webnovel

13. Selamat Ulang Tahun

"Gimana, Kak? Mau kue tart yang seperti apa?" tanya pelayan di toko roti mengejutkan Keira.

"Ehm," Keira melihat ke etalase sekali lagi. "Yang kayak gitu, Mbak." Ia menunjuk kue tart berukuran sedang berlapis potongan coklat dan dihiasi banyak buah cherry.

"Baik, Kak. Silakan tunggu sebentar ya, biar kami persiapkan dulu kuenya." Pelayan itu menulis sesuatu di nota lalu masuk ke suatu ruangan di balik etalase.

Keira menghela napas letih. Ia kembali menoleh keluar saat mendengar suara motor berhenti. Rupanya Zein. Dia benar-benar datang. Zein langsung masuk ke toko roti dan mendapati Keira sedang duduk lemah di suatu kursi.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Zein saat melihat wajah pucat Keira. Cewek itu cuma mengangguk pelan. "Jadi dari tadi lo belum pulang?" Zein hampir tak percaya melihat seorang Keira belum berada di rumahnya setelah banyak waktu lewat dari jam belajar.

"Mereka masih di sana." Keira mengarahkan pandangannya ke seberang jalan, di mana Benny dan tiga temannya menunggui Keira.

Zein mendengus kesal. "Lo tunggu di sini. Jangan ke mana-mana sebelum gue balik!" Ia memerintah sambil memberikan tas ranselnya pada Keira.

"Lo mau ke mana, Zein?" Keira menarik lengan cowok itu saat dia hendak keluar.

"Ngusir mereka lah. Mungkin gue perlu ngasih pelajaran sama para sok jagoan itu," ucap Zein ketus.

"Ja-jangan! Bahaya. Biarin mereka di sana. Kita sebaiknya pulang aja sekarang," cegah Keira.

"Biarin mereka?" Zein terkekeh entah kesal atau kenapa. Ia menghiraukan Keira dan segera keluar dari toko roti.

Keira melihat Zein menghampiri Benny dan gengnya. Entah apa yang semula dia bicarakan, tapi beberapa menit kemudian Zein tiba-tiba menonjok muka Benny. Keira terbelalak melihat adegan itu.

Kejadian tak sampai di situ saja. Teman-teman Benny langsung menyerang Zein dan mengeroyoknya. Keira tak bisa menahan ketakutannya. Zein dalam masalah besar gara-gara dirinya. Keira gemetaran.

Apa yang akan terjadi pada Zein? Zein bisa mati dihajar Benny beserta gengnya. Seorang Benny saja sudah sangat berbahaya, apalagi dengan teman-temannya? Keira memeluk ransel Zein, berharap keajaiban datang menolongnya. Ia terus berdoa dalam hati.

Keira masih melihat Zein bertempur seorang diri melawan empat kakak kelasnya. Ia sempat terjatuh dihantam Benny, tapi kemudian Zein bangkit dengan cepat dan menendang keras para kakak kelas itu. Benny membalasnya. Mereka saling memukul bergantian. Terjatuh. Bangkit. Entah apa lagi yang terjadi karena Keira tak sanggup untuk menyaksikan lebih lanjut. Ia memunggungi mereka dengan mata terpejam.

"Kak, ini kue yang Mbak pesan sudah siap." Keira baru membuka mata saat pelayan tadi membawakan sekotak kardus yang sudah diikat. "Ini notanya." Ia juga menyerahkan secarik kertas pada Keira.

"Makasih, Mbak," ucap Keira sambil mengeluarkan sejumlah uang sesuai nota. "Ee, Mbak. Saya boleh di sini sebentar? Saya lagi nunggu teman saya," ucap Keira setengah memohon.

"Ya, silahkan, Kak. Nggak pa-pa." Pelayan itu tersenyum ramah lalu kembali sibuk menata isi etalase.

Triiinggg.

Keira dikejutkan oleh suara ponsel dari tas Zein.

Triiinggg.

Ponselnya terus berbunyi memaksa Keira untuk membuka ransel Zein, lalu mengambil ponselnya. Tampaknya ada panggilan dari orangtua Zein. Terlihat dari nama yang terpampang di layar ponsel itu.

Mama is calling.

Sesaat Keira bingung harus bagaimana. Tapi karena ponsel terus berbunyi, akhirnya Keira memencet tombol answer-nya.

"Hal—"

"Happybirth day to you... Happy birthday to you... Happy birthday, happy birthday.. Happy birthday... to... Zein....

"Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas ya, Zein. Maaf Mama nggak bisa pulang buat jenguk kamu. Maaf juga Mama telat sampe sore baru bisa ngucapin. Mama tahu Raditya Alfahzan nggak suka perayaan ulang tahun, tapi sekarang kan hari jadi ke tujuh belas kamu. Nggak ada salahnya kamu bikin acara sama temen-temen sekolah."

Keira terbisu mendengar suara wanita paruh baya itu.

"Hallo, Zein? Kok diam aja? Mama tahu kamu pasti marah Mama belum pulang juga. Tapi Mama bener-bener sibuk, Zein. Kamu tahu kan Kakek kamu ninggalin banyak tanggung jawab sama Mama? Tolong maafin Mama ya?"

Begitu tersadar dari kebisuannya, Keira segera bersuara. Ia tak mau Mama Zein lebih salah paham lagi.

"Ha-hallo? Maaf, Zeinnya sedang ada urusan. Sa-saya teman sekolahnya Zein, Tante," ucap Keira gugup.

"Oh?" Mama Zein tampak terkejut mendengar suara Keira. "Kamu teman sekolahnya? Jadi Zein lagi ngadain pesta ulang tahun sweet seventeen-nya ya?"

"E-nggak, Tante." Keira segera meluruskan dugaan Mama Zein yang salah. "Zein cuma sedang nitipin tas dan ponselnya ke saya. Eng... saya tadi minta bantuan dia karena suatu hal, jadi Zein datang dan sekarang lagi nolongin saya," jelas Keira dengan was-was.

"Oh, jadi kalian cuma pergi berdua?" tanya Mama Zein lagi.

"I-iya, Tante. Saya baru pulang sekolah lalu...."

"Oh, hohoho. Nama kamu siapa?" potong Mama Zein.

"K-Keira, Tante."

"Keira ya? Mm, jadi kamu pacarnya Zein?"

"Hah? B-buk...."

"Siapa yang telpon?" Zein tiba-tiba sudah berdiri di depan Keira. Spontan Keira kaget melihatnya. Zein tampak berantakan. Wajahnya memar dan ujung bibirnya mengeluarkan darah. Seragamnya pun acak-acakan.

"Zein?" Keira langsung berdiri dan menatapnya cemas. "Gimana?"

Zein tak menggubris pertanyaan Keira. Ia justru merebut ponselnya dari tangan cewek itu. "Hallo?" ucapnya setelah meletakkan ponsel di depan telinga. "Oh, Mama?" Zein langsung melirik Keira. "Eng, ya. Nggak pa-pa." Ia tampak sedikit canggung lalu kembali meneruskan bicara sambil menjauh dari Keira.

Keira lega Zein tampak masih utuh dan bisa berjalan normal seperti biasa. Ia lalu mengarahkan pandangan ke luar sana. Raib. Benny dan gengnya sudah tidak ada. Apa Zein berhasil mengalahkan mereka? Keira sulit untuk percaya. Zein memang terluka, tapi apa luka seperti itu sebanding dengan keroyokan Benny dan gengnya? Orang kuat macam apa Zein sebenarnya?

Keira keluar dari toko roti mengikuti Zein saat cowok itu menutup telponnya. Ia terus memandang punggung Zein dengan kekhawatiran menyelimuti seluruh pikirannya.

"Hujan. Kita terpaksa nunggu sampai reda," ujar Zein sambil menatap langit yang mendung. Hujan di luar sudah turun mengguyur deras sekali rupanya.

"Kei, kita berteduh di situ aja." Zein mengajak Keira menginjakkan kaki ke tempat di mana motornya diparkirkan. Tempat itu teduh dan ada bangkunya juga. Entahlah fungsi sebenarnya tempat itu apa. Yang jelas di situ ada beberapa sepeda yang dirantai di bagian rodanya.

"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Zein lagi saat mereka sudah duduk bersebelahan. Keira tak menjawab pertanyaannya. "Hey, lo nggak diapa-apain mereka, kan?" Zein menatap Keira karena anak itu tak juga bersuara.

Oh. Barulah Zein sadar kalau mata Keira kini tengah berkaca-kaca. Dengan satu kedipan saja, Zein yakin air mata Keira akan segera berjatuhan.

"Nggak usah nangis juga kali. Benny sama kroconya udah gue habisin. Lo tenang aja, kalau besok mereka masih berani gangguin lo, bilang sama gue. Gue pastiin mereka nggak bakal bisa masuk sekolah lagi."

Mendengar Zein berkata seperti itu, air mata Keira justru semakin tidak terbendungkan. Lelehan air kini membanjiri kedua pipinya. Keira langsung menutupi muka dengan tangan karena Zein melihatnya menangis.

"Kei," Zein menyentuh pundak cewek itu. "Udah jangan nangis. Lo udah aman sekarang. Nggak usah takut, oke?" Ia coba menenangkannya.

Sssrrpppp. Terdengar Keira menarik ingusnya. "Lo, kenapa datang ke sini?" tanya Keira sambil mengusap air mata.

"Lah, bukannya lo sendiri yang minta ya?" Zein menatapnya heran.

"Tapi kan," srrrrrppp. "Kita tadi di sekolah baru aja bertengkar. Gue baru aja marah-marahin lo. Lo juga marah kan sama gue?" Keira coba mengelap air matanya yang kembali keluar.

"Ooh," Zein cuma berucap seperti itu sebelum akhirnya tertawa. "Ya gue emang lagi marah banget sama lo barusan," katanya kemudian. "Tapi ya udah lah. Lo jadi dapat azabnya, kan?" Ia tertawa lagi. Kali ini nadanya mengejek.

Keira menatap Zein sebal, tapi cuma sebentar. Keira kembali menutup mukanya lagi pakai kedua tangan. "Gue kan jadi malu sama lo, Zein," ucapnya sungkan. Sebenarnya itulah yang kini ia rasakan.

"Baguslah kalau lo masih punya malu," Zein sengaja menjawabnya. "Lo kalau udah emosi galaknya kelewatan sih. Ganas. Ekstrim. Ya mungkin gue bisa maklum lah, soalnya kan lo cewek berbahaya."

"Apa?" Keira langsung membuka mukanya. Zein kembali tertawa melihat reaksi Keira. Melihat Zein tertawa seperti itu, entah kenapa perasaan Keira menjadi lebih tenang. Ia ikut tersenyum melihat ukiran tawa di wajahnya.

"Lo pasti sakit, ya?" Keira tiba-tiba menyentuh pipi Zein yang kebiruan.

"E-enggak," Zein tampak kaget saat tangan Keira menyentuh lembut wajahnya. "Udah biasa," ia menambahkan.

"Lo berdarah!" Keira segera mengambil tisu di tasnya lalu mengusap ujung bibir Zein yang masih basah oleh cairan merah.

Zein hanya menatap saat cewek itu membersihkan luka di wajahnya. Muka mereka cukup dekat. Zein bisa merasakan hatinya sangat berdebar-debar tiba-tiba. Melihat Keira dari jarak sedekat itu, perasaan Zein bercampur aduk tidak karuan. Seperti ada getaran terjadi di dalam hatinya.

Keira balik menatap Zein saat sadar mata cowok itu terus memandangnya. Beberapa lama mereka hanya terdiam dan saling berpandangan. Seolah-olah keduanya sedang saling membaca dan menyelami isi hati. Mencoba memahami sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan. Mengagumi indah paras di hadapan satu sama lain. Bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi sampai tiba-tiba....

DIIIIEEEEERRRRR!!!

Suara petir menggelegar mengejutkan keduanya. Baik Keira maupun Zein, keduanya tampak grogi saat sadar dengan apa yang sedang mereka lakukan. Mereka segera membuang pandangan masing-masing ke arah lain.

Entah berapa lama keduanya masih terdiam dengan gejolak perasaan yang ada. Tak ada suara yang muncul dari mulut mereka. Hanya terdengar suara hujan yang jatuh menghempas aspal jalanan. Sesekali kilatan guntur menghiasi pemandangan yang ada.

"Lo pasti belum makan ya?" Zein akhirnya membuka suara. "Bukannya lo selalu lapar tiap pulang sekolah?"

"Iya," jawab Keira pendek.

"Abis ini kita mau makan di mana? Enaknya makan apa ya?" Zein seperti bertanya pada dirinya sendiri daripada menanyai Keira.

"Ah iya!" mendadak Keira ingat kue tart yang dibelinya. "Nggak usah ke mana-mana, Zein. Gue tadi beli kue. Cukup bikin kenyang kalo kita makan berdua."

"Mana?" Zein menatapnya lagi.

"Ta-da!" Keira membuka kardus yang kini ada di pangkuannya. Kue tart penuh coklat dan vla bertabur cherry yang sangat menarik hati.

"Kita bisa berlepotan kalau makan itu di sini. Nggak ada pisau nggak ada sendok, kan?" Zein berkata ragu.

"Ada kok," jawab Keira.

"Tunggu sebentar ya." Ia segera berlari ke toko roti tadi. Zein tertegun melihatnya. Entah hanya perasaannya atau apa, tapi mood Keira terhadapnya memang ekstrim, naik turun tak dapat ditebak. Zein sendiri juga sama bingungnya dengan perasaan yang ia punya.

Tak dapat dipungkiri Keira sering membuatnya kesal, tapi dalam hitungan detik berikutnya, rasa kesal itu bisa lenyap begitu saja. Keira sosok yang berbeda di matanya. Tapi perasaan seperti ini, tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa alasan. Apa mungkin dirinya menyukai Keira?

Tidak. Zein berdecak. Memang seperti ini perasaan suka? Yang benar saja. Ia tersenyum tak percaya.

"Ini, Zein." Keira menyodori Zein sepotong pisau plastik kecil dan sebuah wadah datar warna perak. "Mbaknya baik ngasih ini gratis sama kita." Ia menunjukkan dua sendok kecil di tangan kirinya.

"Oh, ya?" Zein cuma memandang Keira. Matanya yang masih basah bekas dibanjiri air mata, wajah putih pucatnya, rambut panjang berponinya yang sedikit acak, entah kenapa semua itu membuat Zein terpana. Keira terlihat cantik begitupun keadaannya. Zein harus mengakui kalau cewek di depannya itu memang manis sekali.

"Jangan lihatin aja. Ayo dimakan!" seru Keira menyadarkan Zein kembali ke dunia.

"Mm-ya," Zein mengusap tengkuknya. Tak hanya sukses membuatnya deg-degan, Keira juga mampu membuat Zein salah tingkah. Bingung apa yang harus ia lakukan.

"Tunggu, Zein!" Keira berteriak saat Zein hampir memotong kue tartnya. Zein menatapnya heran.

"Selamat ulang tahun ya!"