Di tengah gelapnya malam, di putaran ke-10 Sang Rembulan, sebelum intipan malu ke-17 Sang Mentari. Pada kehidupan ke-3 Pohon Kehidupan, untuk pertama kalinya, Neraka menikmati hari libur mereka. Sembilan belas malaikat penjaga Neraka turun ke Bumi demi menghadiri malam yang suci. Mereka mengelilingi kota Afaarit, ibu kota suku Api, untuk menyambut kelahiran dia yang mempunyai api neraka mengalir bersama darah dagingnya. Bahkan Malik, sang Penjaga Agung Neraka, tidak sekalipun memiliki api anugrah yang sama mengalir bersama dirinya.
Tetapi bayi itu masih terlalu muda dan rapuh, tubuhnya takkan mampu menguasai api yang bergejolak keras. Atas alasan inilah, para malaikat datang untuk menancapkan segel yang akan menahan kobaran Neraka 1000 tahun lamanya, agar si bayi tak terlahap bersama Bumi di dalamnya.
*
Kini malam menutup rapat mulutnya. Seisi kota mendadak terdiam dan mengunci pandangan mereka pada Istana Kepala Suku. Tak lama hingga suara bayi memecah sunyinya malam. Tangisannya terlampau nyaring, bahkan penghuni Angkasa terbangun dari mimpi mereka.
Si kecil akhirnya membuka matanya, melihat Dunia untuk pertama kalinya. Terlukiskan warna merah cerah di atas irisnya, yang amat membara angankan api yang menyala-nyala. Langit kian hanyut ditatapnya, meninggalkan Angkasa merona pada malam itu. Siapapun yang memandang keelokkannya, akan langsung terpikat di dalam keanggunannya.
Warga suku Api pun berbaris di depan Istana. Kepala mereka tertunduk, memberikan penghormatan mereka kepada bayi yang akan menuntun impian-impian mereka. Sementara para malaikat mengelilingi Istana, membentuk formasi dengan sayap terkembang megah, bersiap menyegel api buas yang bertengger di dalam tubuh anak malang itu.
Sang Agung Malik memimpin mereka, makhluk-makhluk cahaya itu mulai memasangkan segel pada diri si bayi. Kobaran matanya perlahan tertahan, memadam, tertarik sendu bersama dinginnya malam. Tangisnya pun tenang kian mereda, Langit kembali menghitam, terlena dalam kabut biru yang menari-nari menggodanya. Api itu pun tersegel dan malam kembali terlahap sepi. Si bayi akhirnya menutup matanya, bermimpi indah di pangkuan ibunya. Berjayalah Sang Ardiansyah, berjayalah Amartya (penguasa yang abadi).