan," sahut Keira emosi.

Zein tertawa kecil. "Nggak baik lho nyimpen perasaan lama-lama," godanya.

"Tenang aja, gue ini cuma ABG labil. Paling-paling besok pagi gue udah lupa sama apa yang gue rasain sekarang. Gue akan lebih fokus sama buku pelajaran. Gimana, gampang kan?"

"Oh, kalau gitu gue juga bakal usaha bikin lo lebih suka lagi sama gue. Gimana, sejalan kan?"

"Ih, gue benci sama lo!" Keira memukul punggung Zein karena lelah berdebat dengannya.

"Yaah, Keira benci gue. Rasanya cukup menyedihkan."

DEG!

Keira tertegun mendengar gumaman Zein. Apa yang baru saja keluar dari mulut cowok itu terdengar begitu familier. Ucapannya hampir sama dengan ucapan Zein dari 8-D kala itu. Kalimat yang tak pernah bisa Keira lupakan. Kalimat yang bertahun-tahun menghantuinya dalam rasa bersalah.

Keira sedikit benci aku. Itu cukup menyedihkan.

Keira menggelengkan kepala. Pasti cuma kebetulan, pikirnya segera. Lagipula ia sudah tahu Zein 8-D adalah Ryu. Kecurigaannya terhadap Raditya Alfahzan sudah hilang cukup lama. Ryu sudah menjawab keraguannya. Namun kenapa terkadang ia masih merasakan ada yang disembunyikan oleh Zein?

"Loh Zein, ini di mana? Rumah siapa?" tanya Keira saat sadar Zein membelokkan motornya ke sebuah halaman rumah.

"Rumah Vampir," jawab Zein sembari menghentikan motornya. "Turun!"

Meskipun bingung Keira menurut saja pada perintah Zein. Sebuah rumah besar yang cukup megah berdiri di hadapannya. Bangunannya bernuansa klasik. Cat temboknya berwarna abu-abu kusam. Ada jendela-jendela tinggi berkorden dari dalam. Ada pula dua tiang besar penyangga di bagian teras. Halaman rumah itu juga luas sekali. Zein benar. Bangunannya seperti rumah vampir. Mirip rumah-rumah tua mewah di film horor yang pernah Keira tonton.

"Ayo, masuk!" ajak Zein. Ia melangkahkan kaki menuju teras lalu membuka pintu rumah itu. Keira masuk mengikutinya. Suasana rumah itu sangat senyap. Harus diakui Keira merasa ngeri berada di dalam. Apalagi begitu Zein menutup pintunya, rumah itu terasa lebih gelap saja.

"Zein, ini rumah siapa?" tanya Keira dengan suara berbisik. Ia melihat berkeliling. Rumah itu bagus dan elegan sebenarnya, tapi suasana sepi membuat rumah itu terkesan seram.

"Rumah vampir," Zein menjawab dengan suara berbisik pula.

"Zein," Keira langsung mencekal lengannya. "Kita keluar dari tempat ini sekarang. Kita pulang aja," ucapnya cemas.

"Pulang? Gue lagi pulang," jawab Zein tanpa menatap Keira. "Lo nggak sadar juga? Ini rumah gue."

Keira membelalak. "Kata lo rumah vampir?"

Zein berbalik lalu tersenyum aneh. "Memang," jawabnya. "Well, lebih baik gue ngaku sekarang aja daripada lo makin kebingungan."

Keira memandangnya dengan hati berdebar-debar. Apa yang sebenarnya akan diakui Zein? Kenapa mendadak mukanya serius sekali? Ia bertanya-tanya dalam batin.

"Kan udah gue bilang kalau ini rumah vampir," ucap Zein lagi. "Dan lo pasti nggak pernah nyangka siapa gue sebenarnya."

"V-vampir?" Keira merasa konyol menyebut makhluk itu tanpa pikir panjang. "Zein, jangan ngelawak. Ini nggak lucu sama sekali. Mana ada vampir? Itu cuma ada di film dan di TV, jadi..." Keira menghentikan ucapannya saat Zein mendadak menatapnya sangat tajam. Wajah cowok itu bahkan berubah datar dan entah kenapa terkesan dingin sekali.

Keira langsung mundur perlahan. "Zein?" Perasaannya mulai takut karena cowok itu hanya diam, dan terus bergerak memojokkan. Punggung Keira sudah menabrak tembok. Ia tak mampu berontak saat Zein tiba-tiba memegang kedua bahunya lantas menyibak segumpal rambut panjangnya yang menutupi leher.

"Z-zein...," Keira menyebutnya lirih dengan tubuh membeku di tempat. Zein memiringkan kepala dan bersiap menggigit lehernya di bagian vampir biasa memangsa korbannya. Keira langsung memejam. Segera ia merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh kulit lehernya. Herannya sampai sekian detik, Keira tak merasakan sesuatu yang tajam menembus kulitnya. Rasanya justru aneh.

"Zein, kamu sudah pulang?" Mendadak terdengar suara seorang wanita dari suatu ruangan, disusul pula derit pintu terbuka.

Seketika Zein mengangkat kepala. "Iya, Maa!" Ia menyahut kemudian menatap Keira yang masih tercengang. "Gigitan vampir," bisiknya lalu melepas cewek itu.

"K-kurang ajar!" Keira menyembunyikan tangannya yang gemetaran begitu sadar Zein sudah berhasil menipunya. Ia menggeram, terlebih mengetahui apa yang sudah Zein lakukan terhadapnya. "Mesum! Dasar mesum! Mati aja lo mesum!" Keira langsung memukuli Zein dengan kepalan tangannya. Ia bahkan menendang kakinya dengan kasar. Zein hanya tertawa dan berlari mengelilingi ruangan. Keira terus mengejarnya karena kesal sudah berhasil dibodohinya.

"Belum ada satu jam gue nyuruh lo buat nggak nyentuh gue seenaknya tapi apa yang lo lakuin, heh? Dasar preman mesum! Ke neraka sana! Mati sana!"

"Peace, Kei! Peace! " Zein menunjukkan huruf V dengan dua jarinya seraya menghindari amukan cewek itu. "Gue nggak mesum. Gue cuma...."

"Bodo! Denger baik-baik! Pokoknya gue nggak mau jadi korban otak mesum lo!" Keira berusaha mencakar lengan Zein dengan kuku-kuku jarinya. Sayangnya cowok itu terus berhasil menghindar.

"Oh, Zein, kamu bawa teman ke rumah ya? Kenapa nggak bilang-bilang?" suara Mama Zein tiba-tiba menggema di ruang tamu. Serempak Zein dan Keira berhenti serta menoleh. "Loh, Keira? Aduuh, kenapa baru kelihatan sekarang? Tante udah lama nungguin kamu, lho. Kemarin liburan nggak jadi main, sih?"

"Ta-tante? Selamat sore, Tante." Keira pun mencampakkan Zein lantas bergegas menyalami wanita itu. "Tante kapan pulang?"

"Sudah tiga hari ini Tante di rumah. Zein nggak bilang apa? Tante udah nyuruh dia ngajak kamu ke rumah dari kemarin, lho."

Keira cuma tersenyum canggung. Ia melihat Zein masih cengengesan walau tatapannya ke arah lain.

"Ngomong-ngomong kalian tadi sedang apa sih? Kenapa kejar-kejaran kayak gitu?" tanya Mama Zein kemudian.

"Zein usil, Tante. Dia sangat mes—sangat nyebelin," Keira mengadu. Matanya sampai berkaca-kaca karena begitu kesal mengingat kejadian tadi.

"Raditya Alfahzan," Mama Zein menegur anak itu. "Kamu jangan bikin nangis Keira, dong. Oke, Mama nggak pernah ngelarang kalian pacaran, tapi Mama harap kalian tahu batas. Kalian ini masih sangat muda. Pikirkan masa depan yang masih panjang. Pokoknya jangan sampai bikin orangtua kecewa. Terutama kamu, Zein. Jangan kelewatan kalau lagi berduaan. Orangtua Keira pasti marah kalau kamu ngapa-ngapain anak mereka."

"Dengerin itu, Zein. Dengerin Mama kamu!" Keira langsung meliriknya sengit.

"Zein tahu, Ma. Zein nggak pernah ngapa-ngapain Keira, kok," ujarnya sambil menahan senyum. "Aku juga tahu batasnya kali."

Wajah Keira kembali memerah saat Zein mengucapkan hal itu, tapi ia memilih diam saja daripada tambah malu.

Krriiinggg. Kriiinggg.

Ponsel Mama Zein mendadak berbunyi. "Ooh, dari asisten kakek kamu. Sebentar ya, Keira. Tante tinggal terima telpon dulu. Zein, Mama percaya sama kamu, lho!" pesan Mama Zein sebelum menaiki tangga lantas masuk ke sebuah ruangan.

"Nah, sekarang saatnya gue minta satu permintaan sama lo," kata Zein kemudian. "Eh, tapi tunggu bentar, deh."

Keira menyaksikan Zein berjalan cepat memasuki ruang tengah. Dengan lunglai ia lalu meletakkan badannya ke sofa panjang di ruang itu. Keira merasa kelelahan. Banyak sekali hal yang terjadi hari ini. Ia menyempatkan diri menyentuh lehernya yang ia pikir digigit Zein kemudian mengumpat kesal lagi. Bisa-bisanya ia tertipu oleh hal semacam itu.

"Lo ngantuk?" tanya Zein begitu kembali ke ruang tamu. Ia sudah membawa dua gelas jus jeruk dan dua buah burger ukuran besar di atas nampan. "Lo pasti lapar, kan?"

Keira tak membantah. Sejak pagi dibawa Edward ia memang belum makan. Ia cuma sempat minum soda dan sepotong roti saat latihan bersama Verizone.

"Mama jarang masak walaupun lagi pulang. Jadi tiap gue pulang sekolah, Mama biasanya udah beliin gue makanan," jelas Zein sambil menyuruh Keira agar cepat mengambil apa yang ia bawa. "Nggak usah nungguin Mama. Mama bisa berjam-jam kalau terima telpon dari Surabaya."

"Jadi ini rumah lo?" tanya Keira di sela-sela acara makan mereka. "Terus rumah kakak lo di mana?"

"Sekitar satu kilo meter dari sini," jawab Zein sehabis meneguk jus jeruknya. "Nah, Keira, permintaan gue adalah...."

"Nggak bisa! Lo udah semena-mena sama gue. Jadi utang anggap aja udah terbayarkan," potong Keira buru-buru.

"Lah, nggak bisa gitu dong. Janji ya janji. Lagian gue cuma pengen lo nyanyi buat gue, kok. Nggak susah kan?"

"Nyanyi?" Keira mengangkat alis seraya menatap Zein di sofa sebelah. "Nyanyi apaan?"

"Nyanyi lagu yang bukan Keira banget. Terserah mau nyanyi dangdut, keroncong, kosidahan, atau boyband, kek. Yang penting temanya harus lagu cinta."

"Lah, gue mana bisa? Lo sendiri tahu gue cuma suka lagu-lagu rock," timpal Keira.

"Nggak mau tahu. Cepet nyanyi!"

Keira hendak memprotes tapi Zein tetap menyuruhnya dengan keras kepala. Akhirnya Keira memutar otak. Dangdut jelas ia tidak bisa. Keroncong apalagi. Sementara kosidahan, tampaknya Keira harus belajar dulu dari Boby. Namun menyebut boyband, ada satu lagu yang dulu Keira sering dengar. Anak tetangga sering sekali memutar lagu itu. Bahkan Keira sampai hafal karena terlalu sering dengar waktu itu.

"Oke, deh. Cuma bagian reff doang, ya? Lo nggak bisa maksa lebih dari ini."

Zein hanya mengedik. Dengan tatapan ia mengisyaratkan Keira agar segera menyanyikan saja lagu untuknya.

"Ehm!" Keira berdeham dulu sebagai permulaan.

"You know me so well...

Girl, I need you...

Girl, I..."

"Girl? " Zein memotong lagunya. "Sejak kapan gue disebut girl? Nama gue-nama gue! Terus nyanyinya juga sambil lihatin gue!" perintah Zein yang dengan bodohnya tetap Keira turuti karena tak mau kembali berdebat.

"You know me so well...

Zein, I need you

Zein, I love you

Zein, I heart you..."

Zein senyum-senyum sendiri di saat Keira mati-matian menahan malu. Dengan gerakan tangan Zein menyuruh Keira agar terus melanjutkan nyanyiannya.

"I know you so well...

Zein, I need you

Zein, I love you

Zein, I heart you."

"I need you too. I love you too. I heart you too," ucap Zein tiba-tiba.

Huh? Seketika Keira terbengong-bengong.

"Apa seharusnya gue jawab kayak gitu?" lanjut Zein seraya menatap lain Keira. "Gue nggak nyangka kalau lo ternyata mau ngungkapin perasaan lewat lagu. Terima nggak ya?"