Di sini. Di sebuah ranjang. Dua insan dipertemukan. Laki-laki dan laki-laki juga. Seperti dua aliran sungai yang bertemu pada satu lembah. Saling mengisi. Saling mendahului.
''Bang Sam, apa yang kau lakukan padaku?''
''Memelukmu.''
''Mengapa kau memelukku seerat ini?''
''Karena aku ingin mencumbumu.''
''Please. Jangan gila, Bang!''
''Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?''
''Tidak, Bang!''
''Tidak salah, bukan? Hahaha ...''
''Jangan teruskan, Bang!''
''Mengapa?''
''Karena __'' Belum sempat aku berujar, Bang Sam sudah mengecup bibirku. Mengunci mulutku untuk berkata-kata. Aku terpedaya merasakan kuluman bibirnya yang hangat, lembut dan sensasional. Ini adalah kali pertama aku merasakan ciuman di bibirku. Ciuman istimewa yang seharusnya kudapatkan dari seorang wanita. Namun ternyata aku mendapatkannya dari seorang pria.
''Bibirmu lembut, kenyal, dan manis, Vo ... sama seperti bibir ibumu.'' Bisik Bang Sam yang membuatku makin tercengang. Tak berdaya. Seperti dihipnotis tingkat dewa.
Aku tak dapat bersuara. Diam seribu kata.
''Kulitmu juga halus seperti kulit bayi. Aromamu wangi. Seperti bunga melati. Kau laki-laki tercantik yang pernah kuketemui. Saya suka. Kau bagai masakan Italy. Pesonanya sungguh menggugah gairah, dan aku ingin mencicipi.''
Aku masih membisu. Mencerna setiap kata yang terlontar dari bibir ranum Bang Sam. Aku tak percaya kalau ia bakal berkata seperti itu. Kata-kata yang melambungkan bagi siapa saja yang mendengarkannya.
''Vivo ... ijinkan saya menjamahmu!''
Aku tetap menutup rapat mulutku. Mataku tak berhenti menatap makhluk yang ada di depanku. Makhluk yang tiba-tiba terasa asing bagiku. Dia bukan Bang Sam seperti yang biasa kukenal. Bang Sam yang kutahu memiliki tata krama dan sopan santun. Tidak seperti dia yang sekarang ini. Wujudnya memang seperti malaikat; gagah, tampan, dan perkasa. Namun dalam otaknya terdapat pikiran-pikiran iblis; mesum, cabul, dan kotor.
Bang Sam tersenyum. Dan senyumannya itu yang memabukanku. Membuatku lalai dari tindakan rasional dan menuruti semua kemauannya.
Pelan-pelan. Laki-laki berhidung mancung ini mencumbui diriku sedemikian rupa. Mencium tengkukku. Menjilat leherku. Mengecup keningku. Mengendus kedua pipiku. Mengulum bibirku. Mencengkeram tubuhku. Kuat dan kasar. Dengan lihai ia melepaskan pakaianku seluruhnya. Hingga aku telanjang bulat. Bugil. Polos. Seperti bayi yang baru lahir. Tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuhku. Dia menjadikan setiap pori di tubuhku sebuah tanah retak yang merindukan guyuran air hujan. Lapisan kulitku merupakan hamparan salju yang membatu menantikan kehangatan. Setiap jengkal nadiku adalah gelas kristal yang menunggu tetesan madu.
Laki-laki kekar berkulit eksotis itu memberikanku embun dan bara. Memberikan kesejukan sekaligus nyala yang terbakar. Ia menjilati setiap mili tubuhku tanpa terkecuali seperti macan jantan yang menerkam mangsa dan melahapnya tak bersisa. Membuatku tak berkutik meski diri ini merasa tercabik-cabik. Bergidik, tapi asik. Menggelitik. Saat keadaan seperti ini, Bang Sam memang tampak sangat berpengalaman dalam urusan kegiatan ranjang. Seperti gigolo yang profesional. Ia tahu benar bagaimana cara memuaskan pelanggannya. Mempersembahkan persenggamaan paling mendebarkan antara makhluk berkelamin sama. Laki-laki dan laki-laki. Manusia sejenis yang memiliki batang.

Tanpa dikomando, Bang Sam melorotkan celana dalamnya. Menunjukan alat kelaminnya yang telah berdiri kokoh. Panjang menjuntai seperti belalai. Besar berurat seperti tongkat. Kepalanya merona seperti helm tentara. Mengkilat dan tersunat ketat. Di setiap porinya ditumbuhi rumput hitam yang lebat. Menghias pubis dan dua bola bulat. Sungguh, membuatku terpikat. Ingin rasanya aku menangkap lalu menjilat. Menggenggam erat kemudian mengocoknya kuat-kuat.
Perkakas pribadi Bang Sam bergerak lincah. Mantuk-mantuk naik turun. Seolah mengajakku untuk bermain sport jantung. Dag dig dug tak ada ujung. Membongkar gairah yang terasa di ubun-ubun.
Bang Sam berdiri di depanku. Pada jarak yang terlampau dekat. Tubuh telanjangnya benar-benar membuatku bernafsu. Membangkitkan kontolku yang sempat terkulai. Laki-laki jantan itu seperti setangkai bunga mawar tanpa duri. Merebakan harum yang menjerat hati.
Aku terpana menyaksikan kemolekan yang meraja lela di depan mataku.Tubuh bugil Bang Sam bagai nyiur yang melambai memanggil ombak. Menantang gelombang pecah berdebar di pantai asmara yang berarak. Ia melekatkan tubuhnya ke tubuhku. Menyulut api rangsangan hingga berkobar. Membakar diri kami yang sama-sama telanjang. Sama-sama dalam gejolak nafsu laki-laki. Rambut bertemu rambut. Bibir berjumpa bibir. Kulit memagut kulit. Kami merapat saling menghimpit.
Aku dapat merasakan segenap sari kenikmatan dari laki-laki itu yang lumer merasuki diriku. Bang Sam meraih kedua tanganku. Menempelkanku pada tubuhnya agar aku menelusuri semua lekuk tubuhnya. Menjelajahi setiap pahatan otot-ototnya yang kekar. Sintal. Padat. Mekar. Malam ini ia menjadi makhluk sexy yang bebas kumiliki. Bebas kujamahi. Bebas kugerayangi. Mengusap leher tegapnya. Turun ke dadanya yang bidang dan mengusap lembut kedua putingnya. Membelai perutnya, lalu turun meraih kontolnya yang panas berdenyut-denyut. Aku mengurutnya. Maju mundur dengan cepat. Dan Bang Sam mengerang nikmat.
Aku tak dapat mengontrol diri. Tubuhku melorot. Jongkok. Aku menerjang. Merampas. Menguasai. Digedor oleh tekadku untuk membuktikan kemampuanku dalam mengeksekusi senjata laki-laki. Aku menyepong kontol Bang Sam. Mengisap dan mengulumnya. Seperti bocah yang sedang menikmati sebuah es mambo. Merasakan setiap tetesan percum dan denyut nadinya. Namun semakin aku menikmatinya aku semakin didera rasa bersalah. Bayang-bayang wajah Ibuku seolah melintas dalam benakku. Melarangku untuk bertindak lebih jauh.
Aku melepaskan batang kontol Bang Sam dari dalam mulutku. Bang Sam tampak kecewa. Dengan gesit ia meraih tubuhku dan langsung mencumbuiku kembali. Aku memejamkan mataku. Mencoba menikmati setiap sentuhan dan cumbuan laki-laki yang menjadi ayah tiriku itu. Namun, gagal. Aku tidak merasakan apa-apa. Hatiku merontah mencari-cari apa yang salah. Aku mengerahkan konsentrasiku kuat-kuat. Tapi justru bayangan itu yang berkelebat di sana. Wajah teduh Ibuku. Mengacak-ngacak pikiranku.
Aku mendorong tubuh gempal Bang Sam jauh-jauh. Laki-laki gagah tampan itu sampai terperangah bingung. Dengan tubuh bergetar hebat, aku menjatuhkan diri ke kasur sambil meremas kepalaku. Seperti serdadu di medan perang yang telah melemparkan pedangnya sebagai tanda menyerah. Nyaliku untuk bercumbu hilang seketika. Seakan lenyap tergerus rasa cemas dan ketakutan.
''Maaf, Bang ...'' desahku dengan wajah tertekan.
''Aku tidak bisa melanjutkan ini. Sebaiknya Abang pergi ... pergi ... pergi!'' jeritku.
''Vivo ...'' Bang Sam mendekati aku dan memeluk erat lagi.
Aku berontak dan menghempaskan jauh-jauh tubuhnya dari tubuhku.
''Tidak!!!'' pekikku lantang. Leherku terasa tercekik.
Aku bangkit dari ranjang. Aku terjaga. Aku ngos-ngosan. Aku tersadar bahwa apa yang kualami itu hanya sebuah mimpi. Huh ... syukurlah!
''Vivo ... kamu kenapa?'' Bang Sam juga terjaga dari tidurnya.
''Tidak apa-apa, Bang ... aku cuma bermimpi buruk saja,'' terangku.
''Apa kau perlu minum?''
''Tidak usah, Bang ...''
Aku dan Bang Sam saling berpandangan. Cukup lama kami terdiam. Menatap risau dan saling memberi jarak diri. Membangun batas dinding agar tak saling melampaui.