webnovel

Part 47 : Les

Senja itu. Di sudut kota kecil, Comal, Pemalang, Jawa Tengah. Kala mentari malu-malu bersembunyi di balik awan yang tipis. Aku dan Hua Wei menerjang jalanan berlapis-lapis. Menerobos gang-gang sempit berbaris. Dan menelusuri aliran sungai kecil yang bau amis. Hingga kami tiba di muka bangunan ruko yang berjajar manis. Di antara ruko-ruko itu terdapat Klenteng yang pagarnya dihiasi dengan patung-patung naga berwarna merah keemasan. Di belakang klenteng, ada sebuah rumah kecil. Rumah yang arsitekturnya bergaya minimalis. Dan di situlah keluarga Hua Wei mendiami.

''Welcome to my jungle!'' ucap Hua Wei pas di depan pintu rumahnya.

''Hehehe ...'' Aku hanya tersenyum.

Kemudian dengan pelan dan hati-hati Hua Wei membuka pintu rumahnya. Ia menyilakan aku masuk ke ruang keluarga. Tak ada siapa-siapa. Hanya kami berdua. Di ruangan ini terdapat satu set pesawat televisi beserta dvd player. Di sebelahnya ada kulkas dan lemari hias yang isinya piring-piring keramik yang cantik. Di depan TV tergelar karpet berukuran cukup luas berwarna merah dan bergambar harimau. Aku dan Hua Wei duduk di karpet tersebut.

''Hei, apa kau perlu sesuatu untuk membasahi kerongkonganmu, Vivo?'' tanya Hua Wei.

''Air putih saja, Wei ...'' jawabku sembari memperhatikan dinding rumahnya yang dipenuhi dengan hiasan kaligrafi tulisan China berbahasa Mandarin. Aku tidak mengerti bacaannya.

''Vo ... ini minumannya!'' Laki-laki berkulit putih itu menyodorkan sebotol air mineral ke tanganku.

''Terima kasih, Wei ...'' Aku menerima botol mineral itu. Membuka tutupnya dan langsung menenggak isinya hingga habis sepertiganya.

"Cuaca hari ini terlalu panas ya, aku perlu merubah kulitku."

"Hah?" Aku mengernyit.

''Hahaha ... ganti baju dulu, Vo ...''

''O, hehehe ... silakan!''

Hua Wei bangkit dari tempat duduknya, lalu ia berjingkat ke kamar tidurnya. Tak lama kemudian, lelaki bermata sipit itu keluar dari kamarnya. Alamak ...  mataku jadi terbelalak. Tercengang. Pandanganku auto mode on fokus ke arahnya. Napasku mendadak kembang kempis saat indra penglihatanku ini menangkap sesosok tubuh yang hanya mengenakan celana pendek ketat tanpa atasan. Hua Wei telanjang dada. Shirtless. Memamerkan dadanya yang lumayan bidang. Perut yang rata, serta paha yang putih mulus seperti susu. Dan satu hal yang membuat dadaku berdegup lebih kencang. Ada tonjolan besar di wilayah selangkangannya. __Hmm ... yummy.

''Vo ... aku sudah tak tahan, mari kita mulai menjalankan misinya!'' ujar Hua Wei sembari duduk di sebelahku.

"Mmm?"

"Hahaha ... kau ajari aku private!"

''I-iya ...'' jawabku mendadak gagap karena gugup.

''Detik ini ... aku, Hua Wei bersumpah, akan menjadikan Vivo sebagai guruku. Aku akan selalu mematuhi perintahnya dan menghormati ajarannya. Bumi dan langit adalah saksiku.'' Hua Wei menangkupkan kedua telapak tangannya dan membungkukan tubuhnya sebanyak tiga kali.

''Hehehe ... kamu apa-apaan sih, Wei ... guru apa? Saksi apa? Ada-ada saja.''

''Hihihi ...'' Cowok tampan ini hanya meringis.

Aku dan Hua wei saling memandang. Duduk berdekatan.

''Kita mau mulai les private apa, Wei?''

''Si Mbah Kalimin ...''

"???"

"Ilmu hitung, matematika!"

''O, oke, mari kita bahas matematika.''

''Kamu tau kenapa aku ingin belajar matematika bareng kamu, Vo?''

''Ya, biar kamu pintar.''

''Bukan.''

''Terus?''

''Biar aku bisa menghitung seberapa besar perasaanmu terhadapku.''

''Hahaha ... gombal!''

''Hehehe ... bercanda ya, Vo.''

''Ya, aku tahu kamu memang selalu bercanda, Wei ...''

''Aku belum berani mengajakmu serius, Vo ... soalnya kalau serius perlu modal yang banyak.''

''Apa seeh, Wei ...''

''Hehehe ...''

''Udah ah, ayo kita mulai belajar.''

''Siap Guru!''

''Hehehe ...''

Akhirnya aku dan Hua Wei mulai belajar dengan serius. Walaupun ada rasa degdegan dan serseran setiap kali berdekatan dengannya. Karena pesona dan aroma Hua Wei benar-benar mampu mengalihkan duniaku. Membuatku lalai dengan sejumlah laki-laki lain yang pernah kukagumi. Termasuk Bang Sam. Bersama Hua Wei, aku seolah menemukan dunia baruku. Dunia yang penuh canda tawa. Dunia yang tanpa batas. Sejuta warna. Di antara kami terjalain hubungan yang sangat unik. Ya teman, ya relasi, ya guru, ya murid. Dan baru kali ini aku menjumpai orang semodel dia. Humoris, ganteng, konyol dan banyak tingkah yang mengundang tawa. Gigiku jadi kering bila lama-lama berdampingan dengannya. Perut jadi sakit karena kebanyakan tertawa.

Well. Semenjak hari itu. Hampir setiap hari aku memberikan materi Les Private kepada Hua Wei. Dan karena seringnya kami bertemu. Ada sesuatu yang muncul dalam hatiku. Seperti benih-benih asmara yang dulu aku tumbuhkan bersama Bang Sam. Mungkinkah aku melupakan Bang Sam dan menggantikannya dengan Hua Wei? Kenapa bisa secepat itu? Walaupun aku menyimpan rasa terhadap Hua Wei, namun aku masih belum bisa melepas sepenuhnya perasaanku terhadap Bang Sam. Bagiku Bang Sam tetap yang terbaik. Terindah. Idolaku. Idamanku. Dambaanku. Dan Hua Wei bagiku cuma sekedar hubungan bisnis. Karena pada akhirnya uanglah yang kuharapkan dari kedekatanku dengannya.

__***__

''Vivo ... akhir-akhir ini kau selalu pulang terlambat,'' tegur Bang Sam suatu hari.

''Iya, ada tambahan les beberapa mata pelajaran.''

''Benarkah? Kenapa saya tidak tahu?''

''Ya ... karena hanya murid tertentu saja yang mendapatkan tambahan materi.'' __Maaf, Bang aku berdusta. Aku tidak mau kamu tahu, kalau aku lagi dekat dengan salah satu teman sekolah yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah.

''O, gitu ...''

''Iya, Bang ...'' tandasku untuk mengakhiri percakapan ini. Kemudian aku bergerak cepat masuk ke kamar.

''Vivo ... tunggu!'' seru Bang Sam menahan langkahku.

''Ada apa, Bang?'' Aku menoleh ke arahnya.

''Kita sudah jarang sekali bersama-sama ... maukah kau besok menemani saya?''

''Kemana, Bang?''

''Ke pasar?''

''Ngapain?'' Aku mengernyit tajam.

''Belanja buah-buahan.''

''Buat apa?''

''Acara tujuh bulanan kandungan Ibumu.''

''O ...''

Aku jadi terbengong. Melompong. Seperti tong kosong. Aku baru sadar. Kalau waktu berjalan begitu sangat cepat. Tanpa terasa usia kandungan Ibuku sudah memasuki 7 bulan. Karena kesibukanku, aku jadi tidak memperhatikannya. __Maafkan aku, Ibu.

''Vivo ... bagaimana? Apa kau bersedia menemani saya?''

''E ... Ba-baiklah ... aku akan menemani Abang belanja.''

''Terima kasih, Vivo.'' Bang Sam melepas satu senyuman. Senyuman yang masih sama. Senyuman yang memabukan. Terlalu manis dan membuatku diabetes.

Aku mengangguk dan membalasnya dengan senyuman simpul.