Pagi-pagi sekali Bara sudah bersiap untuk menyaksikan prosesi pemakaman Pak Ardan. Dengan mengenakan setelan serba hitam, Bara beranjak pergi meninggalkan kamarnya. Begitu keluar dari kamarnya, Bara mendapati Pak Agus yang sudah bersiap di apartemennya.
"Semua persiapan untuk pemakaman Pak Ardan sudah siap," ucap Pak Agus.
"Terima kasih banyak Pak Agus," ucap Bara sambil tersenyum simpul.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Pak Agus.
"Iya pak."
Pak Agus mempersilahkan Bara untuk keluar lebih dulu dari apartemennya. Pak Agus memperhatikan punggung Bara yang berjalan di depannya. Ingatannya melayang pada saat dirinya menjemput Bara setelah kejadian yang menewaskan Pak Ardan. Bara terlihat sangat kacau saat itu.
Sepanjang perjalanan pulang Bara tidak mengucapkan satu patah kata pun. Puncaknya ketika dia mengusir keluar semua orang yang ada di apartemennya. Pada saat itu Pak Agus mengerti dan memilih keluar bersama dengan Kimmy dan Damar. Setelah menceritakan peristiwa yang baru dialami Bara kepada Kimmy dan Damar, Pak Agus diam-diam kembali ke apartemen Bara untuk menengok keadaannya.
Suasana apartemen Bara malam itu sangat sunyi, hampir tidak terdengar suara apa pun kecuali suara dari luar apartemen. Pak Agus mencoba mengintip ke dalam kamar Bara dan mendapati Bara sedang duduk di lantai sambil bersandar pada tempat tidurnya.
Bara duduk menghadap jendela kamarnya yang memperlihatkan pemandangan kerlap-kerlip lampu ibu kota. Bara hanya duduk terdiam, dia bahkan tidak menyadari Pak Agus yang mengintip ke dalam kamarnya. Dengan pelan Pak Agus kembali menutup pintu kamar Bara. Pak Agus kemudian melaporkan keadaan Bara pada Pak Haryo.
"Mas Bara mau mampir untuk sarapan dulu?" Tanya Pak Agus begitu keduanya sudah berada di dalam mobil Bara yang sedang dalam perjalanan menuju tempat pemakaman umum.
"Ngga usah, Pak. Langsung aja ke TPU," jawab Bara.
"Baik kalau begitu."
Pak Agus kembali diam. Kali ini dia kembali memperhatikan Bara. Sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, pandangan Bara hanya tertuju pada jalanan di luar. Pak Agus yakin, perasaan Bara saat ini pasti sedang kacau balau setelah melihat Pak Ardan meninggal ketika melindunginya.
***
Bara dan Pak Agus akhirnya tiba di pemakaman umum tempat Pak Ardan akan disemayamkan. Pak Ardan akan disemayamkan di dalam liang yang sama dengan istrinya. Pak Ardan pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun pada Bara, namun Bara berinisiatif untuk menguburnya bersama dengan istrinya karena Pak Ardan sebenarnya sangat mencintai istrinya. Beberapa orang tiba di pemakaman Pak Ardan, termasuk Bang Jali. Begitu tiba, Bang Jali segera menyalami Bara dan memeluknya.
"Lu yang sabar ya, Bar." Bisik Bang Jali ketika memeluk Bara sambil mengelus punggungnnya.
"Iya Bang," ucap Bara singkat.
Bang Jali kemudian melepaskan pelukannya dan berdiri di sebelah Bara.
Selama proses pemakaman Pak Ardan berlangsung, Bang Jali setia berdiri di samping Bara. Bara tidak banyak bicara. Dirinya hanya berdiri terdiam sambil memandangi pusara Pak Ardan dan Istrinya. Keduanya adalah orang yang sudah melindunginya.
Jika sepuluh tahun lalu Istri Pak Ardan tidak membuat rencana untuk menyelamatkannya, dirinya tidak mungkin bisa kembali ke keluarganya seperti saat ini. Begitu pun dengan Pak Ardan yang rela melindunginya sampai mengorbankan nyawanya sendiri.
Mengingat pengorbanan keduanya membuat dada Bara terasa sesak. Ingin rasanya dia berteriak sekencang mungkin untuk melampiaskan apa yang dia rasakan. Namun yang bisa dilakukannya hanya terdiam dan menyimpan perasaan itu seorang diri.
Bang Jali yang berdiri di samping Bara beberapa kali menepuk bahu Bara untuk sekedar memberi tahu bahwa dia selalu berada di sampingnya dan siap membantunya kapan pun dia butuhkan. Selepas prosesi pemakaman tersebut, Bara mengajak Bang Jali untuk berbicara sebentar di warung kecil yang berada di dekat lahan parkir pemakaman tersebut.
"Kayanya untuk sementara gue ngga bisa sering-sering main ke warung, Bang. Demi keselamatan Abang sama keluarga Abang, gue harus menjauh dulu," ucap Bara pelan.
Bang Jali menyodorkan sebatang rokok kepada Bara. Bara menerima rokok yang disodorkan Bang Jali padanya. Bang Jali kemudian menyalakan korek api dan mengarahkannya pada Bara untuk menyalakan rokok yang sudah dipegangnya. Bang Jali memperhatikan tangan Bara yang bergetar ketika memegang rokok miliknya.
Bang Jali pun ikut menyalakan rokoknya. Tidak banyak kata-kata yang terucap selain hembusan asap rokok yang memenuhi udara di sekitar mereka. Bang Jali sadar, Bara sedang tidak dalam kondisi yang baik. Di setiap hembusan asap yang keluar dari mulut Bara, semuanya terasa berat.
Pak Agus datang menghampiri Bara yang sedang merokok berdua dengan Bang Jali dan membisikkan sesuatu di telinga Bara.
"Gue pulang dulu, Bang." Bara berpamitan pada Bang Jali sambil mematikan rokok miliknya.
"Hati-hati lu, kalau butuh temen ngerokok datang aja ke warung," ucap Bang Jali sambil menepuk bahu Bara.
Bara hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Bang Jali dan kemudian bangkit berdiri.
"Ngga usah takut nasib gue bakalan sama kaya Ardan," lanjut Bang Jali.
"Kalau ada apa-apa hubungin gue ya, Bang."
"Tenang aja kalau itu sih."
"Yaudah, gue balik dulu ya, Bang."
Bara berbalik meninggalkan Bang Jali yang masih duduk di warung kecil yang berada di pinggir lahan parkir pemakaman.
Pak Agus hendak berjalan mengikuti Bara ketika Bang Jali menarik tangannya.
"Jagain dia, dia cuma kelihatannya aja kuat, padahal dalamnya itu Hello Kittty," bisik Bang Jali pada Pak Agus.
"Kalau itu kamu ngga usah khawatir," sahut Pak Agus.
Pak Agus kemudian berjalan menyusul Bara.
"Bahkan dari belakang aja gue tahu, kalau lu lagi pura-pura kuat," ucap Bang Jali pelan dan kemudian kembali menyesap rokok miliknya.
Bang Jali memperhatikan Bara yang berjalan menuju kendaraannya. Dua orang pengawal yang sedari tadi berdiri di sekitar mobil Bara, dengan sigap membukakan pintu mobil begitu Bara tiba. Bara segera masuk ke dalam mobilnya. Dari luar kaca mobil, Bang Jali masih bisa melihat ekspresi wajah Bara yang dipenuhi dengan kesedihan.
***
Selepas dari pemakaman, Bara tidak kembali ke apartemennya melainkan segera menuju ke kediaman Pak Haryo. Pak Agus memberitahunya bahwa Pak Haryo sudah tiba di tanah air dan memintanya untuk segera membawa Bara pulang ke kediamannya. Dalam benaknya, Bara sudah membayangkan Pak Haryo yang akan marah besar setelah apa yang terjadi padanya. Membayangkan itu semua membuat Bara menghela napasnya.
Mobil yang mengantarnya tiba di pelataran rumah Pak Haryo. Begitu mobil itu berhenti di lobi kediaman Pak Haryo, Bara segera beranjak turun tanpa menunggu pengawalnya untuk membukakan pintu untuknya. Bara langsung masuk ke dalam kediaman Pak Haryo dan menuju ruang kerja Pak Haryo.
Pak Haryo sudah duduk di dalam ruang kerjanya. Ekspresi wajahnya mengeras begitu Bara muncul di hadapannya. Bara menundukkan kepala dan berjalan menuju sofa yang berada di samping tempat duduk Pak Haryo.
"Apa alasan kamu pergi kesana sendirian?" tanya Pak Haryo tanpa berbasa-basi.
"Saya cuma mau mengingat apa yang terjadi sepuluh tahun lalu," jawab Bara.
"Buat apa kamu ingat lagi kejadian itu? Saya bahkan berusaha untuk tidak mengingat itu lagi."
"Lalu apa saya salah kalau saya mau mengingat tentang kejadian itu?" Bara balik bertanya pada Pak Haryo sambil menatap tajam padanya.
"Saya satu-satunya saksi dari kejadian itu, saya akan melakukan apa pun untuk mengingat kembali kecelakaan itu," lanjut Bara.
"Termasuk mengorbankan Ardan?"
"Cuma Bapak satu-satunya yang bisa bantu saya mengingat kejadian itu, dia yang pertama kali menemukan saya."
"Dia juga yang berusaha membunuh kamu tidak lama setelah kamu ditemukan."
"Kalau saat itu Pak Ardan membunuh saya, saya ngga bakal ada di hadapan Eyang saat ini."
"Itu karena Istrinya yang menyelamatkan kamu dan menyusun rencana untuk menyembunyikan kamu, karena itu juga kami kehilangan jejak kamu."
"Darimana Eyang tahu tentang pak ardan dan istrinya?" tanya Bara keheranan.
"Ardan sendiri yang menceritakannya," jawab Pak Haryo tenang.
"Jadi, Eyang pernah bertemu Bapak?"
"Dia bahkan di rawat di rumah sakit yang sama dengan kamu."
"Jadi, selama ini Eyang yang menyembunyikan Bapak? Saya hampir gila nyari Bapak kemana-mana dan ternyata Eyang yang selama ini menyembunyikan Bapak?" Bara mulai meninggikan nada suaranya.
"Karena saya tidak ingin sampah seperti Ardan kembali menemui kamu, apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan kamu, orang seperti dia tidak pantas disebut manusia," Pak Haryo mulai ikut meninggikan suaranya.
Bara tercengang mendengar ucapan Pak Haryo. Bara mencoba mengatur napasnya untuk mengendalikan amarahnya yang mulai meluap ketika mendengar Pak Haryo menyebut Pak Ardan sampah di hadapannya.
"Asal Eyang tahu, orang yang Eyang sebut sebagai sampah itu, dia orang yang sudah menyelamatkan saya. Jadi jangan pernah Eyang berani sebut Pak Ardan sampah di hadapan saya, permisi." Bara mengucapkan kata-katanya dengan penuh penekanan.
Bara kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar sambil membanting pintu ruang kerja Pak Haryo. Pak Haryo terdiam melihat sikap Bara yang berani melawannya.
Pak Agus yang mendengar suara pintu dibanting segera menuju ke ruang kerja Pak Haryo. Pak Agus melihat Bara keluar dari ruangan Pak Haryo dengan ekspresi penuh kemarahan. Belum pernah dia melihat Bara semarah ini sebelumnya. Pak Agus kemudian menghampiri Pak Haryo di ruangannya.
"Sepertinya Bara sangat marah dengan ucapan saya," ucap Pak Haryo ketika Pak Agus menghampirinya.
"Memang Bapak bicara apa sama Mas Bara?"
"Saya tidak sengaja menyebut Ardan sampah di hadapan Bara."
Pak Agus menghela napas begitu mendengar jawaban Pak Haryo. Sudah tentu Bara marah mendengar ucapan Pak Haryo. Walau bagaimana pun Bara sudah menganggap Pak Ardan sebagai orang tuanya meskipun sikap Pak Ardan tidak baik terhadapnya. Terlebih lagi diakhir hidupnya Pak Ardan mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Bara.
"Mungkin sebaiknya kita biarkan Mas Bara untuk menenangkan diri dulu, Pak." Pak Agus memberikan saran pada Pak Haryo untuk membiarkan Bara sendiri agar ia bisa menenangkan dirinya.
"Ya, mungkin memang itu yang dia butuhkan saat ini," ujar Pak Haryo sambil menghela napas.
Tiba-tiba seorang Pegawai rumah Pak Haryo masuk ke dalam ruang kerja Pak Haryo dengan tergesa-gesa.
"Anu Pak, anu," Pegawai itu tergagap ketika masuk ke dalam ruang kerja Pak Haryo.
"Anu, anu, apa? Ngomong yang jelas," seru Pak Haryo.
"Anu Pak, Mas Bara."
"Kenapa sama Bara?"
"Dia tadi mau pergi, tapi ditahan sama penjaga, sekarang dia berantem sama penjaga di depan."
Pak Haryo dan Pak Agus berdiri berbarengan. Pak Haryo segera melangkah cepat keluar dari ruang kerjanya. Pak Agus mengikuti dibelakangnya.
Bara sudah melayangkan pukulannya untuk memukul Penjaga yang berusaha mencegahnya untuk pergi. Pak Haryo yang melihatnya segera berteriak untuk menghentikan Bara.
"Berhenti!" teriak Pak Haryo.
Bara tidak mengindahkan ucapan Pak Haryo dan tetap melayangkan tinjunya. Namun tinjunya mendarat di lantai tepat di sebelah kepala Penjaga yang berada di bawahnya.
"Kamu! cepat menyingkir dari sana." Pak Haryo memerintahkan Penjaga yang sedang ditindih oleh Bara untuk segera menyingkir. Penjaga tersebut sedikit mendorong tubuh Bara sehingga Bara jatuh terduduk di sebelahnya.
Pak Agus segera memberikan isyarat pada penjaga tersebut untuk segera pergi ke belakang. Pak Haryo memandangi Bara yang terduduk diam di lantai lobi rumahnya. Bara terlihat seperti orang yang sudah kehilangan akal sehatnya.
"Cepat bawa dia ke dalam!" Pak haryo memerintahkan dua orang penjaga untuk segera membawa Bara kembali ke dalam kediaman Pak Haryo.
Bara tidak melawan ketika dua orang penjaga meraih lengannya dan membantunya untuk kembali berdiri. Namun ketika dua orang penjaga tersebut hendak membawanya untuk kembali masuk ke dalam kediaman Pak Haryo, Bara meminta kedua penjaga tersebut untuk melepaskan pegangannya.
"Lepas, saya bisa jalan sendiri."
Kedua penjaga tersebut kompak melirik kearah Pak Haryo. Pak Haryo memberikan isyarat dengan menganggukkan kepalanya. Kedua penjaga itu melepaskan pegangannya pada lengan Bara. Bara kembali berjalan masuk ke dalam kediaman Pak Haryo. Ketika berjalan melewati Pak Haryo, Bara tidak menoleh atau mengucapkan satu patah kata pun.
***
Bara masuk ke dalam kamarnya. Dengan langkah gontai Bara berjalan menuju kamar mandi di kamarnya. Bara menutup pintu di belakangnya dan merosot bersandar di pintu. Bara melihat pantulan dirinya pada dinding kaca. Bara tertawa pelan melihat pantulan dirinya pada dinding kaca pembatas kamar mandi. Tawanya semakin lama semakin keras.
Bara tertawa sampai air matanya berderai. Perlahan tawanya berubah menjadi isak tangis. Bara menutup wajahnya dengan satu tangannya. Bara teringat masa-masa ketika dirinya tinggal bersama Pak Ardan dan istrinya. Meskipun Pak Ardan sering bersikap kasar padanya, namun di beberapa kesempatan Pak Ardan juga menunjukkan kasih sayang padanya.
Pak Ardan tidak menunjukkan kasih sayangnya secara terang-terangan namun dengan perhatian kecil seperti menyiapkan ruang bersembunyi untuk Bara ketika malam tahun baru tiba. Pak Ardan tahu, Bara akan sangat ketakutan jika mendengar suara ledakan petasan. Pak Ardan sengaja membeli lemari pakaian bekas dan menyulapnya menjadi sebuah ruang kedap suara sederhana.
Ketika malam tahun baru tiba, Bara akan bersembunyi di sana dan tidak akan terlalu mendengar suara petasan yang sangat memekakkan telinga dan membuatnya takut. Mengingat itu semua membuat dada Bara semakin sesak. Bara mencoba menahan tangis sambil menggigit bibirnya. Namun usahanya justru sia-sia. Semakin Bara berusaha mengendalikan tangisnya, semakin air matanya mengalir tidak terkendali. Bara akhirnya pasrah dan membiarkan apa yang dirasakannya mengalir keluar.
***
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis Bara.
Karya asli hanya tersedia di Platform Webnovel.
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
-Sapardi Djoko Damono-
20/03/1940-19/07/2020