webnovel

Chapter 23~ Awkwardness

~Andrea~

Seperti yang kujanjikan aku akan menceritakannya kepada Rafa. Setelah yakin semua barang sudah kumasukan ke dalam tas dan bercemin sekali lagi untuk mengecek penampilanku. Aku pun turun ke bawah untuk sarapan bersama seperti biasa. Setelah berdebat pagi ini dengan keluarga, terutama kakak yang terus menerus mengingatkanku mengenai janjiku hari ini. Akhirnya kakak menutup mulutnya dan mengantarku ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, aku langsung di sambut dengan pelukan dari Kyla. Semenjak aku masuk rumah sakit aku belum menemuinya lagi, karena tidak ada gunanya mereka menjengukku, dalam waktu kurang dari seminggu aku akan bertemu mereka lagi. Selain itu aku belum siap untuk bertemu dengan Rafa dan menjelaskan semuanya dan itu akan menjadi hal yang sangat canggung.

"Oh my I really miss you. It's been a while!" Serunya berteriak di dekat telingaku.

"Gezz Kyl it's just been five days!" Komentarku sambil memutar bola mata. Dia pun tertawa mendengar komentarku dan menarik masuk menuju sekolah.

Saat kami sedang berjalan dalam koridor menuju ruangan kelas, seseorang mengagetkan Kyla dengan memeluknya dari belakang. Kyla pun berteriak kaget dan menatap Alex dengan senyum menyebalkan di wajahnya. Dari interkasi mereka sepertinya rencanaku kemarin berhasil.

"Morning babe." Seru Alex sambil mencuri ciuman di pipi Kyla. Wajah Kyla memerah karena malu namun itu hanya bertahan sebentar.

"Alex! Jangan mengagetkanku seperti itu!" Seru Kyla marah. Sementara aku dan ketiga cowok itu hanya terkekeh pelan.

Aku tidak melihat Rafa dibarisan cowok-cowok itu. Aku pun menyadari keberadaannya dan kami pun saling bertatapan tanpa mengucapkan satu katapun. Dia pun melepaskan tatapan mata kami terlebih dahulu dengan membuang mukanya ke samping. Aku menghela nafas panjang karena ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan.

"Hai." Sapaku kepadanya saat aku dan dirinya berada di belakang sementara yang lainnya sudah berjalan terlebih dahulu. Aku sengaja melambatkan langkahku untuk menemuinya.

"Hai." Serunya singkat tanpa mau berbasa-basi seperti biasanya. Well that's awkward. Seruku dalam hati. Sepertinya aku benar-benar tidak sanggup melewati hari ini. Aku menyesal untuk datang ke sekolah.

"Rev, temani kita ke kantin!" Seru Tio mengajaknya. My savior! Thanks a lot Tio! Seruku dalam hati. Entah mengapa karena ke canggungan ini aku tidak sanggup menghadapi Rafa.

Dia pun berjalan terlebih dahulu menyusul teman laki-lakinya tanpa berbicara satu katapun kepadaku. Kyla menghampiri dengan menautkan kedua alisnya dan menatap aku dan Rafa secara bergantian. Sepertinya dia menyadari ada yang tidak beres denganku dan Rafa.

"Ada apa antara kamu dengan Revan?" Tanyanya. Aku hanya mengedikan bahu karena aku tidak tahu harus berkata apa untuk menutupi hal yang sebenarnya.

Aku meninggalkan Kyla dan berjalan lebih cepat ke dalam kelasku. Sesampainya di kelas aku langsung duduk di mejaku dan membenamkan kepalaku di atas meja karena frustasi. Apa yang harus kulakukan agar aku dapat mengatakannya kepada Rafa tanpa harus merasa takut seperti ini? Dan terutama lagi kecanggungan ini menambah parah semuanya.

Tak lama kemudian Rafa dan yang lain muncul dari balik pintu. Seperti biasa Tio langsung menghampiri dan menyapaku. Entah mengapa aku merasa Aldo dan Alex ikut menghindariku juga. Walaupun seperti itu aku harus tetap harus menyatakan semuanya kepada Rafa hari ini juga.

"Raf..!" Seruku sebelum dirinya sempat duduk di bangku. Dia menoleh ke arahku dan berdiam diri. Aku pun mendatanginya karena dia yang tidak kunjung beranjak mendekatiku.

"Ada apa?" Tanyanya dingin. Aku terdiam karena nada suaranya yang dingin itu. Ketakutanku kembali muncul karenanya.

"Hm... Bi.Bisakah kita bertemu sepulang sekolah?" Tanyaku gugup. Dia hanya mengangguk lalu kembali berjalan ke arah tempat duduknya. Aku pun menundukan kepalaku dan berjalan ke arah tempat duduk dan langsung membenamkan kepalaku seperti sebelumnya.

Hari ini Rafa benar-benar berbeda dan itu membuatku takut. Kalau seperti ini aku sama sekali tidak dapat berbicara dengan lancar saat menjelaskan semuanya. Oh God please help me.. Tak lama kemudian guru pun datang dan memulai pelajarannya. Selama pelajaran pun aku tidak bisa melepaskan ketakutanku.

Saat istirahat lagi-lagi Rafa tidak mengajakku ke kantin seperti biasanya. Dia langsung berjalan ke arah kantin dengan cepat, bahkan tanpa menunggu ketiga sahabatnya. Aku pun menghela nafas panjang dan kembali membenamkan kepalaku di atas jaketku. Hari ini benar-benar hari terburuk sepenjang hidupku.

"Dre.. Kau tidak apa-apa?" Tanya Kyla sambil mengusap-usap rambutku. Aku hanya menggelengkan kepala tanpa mendongakkannya.

Setelah menikmati usapan dan kehadirannya aku pun memberanikan mendongakkan wajahku dan melihat wajah kuatir Kyla. Aku hanya tersenyum lemah dan dia membalasnya.

"Kau bisa menceritakannya. Itu akan membuat dirimu lebih tenang." Serunya pelan.

"Bisakah kita pergi ke tempat yang lebih tenang?" Tanyaku. Dia tersenyum dan menarikku menuju tangga lantai 3. Lantai 3 hanya dipakai saat pulang sekolah untuk kegiatan ekskul jadi saat istirahat seperti ini tidak akan ada orang di sana. Kami pun duduk di salah satu anak tangga.

"Jadi.." Serunya pelan sambil menatapku lembut. Aku menarik nafas panjang sebelum mulai bercerita.

"Entah mengapa aku merasa para lelaki menjauhiku terutama Rafa. Hari ini sikapnya berbeda dari biasanya dan hal itu membuat perasaanku menjadi aneh. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah kepada mereka?" Tuturku dan membisikan pertanyaanku.

Kyla pun memelukku dan aku menikmati pelukannya selama beberapa menit. Setidaknya aku bisa menikmati kebersamaanku seperti ini untuk yang terakhir kalinya bersama Kyla.

"Laki-laki itu memang tidak dapat dimengerti. Kalau mereka seperti itu aku yakin mereka punya alasan tersendiri, walaupun saat ini mereka sudah keterlaluan. Tapi menurutku kau tidak bersalah. Mereka hanya sedikit terguncang saat kau pingsan waktu di taman bermain. Mereka memang berbeda dalam menyampaikan perasaan mereka kepada kita para wanita. Jadi kau sebaiknya tidak usah hiraukan perlakuan mereka terhadapmu." Tuturnya.

"Satu hal yang perlu kau tahu bahwa mereka akan selalu peduli kepadamu dan menyayangimu. Karena kita sahabatkan." Serunya menghiburku. Aku pun menganggukan kepala dan tersenyum. Kita pun kembali ke kelas setelah mengosongkan segala kegelisahan hatiku.

Moodku benar-benar hancur karena perilaku Rafa yang aneh kepadaku sepanjang hari ini, ditambah dengan ketakutanku akan reaksinya nanti. Untung saja sepanjang hari ini ada Kyla disampingku yang setidaknya dapat menghiburku. Aku terbiasa sendiri semenjak aku kecil, namun entah mengapa saat ini aku merasa seperti ada sesuatu yang kurang jika aku sendirian. Perasaan itulah yang kutakutkan saat mereka semua meninggalkanku saat mengetahui semuanya. Namun sepertinya aku harus mulai membiasakan diri merasakan hal itu lagi.

Kadang aku berpikir jika sebaiknya aku tidak berteman dengan mereka saja, namun saat memori-memori bersama mereka muncul aku tidak dapat menahan senyumku. Namun aku tidak akan menyerah. Aku tidak seperti aku yang dulu dan aku akan mempertahankan teman-temanku. Aku memutuskan untuk tidak melepaskan mereka untuk saat ini.

Bel pulang pun berbunyi, aku membereskan barang-barangku selambat mungkin karena aku benar-benar tidak sanggup untuk melihat reaksi Rafa. Sayangnya tanpa kusadari Rafa telah berdiri di samping mejaku. Tanpa berbicara sepatah kata pun dia berjalan dan aku pun mengikutinya dari belakang. Aku pun mengikutinya sampai di taman sekolah. Untung saja di sini sepi sekali.

"Kau mau berbicara apa Drea?" Tanyanya. Entahlah tapi kali ini dia berbicara dengan sedikit lembut dan itu membuat sedikit tenang. Sebenarnya apa yang dia lakukan selama ini. Laki-laki memang membingungkan.

"A.Aku mau berbicara soa.." Perkataanku terpotong karena suara telephone dari handphone Rafa.

"Maaf ya Dre ini dari ibuku. Kurasa penting karena dia jarang menelphone." Serunya dan pergi menjauh untuk mengangkat telphonenya.

Sambil menunggu Rafa selesai menelphone aku pun duduk di salah satu bangku taman dan bersandar kepada pohon yang ada di belakangnya. Aku mengamati dirinya yang sedang menelphone, karena jarak yang cukup jauh aku sama sekali tidak dapat mendengar suara Rafa sama sekali.

Awalnya dia terlihat biasa saja dan ekspresinya menunjukan ekpresi bahagia, namun entah mengapa dia terlihat kesal saat di tengah-tengah pembicaraan. Aku bahkan melihat jika dirinya sempat berteriak-teriak seperti itu. Dia terlihat sangat marah sampai meninju salah satu batang pohon. Dirinya yang marah seperti itu membuatku ketakutan. Aku membenci Rafa yang seperti itu.

Aku menunggu cukup lama sambil memperhatikannya menelphone dengan emosi. Selesainya menelphone dia langsung terduduk dan langsung menutupi muka dengan tangannya. Sepertinya dia benar-benar terlihat sangat marah saat ini. Aku belum pernah melihatnya sehancur itu. Aku ingin menuju ke sana, namun entah mengapa seperti ada sesuatu yang menghalangiku untuk menghiburnya. Setelah memperhatikannya seperti itu dia langsung berdiri dan langsung berlari meninggalkanku sendirian di sini. Sepertinya dia melupakanku.

Aku tetap diam terduduk di sini semenjak kepergian Rafa beberapa menit yang lalu. Mungkin setengah jam telah berlalu. Aku sama sekali bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Sepertinya hari ini semua rencanaku gagal dan aku tidak tahu apakah aku bisa berani mengakui semuanya seperti ini lagi. Aku benar-benar kehilangan kepercayaan diriku dan jika Rafa marah kepadaku aku tidak akan pernah sanggup menerimanya.

"Sepertinya kakak akan marah padaku hari ini." Seruku sambil tertawa pelan. Aku kembali menghela nafas panjang, bangkit dari tempat dudukku dan mengambil seluruh barang bawaanku dan menelphone kakak untuk menjemputku.

Setelah menunggu cukup lama di parkiran, akhirnya kakak datang dengan mobil papa. Aku langsung duduk di kursi depan dan menyenderkan tubuhku dan menutup mataku. Hari ini benar-benar hari yang sangat berat. Untung saja saat ini kakak bisa menutup mulutnya. Aku tahu dirinya sangat penasaran dan siap untuk mengintrogasiku namun sepertinya dia mengerti bahwa aku telah melalui hari yang sangat berat.

"Bagaimana hasilnya?" Tanya kakak di tengah perjalanan. Kutarik kembali perkataanku, dia benar-benar tidak peka dengan keadaanku saat ini. Aku tetap menutup mataku dan tidak menjawab pertanyaannya.

"Baiklah-baiklah kakak mengerti. Maafkan kakak karena bertanya." Serunya dengan lembut sambil mencubit pipiku. Aku hanya menggeram karena perilakunya itu.

Untung selama sisa perjalanan kakak dapat menahan mulutnya itu. Sesampai di rumah aku langsung membaringkan diriku di atas sofa sambil melemparkan sepatu dan tasku secara sembarangan. Aku terlalu lelah untuk berjalan ke kamar dan mengganti bajuku. Kakak yang melihat tingkah lakuku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan segera menuju kamar untuk mengganti baju.

"Ganti baju sana nanti kakak bikinkan hot chocolate. Nanti malam kita makan di luar, mama dan papa lagi ada acara. Mereka pulang tiga hari lagi." Serunya sambil menuruni tangga. Aku yang mendengar itu langsung terduduk tegap.

"Mama dan papa pergi! Kenapa tidak memberitahuku?" Tanyaku kesal.

"Papa tadi siang mendapat panggilan mendadak dan sebelum berangkat sempat mampir ke kampus kakak." Serunya sambil ikut duduk di sebelahku.

Aku menggeram kesal karena harus berduaan saja dengannya selama tiga hari ini. Aku yakin sebentar lagi aku akan gila. Dengan kesal aku memungut sepatu dan tasku dan beranjak ke kamar. Setelah mandi dan mengganti baju, aku segera turun dengan kursi roda.

"Seperti janji kakak. Silahkan dinikmati adikku yang manis." Serunya sambil memberikan segelas hot chocolate kepadaku dan mendorong kursi rodaku menuju ruang keluarga.

Aku mengabaikan perkataannya yang menyebalkan itu dan menghirup aroma hot chocolate yang menenangkan. Sesampainya di sana, kakak menggendongku dan menaruhku ke atas sofa dan menyalakan televisi.

"Kau mau menceritakannya sekarang?" Tanyanya. Sudah kuduga ada sesuatu yang mencurigakan. Aku menghela nafas panjang dan menyandarkan kepalaku ke pundak kakak. Bagaimana pun aku harus menceritakannya kepada kakak.

"Aku gagal.." Bisikku.

"Gagal! Ckckck. Sudah kuduga kau tidak berani untuk mengatakannya." Ejeknya membuatku kesal. Aku langsung memukulnya dengan sangat keras.

"Kakak diam saja! Kau tidak tahu apa yang kuhadapi hari ini!" Teriakku marah sambil menutup wajahku dengan tanganku. Kalau sedang marah seperti ini aku ingin sekali mengangis. Aku mendengar kakak menghela nafas dan memelukku.

"Maafkan kakak oke.." Serunya pelan. Saat ini aku merutuki diri sendiri karena begitu emosional seperti ini.

"Kau mau menceritakannya?" Tanyanya. Aku menganggukan kepalaku dan melepaskan tangan dari mukaku. Menarik nafas dalam-dalam untuk melegakan kembali emosiku karena sedari tadi aku menahan tangisanku. Aku menyesap kembali minumanku dan mulai berbicara.

"Seperti janjiku kepada kakak. Aku berniat akan mengatakan kepadanya." Kataku setengah berbisik. Kakak tidak berkomentar ataupun berkata sama sekali.

"Saat aku mau mengatakan semuanya tiba-tiba saja handphonenya berbunyi dan dia mengangkat telphonenya."

"Aku menunggu sambil memperhatikannya, namun entah mengapa dia marah-marah saat menelphone. Tidak seperti Rafa biasanya, saat marah dia sangat menakutkan..... Lalu setelah menelphone dia langsung lari dan meninggalkanku sendiri. Sepertinya dia sangat-sangat marah."

"Aku tidak tahu apakah aku mempunyai keberanian untuk memberitahukannya lagi kepadanya. Aku tidak akan sanggup melihatnya marah-marah seperti itu kepadaku dan terlebih lagi entah mengapa hari ini sepertinya Rafa, Alex dan Aldo menghindariku."

"Aku takut kak..." Bisikku sambil memeluknya.

"Kau sudah melakukan sebisamu." Serunya. Dia melepaskan pelukannya dan mencubit kedua pipiku.

"Senyumlah biar kakak yang menyelesaikannya oke." Katanya sambil mengacak-ngacak rambutku. Aku tidak membalas senyumnya dan menegak habis minumanku. Setelah selesai kakak langsung mengambil gelasku dan menaruhnya di meja dan langsung mengkelikitikku.

"Kakak! Berhenti!" Seruku ditengah-tengah tertawaku. Kakak ikut tertawa bersamaku.

"Nah begitu dong. Tertawa." Serunya sambil mencubit pipiku. Aku hanya menjawabnya dengan memanyunkan bibirku dan mendapat kembali cubitan dari kakak.

"Karena kakak malas masak dan kamu pasti tidak mau masak bagaimana dengan pizza?" Tanyanya membuatku tersenyum.

"Double Chesse!" Teriakku membuat kakak tertawa.

"Baiklah. Akan kakak pesankan untuk tuan putri." Ledeknya membuat diriku memukulnya keras-keras.

"Kalau mama tau kau memesan pizza tanpa sepengetahuannya dia akan marah-marah." Ancamku.

"Dan aku tahu kau akan merahasiakannya. Bukan begitu partner?" Serunya membuatku tertawa. Aku pun bertosan dengannya.

Setiap kedua orang tua kami pergi seperti ini, biasanya kami akan berpesta fast food. Papa dan mama melarangku jika aku terlalu sering memakan makanan seperti itu, karena tubuhku yang lemah. Semenjak itu mereka menjadi terlalu ketat padaku soal makanan yang akan mempengaruhi kesehatanku.

"Pizza sudah datang!" Seru kakak dari pintu depan. Aku langsung menaiki kursi rodaku dan mendorongnya menuju pintu depan.

"Kakak memesan 2 kotak?" Tanyaku heran.

"Sekalian untuk makan malam. Selagi tidak ada mama dan papa." Serunya sambil memamerkan senyum jahilnya itu. Dia lalu meletakan pizza dipangkuan dan mendorongku kembali ke ruang keluarga.

"Kau tunggu sini. Kakak akan membelikan minuman. Pilihkan film untuk kita tonton." Perintah kakak sambil ke kamarnya untuk mengambil kunci motor.

"Matcha kayak biasa kak!" Seruku sambil mencari film yang cocok dari koleksi film kami.

Keluargaku sangat menyukai film terutama aku dan mama. Kakak dan papa lebih menyukai game, walau bagaimana pun mereka tetap seorang laki-laki. Setiap sore aku dan mama pasti akan menonton drama korea, sementara di akhir pekan papa pasti bertanding sepakbola di PS bersama dengan kakak.

"Pesanan datang." Seru kakak sambil duduk di sebelahku.

"Zootopia?" Serunya sambil mengangkat salah satu alisnya.

"Tidak suka pilihanku? Setahuku kakak sangat menyukai Nick Wilde." Ledekku.

Aku ingat saat pertama kali menontonnya bersama kakak. Aku penggemar film Disney dan saat ada film Disney terbaru yang keluar aku memohon-mohon kepada kakak untuk menontonnya. Awalnya dia meledek filmnya namun aku memergokinya menangis pada saat Judy meminta maaf kepada Nick, dia bilang Nick sangat keren.

"Baiklah Nick sangat keren. Simpan rahasia ini." Ancamnya kepadaku. Aku pun tertawa pelan melihatnya seperti ini.

"Matcha?" Tagihku kepadanya.

"Silahkan Judy." Serunya. Aku pun mengambilnya matchaku dari kantong plastik.

"Coke. Kau membeli coke. Ckckck. Aku benar-benar akan melaporkannya kepada mama." Ancamku.

"Hei. Yang mereka larang itu kau bukan aku." Serunya sambil menjulurkan lidahnya.

"Terserah kakak saja." Seruku marah.

Kami pun menghabiskan malam dengan menonton 3 film sekaligus sambil menghabiskan makanan kami. Untung saja aku tidak mempunyai pekerjaan rumah sama sekali sehingga aku bisa lega tanpa memikirkannya.

Setidaknya hari ini tidak berakhir buruk. Aku pun tertidur bersama kakak di sofa. Kalau kedua orang tuaku melihat kami seperti ini mereka pasti akan marah besar. Aku beruntung setidaknya dengan semua ini aku dapat melepaskan masalah dari pikiranku untuk sesaat. Walaupun kakak sering menjahiliku tapi tetap saja dia selalu dapat menghiburku. Semoga saja hari esok lebih baik daripada hari ini.