Sang dokter pun datang ke rumah Saga dan mulai memeriksa Alisa yang tengah tak sadarkan diri. Saga sedari tadi terus mengkhawatirkan keadaan Alisa. Ia berharap, agar wanita itu lekas terbangun.
"Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Saga pada sang dokter.
Dokter itu telah selesai memeriksa Alisa dan melepaskan stetoskopnya. Ia pun membalas pertanyaan dari Saga.
"Dia hanya kelelahan. Anda harus memperhatikan terus kondisinya, ya. Saya akan resepkan obat sekaligus vitamin untuknya," ujar sang dokter sambil tersenyum ke arah Saga.
"Oh, baiklah, Dok."
Dokter pun meresepkan obat untuk Alisa dan menyerahkan secarik kertas pada Saga. Pria itu akan segera menebus obat yang diminta oleh sang dokter. Setelah itu, ia menyuruh pengawalnya untuk mengantarkan sang dokter. Sedangkan, ia harus fokus menjaga Alisa di sini.
Wanita itu masih tak sadarkan diri. Entah sampai berapa lama Alisa seperti ini.
"Bangunlah ... aku tak mau kau seperti ini." Saga masih terus bersama Alisa di samping. Ia memandangi sosok cantik itu cukup lama.
Tiba-tiba, Alisa dengan perlahan mulai menggerakkan jari jemari tangannya, membuat Saga menyunggingkan senyuman. Wanita itu mulai membuka mata dan langsung tertuju pada Saga, yang ada di sampingnya.
Alisa mengedarkan pandangan ke sekitar kamar. Ia memijit kepalanya yang masih berdenyut-denyut. Kemudian, dirinya pun perlahan bangun untuk duduk.
Saga dengan cekatan memegang kedua pundak Alisa untuk membantunya duduk. Alisa sempat menolak, tapi Saga bersikeras untuk membantu.
"Kau tadi pingsan di kamar mandi," ujar Saga.
Ia pun menyuruh Alisa untuk istirahat, karena besok pernikahan mereka akan berlangsung. Saga juga memintanya untuk tak terlalu memikirkan hal ini, karena itu hanya akan membuat Alisa makin stres. Wanita itu hanya diam saja. Tak memberi respons apa-apa pada Saga.
Masih memakai gaun mewah yang melekat di badan, Alisa ingin segera melepasnya. Ia segera turun dari ranjang dan berlalu dari hadapan Saga.
"Kau mau ke mana?" Saga bertanya, tapi tak digubris oleh Alisa. Wanita itu tetap berjalan menuju kamar mandi. Saga pun jadi kesal seperti ini jadinya.
Namun, Saga tetap mengawasi Alisa di depan pintu kamar mandi. Ia takut terjadi apa-apa lagi pada Alisa.
"Dasar wanita keras kepala," ucap Saga dengan pelan. "Aku sudah perhatian, masih saja tak digubris. Wanita memang seperti itu!"
Tak lama, Alisa pun ke luar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut mendapati Saga sudah ada di depan pintu. Ia sudah mengganti gaunnya dengan baju biasa. Alisa segera menjauh dari hadapan pria itu.
Alisa meletakkan gaunnya di dalam lemari pakaian milik Saga. Ia tak tahu harus meletakkan gaun itu di mana lagi. Saga yang sedari tadi hanya melihat apa yang Alisa lakukan. Pria itu hanya diam saja. Ia membiarkan Alisa melakukan sesuka hatinya.
Akhirnya, pandangan mata mereka bertemu. Alisa masih memandangnya dengan begitu nyalang. Saga tak tahu harus berbuat apa untuk Alisa. Setiap wanita itu berpapasan dengannya, ia selalu begitu. Saga tahu, di awal perkenalan pun sudah menjadi kesan yang buruk, ditambah dirinya sudah merebut kesucian wanita itu.
"Alisa ...." Wanita itu langsung memandang ke arah Saga. Pria arogan itu pun mendekatinya.
"Kenapa?" tanyanya sinis.
"Kau istirahatlah di ranjang ini. Biar aku yang tidur di ruang tamu." Saga mulai mengambil bantal dan selimut. Ia hendak merebahkan tubuhnya di sofa panjang ruang tamu. Saga membiarkan Alisa untuk tidur di kamarnya.
Sesuai dengan perintah dokter tadi, bahwa ia harus memperhatikan kondisi Alisa. Dirinya tak mau membuat wanita itu kenapa-napa. Sebisa mungkin, Saga akan menjaga mood Alisa tetap baik.
Alisa pun hanya melongo ketika Saga mengambil bantal dan selimut. Kemudian, pria itu segera berlalu dari hadapannya sambil membawa dua benda itu.
Ia melihat Saga berjalan pelan sambil menuruni anak tangga satu per satu. Sampai pada akhirnya, pria itu telah berada di ruang tamu.
"Hmm ... baguslah dia tak tidur di kamarnya. Biar aku saja yang tidur di atas," ucap Alisa kemudian sambil berkacak pinggang, lalu kembali ke dalam kamar Saga.
Dari bawah, Saga melihat Alisa tengah berkacak pinggang. Lantas, wanita itu pun masuk kembali ke dalam kamarnya. Biarlah sehari ini saja ia harus mengalah pada Alisa. Tak mengapa, karena besok adalah hari pernikahan mereka.
"Aku melakukan semua ini untukmu. Aku tak ingin melihat kondisimu dalam keadaan yang tak stabil." Saga tak ingin melihat wajah Alisa yang selalu merengut, apabila berhadapan dengannya. Itu hanya akan membuat wanita itu dalam suasana hati yang buruk.
Di samping ingin melakukan balas dendam, ia juga masih memperhatikan Alisa dengan baik, layaknya yang dulu sering dirinya lakukan.
"Aku melakukan semua ini karena masih mencintainya. Di samping ingin balas dendam, hati ini masih jelas tertambat padanya." Saga geleng-geleng kepala dan mulai meletakkan bantal di atas sofa. Pria itu segera memposisikan tubuhnya untuk rebahan.
Sedangkan di atas kamar, Alisa dengan leluasa untuk tidur di ranjang milik Saga. Tak ada wajah pria itu di sini, membuat Alisa sedikit merasa tenang. Perlahan-lahan, ia pun tersenyum.
"Besok aku akan menikah dengan Saga," lirihnya dengan wajah yang masih ditekuk. Ia harus bisa menerima pernikahan ini, walau bukan dengan orang yang ia cintai. Lantas harus bagaimana lagi.
Alisa menekuk kedua kakinya. Ia pasrah dengan semua jalan dari Tuhan. Siap atau tidak, ia harus menikah besok. Mungkin ini sudah saatnya.
"Aku percaya padamu, Tuhan, inilah yang terbaik untukku. Walau aku menikah bukan dengan pria yang kucintai." Alisa meletakkan wajahnya di atas lutut. Dirinya tak mau menangisi hal ini lagi.
Kemudian, Alisa pun merebahkan diri di atas ranjang besar milik Saga. Ia dengan leluasa di sana tanpa ada pria itu lagi. Di ranjang ini, mengingatkannya kembali pada kejadian itu. Kejadian di mana, Saga telah merenggut mahkotanya. Hanya tangis yang menyertai dan tak akan kembali lagi. Dirinya sudah tak suci lagi. Pria mana yang mau dengannya lagi? Inilah yang membuat Alisa menerima pernikahan ini.
Baginya, Saga harus bertanggung jawab atas semuanya. Ia takut akan terjadi apa-apa suatu hari nanti. Lantas, ia terpaksa menerima ajakan Saga untuk menikah.
Tangannya terjulur untuk mengambil guling yang ada di dekatnya, lalu ia peluk guling itu dengan erat. Ia tumpahkan segala rasa kecewa, kesal, dan amarah jadi satu. Alisa tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Lantas, ia hanya bisa pasrah menerima semua ini.
"Tuhan ... bila ini adalah jalan terbaik yang kau beri untukku, maka mudahkanlah jalannya. Serta berilah hatiku kesabaran penuh untuk esok hari," ujar Alisa dengan memaksakan seulas senyum terukir di sudut bibirnya.