Cahaya gemerlap dari lampu-lampu yang dihidupkan memeriahkan suasana. Saat kegelapan menyelimuti dan kehidupan malam dimulai, cahaya yang dipancarkan membuat malam tak seseram ketika gulita memeluk.
Menatap dari puncak menara, meja dan kursi disusun sedemikian rupa. Lampu-lampu dengan warna kuning yang hangat dipasang pada langit-langit kaca. Beberapa tanaman hijau ditempatkan guna menyejukkan mata. Lantai berlapis kayu memberikan suasana hangat dan nyaman saat batang-batang penyangga dinding merupakan kayu tebal yang bergeliat tidak teratur. Sulur-sulur hijau terbentang, melilit pada setiap tulang penyangga kaca. Suasana bak di sebuah kebun anggur, dengan dilatarbelakangi ketinggian bangunan yang menyambut gemerlap malam, membuat Leo benar-benar puas.
Duduk di meja kayu yang panjang, lima orang mengelilingi meja dan menatap sekitar dengan puas. Keadaan Restoran agak ramai, beberapa pelayan robot berkeliling mengantarkan makanan hangat ke meja-meja pelanggan.
"Kau sering ke sini?" Leo menatap sekeliling, tidak bisa menahan diri untuk memandang ke luar. Di balik lapisan kaca, pemandangan gemerlap terlihat. Jelas, gedung ini cukup tinggi untuk melampaui ketinggian gedung-gedung lain di sekitarnya.
"Ya," Amerta bersedekap, bersandar di sofa yang empuk. Nadanya penuh dengan kebanggan. "Kami sekeluarga sering ke sini."
"Restoran ini … ," sepasang iris merah menatap sekeliling. Meski terlihat kasual, tetapi orang-orang yang berkumpul jelas mengenakan pakaian yang bermerek. "Sepertinya mahal."
Jemari putih Leo menyentuh meja. Dalam seketika, lima menu terpampang di hadapan mereka. Masing-masing dari gambar, nama makanan dan juga … harga.
"Memang mahal," Bastian mendesis. Melirik harga makanan minuman yang rata-rata di atas 2 koin emas! Oh, air mineral bahkan harganya 50 perak! Bila bukan karena ia baru saja panen, pangeran Arya benar-benar ingin melarikan diri. Terlebih, ia juga harus membayar apa yang dikonsumsi Lyra …
Elf pirang terkikik. "Tenang saja Tuan Arya," ujarnya geli. "Bukankah di sini ada Leo?"
"Apa?" Leo membeku, refleks menatap si pirang.
Alis Amerta terangkat. "Bukankah Ayahmu sangat kaya? Apa salahnya mentraktir kami?" seringai merekah. "Atau … jangan-jangan Paman An cukup pelit untuk memberikan sedikit uang? Yah … baiklah, tidak apa-apa, aku bisa mentraktir--"
"Aku baru saja menghubungi Ayahmu."
"Apa?!" kali ini, ekspresi si pirang lah yang berubah. "Apa yang kau katakan ke Ayahku?!"
Sebelah alis si perak terangkat. "Tidakkah kau sadar kenapa Guardianmu tidak mencari dan tidak ada panggilan telfon?"
Elf pirang tertegun. Mendadak menyadari bahwa … Asistennya memang sangat sunyi. Guardiannya juga tidak menghubungi sama sekali. Ia jelas … seolah-olah tidak dikejar sama sekali, tetapi sebaliknya, dibiarkan bebas begitu saja.
Kali ini, Leo lah yang menyeringai. Sepasang iris emas menatap si pirang dengan provokatif. "Nah … menurutmu, kenapa kau bisa berkeliaran tanpa Guardianmu?"
Amerta bungkam. Tidak berani berbicara. Oh, ia tidak bodoh. Sosok perak inilah yang pasti menjamin keberadaannya tetap aman. Sungguh, bila bukan karena keberadaan Leo, Elf muda ini pasti tidak diizinkan untuk mengikuti pertukaran pelajar. Ia akan tetap menjadi burung di dalam sangkar. Namun ada Leo di sini … entah alasan apa, Ayahnya jelas jauh lebih mempercayai si perak ini.
"Apa yang kau miliki?"
"Hm?"
Amerta menggeretakkan gigi. "Sebenarnya, apa yang kau miliki? Kenapa Ayahku jauh lebih mempercayaimu ketimbang aku?" sungguh, ketimbang putrinya sendiri, kenapa Ayahnya justru lebih percaya dengan anak orang lain?!
Sebenarnya, Leo sendiri juga tidak tahu. Ia hanya mengatakan kepada Naga Perak itu bahwa Amerta bersamanya dan Cosmos langsung menghubungi Anthony. Sejauh ini, ia bahkan tidak melakukan kontak apa pun dengan pria itu kecuali saat pertama kali bertemu.
"Karena … ," nada si perak sengaja di perpanjang. Sukses membuat wajah cantik itu terlihat menyebalkan. Seringai kembali merekah, sepasang iris emas berkedip nakal. "Aku jauh lebih pintar dan mandiri ketimbang kau. Secara kasar, aku jauh lebih baik darimu."
Elf mungil itu memerah. Sepasang iris hijau melotot marah. "Apanya yang lebih baik?!"
Leo terkekeh, ia ingin buka suara tetapi mendadak, bahunya digenggam. Kepala perak menoleh, menatap sosok biru yang mengernyitkan alis. "Pilih makanan," ujar sang Guardian. "Kau belum memilih makanan."
"Kita belum menentukan siapa yang mentraktir," senyuman si perak mengembang. Kembali, ia menatap sang Elf yang duduk di seberangnya. "Nah? Mau mentraktir atau … kuhubungi Ayahku lagi?"
"Kau memerasku?"
Leo terkekeh. "Tidak," jawabnya. "Aku hanya bernegosiasi."
"An Leo!"
Alis si perak terangkat. "Ya?"
Menatap ekspresi polos itu, Amerta benar-benar ingin menggaruknya! Namun pemuda ini jelas sangat mengancam. Ketimbang ia harus berhadapan dengan Guardian yang selalu melaporkan semua tindakannya … oh, lebih baik bersama Leo. Pemuda ini jelas bukan seorang pengadu.
Mendengus kesal, sosok Elf akhirnya setuju untuk mentraktir--sukses membuat Bastian menghela napas lega. Okay … jangan salahkan dirinya karena tidak mau membayar! Makanan di restoran ini terlalu mahal!
Saat makanan sudah di pesan dan datang ke meja, semua orang menikmati makan malam mereka. Leo memotong steak yang dipesan, lalu mencicipi. Rasanya … biasa saja. Si perak agak kecewa, tetapi berhubung bukan dirinya yang membayar … yah, tidak masalah sama sekali.
"Aku sangat penasaran," Amerta menatap ke arah Leo, lalu menatap ke arah Bastian secara bergantian. "Kalian para Penyihir Academy Ruby, sangat akrab dengan Guardian kalian?" tanyanya bingung.
"Selain saat ke luar dari lingkungan Academy, murid Academy Ruby tidak pernah menggunakan jasa Guardian," Bastian tanpa ragu menjelaskan. "Jadi biasanya … kami tidak fokus untuk memiliki Guardian yang sama dalam jangka waktu yang lama."
Lyra tersenyum mendengarnya. "Benar, itu sebabnya, biasanya, para Penyihir dari Academy Ruby yang bukan Bangsawan, akan memilih Guardian Liar seperti kami … yah, lebih muda mendapatkan Penyihir di Academy Ruby karena peraturannya tidak terlalu ketat."
Kali ini, Leo yang terkejut. "Bukankah kalian memiliki sertifikat resmi? Kenapa masih disebut Guardian Liar?"
Pria berkulit tan itu terkekeh. "Semua Kesatria atau Zero yang memiliki sertifikat resmi, baru bisa disebut Guardian, tetapi mereka yang bukan dikhususkan pada sebuah keluarga atau tidak punya kontrak resmi, disebut Guardian Liar."
Merci bahkan tidak memiliki sertifikat resmi, sosok Naga Biru tidak bisa disebut sebagai Guardian. Bila bukan karena status khususnya sebagai Cucu Kepala Sekolah Academy Ruby, Leo yakin sosok ini sudah ditahan lebih dulu dan tidak diizinkan masuk ke dalam pesawat keberangkatan mereka.
"Kalian … tidak membawa Guardian ke dalam Academy? Bukankah sistem Academy Ruby adalah Asrama?" Amerta terlihat sangat bingung. Bahkan, dari bayi ia sudah memiliki Guardiannya sendiri dan tidak pernah lepas dari mereka. Sungguh, mendapati Penyihir yang tidak tergantung dengan Penyihir mereka … Elf ini merasa aneh.
"Bagi yang besar di Academy, kami tidak menggunakan Guardian. Biasanya kami belajar secara mandiri. Tetapi untuk orang-orang yang ingin mengambil sertifikat … yah, mereka biasanya membawa Guardian ke Asrama," melahap makan malamnya, sepasang iris merah menatap Elf pirang di sampingnya. "Nah, Amerta, kau sudah beberapa jam menghilang, bagaimana perasaanmu?"
Si pirang terlihat canggung mendengar pertanyaannya itu. Sejujurnya ia merasa agak … gelisah. Tidak ada yang menjaganya, hal ini membuatnya merasa agak paranoid. Menatap semua orang asing menjadi terasa menakutkan. Bila bukan karena Amerta sering ke restoran ini, ia pasti tidak bisa menikmati makan malamnya karena terlalu gelisah.
"Amerta merasa … agak takut," sosok Elf itu memerah. Dengan canggung menunduk dan memakan makan malamnya. Sungguh, bila orang lain yang bertanya, ia dengan sombong dan canggung pasti akan tertawa dan berbohong bahwa ia merasa sangat senang. Namun yang bertanya adalah Arya Bastian! Bagaimana mungkin dirinya berbohong?!
Dirinya yang dengan sombong ingin melarikan diri, tetapi dirinya juga yang dengan kikuk harus mengakui bahwa ini agak … menyeramkan dan canggung.
Bastian tertawa. "Oh, tenang saja! Ada dua Guardian yang kuat di sini, kau tidak perlu merasa takut!" tanpa sungkan menjual Lyra dan Merci, senyuman si raven mengembang. "Ngomong-ngomong, berapa Guardian yang kau bawa?"
Wajah gadis itu memerah. "Umn… terima kasih," bisiknya malu-malu. "Amerta membawa 7 Guardian, tetapi biasanya yang mengikuti cuma 4 atau 5 Guardian."
Bastian bungkam.
Ia menawarkan dua Guardian. Oh, sungguh angka yang sangat sedikit ketimbang apa yang biasanya gadis pirang ini miliki. Jadi, tanpa ragu, Leo mencibir. Mengejek mulut besar si raven dan sukses mendapatkan ekspresi cemberut penulis novel itu.
"Leo," Bastian merengek.
"Tidak."
"Apanya yang tidak?" Bastian cemberut. "Ngomong-ngomong, Leo, kau sendiri tidak punya Guardian? Maksudku … yah, Merci bukan Guardian resmimu kan?" Si raven masih sangat ingat saat mereka bertemu. Diandra Merci masih keluarga si perak. Namun … ah, sungguh, ia masih ingin bertanya kenapa sosok ini bisa masuk ke lingkungan pelajar!
"Benar," sepasang iris hijau langsung menatap si perak. Ekspresi gadis itu jelas penuh dengan rasa penasaran. "Ayahmu jauh lebih protektif ketimbang Ayahku, mendengarnya saja aku sudah membayangkan kehidupanmu yang menyedihkan. Jadi … kenapa kau bisa lebih bebas ketimbang aku?"
Sepasang iris emas melirik ke arah Amerta. Sungguh, gadis ini tanpa ragu memanggil dirinya sendiri 'aku' ketika berbicara dengannya, tetapi akan langsung bertingkah sok imut ketika berhadapan dengan Bastian! Perbedaan perilaku ini terlalu mencolok.
"Papa percaya, membesarkan anak dengan tangan sendiri jauh lebih baik ketimbang menitipkannya kepada orang lain," seenaknya mengarang cerita, sosok perak dengan tenang mulai berkisah. "Karena dia membesarkanku secara langsung, jadi dia sangat tahu apa yang bisa dan tidak bisa aku lakukan."
Amerta cemberut. Jelas tidak puas dengan penjelasan absurd itu. "Jangan berbohong!"
Alis Leo terangkat. "Kau kira kebebasanku ini adalah kebohongan?"
Elf pirang tertohok. Ia tidak bisa menyangkalnya. Jadi, dengan marah sosok itu melampiaskannya dengan makan. Namun baru beberapa suap, wajah gadis itu berubah. Ia langsung meletakkan garpu dan pisaunya kembali.
"Aku ke kamar mandi dulu!" ujarnya panik, lalu bangkit berdiri dan berlari ke kamar mandi.
Lyra menghela napas. Beruntung ia sudah selesai makan. "Baikla, aku akan menyusul dan melihatnya?"
Bastian mengangguk. "Cepat susul dia, jangan sampai ada penculikan hanya karena ke kamar mandi."
Lyra terkekeh. Ia menggelengkan kepala lalu langsung menyusul Elf perempuan yang tidak bisa menahan ke kamar mandi. Bagaimanapun, tidak ada Guardian yang menemaninya. Meski mereka mengenakan pakaian bebas dan tanpa jubah, hal seperti inilah yang terkadang berbahaya.
Bastian menelan liur paksa, sepasang iris merah tidak henti menatap ke arah kepergian Amerta dan Lyra. "Kau membawa obat perut?"
"Tidak," Leo menjawab jujur. Irisnya refleks menatap makanan yang belum selesai dimakan padahal jelas, semua orang di meja bahkan telah menghabiskan makan malam mereka. "Dia makan dengan terburu-buru."
"Apa tidak apa-apa?" alis Merci terpaut. "Apa tidak ada yang membawa obat perut?"
Bastian menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang selemah itu, untuk apa membeli obat perut?" jawabnya jujur. "Yah … mau keluar membeli?" irisnya menatap Merci, jelas meminta Guardian milik Leo untuk keluar membeli obat perut.
"Tidak," Merci tanpa ragu menolak. Mau Elf pirang itu sakit atau tidak, itu bukan urusannya.
Leo menghela napas. "Dia masih harus melatih tubuhnya dengan baik," ujarnya seraya bersandar di sofa, lalu mengeluarkan apel. Tanpa ragu, si perak memakan makanan penutupnya. "Bila dia hanya muntah, aku punya makanan manis, setidaknya dia tidak akan menderita dan merasa mual."
Tepat saat kata-kata itu jatuh, sosok pirang keluar dari kamar mandi. Wajahnya memucat dengan mulut yang basah. Jelas, baru saja memuntahkan makan malamnya. Lyra berdiri tepat di samping si pirang. Memegang bahu si kecil dan mencegahnya pingsan mencium lantai.
Ekspresi Naga Biru terlihat suram. "Orang seperti ini ingin lepas dari Guardiannya?"
Tidak ada yang menyangkal ucapan sadis itu. Bagaimanapun, apa yang dikatakan Merci memang benar. Elf pirang ini terlalu … impulsif. Dengan tubuh lemah seperti ini, bila bukan karena mereka, Leo dan Bastian yakin sosok pirang pasti sudah masuk rumah sakit. Bahkan, saat mereka berjalan menuju restoran, si pirang mengeluarkan kursi apung--tidak tahan untuk terus berjalan kaki.
"Ambil ini," melemparkan sebuah botol kecil, Lyra refleks menangkapnya dan menemukan botol kaca yang menampung beberapa butir kristal berwarna karamel. "Itu permen, berikan saja untuknya."
Setelah duduk di sofa, Amerta mengambil botol kaca itu. Sepasang iris hijaunya menatap permen yang transparan dan lebih mirip seperti bola-bola kristal. "Cantik sekali," pujinya seraya mengeluarkan sebutir permen. Saat Elf pirang memasukkan permen ke dalam mulut, sepasang iris itu membola sempurna. "Woah … permen apa ini? apa mereknya?"
Saat permen menyentuh lidah, permen keras itu langsung meleleh. Rasa manis langsung memenuhi lidah diiringi dengan harum mind yang menyenangkan. Lebih dari itu, manis yang terecap tidak terlalu manis, sebaliknya … lebih terasa seperti madu?
"Permen madu."
"Di mana kau membelinya?" Elf yang semula pucat, mendadak menjadi penuh energi. Tanpa ragu mengambil permen kedua dan memakannya. "Madu sangat mahal … kau bisa mendapatkan permen madu. Katakan, di mana kau membelinya? Ini pasti tidak dijual secara umum. Apakah dari pelelangan?"
Leo tidak bisa mengatakan bahwa Papa Naganya selalu bisa menemukan sarang lebah dan mengambil madu secara gratis di Planet Ilusi. Bagaimana pun, lebah-lebah cukup pekerja keras untuk membuat sarang besar dan memproduksi madu secara berkala. Itu sebabnya, tong madunya tidak pernah kosong. Bahkan sampai sekarang, semua tong madunya masih penuh dan banyak karena … belum pernah diambil sejak ia keluar dari Planet Ilusi.
"Yah … kau tidak mungkin bisa membayarnya," Leo terkekeh. Bagaimana pun, permen madu adalah hal yang dibuatnya sendiri. Karena iseng, sesekali ia akan mencampurkan madu dengan beberapa buah dan hal-hal lain, melakukan alkimia, dan mengubahnya menjadi permen. Siapa sangka hasil jadinya cukup enak? Menyehatkan dan enak, jadi si perak membuat banyak dan menyimpannya ke dalam botol yang berbeda. Tergantung rasa dan aroma.
Si pirang melotot marah. "Kenapa tidak? Ayahku juga punya banyak uang!"
"Papa yang membuatnya," Leo mendengus. "Kau kira, apa yang Papaku buat, bisa kau bayar dengan uangmu?"
Semua orang di meja itu tercengang. Sungguh, tidak akan ada yang bisa menyangka bahwa sosok Naga yang terlihat mulia, masih bisa melakukan hal-hal seperti ini. Mendengar langsung dari Leo, jelas permen ini dibuat khusus untuk si perak.
Amerta menelan liur paksa. Menatap permen yang hanya tinggal 3 butir di dalam botol kaca yang kecil … oh, entah kenapa ia merasa menyesal karena langsung memakan dua. "Itu … bisa aku meminta lagi?"
"Tidak," Leo langsung menolak.
Elf Pirang langsung memasang ekspresi cemberut.
"Cepat bayar," tidak mau berlama-lama, dengan dingin si perak menghabiskan apelnya. "Bayar tagihan dan kita bisa pulang."
Ia tidak mendapatkan permen tambahan dan tahu-tahu disuruh membayar. Entah bagaimana si pirang merasa seperti diperas. Namun ia tidak bisa memprotes, sosok Elf inilah yang setuju untuk diperas. Jadi, ketika ia dengan canggung membuka Asisten untuk membayar …
Amerta membeku. Tubuhnya mendadak berubah kaku.
Lyra adalah orang pertama yang menyadari keanehan Elf pirang itu. "Ada apa?"
"Itu … ," menelan liur paksa, dengan gelisah sepasang iris hijau menatap Bastian, lalu menatap Leo. Wajahnya mendadak memerah. "Biasanya … umn … apa pun yang ingin kubeli, aku hanya tinggal mengatakannya."
Leo mencibir. "Kau tidak punya uang Tunai?"
Amerta canggung. "Aku bahkan belum pernah melihat Uang Tunai."
Bastian menepuk wajahnya dengan tangan. Sungguh merasa frustasi dengan apa yang Elf konyol ini lakukan. Merci bahkan sudah kehilangan moodnya. Iris emas itu menatap Elf muda dengan dingin.
"Setelah ini, aku akan menghubungi Ayahmu dan memintanya jangan sampai melepaskan pengawasanmu lagi," Leo benar-benar kesal. Jemarinya bergerak, membuka Asisten dan tanpa ragu membayar semua tagihan.
"Jangan katakan itu!" si pirang benar-benar panik. "Aku hanya … aku hanya lupa membawa uang, kenapa kau begitu kejam?! Aku akan langsung mengganti uangmu saat kita kembali!"
Leo mendengus. "Idiot."
"Siapa yang kau bilang Idiot?!"
"Kau berani membentakku?"
Amerta bungkam. Namun sepasang irisnya melotot marah. Wajah cantik itu memerah, jelas sangat kesal hingga membuatnya ingin mencakar wajah si perak. Namun tidak bisa. Leo lah yang membayar semua tagihan, sosok ini juga yang membuat jaminan hingga membuat dirinya bisa bebas keluar tanpa pengawasan.
Karena si pirang masih merasa agak tidak nyaman, sosok itu duduk di kursi apung dan ikut melangkah ke luar dari restoran. Saat irisnya memandang Merci, Bastian, Lyra dan Leo yang bahkan tidak pernah menggunakan kursi apung … wajah Elf itu memerah malu. Bila bukan karena Kursi Apungnya cukup canggih sehingga bergerak dengan sendirinya mengikuti kecepatan setiap orang, ia akan semakin malu karena merepotkan mereka semua.
Bastian dan Leo jelas adalah penyihir, tetapi keduanya tidak terlihat lelah sama sekali. Keduanya berjalan kaki dengan santai selayaknya Zero dan Kesatria di sekitar mereka. Terlihat normal dan berbaur dengan baik. Sungguh sangat berbeda dengan dirinya yang … dengan manja, langsung memilih duduk di kursi apung.
"Bila aku membuat restoran, apakah itu akan sangat menguntungkan?" Bastian bergumam, mulai berencana untuk membuat restoran sendiri. Bagaimana pun, ia memiliki kemampuan memasak yang baik.
Lyra terkekeh. "Oh, kalau begitu, jangan lupa mengundangku. Aku juga jago memasak."
Senyuman si raven mengembang cerah. "Bagus! Kita bisa bekerja sama!" serunya senang. Sepasang iris merah menatap Leo dan Merci. "Hey, kalian bisa menjadi investor kami. Setidaknya, walau tidak memasak, bantuan dana juga sangat penting."
"Tidak," Leo tanpa ragu menolak. "Lebih mudah menjadi Penyihir ketimbang tukang memasak."
Bastian merengek. "Oh, aku tidak berbakat menjadi Penyihir!" ujarnya menyedihkan. "Belajar sihir sangat menguras uang! Aku bahkan harus sering menulis agar bisa membeli kelas sertifikat!"
Sepasang iris emas menatap aneh Penyihir di sebelahnya. "Kau bisa menjual Kristal Penenang."
Si raven langsung memasang ekspresi jijik. "Seorang Penyihir harus memiliki integritas, tidak bisa mengandalkan penghasilan hanya dari Kristal Penenang untuk hidup!"
Leo mencibir. "Katakan itu ketika kau punya uang."
Bastian tertohok. "Dasar orang kaya!"
Si perak mengangguk kalem. "Aku memang kaya."
Ada keinginan untuk mencekik seseorang begitu mendengarnya. Sungguh, kenapa ucapan si perak ini benar sekali hingga ia sulit untuk membalas?!
"Ngomong-ngomong, jalan yang kita lalui ini … bukankah terlalu sepi?" ucapan Lyra mendadak membuat semua orang tersadar. Refleks, Leo menatap sekeliling. Menyadari bahwa taman yang mereka lalui memang terlalu sepi. Tidak ada siapa pun di sepanjang jalan. Hanya lampu taman yang bersinar redup lah yang menjadi penerangan.
"Kelas malam sudah berakhir," Merci melihat jam di Asistennya. "Sekolah tidak membuat sistem Asrama, jadi wajar saja bila jalannya sangat sepi."
Sekarang sudah jam 9 dan kelas malam telah berakhir satu jam yang lalu. Tidak ada murid atau guru yang ingin berlama-lama di sekolah. Jadi, bukan hal yang aneh bila jalan menuju area Academy akan sangat sepi.
Bastian menghela napas. "Bila tidak ingat ini adalah lingkungan di dekat Academy, aku pasti sudah ketakutan," ujarnya jujur. "Tempat ini terlalu sepi, seperti sarang untuk para perampok melakukan aksinya."
Lyra tertawa mendengarnya. "Kau terlalu banyak menonton film. Di Ibu Kota tidak mungkin ada perampok."
"Benarkah?"
"Ya," Guardian itu mengangguk. "Kudengar, hampir di seluruh sudut tempat akan dipasang pemantau, jadi keamanan di Ibu Kota benar-benar terjamin."
"Tetapi, tetap tidak boleh lengah," Amerta mengerutkan alisnya. "Bahkan ketika banyak pemantau, petugas keamanan tidak mungkin benar-benar bisa mengawasi dan datang tepat waktu ketika terjadi kecelakaan."
"Yah … kau ben--"
"Akh!"
Bruk!
Leo refleks memasang pelindung tepat ketika mendengar teriakan Lyra. Sosok besar itu jatuh tersungkur--mengagetkan semua orang. Merci dan Bastian tercenga, lalu seolah tersadar, keduanya langsung mencoba memapah sosok besar yang tidak sadarkan diri.
"Lyra!" Bastian berteriak, mencoba menyadarkan Guardiannya.
"A-apa yang terjadi?!" Amerta memekik ngeri, wajahnya pucat seketika.
"Aku tidak--" Pemuda Arya itu membeku. Tangannya mendadak merasakan cairan hangat. Saat menunduk dan melihat, warna merah telah memenuhi telapak tangan putih yang memegang Punggung Lyra.
Amerta yang melihat darah, memekik kencang. Suaranya begitu tinggi, memecah keheningan malam. Tepat saat teriakan mengalun, dapat Leo rasakan pelindung yang ia pasang tengah diserang dua tembakan peluru yang masing-masing, mengarah ke arah Bastian.
"Cepat pergi dari sini!" Leo mengerutkan alis. Membantu mengangkat tubuh Lyra ke kursi apung yang langsung dikeluarkan Merci. Beberapa tembakan meleset mengenai ubin, menghancurkan tanah dan membuat suasana kian mencekam. Tidak ada yang berbicara. Hanya suara melengking dan teriakan Amerta yang begitu memekakkan telinga.
"Berisik!" Tidak tahan dengan jeritan yang membuat telinganya berdengung, tanpa ragu si perak mengeluarkan bius dan menyuntik leher si pirang. Dalam sedetik, sosok itu pingsan. Jatuh lemas di kursi apungnya.
"Sialan! Sialan! Bagaimana bisa kita diserang di sini?!" Bastian panik. Wajahnya memucat sempurna. Namun tidak ada yang mempedulikan sosok raven itu. Leo tanpa ragu melompat ke atas tubuh Lyra yang sudah tidak sadarkan diri. Jemarinya bergerak cepat, merobek pakaian Guardian itu dan mendapati lubang darah dari bagian belakang dan juga depan pria Tan itu.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Aku curiga pelurunya beracun," alis si perak mengernyit. Di situasi di mana semua orang panik, sosok perak masih terlihat begitu tenang. "Aku harus segera mengeluarkan racunnya sebelum terlambat."
Lyra bukan Guardian biasa. Sosok ini kuat, tidak mungkin langsung tidak sadarkan diri padahal jelas peluru tidak mengenai jantungnya. Hatinya berlubang, tetapi setidaknya, sosok ini harus memiliki sedikit kesadaran. Namun sayangnya, saat peluru menembus, Lyra langsung tidak sadarkan diri seolah-olah ia sedang dibius.
Bastian menggeretakkan gigi. Entah apa yang dipikirkannya, sosok raven itu langsung berlari ke arah yang berbeda--sukses membuat Leo membeku saat menyadari bahwa ada seseorang yang keluar dari area perlindungannya.
"Bodoh--APA YANG KAU LAKUKAN?! KEMBALI KE PELINDUNGKU!" Leo terbatuk. Ia tidak bisa berteriak dengan keras saat energi jiwanya terus mengalir keluar membentuk pelindung. Dadanya terasa sesak saat harus berkonsentrasi membuat pelindung sekaligus mencari obat yang tepat untuk gejala Lyra.
Merci bergerak cepat. Tanpa ragu ia membuat cambuk air. Melilit pinggang si raven dan menariknya untuk kembali memasuki pelindung.
"Bodoh! Apa yang--"
"Kita harus berpencar!" teriaknya. "Salah satu di antara kita harus selamat! Mereka pasti tidak akan--"
Ucapan Bastian tertahan. Mendadak mereka menemukan bahwa beberapa orang berpakaian hitam telah berdiri beberapa meter di depan mereka. Tepat ketika mereka ingin berbalik, sosok-sosok berpakaian serba hitam juga muncul di belakang dan samping--membentuk kurungan manusia yang entah kapan … begitu besar dan tanpa celah.
Leo menghela napas. Sosok perak menemukan obat yang tepat dan tanpa ragu memasukkan pil ke dalam mulut Lyra. Lalu, sepasang iris emas menatap sekelilingnya, mendapati tubuh Merci dan Bastian begitu tegang. Menatap sekitar dengan panik, tetapi tanpa ragu, menempatkan tiga tubuh yang berada di atas kursi apung sebagai tempat yang paling dilindungi.
Hening.
Mendadak semua orang menjadi begitu waspada. Sosok bertopeng yang mencoba menyatu dengan malam terlihat berbahaya, tetapi jelas berada di dalam jarak aman yang tidak akan menakuti mangsanya.
Leo tanpa ragu menghilangkan pelindungnya dan mengganti dengan alat sihir. Mengusap cincin perak di jari tengahnya, cahaya redup bersinar, membentuk kubah kecil dan melindungi mereka. Kali ini, kubah transparan bisa dilihat semua orang, jelas membuat Bastian dan Merci terkejut.
Si perak menghela napas. Lebih praktis menggunakan pelindung jiwa, tetapi menggunakan energi jiwa terus menerus akan membuatnya naik level. Itu sebabnya, selain keadaan terdesak, si perak tidak akan membuat pelindung dari energi jiwanya. Namun menggunakan Alat juga agak merugikan. Cangkupannya kecil. Alat ini cukup untuk melindungi dirinya sendiri, tetapi bila harus diperluas, hal ini sama seperti sebuah balon yang ditiup terus menerus--membuat permukaan balon kian lama kian menipis sesuai dengan cangkupannya yang semakin membesar.
"Apa yang kalian inginkan?" Merci mengerutkan alis, menatap sekeliling dengan waspada. Meski sudah ada pelindung yang dikeluarkan Penyihirnya, Naga Biru tetap tidak bisa menahan perasaan ingin menyerang dan mengamuk. Adrenalinnya meningkat, jantungnya berdegup sangat keras. Samar-samar ia mulai merasakan tahap awal Anomali.
"Memiliki Alat Sihir Pelindung tingkat tinggi … kali ini sepertinya agak merepotkan," sosok itu terlihat menghela napas. Benar-benar mengabaikan apa yang Merci teriakkan, suara seorang pria mendadak menjadi alarm tanda bahaya. "Kita gunakan rencana B, bius mereka semua."
Ekspresi Leo berubah. Tanpa ragu tangannya bergerak cepat. Mengeluarkan empat mutiara pelindung tepat ketika sebuah gas kehijauan mulai menyerang mereka. Satu mutiara langsung Leo masukkan ke dalam mulut Lyra dan Amerta, sementara dua ia lemparkan ke tangan Bastian dan Merci.
Melalui tindakan, kedua orang tahu bahwa benda ini berguna. Tanpa bertanya, keduanya menelan pil kecil sewarna salju. Di detik mereka berhasil menelan, di detik itu juga terjadi kebocoran. Pelindungnya tidak bisa menahan gas racun begitu lama. Jadi, di detik itu juga, kegelapan melingkupi mereka. Semua orang yang terkena gas hijau, tanpa ragu jatuh tidak sadarkan diri.