Keesokan harinya, Naema bangun jauh lebih pagi sebelum Amartya sempat mengedipkan mata. Kini anak itu memuyu-muyu lemas, lalu beranjak membersihkan dirinya dan menyiapkan pakaian yang akan dipakainya nanti.
Sayangnya dia tidak menyiapkan pakaian untuk dipakai Amartya. sudah jadi pengetahuan umum kalau suku Api gemar memakai busana yang serba pas (bahkan ketat), sehingga ia selalu ragu bila ingin menyiapkannya. Terlebih mengetahui kalau ia juga sedang dalam masa pertumbuhannya, dan gadis itu belum tahu kapan mereka akan dipertemukan.
Dan karenanya, matanya pun mulai melirik tas yang dibawa pemuda itu, pastinya dia membawa beberapa.
Namun tiba-tiba, terdengarlah suara orang mengetuk pintu. Dan Naema yang tersentak kaget pun segera mendatangi panggilannya.
Ternyata di depan sana, datang salah seorang dari gadis suku Alam. Dia membawakan beberapa pasang pakaian untuk dikenakan oleh dirinya dan juga Amartya. Pakaian itu telah dijahit langsung, ketika Ibunda Zoastria meminta anak-anaknya untuk menyiapkan kamar bagi mereka berdua.
Suku Alam memang terkenal dengan produk sandangnya. Seluruh suku termasuk Ilmuan Langit dan Pelukis Samudra, semuanya memesan pakaian pada mereka karena kualitasnya yang amatlah bagus. Hal ini pun menjadikan bisnis ini sumber penghasilan (uang) yang besar bagi para penjaga Pohon Kehidupan ini.
"Mengapa aku tidak terkejut mereka tahu pakaian dan ukuran apa yang sesuai untuk kami." Gumam si gadis kecil.
Kedua pakaian tersebut berwarna layaknya elemen dari mereka berdua, bahan yang digunakan juga sangatlah sesuai. Bahkan mereka membuat celana dari kulit binatang untuk Amartya, mirip seperti seragam Waraney yang saat itu ia kenakan. Ketahanannya juga cukup kuat untuk gaya bertarung Amartya, walau agak aneh mengingat suku Alam adalah vegetarian mutlak, yang tidak pernah melukai satu hewanpun.
Naema mendapat beberapa gaun dan jubah penyihir yang membantu dirinya mengisi energi sihirnya, sementara Amartya mendapat sekian kemeja dan celana, helaian kain, zirah ringan, serta jaket anti sihir.
Gadis itu juga menemukan sebuah kaos yang amat besar, ia mengira itu pakaian untuk Amartya, tapi ukurannya bahkan tetap terlalu besar untuk pakaian Amartya yang selalu pas. Dengan kebingungan itu, ia lalu membaca sebuah catatan yang ditinggalkan oleh gadis suku Alam tadi untuknya.
"Aku tahu kamu selalu memakai pakaian tebal berhubung kamu warga suku Es, tapi cobalah pakai baju ini ketika di kala santai.
Hanya ini saja, tak perlu pakaian lain, memang tak menutupi sebagian lengan dan kakimu, tetapi ini akan terasa sangat sejuk di badanmu, dan membantumu menghadapi suhu Daratan yang panas.
-Zoastria."
Naema mengangkat dan memandangi kaos itu, terlihat begitu tipis dan amat longgar, tapi cukup besar hingga hampir menyentuh lututnya. Di tengahnya juga tergambar bunga lili salju, bunga yang menjadi lambang suku Es di darat.
"Wah Ibunda benar, ini jelas terlihat sejuk, mungkin aku akan mengenakannya jika Tuan Amartya membawaku ke Maksallatan."
Bunga lili salju sebenarnya melambangkan Naema. Para orang suku Es di Daratan memakainya sebagai tanda pengabdian mereka pada Naema, gadis yang dipilih oleh Sang Pencipta dan putri tunggal kepala suku mereka, menandakan bahwa dialah pusat dari harapan mereka.
Kemudian Naema mengambil 1 set kemeja untuk Amartya serta jaket anti sihir, lalu menyimpan sisanya di dimensi barang-barangnya. Setelah itu dia memberanjakkan dirinya ke dapur, menyalakan kristal api, lalu memasak dan mendinginkan air untuk Amartya membersihkan dirinya. Ia pun menuangkan air itu ke sebuah bak mandi yang terbuat dari kayu hidrofobik, lalu menaruh 4 balok es di sekitar baknya. Setelahnya, ia pergi menyiapkan meja makan.
"Kurasa ini sudah cukup baik, sekarang tinggal memanggil penggunanya."
Setelah selesai dengan semuanya Naema pun pergi membangunkan Amartya. Sayangnya, pemuda itu sedang dalam kondisi yang kurang prima, sehingga ia berakhir amat sulit untuk dibangunkan.
"!!!"
Mengembunglah pipi Naema, kesal akan semua ini. Menyentak-nyentak ia pergi ke dapur lalu mengeruk semangkuk air. Ke dalamnya, di larutkanlah berangsur-angsur garam, kemudian didinginkannya air itu hingga es pun malu oleh kesegarannya.
Kini bersama cairan yang lebih dingin dari es di genggamannya, ia pun kembali ke kamar Amartya.
*Byurrr!*
Dengan ganas, Naema menyiram muka Amartya dengan air itu.
"Mentari!"
Dalam sekejap pemuda itu pun langsung terbangun dalam keadaan terkejut. Nafasnya tersengal-sengal, matanya hampir tak berkedip, dia terus memandangi Naema dengan kedua tangan diangkat setinggi bahunya tanpa bisa berkata-kata.
"Yuk sarapan." Namun si gadis berbalas dengan santainya.
Amartya yang dilanda bingung, kemudian mendidihkan diri dan pakainnya untuk mengeringkan air yang disiram oleh Naema. Dengan langkah yang berat ia lalu berjalan ke dapur bersama muka yang sedikit masam.
"Aku ini mungkin rakyat Api, tapi bukan berarti aku tidak kedinginan terkena air es." Aku bisa mendengar pitam anak itu naik.
"Kalau begitu belajarlah untuk mudah dibangunkan." Aku masih tak percaya Naema berani membalasnya.
Suku Api merupakan suku yang paling tahan menghadapi sihir dari elemen es, sebaliknya suku Es sangat rentan terhadap serangan dari suku Api, hal ini menjadikan Amartya sangat berhati-hati ketika berada di dekat Naema.
Walau begitu Naema termasuk yang paling tidak rentan terhadap api di antara orang-orang suku Es, karena dia pernah memakan sebuah permen api, mahakarya dari Hakan, yang diberikan kepadanya ketika ia kecil. Namun sampai saat ini (masa itu), Naema masih belum tahu kalau permen yang ia makan memiliki efek yang begitu berguna.
Bagai bocah yang merajuk, Amartya menyuap sarapannya, tetapi kali ini ada yang aneh dengan sarapan mereka. Makanan yang Naema hidangkan terlihat dan terasa seperti daging, padahal tidak pernah ada hewan yang diburu di Umanacca.
"Dari mana kamu dapatkan daging ini?" Mata Amartya seketika kembali cerah dipenuhi rasa penasaran.
"Oh, itu bukan daging," Jawab Naema.
"Itu jamur yang telah aku masak sedemikian rupa, sehingga rasanya menyerupai daging."
Pemuda itu sangat kagum dengan apa yang ia makan. Orang suku Api senang berburu dan sering memakan daging, sehingga mereka jarang bereksperimen dengan sayur dan buah-buahan, apalagi jamur.
Selain itu, suku Es memang luar biasa terkenal dengan masakan mereka. Bahkan dari sebelum terpecah, mereka telah membuka begitu banyak bisnis makanan dan cabang restoran yang berletak di berbagai belahan Dunia, baik di Angkasa, Daratan, maupun Lautan.
"Ngomong-ngomong kemarin aku sempat berbicara dengan salah satu gadis suku Alam." Ucap Naema.
"Lalu?"
"Apa mereka semua, Tuan tahu… agak kurang pintar?"
"Mereka itu cuma buah, tumbuhan yang berbentuk manusia, jangan harap mereka memiliki tingkat kecerdasan yang sama dengan manusia seperti kita."
"Lalu Ibunda Zoastria?"
"Kalau beliau manusia. Terlebih lagi kecerdasannya setara dengan para musisi, jadi ia bisa dibilang jauh lebih pintar dari kebanyakan Ilmuan Langit."
"Ah… baiklah kalau begitu, jika Tuan Penguasa sudah selesai, aku sudah siapkan dan dinginkan air untuk Tuan mandi." Naema melanjutkan aktivitasnya.
"Andaikan Tuan Amartya ingin airnya panas, tentu Tuan tahu apa yang harus dilakukan bukan?"
"Dimengerti."
Setelah makan Amartya pun membersihkan dirinya, lalu mengenakan pakaian yang diberikan oleh gadis suku Alam tadi tanpa menanyakan apapun. Mereka berdua kemudian berangkat menuju Pohon Kehidupan untuk sekali lagi menemui Ibunda Ratu.
Di perjalanan Naema teringat akan suatu hal yang penting untuk diberitahukan pada Amartya mengenai bangsa yang kemungkinan akan menjadi lawan mereka.
"Tuan Ama—" Kata Naema.
"Kamu tahu, kamu tak perlu memanggilku Tuan, Naema." Sela Amartya.
"Uhh... kakanda… ada… sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu." Naema terdengar begitu canggung mengucapkannya.
"Oh? Dan apakah itu, adinda?" Sahut Amartya penuh canda.
Naema seketika membatu, dia memalingkan wajahnya tak kuasa menahan rasa malu. Tapi dia berusaha sekuat mungkin untuk tetap fokus dan melawan perasaan tersebut.
"I-itu, mengenai militer dari Ilmuan Langit."
"Ada apa dengan mereka?"
"Tua— kaka— uh... pokoknya! Pasti sadarkan ada yang berbeda antara mereka dengan penduduk Ilmuan Langit lainnya!?" Lihat anak itu hampir meledak kebingungan.
"Jika dipikir-pikir, iya, mereka agak sedikit kurang… *uhuk* cerdas." Bahkan Amartya berusaha menahan tawanya.
"Be... benar, benar! Karena mereka memang tidak diberikan pelajaran yang sama dengan kami... mereka juga...! Tidak melakukan hal-hal yang sama dengan Ilmuan Langit pada se-seutuhnya." Aku bisa merasakan betapa kerasnya ia melawan rasa malu akan ucapannya, dan tetap bersikeras menyampaikan info penting pada Amartya.
"Mereka memang dilahirkan secara masal menggunakan ilmu khusus atau bahasa yang kami berikan, kloning."
"Kloning? Sepertinya aku pernah mendengar hal ini dari orang-orang suku Toksik."
"Intinya! Mereka dibuat mirip dengan cara yang sedimikian rupa, tapi tidak itu saja, mereka juga dilatih khusus untuk hanya menghadapi urusan militer, sehingga terkadang logika mereka agak miring."
"Ah, itu akan jadi suatu keuntungan besar untuk kita."
"Tetapi biasanya mereka dipimpin oleh Ilmuan Langit yang sangatlah pintar dan paham soal strategi perang."
"Hah!?"
Amartya mendadak ngakak mendengar ucapan Naema.
"Mengapa? Ada yang lucu?" Dan si gadis pun bingung karenanya.
"Maaf adinda, tapi tak ada Ilmuan Langit yang 'ahli' dalam strategi perang kecuali Hamsah dan Parjanya."
"Mengapa begitu?"
"Karena aku sendiri yang mengajari keduanya mengenai peperangan, tapi ya… kembali lagi, berarti kita hanya perlu menyingkirkan pemimpinnya bukan?"
"Benar, tapi aku yakin itu bukanlah hal yang mudah."
"Informasimu menarik sekali adinda, keberadaanmu di pihak Penempa Bumi akan sangat membantu kita." Amartya pun dengan senyum girang menepuk-nepuk kepala Naema.
Gadis itu tampak begitu menyesal memanggilnya 'kakanda'. Serius, siapa yang mengajarkan dia kata-kata semacam itu, bahkan aku meringis mengucapkannya, ahahaha.