webnovel

15

"..." Arlyn memandangi empat orang yang ada di sofa ruang tamu. Satu di antara mereka adalah sosok yang masih Arlyn ragukan untuk bisa dianggap sebagai anggota penghuni rumahnya atau tidak. Kehadirannya belum lama tapi seolah sudah menyatu dengan semua orang yang ada.

Kecuali Arlyn dan Abi. Abi berdiri di samping Arlyn. Memegang kain celana yang dikenakan perempuan itu. Memandangi Adrian yang duduk di sofa dengan Leta dan Riel juga Azel dengan mata waspada.

Adrian datang ke rumahnya di hari libur seperti sebelum-sebelumnya. Kali ini Leta juga tengah berkunjung. Wanita itu langsung menyambut Adrian dan mengajaknya mengobrol. Memanggil Riel dan Azel untuk bergabung. Abi dan Arlyn juga diajak tapi mereka tidak menanggapi ajakan wanita tua itu.

Leta mengajak Adrian bicara dengan begitu menggebu-gebu. Dia membahas banyak hal. Tentang para pekerja toko, tentang Arlyn, tentang Abi, juga Riel dan Azel. Leta memberitahu Adrian semua hal. Juga tanggal ulang tahun mereka. Apa yang mereka suka. Dimana mereka sekolah. Kegemaran mereka. Leta membeberkan semuanya di hari itu. Yang didengarkan oleh Adrian dengan senyum kikuk.

Arlyn mengernyit. Apa yang sebenarnya tengah Leta lakukan? Apa yang dia rencanakan?

Abi merasa lebih tenang ketika tau Arlyn tidak bergabung bersama Leta dan yang lainnya. Arlyn menjauh. Bersamanya. Duduk di kursi meja makan. Dengan kernyitan di dahi.

Abi merasa Arlyn menepati janjinya. Meskipun waktu itu yang Arlyn janjikan adalah sekedar untuk selalu bersama dengannya juga Riel dan Azel, tapi dia juga senang ketika Arlyn tidak menemui Adrian.

"Mba Arlyn! Sini!" panggil Leta. Adrian kemudian juga melihat ke arah Arlyn. Diam-diam berharap. Matanya seperti seekor anjing yang tengah menggoyangkan ekornya.

Ya. Adrian adalah anjing.

Arlyn menyadari mata Adrian padanya dan menolak dengan kerutan kening. "Tidak."

Abi mengeratkan pegangannya pada kain celana Arlyn. Arlyn duduk sedangkan Abi berdiri di samping kursi Arlyn.

Arlyn menyadari genggaman tangan Abi pada pakaiannya. Dia mengalihkan pandangan dan menghela nafas kasar tanpa suara. Menggerutu.

"Mas Adrian kapan mau ngelamar Mba Arlyn?"

Suara itu langsung membuat Arlyn menoleh cepat dan memelototkan mata.

"Ibu bicara apa?"

Adrian di tempat lain hampir menggigit lidahnya sendiri. Tidak menyangka Leta akan mengatakan itu, dan secara frontal.

Adrian bahkan belum berani memikirkan itu. Untuk sekarang dia sudah merasa cukup dengan sekedar bisa berkunjung ke rumah Arlyn dan melihat apa yang tengah dikerjakan perempuan itu. Dia belum memikirkan sejauh menikah. Hal itu membuatnya malu dan kuping telinganya pun memerah. Tangannya meremas kain celana yang dikenakannya. Menunduk malu.

Leta menoleh pada Arlyn. "Kenapa Mba tidak mau?? Mas Adrian pria baik-baik gini loh. Uangnya juga banyak. Kalau sudah nikah tinggal foya-foya, semua tinggal Mas Adrian yang ngurus." lanjut Leta. "Mba Arlyn cuma tinggal jadi istri yang baik dan penurut. Ngelayanin di kamar–??"

"Abi! Tutup telingamu!! Azel! Riel! Kalian juga!" Arlyn menutup kedua telinga Abi rapat. Mengundang keterkejutan dan tanda tanya dari anak itu. Sedangkan Azel dan Riel yang tidak mengerti hanya bisa memiliki wajah bingung. Terkejut dengan seruan perintah Arlyn tapi juga tidak mengerti kenapa Arlyn menyuruh mereka melakukan itu.

"Ya Tuhan." Leta menutup mulutnya. Merutuki dirinya yang terlalu bersemangat. Melupakan keberadaan tiga anak kecil nan polos di dekatnya.

Adrian yang duduk di sebelah Leta langsung memiliki wajah yang memerah. Dia merasa wajahnya memanas. Benar-benar tidak menyangka Leta akan mengatakan hal barusan.

Arlyn memicingkan matanya ke arah Leta. Leta hanya bisa meringis terkekeh. Merutuki dirinya sendiri tapi di saat yang bersamaan juga terhibur dengan kehebohan yang terjadi akibat ulahnya. Kepanikan Arlyn menghiburnya. Merah wajah Adrian membuatnya hampir terpingkal-pingkal.

"Yasudah. Kapan kalian akan menikah? Kenapa tidak langsung menikah saja? Menikah tidak perlu pesta. Kalian hanya perlu datang ke KUA, mancari saksi, mempertemukan wali, dan, selesai. Kalian tinggal– ekhem." Leta berhasil menghentikan dirinya di saat yang tepat. Jika tidak dia pasti akan mendapat pelototan dari Arlyn lagi.

Arlyn mengerutkan kening terganggu. Dia melihat ke arah Abi yang menoleh ke arahnya dengan wajah bingung. Dia memegang kedua tangan Arlyn yang tengah menutup kedua telinganya.

Arlyn tidak bisa melakukan itu. Dia punya Abi.

Seandainya Adrian benar-benar melamarnya pun, Arlyn tetap tidak akan mengubah sikapnya pada ketiga anak asuhnya itu.

Arlyn akan terus bersama mereka. Sesuai janjinya.

Jikapun Adrian ingin menikahinya, dia akan memaksa laki-laki itu untuk menerima ketiga anak asuhnya. Itu akan menjadi syarat bagi Adrian untuk membawanya ke altar pernikahan.

Adrian sekali lagi dibuat tidak mampu berkata-kata oleh Leta. Tampaknya wanita itu sudah memikirkan banyak hal di dalam kepalanya. Adrian ragu dia akan mampu mengikutinya. Pemikiran Leta berada jauh di depan darinya. Adrian, belum memikirkan apapun.

Adrian mengangkat wajahnya. Mencoba melihat Arlyn. Ingin melihat reaksi perempuan itu. Apakah akan serupa dengannya?

Dia melihat Arlyn. Perempuan itu menyadari pandangan Adrian padanya dan langsung memberikan tatapan tajam.

'Jangan coba-coba'

Itulah yang Arlyn katakan melalui matanya. Adrian menelan ludah.

Leta melihat itu dan terkekeh.

Dia yakin dia hanya perlu menunggu. Sesuatu akan terjadi di antara keduanya. Minggu lalu Adrian sudah memberikan sebuah kalung yang terlihat sangat berharga pada Arlyn. Riel dan Azel sudah menerima kehadiran Adrian. Abi belum, tapi Leta yakin anak itu akan menerima kehadiran Adrian cepat atau lambat.

Mereka memiliki kesamaan. Keduanya memiliki ketertarikan dan rasa peduli pada Arlyn lebih dari orang lain. Abi akan merasakan banyak kemiripan dengan pemuda itu.

Ketika Leta dan Adrian pulang, rumah itu kembali diisi oleh empat orang saja.

Arlyn membaringkan tubuhnya di sofa. Membaca buku pelajaran Abi, Riel, dan Azel. Buku-buku itu menumpuk di atas lemari. Kalung pemberian Adrian masih ada di sana. Arlyn menyadarinya, dan tidak memiliki keinginan untuk mengunjungi kamar hanya untuk sekedar memasukkan kalung itu ke dalam kotak yang ada di meja riasnya.

Yang meskipun disebut meja rias, sebenarnya hanya meja tanpa apapun selain cermin. Dia tidak memiliki perias apapun. Daripada dirinya, Azel memiliki lebih banyak pernak-pernik di kamarnya bersama Riel dan Abi. Jepit rambut, pita, mahkota mainan, Arlyn cukup sering mendapatkan benda-benda itu dari mall tempat dirinya dulu pernah bekerja.

Dia pernah bekerja sebagai penjaga toko perhiasan pernak-pernik anak perempuan. Yang juga menjual beberapa pakaian untuk anak perempuan dan laki-laki.

Bos nya adalah orang yang cuek. Sama seperti Arlyn. Dia tidak begitu peduli dengan Arlyn tapi ketika ada barang-barang yang menurutnya tidak bisa lagi dijual atau pantas untuk dibuang, dia akan memberikan mereka pada Arlyn. Pakaian-pakaian kecil dan pernak-pernik untuk Riel, Azel dan Abi.

Pakaian-pakaian ketiga anak asuhnya mungkin merupakan pakaian bekas hasil pemberian orang lain. Tapi Arlyn selalu memastikan kelayakan mereka, dan membuatnya tampak bagus dikenakan oleh ketiga anak itu.

Bekas pun tidak masalah. Abi dan Riel adalah anak yang tampan. Sedangkan Azel adalah anak yang cantik. Mereka cocok mengenakan apa saja.

Azel sedang memasukkan peralatan makan ke dalam lemari piring. Abi menulis sesuatu di meja makan. Riel berada di samping Azel. Membantu kakaknya dengan mengoper piring ke tangan kakaknya.

Suasana sedang hening ketika Azel melirik ke arah Arlyn. Dia bisa melihat bagian atas kepala Arlyn dari balik punggung sofa.

Dia memantapkan diri untuk bersuara.

"Umi."

Suara itu menarik perhatian Arlyn. Azel jarang bersuara. Hal itu membuat atensi Arlyn langsung tertuju ke arahnya.

"Hm." responnya. Tidak ingin mengalihkan matanya pada buku pelajaran yang tengah dia baca.

"Umi bisa menikah dengan paman Adrian kalau umi mau."

Mata Arlyn melebar. Dia membangunkan tubuhnya. Menoleh pada Azel yang ada di seberang sofa dan meja dapur. Menoleh ke samping. Tidak bertemu tatap dengan Arlyn.

Abi mendengar itu langsung terdiam. Dia tahu arti dari kata menikah. Dia tahu arti di balik menikah. Kenapa Azel mengatakan itu? Abi menoleh ke arah Azel yang berada di dapur waswas. Sedangkan Riel yang berada di samping kakaknya hanya bisa memasang wajah bingung. Tidak mengerti kenapa kakaknya mengatakan itu tiba-tiba.

"Kenapa kau bicara itu?" tanya Arlyn dengan kening berkerut.

Azel mengelap piring di tangannya dengan elap dapur. "Umi.. Selama ini kami menghambat umi. Kalau, umi menolak Paman Adrian karena kami, Azel mau umi mengesampingkan kami dan menerima Paman Adrian."

Arlyn kehilangan kata-kata di tempatnya. Azel, memikirkan itu? Juga? Tidak hanya Abi tapi Azel juga? Arlyn tidak menyangka itu.

Tapi di lain tempat,

Kenapa semua orang seolah ingin Arlyn bersama Adrian? Ada apa dengan pemuda itu? Dia memang tampan dan kaya, tapi itu tidak memberi kewajaran bagi Arlyn untuk menerima laki-laki itu, kan?

Butuh waktu bagi Arlyn memikirkan respon untuk Azel. Jika itu Leta, maka Arlyn bisa menganggapnya angin lalu. Jika itu Abi, dia akan menganggapnya sebagai Abi yang sedang rewel. Tapi kerena ini Azel,

"Berhenti memikirkan itu. Kau masih terlalu muda. Belum saatnya untukmu memusingkan hal itu. Aku sudah berjanji pada Abi kalau aku akan terus tinggal bersama kalian. Dan tentang paman Adrian," Arlyn menjeda kalimatnya. "Menerimanya atau tidak adalah keputusanku. Aku yang akan memutuskan apakah aku akan menerima Paman Adrian atau tidak. Jangan membahas tentangnya lagi. Mengerti?"

Azel terdiam di tempatnya. Memantapkan diri untuk merespon. "Hm."

Arlyn merasa cukup puas atas respon itu. Azel akan berhenti mengungkitnya.

Hal itu membuatnya lelah. Dia bangkit dari sofa. "Aku akan ke kamar. Kalian jangan tidur terlalu malam. Kalian harus sekolah."

Tidak ada respon dari Azel. Begitupun dengan Riel yang masih tidak bisa mengerti dengan atmosfer yang tengah berlangsung.

Arlyn menghampiri kamarnya. Berpapasan dengan Abi yang duduk di kursi meja makan. Menunduk dengan mata kosong ke arah kertas di atas meja. Tangannya masih menggenggam pensil tapi semua orang bisa melihat dengan jelas kalau anak itu sedang melamun. Dan yang tengah dilamunkan bukanlah hal yang baik.

Arlyn tau dia harus menenangkan anak itu lagi. Dia harap anak itu tidak akan menolak untuk sekolah kali ini.

Dia sedang tidak punya tenaga untuk melakukan apapun jadi dia pergi ke kamarnya. Memutuskan untuk melakukannya di hari esok bahkan jika benar dia harus menghibur anak itu.

***

Pagi harinya, Arlyn keluar dari kamarnya. Melihat ketiga anak asuhnya tidak berseragam. Bermain kartu di atas karpet ruang tamu.

Arlyn mengerutkan keningnya.

"Kalian tidak sekolah?"

Riel menoleh. Memasang senyum lebar. "Tanggal merah, umi!"

Arlyn tidak merespon.

Begitukah?

Dia tidak pernah memeriksa kalender.

Dia menganggapnya angin lalu dan pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan. Lalu meminum air di gelasnya dengan pikiran kosong. Tidak menyadari ketiga anak di ruang tamu yang saling berbagi pandangan. Kemudian saling mengangguk.

Ketiganya berdiri. Menghampiri Arlyn yang masih melamun.

"Umi," panggil Abi.

Arlyn mendengar itu menoleh. Terperangah melihat keberadaan ketiga anak sekolah dasar di depannya secara bersamaan.

Selain itu, wajah ketiganya dilapisi oleh keyakinan. Mereka punya sesuatu untuk dikatakan. Dan tampaknya yang akan mengatakan sesuatu itu adalah Abi.

Abi mengepalkan tangannya. Tampak memantapkan diri untuk mengucapkan apa yang ingin dia ucapkan. "Umi." panggilnya lagi.

"Kami sudah sepakat. Umi harus menikah dengan Paman Adrian!"

"..."

Di hari senin pukul tujuh pagi itu, Arlyn dibuat tidak mampu berkata-kata oleh ketiga anak taman kanak-kanak dan sekolah dasar di depannya.

04/06/2022

Measly033