webnovel

Chapter 24~ Lament

~Rafael~

Aku menggeram kesal dengan apa yang baru saja terjadi. Aku benar-benar frustasi karena tidak bisa mempercayai diriku sendiri. Saat aku melihatnya di sekolah aku benar-benar gatal untuk meminta penjelasan kepadanya. Untung saja mulutku ini masih dapat tertutup dan tidak mengatakan sepatah kata pun kepadanya. Aku benar-benar berterimakasih kepada Tio yang menarikku pergi sebelum sempat membuka mulutku ini.

"Rev, kau dapat mencegah dirimu untuk tidak bertanyakan?" Tanya Aldo. Aku mengacak-ngacak rambutku sambil menggelengkan kepalaku mendengar pertanyaan Aldo.

"Tidak tahu, Do... Aku hampir saja bertanya kepadanya barusan. Tanganku gatal untuk menariknya ke tempat sepi dan menuntut penjelasannya." Seruku. Aldo menepuk punggungku dari belakang.

"Aku yakin kau bisa." Serunya mendukungku.

"Fokuskanlah pikiranmu kepada hal lain." Perintah Alex kepadaku.

"Seperti apa?" Tanyaku penasaran.

"Kalian membicarakan apa? Aku satu-satunya yang tidak mengerti di sini!" Gerutu Tio.

"Seperti bagaimana rasanya menjadi gay dan mempunyai hubungan dengan anak ini." Canda Alex sambil mengapit leher Tio. Aku dan Aldo serentak tertawa mendengar usul Alex yang aneh itu, sementara Tio bergidik jijik.

"Dia benar-benar membayangkannya." Bisikku kepada Aldo sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Benar-benar idiot!" Ledek Aldo.

"Berhasilkan?" Seru Alex senang.

"Apakah kau tidak bisa memberikan ide yang lebih baik Lex?" Tanyaku kesal.

"Ide macam apa yang kau berikan itu! Kau mau mengubahku menjadi gay!" Seru Tio kesal.

"Rev.. berapa lama kita bisa bertahan dengan kedua teman idiot kita ini." Seru Aldo secara dramatis kepadaku.

"Aku tidak tahu Do. Sepertinya kita harus membawa mereka ke rumah sakit jiwa." Balasku.

"Hei kalian! Kalian berkata seperti itu seolah-olah kami tidak ada. Wah Daebak!" Seru Alex.

"Pertama kalinya kau menggunakan bahasa koreamu Lex." Seru Aldo yang menyadarinya.

"Apa yang kau katakan barusan! Jangan-jangan dia mengejek kita Do!" Seruku.

"Wah! Kita apakan dia ya.." Seru Aldo sambil tersenyum jahil memikirkan rencana jahat yang ada di kepalanya.

"Hei, lagi-lagi kalian tidak mengikut sertakan aku! Aku hanya buangan untuk kalian!" Gerutu Tio. Serentak kami bertiga menganggukan kepala kami.

Bel berbunyi tepat sebelum Tio meledakan amarahnya. Kami pun menghela nafas panjang karena malas untuk mengikuti pelajaran. Dengan malasnya aku menyusul ketiga temanku yang sudah berjalan terlebih dahulu ke dalam kelas.

Sesampainya di dalam kelas pandangan mataku secara otomatis melihat kepada dirinya. Dengan segera aku mengalihkan pandangan mataku dan berusaha mengalihkan pikiranku dari dirinya. Seakan-akan dia tahu apa yang sedang kulakukan, dia memanggil namaku seolah tidak mengizinkanku untuk lepas dari dirinya.

"Ada apa?" Tanyaku sambil terus mencoba untuk memfokuskan pikiranku ke arah lain.

""Hm... Bi.Bisakah kita bertemu sepulang sekolah?" Tanyanya gugup. Aku hanya mengangguk menjawabnya dan langsung berjalan menuju tempat dudukku untuk menghindarinya. Aku merasa tidak enak karena membuat situasi menjadi awkward seperti ini.

Setelah duduk di tempat dudukku aku menghela nafas lega. Setidaknya aku berhasil menghindarinya untuk sementara waktu. Pelajaran pun dimulai dan selama pelajaran aku tidak bisa berhenti memperhatikannya. Walau bagaimapun aku tetap khawatir kepadanya karena dia baru saja keluar dari rumah sakit.

Saat istirahat pun aku segera menerobos keluar kelas menuju kantin tanpa menunggu teman-temanku seperti biasa. Itu semua kulakukan agar diriku tidak menuju ke arahnya dan menyakitinya. Sepanjang jalan aku merutuki diriku sendiri yang tidak bisa melepaskan pikiranku dari padanya.

"Rev!" Seru Aldo mengejarku dari belakang.

"Hei, apakah kau tidak terlalu berlebihan mendiamkannya seperti ini." Seru Alex dari belakang.

"Lex, jangan membebaninya seperti itu. Dia sudah sangat kesulitan untuk tidak menuntut penjelasan darinya. Kau tahu itu sangat sulit." Kata Aldo membelaku.

"Hm.. Kau benar. Sepertinya sangat sulit melihat mukanya yang sangat berantakan seperti itu." Alex menyetujuinya.

"Lagi-lagi kalian tidak mengajakku bicara." Seru Tio. Kami hanya menatapnya dan membuang muka kami membuat Tio hanya menghela nafas kesal.

"Kalian tidak mengajak Drea seperti biasa? Kyla juga tidak kemari. Ada apa dengan kalian?" Tanyanya bingung membuat diriku semakin frustasi.

"Tidak ada apa-apa. Kau bisa menganggap terjadi sesuatu antara Revan dengan Drea." Jawab Aldo.

"Kalian bertengkar.." Serunya berspekulasi.

"Kau bisa menganggapnya seperti itu." Seruku kesal.

Sisa hari ini kujalani dengan terus menghindari Drea. Aku tahu dirinya pasti shok dengan perlakuanku yang tiba-tiba ini. Namun aku benar-benar tidak bisa menemuinya. Sebenarnya semua alasan yang kukatakan mengenai semua sikapku ini adalah kebohongan. Kalau kalian berpikir aku sangat ingin mengetahuinya dan tidak menghargai keputusannya itu salah. Sejujurnya aku sangat takut dengan pembicaraan yang akan terjadi. Mungkin aku seorang pengecut, tapi aku benar-benar tidak bisa menghentikan ketakutanku.

Hal yang kutakuti sebenarnya adalah kepercayaan yang Drea berikan kepadaku dan semua hal yang selama ini dia sembunyikan. Aku takut dengan reaksi yang kuberikan kepadanya akan melukainya. Apakah aku cukup baik untuknya? Itu yang kupertanyakan selama ini. Apapun yang akan dikatakannya nanti aku yakin bahwa hal itu akan merubah sesuatu dan aku belum siap dengan perubahan itu.

Saat istirahat kedua tiba-tiba saja Kyla datang dengan marah-marah saat kita sedang makan di kantin. Aku yang saat itu sedang makan tiba-tiba saja ditariknya keluar kantin. Aku yang bingung dengan apa yang dilakukannya hanya pasrah mengikutinya untuk mengetahui jawabannya.

"Kau tahu! Apapun yang terjadi denganmu dan Drea. Kau sudah sangat keterlaluan." Serunya marah.

"A.Apa yang kau maksud?" Tanyaku bingung.

"Kau membuat Drea menangis." Serunya kesal. Aku yang mendengar hal itu terpaku di tempat.

"Kau tahu. Kau mengabaikan dirinya seharian ini dan itu membuatnya bingung. Dia takut. Kau tahu sendiri Drea!"

"Drea menangis?" Tanyaku setengah berbisik.

"Dia menangis?" Seru Aldo dan Alex secara bersamaan.

"Di.Dia tidak menangis.. Walaupun begitu kalian membuatnya bingung dan sedih." Tutur Kyla membuat Aldo dan Alex menghela nafas.

"Kil... Kau jangan melebih-lebihkan hal seperti itu. Kau hampir membuat Revan mati di tempat." Tegur Alex sambil mengacak-ngacak rambut Kyla.

"Sebenarnya kalian kenapa?" Tanya Kyla penasaran membuat kami bertiga pun terdiam.

"Baiklah. Apapun alasan kalian. Bisakah kalian, terutama kau Revan! Lebih halus sedikit kepadanya? Walau bagaimanapun dia sahabatku." Katanya.

"Kami janji." Seru Aldo.

"Aku akan mencoba merubah sikapku." Seruku frustasi sambil menaruh tangan di mukaku.

"Baiklah aku percaya kepada kalian." Serunya sambil meninggalkan kami.

"Semangat lah Rev." Seru Alex sambil pergi menyusul Kyla meninggalkan aku dan Aldo.

"Jadi apa yang akan kau lakukan?" Tanya Aldo setelah kepergian Alex.

"Aku tetap akan melanjutkannya namun aku tidak akan menjadi sedingin ini." Jawabku.

"Maksudmu?" Tanyanya.

"Aku tetap akan mendiamkannya namun disatu sisi aku akan mencoba untuk bersikap seperti biasa kepadanya." Jelasku.

"Baiklah jika itu yang kau mau." Serunya sambil berdiri dan mengajakku kembali ke kantin.

Sepulang sekolah seperti yang dikatakan Drea, aku akan menemuinya dan mencoba bersikap senormal mungkin. Aku melihat dirinya yang masih membereskan buku dan berinisiatif untuk mendekatinya. Setelah dia selesai membereskan buku tanpa bicara apapun aku langsung berjalan mendahuluinya dengan memastikan dirinya mengikutiku. Aku menuntunnya menuju taman sekolah yang sudah sepi.

"Kau mau berbicara apa Drea?" Tanyaku dengan nada yang lembut karena merasa bersalah telah membuatnya seperti ini.

"A.Aku mau berbicara soa.." Katanya sambil terbata-bata. Tiba-tiba saja telphoneku berbunyi menyela perkataannya.

Aku merutuki siapapun yang menelphoneku saat situasi seperti ini. Dengan malasnya aku melihat id si penelphone dan sedikit terkejut melihat mom yang menelphoneku. Aku merasakan sesuatu yang tidak beres karena mom jarang sekali menelphoneku. Sepertinya perasaanku tidak enak.

"Maaf ya Dre ini dari ibuku. Kurasa penting karena dia jarang menelphone." Seruku sambil berjalan menjauh untuk menjawab telphonenya. Entah mengapa ada suatu hal yang membuatku menjauh agar Drea tidak mendengar percakapanku.

"Mom I really miss you. But if you call just to say nothing to me than bye. I'm in the middle of an important situation."

"Hey to you to son." Seru mom sambil terkekeh.

"Beneran mom! Kalau kau tidak mulai bicara aku akan menutup telephonenya." Ancamku. Entah mengapa tidak seperti biasa dia terdiam.

"Your father call me to ask about you." Serunya membuatku marah.

"What the hell that he wants!" Teriakku marah.

"Watch your tounge young man. Mamah tahu kau tidak akan menyukai ini tapi cobalah untuk mendengarkan penjelasan ayahmu." Seru mamah membuatku memutar bola mataku kesal.

"You know what mom! He had ruin everything! You know it! He hurt you so many times. But... How.. How can you f*cking forgive him!" Seruku marah sambil meninju salah satu batang pohon.

"Revan! Mamah bisa memafkannya karena mamah tahu dia mempunyai alasan dan setidaknya biarkan dia menjelaskannya." Seru mamah frustasi.

"Dengar, beri dia satu kesempatan untuk meminta maaf dan memberikan penjelasan setelah itu terserah apa yang akan kau lakukan mamah tidak akan memaksamu lagi." Serunya. Tanpa mendengarkan kata-katanya lagi aku memutuskan telphone secara sepihak.

Apa yang orang tua itu inginkan lagi! Memintaku untuk memaafkannya dan mengizinkan dia di dalam hidupku lagi. Setelah itu apa dia mau, menghancurkannya lagi. Tidak akan pernah kubiarkan!

Aku pun terduduk dengan menaruh kedua tanganku di atas rambutku dan mengacak-ngacak rambutku marah. Aku benar-benar tidak percaya setelah beberapa tahun dia baru bertanya mengenaiku dan meminta maaf. Dia bahkan tidak peduli denganku sama sekali! Selama aku kecil aku sama sekali tidak mempunyai ayah. Memori-memori masa kecil yang menyakitkan kembali muncul.

Aku mencoba untuk melepaskan semua emosiku. Aku bangun dari tempat dudukku dan langsung berlari menuju bus. Sesampainya di rumah aku langsung mengganti baju dan mengambil bola basketku dan segera menuju lapangan basket yang ada di luar apatermentku.

Sesampainya di sana, aku langsung bermain terus menerus sampai aku benar-benar kehilangan tenagaku. Biasanya dengan bermain basket seperti ini aku bisa melepaskan semua pikiranku. Dengan membuat setiap bagian anggota tubuhku kelelahan seperti ini aku baru bisa membuatku pikiranku kembali jernih.

Setelah puas menghilangkan kemarahanku aku mengambil air minum di botolku menumpahkannya di atas wajahku dan meminumnya. Aku pun membaringkan diriku di atas tanah berumput dan memandang langit yang berwarna jingga. Membiarkan pikiranku berkelana sebentar dan menghirup nafas dalam-dalam dan melepaskannya. Aku kembali memikirkan ayahku. Aku akan berjanji akan memberikannya kesempatan tapi setelah diriku siap. Entah mengapa aku sangat membencinya. Dia selalu mementingkan dirinya sendiri. Hal itu sangat membuatku muak kepadanya.

Aku pun bangkit dan menuju apaterment untuk membersihkan dan menyegarkan diriku kembali. Setelah sampai aku segera menuju kamar untuk mengambil pakaian bersih dan segera menuju kamar mandi. Air hangat yang keluar dari shower benar-benar menenangkan diriku. Titik titik air kubiarkan mengenai kulitku sementara aku terduduk di lantai yang dingin sambil menyandarkan tubuhku ke tembok. Sepertinya aku akan menghabiskan waktu yang lama di kamar mandi ini.

Selesai mandi aku segera keluar dan mengambil air dingin di kulkas seperti biasa. Saat aku mengecek handphoneku aku sedikit terkejut saat melihat notification dari kak Andrew. Bahkan isinya lebih mengejutkanku. Kak Andrew meminta untuk menemuiku besok sore hari di taman apatermentku. Aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang dia inginkan.

"Shit!" Aku benar-benar melupakan Andrea. Bodohnya aku meninggalkannya di taman sekolah seperti itu.

Dengan secepat kilat aku segera menghubungi dirinya. Sayangnya dia sama sekali tidak mengangkat telephone dariku. Sepertinya dia benar-benar marah kepadaku. Aku harus menebus semuanya besok termasuk perilakuku hari ini.

Setelah menyerah dengan menelephone Andrea, aku pun menyadarkan tubuhku di sofa sambil memakan mie kuah. Setelah selesai dengan malasnya aku menaruh mangkukku dengan sembarang di lantai dan segera menuju kamarku. Aku mematikan seluruh ruang keluarga dan dapur dan segera membaringkan diriku di kasur. Pikiranku berkelana sebelum aku memasuki alam mimpi.

Entah kenapa besok akan menjadi hari yang menarik dan menakutkan di saat yang bersamaan. Itu membuatku penasaran apa yang akan terjadi besok dan apa yang akan dikatakan oleh kak Andrew kepadaku.