webnovel

BEASTY

"Pernah nggak kepikiran buat jadi seorang atlit e-sport?" tanya seorang pria dengan brewok yang menatap Viki dari tadi. "hah?!", merasa tak penting, Viki pergi begitu saja meninggalkan pria itu. "Nih, telfon gue kalau lu berubah pikiran". Diselipkannya sebuah kartu nama di saku seragam Viki sebelum ia pergi. Tatapan Viki menerawang menatap punggung pria itu berlalu tanpa perduli. Dimulainya sebuah pertarungan di dunia virtual dikala ia makin bosan dengan pertarungan di dunia nyata. Langkah baru yang mungkin bisa merubah kehidupannya di masa depan.

Shiroi_akuma · Du hí
Không đủ số lượng người đọc
1 Chs

PROLOG

Pagi cerah dengan hembusan angin menyejukkan yang menerpa wajahnya tak menyurutkan langkah kakinya menuju suatu tempat. Rambut cokelat panjang yang ia ikat rapi dengan gaya pony tail itu terhempas kesana kemari karena gerakan tubuhnya yang seolah melawan gravitasi. Tiba didepan gerbang dengan wajah berkeringat dan nafas terengah, gadis itu kembali merapikan helaian rambut yang nampak agak berantakan karena prosesnya mengejar waktu beberapa saat lalu.

Beberapa kali kacamata yang ia kenakan melorot diatas hidungnya, kembali mengatur nafas dan menyegerakan dirinya untuk memasuki sebuah sekolah.

***

"Don, bagi salinan pr Mtk dong", ujar seorang anak laki-laki yang nampak asyik dengan ponsel didepan wajahnya.

"Ah elu mah kebiasaan Vik, jangan offside woy! Mage gausa banyak gaya!", Sahut anak laki-laki satunya yang juga asyik memainkan ponsel disebelahnya.

Tak lama bel masuk pun berbunyi, seiring terdengar ketukan sepatu dari seorang wanita dewasa yang memasuki kelas itu dengan membawa beberapa buku dan kertas ditangannya.

"Oke, masukin hapenya siap-siap buat ulangan~".

Disahuti lenguhan sebal dari beberapa siswa didalam kelas itu, wanita itu mendudukkan pantatnya disebuah kursi lengkap dengan meja didepan papan tulis.

"Anjrit, tanggung banget! Masa afk si Don?", dengan sedikit cemberut, Viki memasukkan kembali ponselnya kedalam saku seragam sekolahnya.

"Yaudahlah, abis dah credit score gua". Pasrah, Doni ikut menyudahi permainan mobile yang mereka mainkan sejak tadi dan menaruh ponselnya didalam laci mejanya.

Wanita dewasa tadi mulai membagikan kertas yang ia bawa kepada murid dalam kelas tersebut bergantian. Hingga ketukan agak kuat terdengar dari balik pintu kelas. Kepala bersurai cokelat dengan kacamata yang melorot menyembul dari balik bilah pintu dengan tatapan memelas.

"M-maaf saya terlambat Bu Rini",

Wanita dewasa yang dipanggil Bu Rini itu menoleh menatap siswi kelasnya yang masih memelas diujung pintu hendak meminta diperbolehkan masuk.

"Kamu ini telat terus Ratna, ini ulangan lho? Yaudah sini masuk cepetan!", setengah galak Rini memperbolehkan siswi yang ia panggil Ratna memasuki kelasnya.

Dengan tergopoh Ratna buru-buru memasuki kelas lalu menuju mejanya, ditatap oleh teman sebangkunya yang tersenyum geli melihat tingkahnya.

"Telat mulu non? Abis pusreng ya semalem?", jail anak laki-laki disebelah Ratna duduk.

"Diem kamu Ryo, aku lagi badmood nih!", rajuk Ratna sembari mengeluarkan kotak pensilnya.

Kegiatan belajar pun dimulai.

Ulangan harian berlangsung dengan tenang dan himat. Rini kembali ke mejanya mengawasi murid-murid kelasnya yang tengah mengerjakan ujian yang ia berikan pagi itu. Sebuah lirikan sebal menatap Ratna dan Ryo dari sudut kelas.

Selang beberapa jam, bel pertama pertanda waktu istirahat terdengar siang itu. Doni menatap Viki yang menumpu kepalanya lemas diatas meja tak perdulikan ponselnya yang masih menyala.

"Kantin gak? Laper nih gue". Tanya Doni.

Dibalas hanya dengan gelengan pasrah, Viki kembali menelusupkan perpotongan wajahnya dikedua tangannya.

Sambil mengedikkan bahu, Doni melangkah keluar dari dalam kelas menuju kantin.

Dengan suasana hati yang tak menyenangkan, Viki kembali memasukkan ponselnya kedalam saku celananya. Kembali ditatapnya Ratna, yang tengah asyik menyantap bekal makan siangnya diposisinya sekarang. Tiba-tiba, seringai jahil terpampang diwajah tampannya seiring ia menghampiri Ratna yang tengah menyuap mulutnya dengan potongan lauk.

Dengan gerakan cepat, segera disambarnya suapan dari sendok yang Ratna pegang dengan mulutnya.

"Eh!?", setengah kaget dengan kejadian cepat itu, Ratna menoleh kearah Viki dengan wajah sebal bukan main.

"Hehe", ledek Viki.

"Viki! Kalau lapar beli sendiri dong dikantin! Kamu selalu jahilin aku kenapa sih!?", sergah Ratna gusar.

Masih dengan cekikikan puas, Viki duduk diatas meja Ratna disebelah kotak bekal miliknya seraya bersidekap. Disentilnya pelan dahi Ratna yang masih gusar menatap tingkah tak sopannya sambil tersenyum riang.

"Cerewet! Laper nih, lagi dong", ujar Viki manja.

Dengan berat hati, Ratna kembali menyendok nasi beserta lauknya lalu menyuapi Viki yang bertingkah bak anak umur lima tahun.

"Kamu nggak ke kantin? Susul Doni sana!",

"Ngapain beli kalo ada yang ngasih? Hehe", ujar Viki dengan mulut penuh dari suapan Ratna.

Ryo yang berjalan menyusuri koridor sekolah, masuk kedalam kelasnya dengan tatapan kesal. Melihat pemandangan yang ia tak sukai benar-benar membuat mood-nya hancur.

"Woy, meja diciptain bukan buat didudukin. Minggir lu". Ujar Ryo datar.

"Dih, ganggu aja beruk dekil. Na, pindah ke meja gue kuy~", sahut Viki tak kalah enteng sembari meraih lengan Ratna.

Dengan sigap, Ryo menahan pergelangan tangan Ratna yang satunya mencoba menahan Ratna.

"Kalo mo minggat gausah ajak-ajak orang, yang gua usir elu, bukan Ratna. Pergi lu". Tatap Ryo sinis.

"Aduh! Plis lah! Aku mau makan aja ribet amat sih!", sentak Ratna seraya melepas dua tarikan pada kedua lengannya.

Dengan sebal dan bibir manyun, Ratna meninggalkan mereka berdua sambil membawa kotak bekalnya.

Sepeninggal Ratna dari kelas, Ryo dan Viki beradu pandang.

"Stop gangguin gua sama Ratna coy, sadari teritori lu". Tanpa basa-basi, Viki memulai deklarasi perang dingin mereka yang sudah berlangsung sejak kelas satu SMA terhadap Ryo.

"Sigh... ngaca woy, gw sans aja. Elu aja yang kebelet". Sahut Ryo datar.

Intensitas perseteruan mereka makin memanas diantara perang dingin tersebut. Satu saja kata keluar dari salah satu mulut mereka, pecahlah sudah kondisi bertahan kedua belah pihak ini.

Hingga akhirnya, Doni bergegas berdiri diantara mereka berdua untuk menengahi apa yang tengah mereka lakukan.

"Eits eitss! Stop gengs, ini sekolahan oke? Jangan ada perkelahian diantara kita oke?", keringatnya mengucur deras saat berdiri ditengah-tengah dua laki-laki yang menerima predikat Beast dijajaran sekolah ini.

"Don, mulut lu bau. Minggir lu."

Ujar Ryo yang masih tak melepaskan pandangannya dari Viki.

"Woy Don! Kepala lu bau sangit! Minggir!", seruan datang dari Viki yang juga tak melepaskan pandangan tajamnya dari mata Ryo.

"Vik, udahan Vik. Yo, plis yo. Wes yo, eling lah! Iki sekolah lho!?", sedikit panik, Doni tak bisa menutupi kegugupannya yang memberanikan dirinya berdiri diantara mereka berdua hingga logat jawanya keluar begitu saja.

"Bocah". Akhirnya Ryo mengalah, dengan menjauh dari mereka berdua keluar dari kelas.

Sedikit menghela nafas lega, Doni merangkul pundak Viki seraya menggiringnya duduk dikursi mereka.

"Hadeh... Vik, seriouslly?",

"What? Did i do something wrong?",

Sahut Viki tak perduli seraya mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku seragamnya, membakarnya sebatang, laly memberikan sisanya kepada Doni disebelahnya.

"Gue gak habis pikir sama elu, kalo emang suka tinggal nyatain aja sih? Ngapain lu umpetin ampe punya rival begitu?",

Viki terdiam.

Tatapan matanya menyendu seiring hisapan asap nikotin yang ia tarik hembuskan kedalam paru-parunya.

"Bro, gue ngomong begini karena gue peduli sama lu. Kalo lu dibalap dia, apa lu yakin bisa nahan?", kembali Doni menyentil Viki dengan kenyataan.

"Dahlah, gausah dibahas. Gue lagi bete, eh pulang nanti ada party ga?", satu kebiasaan Viki, selalu mengalihkan pembicaraan yang sekiranya menurut ia adalah hal rumit.

"Yanto sama Amad bakalan ambush ke STM Budiawan, tiga puluh lebih lah ada buat gempur itu sekolah. Lu mau ikut?", tanya Doni ragu.

Seringai kembali terpatri di wajah tampan lelaki usia tanggung itu. Adrenalin terpacu melalui syaraf-syaraf dikepalanya. Gemeretak gigi susul menyusul dengan menegangnya otot disekujur tubuhnya.

"Ayoklah, kebetulan gua butuh pelepasan energi dan emosi hari ini".

Doni hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan sifat sahabat karibnya ini. Dari sekolah dasar mereka sudah bersama, sempat terpisah di jenjang SMP, namun akhirnya bertemu kembali di masa SMA. Kebiasaan dari yang baik sampai yang buruk ia tahu dan memahaminya. Terutama kegilaan Viki di dunia pukul memukul, yang ia bawa hingga ke SMA. Jiwa liar yang selalu tersimpan rapi itu akan kembali menyeruak dikala seruan untuk bertarung sampai pada telinganya tanpa segan. Hingga ia menemukan tempat yang tepat, di sekolah ini.

SMA Purnawangsa. Sebuah sekolah yang terkenal bukan dari akreditasinya yang bagus atau prestasi siswa siswinya yang membanggakan. Namun dari tradisi kekerasan yang sudah berlangsung lama dari generasi ke generasi.

Semua hal negatif ada disini.

Dari tawuran, pelacuran, hingga perjudian. Tapi tidak pernah ada tempat untuk narkotika. Hanya hal inilah yang amat sangat dibenci rakyat Purnawangsa. Seolah mendapat 'sarang', Viki menantang petinggi Beast disekolah ini hingga mendapatkan jabatan Beast dari pendahulunya. Menang telak di tiga pertarungan sengit melawan seniornya, ia mendapatkan predikat Beast generasi selanjutnya. Berbarengan dengan Ryo yang juga mendapatkan predikat tersebut, namun selalu ditolaknya mentah-mentah. Baginya, itu hanyalah bela diri. Terpaksa melawan seniornya yang ternyata seorang Beast hanyalah keadaan mendesak pikirnya, tak pernah ia duga bahwa seniornya akan kalah telak darinya di dua pukulan pertama.

Dua kondisi yang berbeda dengan situasi yang sama. Perbedaan sangat kentara diantara mereka, yang satu menikmati, sedangkan satunya mencoba melupakan kejadian tersebut dengan menolak apa yang ia dapat. Kehidupan penuh adrenalin yang menantang, tak seperti kehidupan anak SMA kebanyakan memang. Yah mau bagaimana lagi?

Inilah SMA.

Masa-masa dimana tak akan kau ulangi lagi. Baik pengalaman atau rasanya.

To be continue...