Arsena mengerjap beberapa kali. Dia sudah berada di ruangan serba putih dan ada Aileen yang tengah tertidur di sampingnya.
"Ni anak kayaknya kecapean deh." Dia menghela napas ringan. "Arkala bener-bener keterlaluan. Dia udah bikin gue sakit perut dan harus kehilangan banyak cairan."
Suara Arsena mungkin terlalu berisik, membangunkan Aileen yang saat ini tengah mengucek kedua matanya.
"Na, lo udah sadar?" tanya Aileen, dengan parau.
Arsena hanya mengangguk. "Sori, ya, udah ngerepotin lo."
"No!" sela Aileen cepat. "Lo sama sekali nggak ngerepotin gue. Kita ini temen, Sen, temen." Aileen menekan kata teman di akhir kalimatnya.
"Oke, oke. Kita temen."
Keduanya tertawa pelan. Akhirnya setelah sekian lama, kini Aileen memiliki seorang teman dekat dan mungkin derajatnya akan naik satu tingkat menjadi sahabat.
"Eh, gimana perut lo? Udah enakan?"
"Udah. Kayaknya efek obat pencuci perut itu nggak lama, sih. Mungkin karena gue kekurangan cairan aja makanya lemes dan pingsan."
Aileen mendengkus kesal dan melipat kedua tangan di depan dada. "Arkala emang keterlaluan. Baru sehari kalian kenal, dia udah bikin lo masuk rumah sakit. Apa kabar dengan hari-hari selanjutnya?"
Arsena mengedikkan bahu dan bersandar di kepala ranjang. "Liat aja, besok gue bawa rok dan kasih ke dia. Cowok kok beraninya sama cewek."
"AAAKKHHH... SAKIT!"
Suara teriakan membuat Arsena dan Aileen menoleh ke arah pintu.
"Gila, itu orang kesurupan apa gimana, ya? Di rumah sakit, kok teriak-teriak," ujar Aileen sambil menggeleng heran.
"Dia teriak kesakitan itu, Ay. Pasti habis kecelakaan."
"DOKTER JANGAN SUNTIK! SAYA NGGAK MAU DISUNTIK!"
Detik berikutnya, kedua mata mereka membulat sempurna. Arsena menyibak selimut berwarna biru dan berlari ke arah pintu.
"Suara itu kayak nggak asing deh, Na," ucap Aileen yang sudah berdiri di samping Arsena.
"Sama. Tapi suara siapa, ya?"
Arsena mengedarkan mata dan melihat perawakan seorang pemuda yang tengah memberontak di depan pintu kamar pasien. Aneh sekali, pikirnya.
"Kayaknya cowok itu deh yang teriak-teriak," ujar Arsena sembari menunjuk pemuda itu.
"SAYA NGGAK MAU DIRAWAT, DOK! SAYA PENGIN PULANG. TOLONG JANGAN SUNTIK SAYA!"
Aileen menyimak baik-baik suara pemuda itu. Dan mulutnya seketika menganga sambil menarik Arsena kembali ke kamar.
"Aduh.. lo kenapa sih, Ay?" keluh Arsena, terkejut.
"Kayaknya gue tahu itu suara siapa."
"Siapa? Apa gue juga kenal?"
Aileen mengangguk. "Itu suara Arkala."
***
"AKH!"
Motor Arkala terhempas ke atas trotoar setelah berusaha menghindari gadis yang hendak ia tabrak.
Tubuhnya bergesekan dengan aspal, sehingga menyebabkan beberapa bagian tubuhnya terluka dan berdarah-darah. Untung saja Arkala memakai helm full wajah dengan bagiannya yang kuat.
"Aakhh!" pemuda itu menjerit tertahan. Tangannya terasa sangat perih, dia melepas helm dan menjerit kesakitan.
Beberapa warga datang berhamburan, membantu Arkala dan membawanya ke rumah sakit.
"Pak, jangan bawa ke rumah sakit deh. Saya mending pulang aja," ucap Arkala kepada seorang bapak-bapak yang duduk di sampingnya.
"Jangan gitu, Mas. Lukanya harus diobatin. Lihat tuh celananya, sampai robek begitu. Takutnya itu tulang dengkul geser dan pindah ke paha."
Arkala meringis pelan. Luka basah di tubuhnya sangat perih. Ditambah bapak-bapak tadi sengaja membuat jokes yang sama sekali tidak lucu.
"Tapi, Pak----"
"Wahh... jangan-jangan si Mas nya takut jarum suntik, ya?" imbuh bapak-bapak lain.
Arkala hanya tersenyum malu. Ini adalah kali pertama dia menaiki angkutan umum atau angkot berwarna biru yang akan membawanya ke daerah LA atau Lenteng Agung.
"Mas tenang aja, jarum suntik itu kecil kok. Paling rasanya cuma kayak digigit semut. Mas pernah digigit semut, kan?"
Arkala mengangguk cepat. Dia teringat pada saat pertama kali digigit semut. Kata ayahnya, semut itu bernama semut Firaun. Dia menggigit dan menimbulkan rasa sakit yang lumayan, bahkan bekas gigitannya akan menjadi kemerahan.
Pemuda itu meneguk ludah susah payah. Bagaimana jika bekas suntikan di tubuhnya memerah? Pasti ketampanannya tidak akan semaksimal biasanya.
Angkutan umum dengan nama jalur atau kode SO2 itu sudah terparkir di depan RSUD Pasarminggu. Arkala dibantu oleh beberapa orang bapak-bapak memasuki rumah sakit tersebut dan merebahkan tubuhnya di atas brankar, menunggu perawat datang menangani.
"Kenapa ini, Pak?" tanya seorang wanita berpakaian serba putih, alias suster atau perawat.
"Mas ini tadi kecelekaan motor, Neng. Tolong cepat ditangani, takutnya gegar otak."
Arkala mengerutkan kening segaris. Bahkan kepalanya baik-baik saja. Bagaimana mungkin bisa menimbulkan gegar otak? Ah, Arkala kembali meringis ketika suster itu menggunting celana bagian lutut dan sedikit menimbulkan gesekan.
"Maaf ya, Mas, saya cuma mau ngecek aja," ucap suster cantik yang Arkala lihat bernama Sherina. Apa dia saudaranya Sherina Munaf?
"Sus, gimana kalau periksanya di dalam aja? Saya nggak enak diliatin sama ibu-ibu," ujar Arkala.
Suster Sherina mengangkat wajah dan melihat sekitar. Memang saat ini banyak ibu-ibu yang tengah memperhatikan pasiennya. Pasti karena Arkala memiliki wajah yang tampan.
"Mas nya terlalu ganteng. Jadi banyak ibu-ibu yang naksir," celetuk seorang bapak-bapak yang masih setia menunggu Arkala.
"Lha, si Bapak. Kirain udah pada pergi, ternyata masih di sini?"
Sungguh tidak terpuji perlakuanmu, Arkala. Pemuda itu melonjak sedikit terkejut, ketika menemukan tiga orang bapak-bapak yang sudah menolongnya.
"Kita mau lihat sampai si Mas nya dibawa masuk, baru kita pergi."
"Ya udah, Sus, ayo kita masuk."
Suster Sherina mendorong brankar Arkala dibantu oleh beberapa suster lainnya yang berhasil dipanggil oleh Sherina.
"Sus, nanti saya mau disuntik?" tanya Arkala. Keringat dingin mengucur di wajahnya.
"Sus, kenapa ini?" tanya seorang dokter menghampiri mereka.
"Mas ini habis kecelakaan, Dok."
"Mari kita suntik tetanus dulu."
Kedua mata Arkala terbuka lebar. Apa katanya? Suntik?
"AAAKKHHH... SAKIT!"
Semua tim medisdi sana menoleh pada Arkala yang tiba-tiba berteriak.
"Kenapa, Mas?" tanya suster Sherina, cemas.
"Kaki saya sakit, Sus. Kayaknya nggak mau disuntik, deh."
Suster Sherina menoleh pada dokter yang saat ini tengah terkekeh. "Langsung suntik, Sus. Takutnya kenapa-kenapa."
Arkala terkejut bukan main. Padahal dia sudah mengatakan bahwa lukanya tidak ingin disuntik. Namun dokter menyebalkan itu malah meminta suster Sherina membawanya ke dalam ruangan.
Pemuda itu menghentikan para suster yang tengah mendorong brankarnya di depan pintu.
"Kenapa?" tanya dokter.
Dokter Adi. Arkala membaca sebuah papan nama yang ada di dada sebelah kiri dokter menyebalkan itu.
"Dok, plis, jangan suntik saya. Saya nggak mau disuntik." Arkala memelas, berharap mendapat belas kasihan dari dokter yang akan menanganinya.
"Nggak bisa, Mas. Kami harus menyuntik dengan cairan tetanus. Agar kuman dari luka-luka itu nggak masuk ke tubuh."
"Tapi, Dok...."
"Lihat deh, kita ketemu siapa di sini? Kok kayaknya nggak asing banget."