webnovel

Ardiansyah: Raja dari Neraka

Dunia yang kalian semua kenal telah lama hancur, teman dan keluarga kalian kini entah bertamasya di Surga atau membusuk di Neraka. Namun bagi yang terpilih, Sang Pencipta telah membangunkan Dunia baru untuk mereka yang di dasarkan atas sihir dan sains. Dunia yang diisi oleh tiga bangsa, dengan rumah dan tubuh yang berbeda. Ilmuan cerdas di Angkasa, pengrajin kreatif di Daratan, serta seniman yang bermandikan keindahan di Lautan. Kisah Dunia baru ini terlalu panjang untuk kuceritakan dalam satu kali pertemuan. Jadi untukmu temanku, akan kubagi mereka menjadi beberapa bagian. Part 1: Prologue (Vol 1 & 2) Takdir Amartya untuk menjadi raja atas Bumi ini sudahlah ditetapkan. Demi mengagungkan kelahirannya, Sang Pencipta mengalirkan api neraka di dalam darahnya. Namun hatinya jatuh cacat sebagai bayarannya, dan satu-satunya yang bisa menyempurnakannya hanyalah seorang gadis es, dengan kunci di hatinya. Part 2: A Party of 8 (Vol 3 - 7) Makhluk-makhluk nista datang mencemari Daratan, dan atas nama kemurnian tanah suci ini, Mereka yang Abadi mengumpulkan prajurit-prajurit terbaik dari generasi termuda. Manggala dan rekan-rekannya harus bisa menghadapi tantangan ini, dan menyelamatkan apa yang berhak diselamatkan. Part 3: Throne of the Ocean (Vol 8 - 10) (Warning 18+ only) Perang tiada akhir terus melanda seisi Samudra, yang sudah teramat ganas dari detik dirinya dilahirkan. Gumara yang ditinggalkan keluarganya terpaksa mengemban tanggung jawab untuk bangkit, dan kembali membangun kejayaan itu atas nama sang pembawa ular. Dunia ini dipenuhi aturan yang nista, namun bukan berarti kita harus tenggelam di dalamnya.

PolarMuttaqin · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
413 Chs

Chapter 18: Welcome to Umanacca

Dunia begitu cerah di luar hutan. Di sana tanah menumpuk tinggi, hingga hanya atap dunia yang terlihat dari balik pepohonan. Di depan mereka tak lain adalah sebuah tebing yang teramat tinggi, dan setelah beberapa langkah, mereka kini berdiri di atasnya.

"Wah lihat itu, sepertinya kita datang di jam-jam terbaik Umanacca." Amartya terlebih dahulu keluar dari hutan. Sementara Naema di sisi lain, ia berjalan kian pelan, grogi, terus membayang-bayang apa yang hendak menjamu matanya. Perjalanannya ke dunia luar, akan dimulai dari tempat terindah di muka Bumi.

"Apa yang kamu tunggu, Tuan Putri? Tempat ini seakan sudah memanggil-manggil namamu!" Pemuda itu lekas menarik Naema keluar, dan dipampangkanlah Paru-paru Bumi di hadapannya.

"Demi Angin Dingin..."

Cahaya pun memancar, bersinar kian benderang. Di depan sana terbentang padang lapang ditumbuhi rerumputan putih kemerahan. Bunga-bunga bermekaran bermandikan mentari, ternaungi oleh langit biru bertaburkan awan-awan yang kian menghias tubuh indahnya.

Sungai mengalir sendu, angin berhembus mesra, tanaman tumbuh menari seirama. Burung-burung bernyanyi, hewan-hewan darat bercanda ria, dan para gadis suku Alam bermain dan merawat mereka semua, dengan roman yang berukirkan senyum bersahaja.

Di antara mereka berdiri dengan gagahnya sebuah pohon agung raksasa, dengan dedauan hijau yang bergemerlap kian cerahnya. Begitu mereka berguguran, berubahlah tiap-tiapnya di atas aneka warna, lalu meluap menjadi sebutir cahaya yang terangkat ke Angkasa selekas mencapai tanah.

Di sekeliling pohon itu terdapat dinding tinggi yang dijalari akar-akar tanaman dan bunga-bunga kemerahan, dan di antara mereka terlihat para peri sedang bermain-main, berterbangan, bersantai dengan damai.

Naema kecil terdiam kaku, mulutnya terbuka lebar, pipinya merah merona, matanya berbinar-binar, jantungnya berdebar-debar, badannya terus bergetar dialiri perasaan takjub yang kian memanjakannya.

"Selamat datang di tempat favoritku, Tuan Putri!" Sambutan kecil Amartya yang yang dibumbui senyuman hangat.

Naema memandang Amartya dengan wajah manisnya, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Kenapa?" Amartya memandang bingung pada gadis itu.

Lalu mendadak, terkembanglah sepasang sayap kebiruan dari punggung Naema, terbentang lebar, menutupi langit di atasnya.

Melesat, dan terbanglah dirinya, membubung tinggi di Angkasa, begitu anggun dan mempesona, dengan berhiaskan tawa yang menari di atas wajahnya. Gadis itu memaparkan segala keindahan tepat di mata Amartya.

Sementara si pemuda, ia hanya bisa mematung, terhipnotis oleh pesonanya, wajahnya perlahan sewarna dengan rambutnya dan jantungnya tak ada hentinya berlomba-lomba.

"Perasaan ini… mungkinkah?" Amartya seketika tersadar dan menaruh tangannya di dada, lekas merasakan detak jantungnya yang tak kunjung reda.

"Aku tak menyangka kata-kata buku itu soal jantungku akan berhenti sejenak lalu berlomba-lomba ternyata benar, deskripsi yang tertulis di sana begitu menyeramkan."

"Lalu mengapa... tubuh ini... terasa begitu nyaman...?"

"Ahahaha..." Amartya tertawa canggung.

"Aku bisa melihat diriku kelak mencandukan perasaan ini di masa mendatang."

*

Di sisi lain Naema tengah berdansa di atas pepohonan merah muda, berhiaskan kelopak dan dedaunan yang berguguran. Begitu lembutnya mereka terasa ketika bersentuhan dengan kulitnya. Naema terus terbang menuju perkebunan suku Alam, menikmati semerbak aroma bebuahan beserta puspa yang bermekaran. Hewan-hewan menyuarainya, dan para gadis melambai kepadanya.

Dirinya lalu melandai di atas perairan pantai, mencelupkan jemarinya dan mengelus lautan yang jauh lebih hangat ketimbang air beku di Tarauntalo. Ikan-ikan pun terpanggil dan mulai berlompatan, beberapa bahkan ikut terbang bersamanya.

Tawa kecil berlarian dari mulut gadis itu, ia menantang penghuni lautan untuk terbang lebih tinggi, hingga dirinya melesat liar ke Angkasa.

Di sana ia disambut oleh burung-burung yang berterbangan, kian elegan dan rupawan, menari-nari mengelilingi badan kecilnya, diiringi nyanyian merdu yang memanjakan telinga. Beberapa dari mereka luar biasa besar bagai raksasa, dengan kepakan sayap yang teramat pelan lagi gagah. Salah satu dari mereka memandang Naema dan bahkan mengajaknya naik ke punggungnya.

*

Sementara itu di bawah sana, Amartya bertemu dengan seorang gadis suku Alam yang tengah bermain dengan seluling bambunya.

"Hey Tiara, lama tak jumpa." Sapa si pemuda.

"Eh kang Amartya, aya naon ieu teh, nak kamari?" Gadis itu menjawab dengan logat Alamnya yang masih amat kental.

"Dengar... (sial, mereka masih saja tak bicara benar.)" Amartya tampak sedikit resah mendengarnya.

"Bisakah kamu membantuku?"

"Boleh, aku juga teu aya gawean…"

"Emangnya kapan pemalas kayak kamu ada kerjaan?"

*

Di Angkasa, Naema sedang riangnya duduk di atas punggung raksasa angkasa, menikmati pemandangan Umanacca dari naungan awan. Dari sana ia melihat Amartya tengah melambai kepadanya dari atas seekor hewan agung yang di kendarai seorang gadis dengan seluling bambu.

Melihat panggilan itu, dirinya pun turun untuk menghampiri si pemuda. Aku juga sulit tuk percaya, tapi pandangan mereka berdua pasti sangat tajam untuk bisa melihat sebegitu jauhnya.

"Selamat datang kembali di Daratan, Tuan Putri." Amartya menarik tangannya pelan-pelan, menuntunnya bersantai di panggung hewan besar itu.

"Duduklah di sampingku, kita nikmati pertunjukan ini bersama." 

Naema pun menurut dan memposisikan diri tuk duduk manis di sampingnya, akan tetapi Amartya tiba-tiba saja langsung menarik bahunya dan merangkul pundaknya.

Sungguh terkejut gadis itu, wajahnya serasa kian melepuh, walau ia berusaha untuk tetap tenang dan menyembunyikan sayapnya demi memudahkan lengan Amartya.

"Kukira teh, kang Amartya teu bisa jatuh cinta?" Tiara bertanya dari kemudinya.

"Entahlah, mungkin aku akhirnya menemukan obat untuk kutukan sial ini." Jawab Amartya.

"Xixixi aya-aya wae..." Tiara tertawa kecil.

"Baiklah Tuan dan Nona, selamat menikmati pertunjukannya!"

Gadis berambut putih itu kemudian mendirikan badannya, dan lekas memainkan seluling bambu di atas bibirnya. Seluruh hewan yang mendengarkan alunannya serentak terpanggil dan berbondong-bondong mendatangi mereka.

Berlarianlah para binatang, berlomba-lomba melewati Naema, mempertontonkan arti keliaran yang harmonis, bersuara andaikan seisi hutan tengah menembang ria. Amartya lalu menuntun tangan Naema tuk mengelus beberapa dari mereka, sungguh betapa bahagianya gadis kecil kita.

Burung-burung melayang-layang di atas sana, menaburi Angkasa dengan kelopak bunga yang berpancarona, menghias pandangan Naema dengan keelokan mereka.

Para gajah kini berbaris membentuk jalan, dan dengan kompaknya meniupkan melodi gagah dengan belalai panjang mereka. Sementara para binatang bersayap bernyanyi, mensyairkan rayuan pulau Selebes.

Dengan suara lantang Tiara kemudian bersorak pada kedua tamunya,

"Selamat datang, di Umanacca!"