webnovel

Ardiansyah: Raja dari Neraka

Dunia yang kalian semua kenal telah lama hancur, teman dan keluarga kalian kini entah bertamasya di Surga atau membusuk di Neraka. Namun bagi yang terpilih, Sang Pencipta telah membangunkan Dunia baru untuk mereka yang di dasarkan atas sihir dan sains. Dunia yang diisi oleh tiga bangsa, dengan rumah dan tubuh yang berbeda. Ilmuan cerdas di Angkasa, pengrajin kreatif di Daratan, serta seniman yang bermandikan keindahan di Lautan. Kisah Dunia baru ini terlalu panjang untuk kuceritakan dalam satu kali pertemuan. Jadi untukmu temanku, akan kubagi mereka menjadi beberapa bagian. Part 1: Prologue (Vol 1 & 2) Takdir Amartya untuk menjadi raja atas Bumi ini sudahlah ditetapkan. Demi mengagungkan kelahirannya, Sang Pencipta mengalirkan api neraka di dalam darahnya. Namun hatinya jatuh cacat sebagai bayarannya, dan satu-satunya yang bisa menyempurnakannya hanyalah seorang gadis es, dengan kunci di hatinya. Part 2: A Party of 8 (Vol 3 - 7) Makhluk-makhluk nista datang mencemari Daratan, dan atas nama kemurnian tanah suci ini, Mereka yang Abadi mengumpulkan prajurit-prajurit terbaik dari generasi termuda. Manggala dan rekan-rekannya harus bisa menghadapi tantangan ini, dan menyelamatkan apa yang berhak diselamatkan. Part 3: Throne of the Ocean (Vol 8 - 10) (Warning 18+ only) Perang tiada akhir terus melanda seisi Samudra, yang sudah teramat ganas dari detik dirinya dilahirkan. Gumara yang ditinggalkan keluarganya terpaksa mengemban tanggung jawab untuk bangkit, dan kembali membangun kejayaan itu atas nama sang pembawa ular. Dunia ini dipenuhi aturan yang nista, namun bukan berarti kita harus tenggelam di dalamnya.

PolarMuttaqin · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
413 Chs

Chapter 17: Into the Fairy Forest

"Selamat pagi, Tuan Amartya." Seorang Waraney memberikan penghormatan, seraya menyambut kedatangan mereka di depan gerbang menuju Umanacca.

"Ah, selamat pagi pak." Jawab Amartya membalas penghormatannya.

"Sedang dalam pelarian?" Senyum hangat si Waraney.

Naema sebenarnya sudah beberapa kali bertemu dengan Waraney perbatasan, baik itu perbatasan Tarauntalo-Umanacca (provinsi Alam) ataupun Tarauntalo-Mitralhassa (provinsi Tanah). Melihat raut wajah Waraney itu, ia mulai bertanya apakah memang sudah karakteristik suku Api untuk memancarkan kehangatan? Ataukah ada alasan lain?

"Bisa dibilang. Kalian sudah dengar soal situasi Afaarit?"

"Belum, Tuan." Raut pria itu sekilas muram, tapi kemudian, ia kembali tersenyum. "Mereka terkena serangan juga?"

"Ya, tapi aku yakin ayah bisa mengurus situasi dengan mudah."

"Tunggu, kalian tahu desa kami terkena serang, mengapa kalian masih di sini!?" Naema kaget mendengar si Waraney berbicara dengan santai soal situasi penyerangan. Ia selalu mempelajari bahwa para Waraney di Tarauntalo bertugas untuk menjaga suku Es dari serangan luar. Melihat mereka tahu akan keadaan di desa, dan masih berdiam di sana, cukup membuatnya kecewa.

"Mohon maaf Tuan Putri Salju, tetapi tugas utama kami adalah menjaga perbatasan, sebagai satuan militer, kami tak akan bergerak tanpa adanya perintah dari yang berwenang." Pria itu membungkukkan badannya hingga sejajar tinggi Naema.

"Ta—Tapi!?" Naema memajukan dirinya dengan wajah matang.

"Tenang, Tuan Putri, aku akan memberikan perintah pada mereka untuk membantu desamu, sekarang kita fokus pada urusan kita." Tangan Amartya menahan Naema, berusaha menenangkannya.

"Uhh... iya... benar... tentu... terima kasih..."

Setelah melewati dinding Waraney, di hadapan mereka berdiri pepohonan tinggi yang mencakar Angkasa, pelindung perbatasan Umanacca. Walau gadis kecil kita sedikit terintimidasi, keduanya melanjutkan berjalan ke arah pepohonan tersebut.

Dari pilar-pilar raksasa itu lalu keluarlah dua manusia pohon setinggi menara, yang mungkin setara dengan 6 kali lipat Amartya pada masa itu. Salah satu dari mereka membungkuk dan mengulurkan dahannya, kepada Naema.

"Hah!?"

Naema yang kebingungan mengalihkan pandangannya kepada Amartya.

"Taruh tanganmu pada dahan itu, dengan begitu berita kedatanganmu akan terkirim pada sang Ratu Hutan Peri."

Walau sedikit ragu, Naema pun mendekatkan tangannya pada batang kayu tersebut. Secara perlahan, dengan gemetar, dan akhirnya memegangnya dengan telapak tangannya.

Garis-garis biru seketika terlukis di seluruh batang dan tangkai si manusia pohon, membuat pola dan aksara suku Alam, yang kemudian memancarkan cahaya benderang darinya.

*Grrrhh* *Grrrkkk*

Tak lama setelah itu, pepohonan yang berada di depan mereka pun bergeser bersama akar-akar mereka, membukakan jalan bagi Amartya dan Naema. Sekali lagi kedua manusia pohon pun turut mundur, dan menyatu kembali dengan pepohonan lainnya.

"Ah bagus, Ibunda Ratu memberi kita izin."

"Mari Tuan Putri, kita lekas temui beliau." Amartya pun berjalan ke depan, hendak masuk ke dalam hutan Umanacca.

Akan tetapi Naema masih terdiam di sana, mematung, memandangi pepohonan tinggi dan redupnya hutan yang terbentang di hadapannya.

Amartya lalu menghentikan langkahnya dan bertanya, "Ada apa?"

"Ah tidak, hanya saja... ini pertama kalinya aku akan menginjakkan kakiku ke luar wilayah Dataran Beku."

"Tak perlu ragu, bukankah berjalan ke dalam akan memuaskan rasa penasaranmu?"

"Iya... tapi—"

Belum sempat Naema selesai bicara, Amartya mendekat ke arahnya dan mengulurkan lengannya.

"Peganglah tanganku! Mungkin hangatnya api akan mampu menenangkan jiwamu."

Wajah Naema seakan terbakar mendengarnya. Ia tampak teramat bimbang ketika hendak menggapai Amartya. Jiwa perawannya masih terlalu malu untuk bersikap sedemikian dekat dengan pemuda api itu, sementara Amartya dengan kecacatan hatinya, tak memiliki sedikitpun keraguan.

Akan tetapi Naema adalah anak penurut, pelatihannya bertahun-tahun menjadikannya tak mampu menolak apapun permintaan Amartya. Meski jantungnya menjadi tidak karuan, ia tetap menggapai tangan yang tersaji didepannya.

*Klink*

Terdengar kelenting kristal memasuki telinga gadis itu. Waktu seketika terasa berhenti, seisi dunia menjadi tampak begitu buram. Akan tetapi matanya mampu terfokus pada suatu cahaya yang melayang-layang di hadapannya. Seekor kupu-kupu api terbang dengan perlahan, dan menarik segala perhatiannya.

Akan tetapi, tiba-tiba saja hewan itu menghilang setelah melewati tubuh Amartya, dan ia bisa kembali merasakan waktu berjalan.

"Hah?" Naema bingung apa yang baru saja terjadi.

"Bagaimana Tuan Putri? Sudah merasa tenang?" Amartya tersenyum dengan segala kehangatan yang memancar dari dirinya.

Naema terdiam, seisi tubuhnya menjadi kian nyaman, tenang dan tentram. Pikirannya tiba-tiba menjadi jernih begitu saja, walau ia masih tak mengerti apa yang tengah terjadi.

"Kalau begitu mari, ada baiknya kita segera menemui sang Ratu."

Naema dan Amartya akhirnya kembali bergerak memasuki Hutan Peri, berjalan di sela-sela tumbuhan gemilang yang senantiasa melambaikan dahannya. Di dalam batang-batang mereka terdapat cahaya-cahaya hijau yang berterbangan, menari-nari di antara pohon dan bunga yang bermekaran.

Mereka adalah para peri hutan, mereka yang menjaga dan merawat seluruh flora, termasuk gadis suku Alam di daerah Umanacca. Jumlah mereka sangat banyak dan tiap pohon ditinggali ratusan dari mereka, atas alasan itulah mengapa hutan di Umanacca sering juga dikenali sebagai Hutan Peri, dari sanalah julukan ratu di sini turut berasal.

"Whoa..."

Naema tak kuasa terpana dengan pemandangan yang dilihatnya, selama ini semua pohon dan bunga yang ia lihat selalu berwarna biru atau sian, dan diselimuti oleh salju. Namun di Umanacca semua tumbuhan tampak hidup, indah dan dipenuhi warna. Keanekaragaman ini disebabkan oleh kehadiran Pohon Kehidupan yang menjaga warna asli mereka, serta elemen suku Alam yang membuat sebagian dari mereka putih dan merah muda.

Walau kenyataannya, beberapa dari pohon di sini memang 'hidup' dan dapat berpindah tempat, ataupun bahkan berwujud layaknya binatang. Mereka merupakan pohon-pohon tua yang telah melayani Pohon Kehidupan selama ribuan tahun lamanya, hanya saja mereka tidak ikut berreinkarnasi bersamanya, dan bisa mati kapan saja.

"Hihihihi..."

Para peri datang berterbangan mengitari Naema, dengan gemerlap sayap-sayap yang bersinar menarik hati. Gadis itu tak mampu untuk melawan, ia membiarkan dirinya terhipnotis ke dalam pesona mereka. Perlahan-lahan ia mulai menari, berputar-putar bersama para peri, mengeluarkan tawa-tawa kecil nan merdu dari sela-sela bibir manisnya.

"Bagaimana pengalamanmu keluar dari Dataran Beku? Cukup menyenangkan, Tuan Putri?" Tanya Amartya.

Naema seketika menghentikan tariannya. Dia lalu berputar ke Amartya, dengan kedua tangannya terayun-ayun di belakang punggungnya. Gadis itu memiringkan kepala, beriring senyuman terlebar yang pernah ia pasang. Ia seakan termabukkan oleh kegembiraan.

"Ngomong-ngomong aku belum menanyakan namamu, walau ya… aku tahu, tapi kita belum pernah berkenalan sebelumnya." Ujar Amartya.

"Bolehkah aku mendengarnya sendiri darimu?"

"Naema," jawab si gadis. "Naema Himesh, kalau Tuan Penguasa?"

"Amartya, Amartya Vasurha" balas pemuda itu.

"Naema ya, aku bisa melihat cerminan jelas dari namamu."

Mendengarnya sang nona tertunduk diam, mengelus-elus rambut seraya memalingkan wajah merahnya dari pandangan Amartya.

"Bagaimana kalau kita lanjutkan pembicaraan kita sambil berjalan keluar dari hutan ini?" Saran si pemuda.

Naema mengangguk, keduanya pun kembali berjalan berdampingan menuju arah datangnya cahaya, dengan diiringi para peri yang berterbangan mengikuti mereka.

"Ah, iya. Mengingat pertarungan tadi, ada hal yang ingin aku tanyakan mengenai sihir Ilmuan Langit."

"Hmm?" Naema mencondongkan kepalanya ke arah Amartya.

"Mengapa kalian sering kali mengucapkan beberapa kalimat ketika menggunakan sihir?"

"Oh itu, Tuan Amartya punya kan, Bayangkara? Mahluk spiritual yang menjaga kesetimbangan elemen kalian?" tanya Naema.

"Tentu, kami menyebutnya si Jago Merah," jawab Amartya.

"Dia mirip seekor singa dan sangat, sangatlah kuat."

"Apakah beliau memberikan syarat tertentu untuk menggunakan kekuatan tingkat tinggi?".

"Tentu, kami harus membuktikan keahlian kami dalam berburu mangsa, mungkin karena dia singa, dia jadi ingin kami juga ahli berburu."

"Setelah Tuan Amartya bisa memburu, lalu apa yang terjadi?" Gadis itu kembali bertanya.

"Kekuatan yang bisa kami keluarkan semakin besar, dan kami akan semakin dihormati."

"Untuk selamanya!?" Naema tersentak.

"Bisa dibilang. Kalau kami ingin kekuatan lebih, kami harus menunggu setidaknya 365 hari untuk perburuan resmi selanjutnya."

"Dan jika kalian gagal?"

"Aku tak yakin itu bisa terjadi, tak ada batasan waktu." Jawab Amartya. "Untuk 3 tingkatan atas terdapat rusa jantan, singa, dan yang tertinggi buaya."

"Tuan Amartya sudah sampai mana?"

"Aku beberapa hari lalu telah berhasil membunuh seekor rusa jantan, dan seekor rusa betina bersamanya. Namun hanya rusa jantan saja yang ku persembahkan sebagai ritual tahun ini, sementara rusa betina kujadikan hidangan untuk orang-orang suku."

"Ah aku mengerti, kalau Ilmuan Langit agak sedikit berbeda." Naema lekas bermain dengan jemarinya.

"Berbeda bagaimana?" Amartya pun menoleh penasaran.

"Kami juga perlu menyelesaikan ujian untuk menaikkan peringkat, hanya saja ujian ini dalam bentuk praktik sihir dan tes tertulis." Naema lalu melayangkan kesembilang simbol peringkat penyihir dengan sihir esnya.

"Dan tidak seperti suku Api, kami harus minta izin tiap kali ingin menggunakan kekuatan besar."

"Terdengar merepotkan." Komentar si pemuda.

"Izin ini biasanya dalam bentuk mantra. Para Bayangkara kami tidak peduli dengan motif apapun yang kita miliki dari menggunakan sihir." Jelas Naema.

"Tapi mereka suka ketika kami menyuarakan seni yang menjadi favorit mereka."

"Puisi lainnya?" Tebak Amartya.

"Tepat, layaknya syair, gurindam, karmina dan sebagainya." Lanjut Naema.

"Semakin menarik dan panjang suatu puisi, semakin mereka mengizinkan kita memakai suatu sihir."

"Ah begitu, kami sebenarnya juga menggunakan puisi untuk menggunakan keterampilan satu tingkat di atas peringkat kami." Ucap Amartya.

"Tunggu, suku Api bisa melakukan itu? Bukankah itu berarti seorang Magistra mampu menggunakan seni Profisa?" Naema mengerjap kaget mendengarnya.

"Tepat. Akan tetapi syarat untuk melakukannya tidak mudah, tubuh dari Magistra itu memang sudah harus sekuat Profisa agar syaratnya bisa terpenuhi, jadi anggap saja yang mampu melakukan itu hanyalah Profisa yang belum lulus ujian kenaikan tingkat karena masalah administrasi."

"S-Sepertinya sistem si Jago Merah cukup rumit." Keringat mengalir pelan dari kening gadis itu.

"Ngomong-ngomong adakah penyihir yang tidak perlu membaca puisi ketika menggunakan sihir?" Amartya melompat kembali ke topiknya.

"Tentu ada. Semakin tinggi peringkat kami sebagai penyihir, maka kami mampu menggunakan sihir 2 tingkat di bawah kami tanpa izin, namun para Profisa yang begitu kuat hanya perlu meminta izin dari Bayangkara ketika menggunakan sihir setingkat mereka."

"Bagaimana dengan mereka yang sekuat Profisa tapi tidak memiliki gelar Profisa?"

"Sayangnya tidak ada yang bisa sekuat Profisa, Tuan Amartya. Sekali mendapat gelar itu, kekuatan mereka akan meningkat berkali-kali lipat." Ucapan Amartya sebelumnya terdengar cukup aneh bagi Naema.

"Bagaimana dengan Verslinder dan DiVarri?" Tanya Amartya.

"Maksud Tuan Penguasa?" Naema berbalik bertanya.

"DiVarri adalah Profisa suku Kegelapan, tetapi Verslinder jauh lebih kuat darinya (dalam hal daya rusak tentunya)."

"Aku tidak mengerti soal Profisa di Daratan dan Lautan, namun suku Kegelapan dan Cahaya di bawah sini tidak memantrai sihir mereka seperti kami. Setiap syair yang mereka ucapkan, setiap bunyi yang mereka keluarkan, setiap nada yang mereka lantunkan, semuanya merupakan keterampilan dengan kekuatan yang begitu dasyat. Sekiranya itu yang kudengar." Naema mengelus telinganya.

"Ah, iya! Ngomong-ngomong, Tuan Penguasa. Apakah suku Api memiliki seorang Profisa?"

"Tidak, kami bukanlah kaum penyihir yang hanya butuh energi sihir yang cukup dan tes kecil dari Bayangkara." Jawab Amartya. "Jadi, ya... entahlah. Ayah juga sepertinya tak tertarik untuk mengejarnya."

"Bicara soal penyihir, kami masih menggunakan sihir api untuk banyak hal tentunya, namun untuk berperang, kami lebih cenderung menggunakan kekuatan fisik, terkecuali gadis-gadis Phoenix Waraney yang menghasilkan sihir dari senjata mereka."

"Lalu tembakan dari senapan tadi, bukankah itu sihir?"

"Bukan, mereka tertera sebagai Seni Api," jelas Amartya. "Seni Api memberikan kerusakan secara fisik bukan magis, dan berbeda lagi dengan Teknik Api, gerakan dan keindahan api yang dihasilkan turut berpengaruh ke daya rusaknya."

Mereka terlalu sibuk berbincang hingga tanpa disadari, mereka sudah sampai di pintu hutan. Di mana matahari sudah hadir bergemilangkan sinar dan peri-peri kecil pun kembali berterbangan ke dalam hutan mereka.

"Terima kasih telah memandu kami!"

Keduanya mengucapkan selamat tinggal dan keluar dari pepohonan.

Kalau ada yang nanya kenapa Naema yang sudah tingkat 8 (Magistra) masih make puisi buat gunain sihir tingkat 5, itu karena puisi punya banyak fungsi versatile, salah satunya buat naikin intensitas keterampilan yang digunain.

makannya dinding Fortia Warr nya si Naema tinggi.

*Phoenix Waraney: Pasukan elite perempuan suku Api yang dianugrahi burung Phoenix, hingga di punggungnya tumbuh sepasang sayap api. Mereka bersenjatakan meriam tangan yang menembakkan sihir api dan terkenal akan kemampuan api mereka yang mampu menyembuhkan rekannya

PolarMuttaqincreators' thoughts