webnovel

Bara

Apa yang terjadi jika hidupmu berubah dalam semalam. Setidaknya itulah yang dirasakan bara. Ingatan terakhirnya adalah dia sedang dikejar debt collector dan salah satu dari mereka menusuknya hingga dia merasa jika ajalnya sudah dekat. Tapi yang terjadi selanjutnya begitu mengejutkannya. **** Terima kasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Jangan lupa untuk menambahkannya ke dalam koleksi dan berikan dukungan kalian dengan memberikan vote, review dan komentarnya. Terima kasih.. ^^ ---- Lanjutan side story tentang Ben bisa dibaca di https://www.webnovel.com/book/off-the-record-ben's-untold-story_22960375506464905

pearl_amethys · Hiện thực
Không đủ số lượng người đọc
702 Chs

Now and Then (Bara)

Sepanjang perjalanan pulang menuju apartemennya, Bara terus memikirkan kata-kata yang diucapkan Pak Bima. Jajaran gedung-gedung tinggi yang menghiasi perjalanannya kembali ke apartemen, tak ubahnya seperti labirin raksasa yang memerangkapnya. Labirin yang tidak hanya penuh liku namun juga penuh dengan jebakan.

"Gue harus gimana?" gumamnya dalam hati.

Ketika berhadapan dengan Pak Bima, dengan penuh tekad dirinya mengatakan tidak akan mundur. Pada kenyataannya, jauh di dalam lubuk hatinya, Bara takut dengan apa yang akan terjadi jika dia tetap melakukan apa yang sudah ia mulai. Persoalan aliran dana perusahaan yang mengalir keluar bisa melebar seperti air bah yang datang tiba-tiba. Air bah itu bisa membahayakan semua orang tidak terkecuali dirinya sendiri. Salah satu yang sudah menjadi korban dari limpahan air bah itu adalah Arga. Ketika sedang mengingat kejadian yang melibatkan dirinya dan Arga, sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk ke ponsel Bara. Tanpa curiga, Bara segera membuka pesan tersebut. Bara terperanjat begitu melihat foto-foto dirinya bersama Raya dalam pesan yang baru saja ia terima. Mata Bara terbelalak tidak percaya begitu melihat foto-foto tersebut. Gerak-geriknya selama ini sudah diawasi. Bara kemudian mencoba menelpon nomor yang mengirimkan foto-foto tersebut padanya. Nomor itu sudah tidak dapat dihubungi. Bara kembali mencoba beberapa kali untuk menghubungi nomor tersebut. Hasilnya tetap sama. Nomor tersebut seperti sudah dimatikan sesaat setelah mengirimkan foto-foto tersebut pada Bara.

"Brengsek."

Dengan kesal Bara melempar ponselnya.

"Ada apa, Mas?" Tanya Pak Pam yang khawatir dengan Bara yang tiba-tiba marah dengan melemparkan ponselnya.

"Kita ke rawamangun dulu, Pak." Ujar Bara dengan sedikit panik pada Pak Pam.

"Baik, Mas."

Pak Pam segera menuruti perintah Bara. Dirinya tidak berani membantah. Pak Pam melihat Bara dari kaca spionnya. Wajah Bara merah padam menahan amarah. Bara terlihat sangat kesal. Berulang kali Bara mengacak-acak rambutnya sendiri. Melihat itu, Pak Pam segera mengarahkan kendaraannya ke tol dalam kota untuk selanjutnya menuju daerah Rawamangun.

Bara harus segera berbicara dengan Raya untuk memintanya menghentikan semua penyelidikan yang sedang ia kerjakan.

----

Bara akhirnya tiba di depan gang rumah Raya. Bara menatap sebentar ke dalam gang rumah Raya yang sudah terlihat sangat sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Melihat malam yang sudah semakin pekat, Bara berpikir untuk menemui Raya esok di kantor. Tetapi dirinya juga tidak ingin Raya terlibat semakin jauh. Bara ingin segera mengeluarkan Raya dari pusaran konflik yang terjadi di MG group. Bara akhirnya memutuskan untuk tetap menghubungi Raya. Butuh beberapa kali nada dering sampai Raya mengangkat telponnya.

"Halo Ray, lu udah tidur?" tanya Bara begitu Raya mengangkat telponnya.

"Maaf ganggu, Ray. Bisa keluar sebentar? Gue udah di depan gang rumah lu."

"Sekalian bawa hasil penyelidikan lu yang terbaru, ya."

Bara menutup telponnya dan menunggu Raya muncul. Tidak berapa lama, dengan mengenakan baju tidur yang di balut dengan cardigan berwarna hitam, Raya muncul. Senyumnya terkembang melihat Bara yang sudah berdiri menunggunya. Penampilan Bara sudah tidak serapi tadi siang ketika bertemu dengannya di lift. Lengan kemejanya sudah digulung sebatas siku. Dua kancing atas kemejanya terbuka dan rambutnya juga terlihat sedikit berantakan. Namun penampilan berantakan Bara justru membuat Bara semakin menarik di mata Raya.

"Ada apa malam-malam kesini?" tanya Raya ceria. Meskipun sudah hampir tertidur, Raya menjadi kembali bersemangat ketika Bara menelpon dan meminta bertemu dengannya.

"Gue mau minta semua hasil penyelidikan lu."

"Oh, ini."

Raya mengeluarkan sebuah flashdisk dari kantung cardigan yang dikenakannya dan menyerahkannya pada Bara. Ada sedikit rasa kecewa ketika Bara meminta bertemu dengannya hanya untuk meminta hasil penyelidikannya.

Bara menerima flashdisk pemberian Raya.

"Thanks, Ray."

Bara kemudian memasukkan flashdisk tersebut ke dalam saku celananya.

Bara kemudian menatap Raya lekat-lekat. "Mulai sekarang, lu ngga perlu nyelidikin ini lagi," ucap Bara.

"Why?" Raya spontan bertanya.

Bara terdiam. "Ngga ada apa-apa, bantuan lu cukup sampai di sini aja. Mulai sekarang, gue yang akan nyelidikin sendiri."

"Oh, gitu."

Raya terdengar kecewa dengan apa yang dikatakan Bara padanya.

"Tapi kita tetap bisa ketemu, kan?" tanya Raya ragu-ragu.

Bara tertunduk mendengar pertanyaan yang diajukan Raya.

"Sebaiknya kita ngga ketemu dulu," jawab Bara singkat. Bara kemudian melanjutkan kata-katanya. "Gue ngga mau ada gosip tentang kita di kantor. Gue ngga mau itu nantinya akan menyulitkan kita berdua." Bara menelan ludah setelah menyelesaikan kata-kata yang baru saja meluncur dari mulutnya.

Bara memperhatikan ekspresi wajah Raya yang seketika berubah setelah mendengar kata-kata yang diucapkan Bara. Jelas Raya nampak kecewa.

"Iya juga ya. Kalau ada gosip tentang kita di kantor, pasti jadi awkward banget nantinya," ujar Raya.

Raya berusaha mengatur nada bicaranya agar tetap terdengar seperti biasa. Meski di dalam hatinya Raya sudah merasa seperti di tusuk sebuah pedang yang sangat tajam. Kata-kata yang dikeluarkan Bara memang ada benarnya, namun entah kenapa hatinya sakit mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Bara.

"Sorry, kalau kedekatan kita selama ini menyulitkan buat lu," ujar Raya.

"Lu ngga perlu minta maaf. Gue yang harusnya minta maaf karena udah ngerepotin lu," timpal Bara.

"Itu sih bukan apa-apa. Gue senang kok bisa bantuin lu." Raya mencoba tersenyum pada Bara.

"Yaudah, kalau begitu gue pamit dulu." Bara sudah tidak sanggup untuk berbicara lebih lama dengan Raya. Bara dapat merasakan Raya sangat kecewa dengan sikapnya sekarang.

"Oke, hati-hati." Raya berusaha tetap memasang wajah cerianya.

"Sekali lagi, makasih Ray," ujar Bara sebelum meninggalkan Raya.

Raya mengacungkan kedua jempolnya sambil memasang senyum di wajahnya. Bara balas tersenyum pada Raya. Bara menatap Raya sejenak sebelum memutuskan untuk melangkah pergi dan meninggalkan Raya yang masih berdiri di depan gang rumahnya.

Raya memandangi Bara yang melangkah masuk ke dalam kendaraannya. Menatap punggung Bara yang pergi menjauh darinya membuat dadanya terasa sesak. Raya berdiri cukup lama di depan gang rumahnya sampai melihat kendaraan yang di naiki Bara menghilang dari hadapannya.

"Kenapa rasanya sakit begini." Raya menepuk-nepuk dadanya yang tiba-tiba terasa sakit dan kembali melangkah menuju rumahnya.

Bara tertunduk di dalam mobilnya sambil menggenggam erat flashdisk pemberian Raya.

"Maafin gue, Ray." Bara bergumam sambil memandangi flashdisk di tangannya.

Pak Pam mengintip dari kaca spion mobilnya. Wajah Bara memerah. Namun bukan karena menahan amarah. Mata Bara berkaca-kaca. Pak Pam menghela napasnya. Baru sebentar ia melihat Bara yang ceria, kini dirinya sudah kembali melihat Bara yang diselimuti kesedihan.

----

Lewat tengah malam, Bara tiba di apartemennya. Bara tidak mempedulikan bagian dalam apartemennya yang gelap dan melangkah menuju balkon. Di balkon, Bara duduk bersila di lantai sambil bersandar pada jendela kacanya. Bara kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik yang tadi ia beli dalam perjalanan pulang. Bara mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Bara menghisap dalam-dalam rokok yang baru saja dinyalakannya dan kemudian menghembuskan asapnya ke udara. Seandainya ada yang bisa ia ajak bicara saat ini. Pasti rasanya akan lebih menenangkan ketimbang merokok seorang diri. Bara tersenyum miris melihat keadaannya saat ini. Eyangnya saat ini sedang dalam keadaan koma dan belum diketahui kapan akan bangun. Dirinya, untuk kesekian kalinya lolos dari kematian. Namun keselamatannya kali ini harus dibayar dengan nyawa Arga yang kini berada dalam bahaya. Hubungannya dengan Raya yang bahkan belum sempat ia mulai, harus terpaksa ia akhiri untuk melindungi Raya. Pengorbanan Damar dan Kimmy yang berani menentang Pak Angga dan Pak Bima. Entah bagaimana Bara bisa membalas pengorbanan keduanya. Pak Ardan yang sudah mengorbankan nyawa untuk dirinya. Semua itu membuat pundaknya terasa berat. Orang-orang disekitarnya sudah begitu banyak berkorban untuk dirinya. Bara menatap kosong pada hamparan gedung di hadapannya.

"Mas Bara sudah pulang?" Pak Agus tiba-tiba muncul di sebelah Bara. Bara terkejut dengan kehadiran Pak Agus di apartemennya. Namun kemudian ia teringat, bahwa Pak Agus memang untuk sementara tinggal bersamanya.

"Baru sampai, Pak." Jawab Bara.

Pak Agus kemudian duduk di sebelah Bara dan mengambil sebatang rokok milik Bara.

"Bapak ngerokok juga?" Tanya Bara.

"Saya sudah lama berhenti, tapi sepertinya malam ini Mas Bara butuh teman merokok." Pak Agus kemudian menyalakan rokok yang baru saja ia ambil. Baru hisapan pertama Pak Agus langsung terbatuk.

"Ngga usah dipaksa, Pak." Ujar Bara.

"Sepertinya saya memang sudah tidak cocok buat merokok." Pak Agus kemudian mematikan kembali rokok yang baru saja ia nyalakan.

Bara hanya tersenyum melihat kelakuan Pak Agus yang sangat tidak biasa itu.

"Saya juga ngerokok kalau lagi kepengen aja," terang Bara. Bara kembali menghisap rokoknya.

"Biasanya orang yang ngomong mereka merokok kalau lagi kepengen, itu artinya, mereka merokok ketika sedang ada masalah," ujar Pak Agus.

Bara menanggapi ucapan Pak Agus dengan mengangguk sambil tersenyum. Ucapan Pak Agus memang benar. Dirinya merokok hanya disaat sedang ada masalah.

"Apa yang sedang Mas Bara pikirkan?" Tanya Pak Agus.

"Banyak yang sedang saya pikirkan, Pak." Jawab Bara sambil mengalihkan pandangannya pada gedung-gedung di sekitar apartemennya.

"Salah satunya?"

"Eyang." Bara terdiam. "Mengetahui fakta bahwa Eyang sudah menyiapkan semuanya, membuat saya semakin takut kehilangan Eyang," lanjut Bara.

"Mas Bara tidak perlu khawatir, Pak Haryo itu salah satu orang paling kuat yang saya kenal. Sejak muda, Bapak jarang sekali sakit. Kali ini pun, saya yakin, Bapak pasti akan segera bangun." Pak Agus mencoba menghibur Bara.

Bara menghela napas. "Tinggal Eyang satu-satunya orang tua yang saya punya."

Pak Agus menepuk bahu Bara.

"Mas Bara tidak perlu banyak memikirkan hal lain, fokus saja untuk menjalankan apa yang sudah Mas Bara katakan tadi di rapat Direksi, diluar dari itu, biar saya yang urus."

"Makasih banyak, Pak."

"Itu memang sudah tugas saya."

"Kalau begitu saya masuk lagi, tubuh tua saya sudah tidak kuat berlama-lama menghadapi angin malam."

"Iya, Pak."

"Mas Bara juga cepat istirahat, kesehatan Mas Bara itu yang utama sekarang."

"Iya, Pak. Setelah ini habis saya akan langsung masuk."

Pak Agus mengangguk dan kembali melangkah masuk ke dalam apartemen Bara. Bara kembali menyesap rokoknya. Benar apa yang dikatakan Pak Agus. Fokus dirinya saat ini adalah membuktikan ucapannya di rapat Direksi tadi siang. Bara yakin, selain orang-orang yang berusaha menyingkirkannya, masih banyak orang-orang yang akan membantunya. Tekadnya kali ini sudah kuat dan tidak akan goyah. Dia akan membongkar semua kebusukan yang telah dilakukan petinggi perusahaan terutama Pak Angga. Semua bukti yang ada ditangannya sudah mengarahkannya pada Pak Angga. Kini waktunya dia bersiap untuk menyerang Pak Angga dan orang-orang yang mendukungnya.

****

Terima kasih atas dukungannya para pembaca sekalian

pearl_amethyscreators' thoughts