webnovel

Chapter 10~ Bad Mood

~Andrea~

Aku terbangun karena perutku yang berbunyi sangat hebat. Saat tersadar aku menyadari langit sangat gelap dan tidak ada satu lampu pun yang menyala di rumahku, kecuali lampu luar. Kuduga sekarang pasti subuh dan benar saja, saat melihat jam waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi.

Perutku terus berbunyi dan aku memutuskan untuk membuat makanan. Saat menarik selimut aku baru menyadari bahwa aku memakai baju laki-laki dengan ukuran yang besar. Oh my gosh what happend to me? Aku mencoba mereka ulang kejadian tadi dan aku mengingat bahwa aku berada di rumah Rafa untuk kerja kelompok.

Saat itu hujan turun dan kami berlarian menerjang hujan menuju apaterment Rafa dan bajuku basah. Rafa meminjamkan ku baju, lalu kami menyiapkan materi presentasi. Hujan semakin deras di sertai petir menyebabkan diriku kembali histeris, Rafa memelukku dan menenangkanku..... Aku termenung mengingat semua memori yang baru saja tereka ulang..... Oh No! He knows my phobia..... Just kill me know...!! Aghhh... What should I do..?? He hug me!!

Aku mengacak-ngacak rambutku frustasi. Bagaimana caranya aku menghadapi Rafa besok? Bukan besok melainkan hari ini, mengingat sekarang sudah subuh. Beberapa jam lagi aku akan bertemu dengannya. Bagaimana ini.... Haruskah aku berpura-pura lupa? Itu tidak mungkin!

Aku kembali mengacak-ngacak rambutku kesal. Sebaiknya aku berterimakasih kepadanya saja.. Mengingat dia sudah membuatku lebih tenang. Haruskah aku memberikan sesuatu sebagai tanda terimakasih? Atau sekedar berterimakasih saja? Lebih baik aku memberikan sesuatu kepadanya. Tapi apa? Haruskah aku mentraktirnya. Lebih baik aku memasaknya saja. Aku tidak mau menghabiskan uang yang kutabung untuknya. Mengingat sebentar lagi ada bazar buku.

Aku memutuskan untuk membuatkannya kue kering. Aku segera turun dari tempat tidur dan menaiki kursi rodaku. Aku mengecek kakiku dan seperti dugaanku kakiku sedikit terluka. Kakiku sudah terobati entah siapa yang melakukannya. Tadi saat aku hujan-hujanan dengan Rafa aku merasa sedikit nyeri di kaki, tapi itu tidak dapat mengubah perasaanku bahwa aku senang saat hujan turun tadi untuk pertama kalinya. Aku turun ke bawah dengan sangat perlahan karena tidak mau membangunkan keluargaku. Keadaan rumahku sangat gelap sehingga aku harus lebih berhati-hati.

Setelah sampai dapur aku menyalakan lampu dan mulai mencari-cari bahan yang kuperlukan. Untung saja Doodle tidak berisik saat aku turun, dia sepertinya mengerti bahwa aku harus melakukannya secara diam-diam. Setelah segala macam bahan-bahannya sudah lengkap, aku mulai mencampurkan adonan dan mencetaknya menjadi beragam bentuk. Setelah selesai dihias aku mulai memanggangnya. Sambil menunggu aku memakan roti untuk mengisi perutku yang keroncongan.

"Anak mama sudah bangun pagi-pagi begini." Sahut mama mengagetkanku.

"Ehehe..... Iya ma, aku terbangun karena perutku yang keroncongan." Jawabku sambil kembali mengambil selembar roti tawar.

"Hmm.. Harum banget.. Kamu lagi masak kue. Buat siapa nih?" Tanya mama menggodaku

"Buat Rafa ma. Sebagai tanda terimakasih untuk kemarin karena aku sudah ngerepotin dia." Jawabku jujur.

"Baik banget anak mama." Sahutnya sambil memelukku. Aku hanya tersenyum sambil membalas pelukannya.

"Sudah sekarang kamu mandi siap-siap sekolah. Nanti mama yang ngelanjutin. Tinggal dibungkus saja kan?" Tanya mama sambil mulai menyiapkan sarapan dan bekal untuk aku dan yang lainnya.

"Oke ma. Bungkusnya yang rapih ya." Kataku sambil mendorong kursi rodaku menuju tangga. Setelah selesai mandi dan menyiapkan buku untuk hari ini, aku segera turun ke bawah. Papa sedang membantu mama seperti biasa dan kakak duduk di meja makan sambil memainkan handphonenya.

"My little girl sudah bangun." Sapa papa sambil tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumannya sambil menarik kursi untuk kududuki. Sekarang aku tidak memakai kursi rodaku karena sebentar lagi aku akan berangkat ke sekolah. Saat aku duduk kakak langsung menaruh handphonenya dan menarik kursiku mendekat.

"Apa yang terjadi ketika kamu bersama Rafa?" Tanya kakak sambil menatapku tajam. Aku hanya memutar bola mataku kesal.

"Apaan sihk kak." Kataku kesal.

"Jawab kakak! Kamu gak apa-apa kan?" Tanyanya lagi.

"Kakak liat sendiri kalau aku gak apa-apa!" Jawabku ketus.

"Sudah Drew jangan ganggu adikmu." Seru papa sambil menarik kursinya dan duduk.

"Tapi pah!" Keluh kakak membuatku memicingkan mata kesal kepadanya. Dia balik melihatku sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

"Kalian ini masih pagi sudah bertengkar." Tegur mama lembut.

"Tidak tau tuh kakak. Pagi-pagi sudah mencari masalah." Seruku kesal sambil mulai memakan sarapanku.

"Aku hanya khawatir ma." Kata kakak membela dirinya.

"Kamu tau sendirikan adikmu tidak suka ditanya-tanya seperti itu." Seru mama menegurnya.

"Ya tapi.." Kakak mau menyanggahnya lagi, namun papa langsung menyelanya.

"Sudah Drew, mengalah sama adik kamu." Seru papa, kakak hanya mendesah menyerah. Kami pun melanjutkan sarapan dan langsung pergi menuju kantor dan sekolah.

Perang dingin antara aku dan kakak terus berlangsung. Aku memilih untuk mendiamkan kakak seharian ini, walaupun kakak terus-menerus bertanya kepadaku. Ada apa dengan kakakku yang menyebalkan ini. Setelah sampai di sekolah tidak seperti biasanya aku langsung beranjak dari motor kakak tanpa mengucapkan perpisahan, membuat kakak mendecak kesal dan langsung turun dari motornya melihatku yang marah kepadanya. Dia menahan tanganku dan langsung memelukku.

"Don't angry to me. Please..! I'll do anything, but just don't angry." Bisiknya di telingaku. Seluruh siswa memandang ke arah kami sekarang. Great he ruin my day again. Aku tidak menjawabnya dan melepaskan pelukannya dan langsung berlari ke kelas.

Sesampainya di kelas aku langsung dikerubuni oleh teman-teman perempuanku untuk menanyakan mengenai kakak. 'Apakah itu pacarmu?' 'Siapa dia, dia sangat tampan?' 'Bisa kau perkenalkan kami padanya?' 'Kau sangat beruntung mempunyai pacar seperti dia'. Bertubi-tubi pertanyaan diluncurkan mereka kepadaku. Aku memutuskan untuk mendiamkannya dan mengenakan headphone dan membaca bukuku. Aku mengusir mereka secara halus. Setelah beberapa menit akhirnya kerumunan itu pergi, aku bisa bernapas lega sekarang.

"Sepertinya kau menjadi terkenal diantara para gadis sekarang." Sahut Rafa sambil terkekeh melihat muka masamku. Aku hanya menatapnya dengan tatapan sinis dan mengacuhkannya.

"Ouuu tatapan itu lagi. Aku takut." Katanya sambil pura-pura ketakutan. Aku semakin menatapnya sinis selama beberapa saat dan kembali membaca novel. Dia kembali mengajakku berbicara dan aku kembali mendiamkannya. Moodku benar-benar hancur gara-gara kakak. Aku terus mendiamkan Rafa dan yang lainnya sampai istirahat. Bahkan saat presentasi saja aku hanya berbicara sedikit dan membiarkan Rafa yang menjelaskan sisanya. Presentasi kami mendapatkan nilai paling besar, walaupun begitu tetap saja hal itu tidak menaikan moodku.

"Ayolah Drea jangan mendiamkanku seperti itu." Seru Rafa memohon kepadaku. Aku tetap mendiamkannya dan memakai kembali headphoneku dan mengeluarkan bekal dan novelku. Dia menyadari aktifitasku dan menghela nafas kesal.

"Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu." Seru Rafa sambil menyusul teman-temannya pergi ke kantin. Aku melanjutkan makanku untung saja kelas sepi sekarang karena semua orang pergi ke kantin. Tapi kesepian itu tidak berlangsung lama karena Kyla datang dengan rusuhnya sambil membawa beberapa makanan dan langsung duduk di meja yang ada di depanku.

"Kau tidak apa-apa? Semua orang membicarakanmu karena memeluk seseorang yang dianggap pacarmu. Dan saat aku bertemu dengan keempat cowok itu mereka bilang kau mendiamkan mereka semua ada apa?" Tanyanya. Aku hanya menghela nafas dan memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali membaca bukuku.

"Kau sedang badmood kan?" Tanya Kyla yang hanya aku jawab dengan anggukan.

"Dan sepertinya cowok itu adalah kak Andrew kan?" Tanyanya dan lagi-lagi aku jawab dengan anggukan.

"Aku mengerti sekarang. Hmm... Aku yakin kau pasti sangat kesal sekarang. Kenyamananmu terusik karena siswi-siswi penggosip itu. Untung saja kau tidak berada di jurusanku. Semua orang di jurusanku adalah penggosip." Serunya membuatku tertawa perlahan.

"Kau salah satunyakan." Kataku sambil terkekeh.

"Enak saja. Aku tidak pernah bergosip." Katanya membela diri.

"Kau bertemu denganku karena kau penasaran dengan gosip tentangku kan?" Kataku sambil tertawa.

"Hahaha.. Kau benar..." Akunya.

"Senang kau tertawa lagi." Kata Kyla melihatku yang tertawa.

"Thanks to you. You're my moodbooster." Kataku sambil tersenyum kepadanya dan dibalas pelukan dengannya.

"Sepertinya sudah tidak marah lagi tuh." Seru Alex dari belakang.

"Hei kalian..." Sapa Kyla.

"Sudah tidak marah kan, Drea?" Tanya Aldo yang dibalas dengan anggukan dariku.

"Kok kamu bisa mengembalikan mood dia, Kyl?" Tanya Rafa.

"Bisa dong. Kan kita sahabat." Sahutnya sambil memelukku erat.

"Girl things again!" Komentar Tio membuat kami tertawa. Mereka benar-benar moodboosterku. Aku tidak dapat menahan senyumku saat bersama mereka. Kami pun melanjutkan percakapan kami secara acak. Tiba-tiba saja Rafa mendekatiku dan berdiri di belakang kursiku sambil bersender di jendela. Aku yang menyadari pergerakannya menutar badanku sehingga aku menghadap ke samping kanan dan kami pun bersebelahan.

"Are you alright?" Tanya Rafa sambil berbisik di dekat telingaku. Aku sempat terpaku sebentar akibat nafasnya yang mengenai telinggaku. Aku langsung tersadar dan mengerti jika dia bertanya tentang yang kemarin.

"I'm fine. Sorry about yesterday, and thanks." Kataku sambil tersenyum kepadanya. Aku menjadi teringat mengenai kue kering yang kubuat tadi pagi untuknya. Namun kuurungkan niatku untuk memberikannya karena takut jika ketahuan oleh teman-teman yang lain dan akhirnya mereka akan mengetahui tentang phobiaku. Jadi akan kuputuskan untuk memberikannya nanti saat pulang sekolah.

"Raf, can I meet you after school?" Tanyaku setengah berbisik kepadanya. Kebiasaanku jika aku gugup atapun takut aku pasti akan berbicara dengan bahasa Inggris karena hal itu membuatku merasa lebih nyaman dan kupikir saat aku berbicara bahasa Inggris orang lain tidak terlalu mengerti dengan apa yang kukatakan jadi aku tidak terlalu malu.

"Sure. Anything for you." Serunya sambil tersenyum. Tak lama bel masuk berbunyi dan kita kembali ketempat duduk masing-masing. Kyla pun segera berlari menuju kelasnya. Tak lama setelah itu guru kami masuk dan memulai pelajaran yang tidak kusukai. Matematika.

Setelah waktu pelajaran yang panjang akhirnya berakhir, sesuai dengan perkataanku aku bertemu dengan Rafa. Aku membereskan buku-bukuku dan langsung mengajaknya ke perpustakaan. Dia tidak langsung mengikutiku karena dia harus menyingkirkan ketiga temannya yang lain untuk tidak mengikutinya. Sebenarnya bukan ketiga hanya Tio yang penasaran dan mengikut sertakan Aldo dan Alex.

Aku menunggu di perpustakaan sambil mencari-cari buku novel di rak yang paling ujung. Setelah menemukan satu buku aku langsung duduk dan bersender di rak. Aku terus membaca dan tanpa kusadari, aku sudah tenggelam dalam dunia buku itu sampai aku lupa waktu. Tiba-tiba saja Rafa datang dengan nafas yang terengah-engah dan kerigat yang bercucuran di mana-mana.

"Aku mencarimu.... kemana-mana..... Hujan di luar sangat deras.... hah.., aku khawatir petir akan muncul lagi." Sahutnya sambil mengatur nafasnya. Aku tersenyum mendengarnya, Rafa mengkhawatirkanku.

"Tenang saja Raf. Aku akan baik-baik saja.." Sahutku sambil tersenyum.

"By the way. Thanks for being worried about me." Lanjutku.

"My plesure. Oh iya, kenapa kau memanggilku?" Tanyanya sambil duduk di sebelahku.

"Aku hanya ingin berterimakasih karena sudah merepotkanmu kemarin. Dan maaf aku belum bisa mengembalikan baju yang kupinjam. Aku belum mencucinya." Kataku jujur dan entah mengapa dia tertawa pelan menanggapi perkataanku.

"Kau tidak perlu memikirkan dan melebih-lebihkan seperti itu. Aku tidak direpotkan sama sekali, malahan aku sangat senang dengan adanya kehadiranmu. Dan soal baju tidak usah kamu mencucinya. Kamu dapat mengembalikannya langsung padaku atau kau mau menyimpannya, itu terserah padamu." Katanya sambil mengacak-ngacak rambutku. Dia bilang aku boleh menyimpan bajunya? Aku sangat menyukai baju itu, haruskah aku tetap menyimpannya atau harus aku kembalikan? Lebih baik aku kembalikan karena itu memang bajunya.

"Kau benar-benar boleh menyimpan baju itu." Serunya. Bagaimana dia bisa tahu apa dia bisa membaca pikiranku?

"Bagaimana kau tahu aku sedang memikirkan bajumu?" Tanyaku penasaran.

"Terlihat jelas di mukamu. Sebenarnya, aku dapat membaca ekspresimu walaupun tidak selalu. Kau lebih banyak memberikan poker facemu." Serunya dan aku hanya mengangguk-angguk mengerti.

"Oh iya, aku membuatkanmu kue sebagai tanda terimakasih." Seruku yang mengingat tentang kue itu. Aku mencari-carinya di dalam tas dan saat menemukanya aku langsung memberikannya.

"Wuaah.. Terimakasih. Apa kau yang memasak ini?" Tanyanya sambil melihat kueku di dalam toples yang mama sediakan. Aku hanya mengangguk menjawabnya.

"Aku akan memakannya nanti. Terlalu sayang jika aku memakannya sekarang." Serunya sambil memasukan kueku ke dalam tasnya.

"Soal phobiaku.." Seruku ragu-ragu.

"Kau mau aku merahasiakannya kan? Tenang saja akan kurahasiakan." Katanya yang lagi-lagi mengerti pikiranku. Aku tersenyum senang dan lega atas perkataannya.

"Tapi ada satu syarat." Katanya yang membuat kelegaanku menghilang.

"A..Apa?" Tanyaku takut.

"Izinkan aku mendapat jawaban dari pertanyaanku." Serunya yang membuatku semakin panik. Namun apa yang bisa kulakukan, aku hanya dapat mengangguk lemah.

"Baiklah! Pertanyaan pertama." Katanya.

"Kenapa kau mau merahasiakan phobiamu kepada yang lain?" Tanyanya. Okay that's the easy question.

"Aku hanya tidak mau mereka khawatir. Dan aku merasa aneh jika mereka mengetahuinya. Aku takut mereka menganggapku aneh." Kataku jujur.

"Kau tahu, mereka tidak akan menganggapmu aneh. Setiap orang pasti mempunyai hal yang ditakuti dan itu wajar. Kau hanya harus sedikit terbuka kepada kami. Kalau kau tidak bisa terbuka dengan mereka, mulailah dulu denganku." Katanya dengan lembut.

"Tapi.. Itu tidak semudah seperti yang kau katakan. Aku terbiasa menyimpan semuanya sendiri, dan rasanya aneh saat aku mengandalkan orang lain dan membagi kesusahanku kepadanya."

"Hei... Itu adalah gunanya sahabatkan? Kita berbagi suka dan duka dan kita menyelesaikannya bersama. Kita tidak akan pernah meninggalkanmu, kau harus tahu itu."

"Kau benar.. Aku akan mencoba untuk terbuka kepada kalian." Kataku sambil menghela nafas. 'Tapi tetap saja aku masih tidak dapat percaya kepada kalian 100% dan aku takut kalian akan meninggalkanku jika kalian mengetahui kondisi kakiku.' Kataku dalam hati.

"Baiklah next question." Serunya membuatku kembali takut dan khawatir jika dia bertanya mengenai rahasiaku.

"Why are you scared when there's thunder and lightning?" Tanyanya dengan nada yang sedikit ragu. Sepertinya dia ragu untuk bertanya kepadaku karena menyinggung masalah pribadi. Jujur ketika dia bertanya itu aku sempat shock dan bingung harus berkata yang sebenarnya atau tidak, tapi seperti yang dia katakan I'll try to open up to him.

"Dulu waktu kecil, aku sempat mengalami kecelakan mobil akibat petir. Sehingga setiap ada petir, entah mengapa memori itu tereka ulang di kepalaku secara otomatis." Bisikku sambil menunduk kebawah. Memori mengenai hari itu terulang lagi di kepalaku. Tanpa kusadari tangan dan tubuhku sudah bergetar. Rafa langsung menggenggam tanganku dan membenamkan kepalaku ke bahunya.

"Don't be scared. It's in the past, you are saved now." Serunya. Aku melepaskan diriku dari tubuhnya yang nyaman itu.

"Thanks." Seruku sambil tersenyum.

"You don't have to push your self. If you don't want to talk about it, just say it. I don't want you to remember anything that you don't want to remember." Katanya sambil mengelus tanganku yang sedari tadi dipegangnya.

"It's okay. I'm fine. Just like you said, I'll try to open up to you, right?" Seruku.

"Yeah you right. But don't push your self to hard, I don't want you to be scared again." Aku menganggukan kepala kepadanya dan tersenyum.

" Aku tidak akan memaksa diriku kok." Kataku sambil tersenyum simpul.

"Good girl." Serunya sambil mengusap kepalaku.

"Hey! I'm not a dog!" Protesku yang hanya dibalas dengan tawanya. Setelah selesai sesi berbincang yang cukup panjang itu, kami keluar karena kakak sudah menungguku di parkiran. Seperti yang Rafa bilang di luar hujan deras. Karena tidak mau menyusahkan Rafa lagi, aku segera pulang dengan kakak menerjang hujan. Aku tidak mau petir menyambar dan membuatku ketakutan saat di sekolah. Itu akan membuatku terlihat buruk di mata orang lain.

Sesampainya di rumah, aku dan kakak langsung masuk ke dalam dan mengganti baju kami yang sedikit basah walaupun sudah memakai jas hujan. Kakiku baik-baik saja karena terlindungi oleh jas hujan. Untung saja petir belum menyambar, setidaknya ketika di rumah ada kakak dan mama yang akan menangani ketakutanku.

Setelah selesai mengganti baju aku turun ke bawah dan mendapati mama dan kakak sedang menikmati minuman panas di sofa ruang keluarga. Aku segera menyusul mereka dan duduk di antara kakak dan mama. Ternyata mama sudah menyiapkan cokelat panas untukku sendiri.

"Kasihan anak-anak mama kedinginan." Katanya sambil membawa selimut besar yang diambilnya dari kamar dan menyelimuti aku dan kakak.

Mama ikut duduk diposisinya tadi dan ikut menyelimuti dirinya. Aku langsung menyandarkan diriku di bahu kakak sambil memeluk tangan mama erat. Kami sedang menonton film yang entah apa itu judulnya. Mama memilihnya secara acak. Tiba-tiba saja petir menyambar dan gemuruh berbunyi dengan sigap mereka langsung memelukku dan mama langsung menutup kedua telingaku dengan tangannya. Mama menyuruhku menatap matanya karena dia tahu kalau aku menutup mata, kenangan itu akan tereka ulang dengan jelas dimemoriku. Kakak dengan sigap mengambil headphoneku dan memakaikannya kepadaku dan memutar lagu favoritku. Musik sangat membantuku saat ini. Aku mencoba membuang semua memori mengerikan yang bermunculan dalam pikiranku dan memusatkan fokusku pada mama yang sedari tadi menyuruhku menghembuskan dan membuang nafas.

Tanpa sadar aku tertidur dalam pelukan mama. Aku terbangun saat papa pulang dan melihat kami yang saling berpelukan. Aku tidak membuka mataku dan berpura-pura bahwa aku sedang tertidur, karena aku tidak mau terbangun dari posisi nyaman ini, tubuh dan pikiranku terlalu lelah untuk bangun.

"Papa pulang!" Seru papa yang membangunkanku.

"Ssshhh!" Seru kakak dan mama secara bersamaan.

"Drea tertidur? Phobianya kembali?" Tanya papa sambil mengelus rambutku.

"Untung saja kali ini tidak terlalu parah karena dengan sigap mama membantunya." Seru kakak sambil mengusap-usap punggungku sedari tadi.

"Dia tertidur dengan tenang. Sepertinya mimpi buruknya tidak kembali, dia mengalami sedikit kemajuan." Seru mama sambil mencium keningku.

"Syukurlah. Entah apa yang terjadi saat dirinya di rumah Rafa. Tapi sepertinya Rafa mempunyai cara untuk membuatnya membaik." Seru papa lembut.

"Ya thanks to that brat!" Seru kakak kesal. Entah mengapa dia kesal, bukankah seharusnya dia senang?

"Andrew bahasamu." Seru mama.

"Sorry mom." Balas kakak. Setelah itu aku mendengar percakapan mereka dengan samar-samar. Hal terakhir yang kuingat adalah seseorang entah kakak atau papa membawaku ke kamar dan membaringkanku. Dia melepas headphoneku dan menyelimutiku. Sebelum pergi dia mengelus kepalaku dan mencium keningku.

"I'm sorry for making you like this. I love you." Serunya sebelum pergi dan aku mengetahui bahwa itu adalah papa. Sejak hari itu aku tahu kalau papa menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu karena dialah yang menyetir mobil. Tapi itu sepenuhnya bukan ke salahan papa dan aku tidak tahan saat dia menyalahkan dirinya sendiri seperti itu. Aku selalu mengingatkan papa kalau aku baik-baik saja dan itu bukan ke salahan dirinya. Tapi selalu saja dia kembali menyalahkan dirinya sendiri, entah mengapa.

Setelah pemikiran singkat itu, aku langsung tertidur karena lelah dengan yang terjadi hari ini. Semoga saja suatu hari nanti aku bisa terlepas dari phobiaku dan kondisiku akan normal kembali.