"Apa-apaan nih? Tegang amat," Amartya tersenyum, seakan hendak tertawa.
"Santai aja, ayo duduk semua."
Para Waraney tampak buntu, menatap satu sama lain. Mengapa di situasi genting seperti ini panglima mereka meminta mereka untuk santai? Namun perlahan mereka mulai duduk, berusaha menyantaikan diri tapi tetap terlihat sopan, dan masih terfokus pada Amartya.
"Cie perang pertama nih ye." Tiba-tiba Amartya menyeletuk dengan nada yang menggoda, memecah ketegangan yang ada.
*Hhh!*
Beberapa Waraney tak kuasa mengeluarkan tawa kecil.
"Kita semua tahu aku sudah bersama dengan kalian semua semenjak kalian masih seorang Sawang (calon Waraney) yang belajar dan berteman bersama semenjak kecil di Papendangan (sekolah Waraney), kini kalian sudah menjadi Waraney menggantikan generasi sebelum kalian!" Lihat betapa bangganya pemuda itu, senyum yang cerah terukir jelas di wajahnya.
Para Waraney masih tampil fokus, namun kini raut mereka mulai dihiasi senyuman dengan kebanggaan mengalir pada diri mereka. Tentu saja mereka menanti momen kelulusan seumur hidup mereka, dan pertempuran seperti ini adalah langkah awal mereka untuk menjadi seorang Waraney sejati.
"Hari ini adalah pertama kalinya kalian akan terjun langsung ke medan perang, melawan pasukan Langit bahkan mungkin juga pasukan Samudra tanpa ada pengalaman lapangan sama sekali, tapi kalian sudah berlatih dengan giat dan sungguh-sungguh, simulasi ke simulasi kalian ikuti, aku yakin kalian akan menjadi Waraney yang jauh lebih hebat ketimbang para pendahulu kalian." Lanjut Amartya, berjalan ke sana-kemari, demi menjaga pandangan pasukannya agar tidak statis.
"Sebagai seseorang yang lahir lebih dulu dari para Waraney, aku mungkin tampil layaknya sosok seorang kakak di mata kalian, tentu saja tak ada yang salah dengan itu, aku telah mengawasi kalian sejak kecil, bermain dengan kalian, berlatih dengan kalian, belajar dengan kalian, bersama, layaknya... keluarga."
Kecerahan mulai tampak di wajah para Waraney. Segala kekakuan pada tubuh mereka seakan diangkat, membuat mereka merasa nyaman di tempat yang sebentar lagi akan dipenuhi peluru dan sihir. Sebagai anak-anak yang hanya bersama dengan ibu mereka di masa penyusuan, tentu saja para Waraney kurang merasakan yang namanya keluarga sesungguhnya. Namun keluarga utama selalu mengurus mereka sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di Papendangan. Orang tua kepala suku, Hakan dan istrinya senantiasa memberi mereka kasih sayang di tengah kedisiplinan hidup militer mereka, begitu pula dengan Amartya. Tentu saja mereka memandang tinggi pada Tona'as mereka.
"Sebagai Waraney tentu kalian menanyakan arti keluarga seumur hidup kalian, merekalah sosok yang mendampingi hari-hari kalian, sosok yang bercanda ria dengan kalian, sosok yang mendoakan mimpi indah saat kalian tertidur, sosok yang menyimpan rasa rindu saat kalian pergi dan sosok yang menanti dengan penuh kerinduan saat kalian kembali."
"Genka, akan selalu menjadi keluarga kalian, maka dari itu berperanglah demi suku ini, dan pastikan kalian kembali dengan selamat untuk mengisi kerinduan hati diri mereka yang terus-menerus mendoakan nama kalian."
Mereka memandang Amartya, terhiasi dengan mata yang berkaca-kaca, seakan ingin berdiri dan mendapatkan pelukan hangat darinya. Sosok yang selalu mereka hormati sejak kecil, kini berdiri di hadapan mereka, dengan jubah api yang bergejolak, untuk menyelimuti tiap langkah mereka. Mereka bangga padanya, layaknya dia bangga pada mereka.
"Hari ini! Kita akan buat Angkasa membara hingga merona wajahnya!"
Seketika suara Amartya menggelegar, api semangatnya membara panas di udara, melahap tiap uap yang berlayangan di antaranya. Suara seraknya yang melantang, terdengar begitu jelas, hingga terasa percikan api berceceran di telinga mereka.
"Kita kan agungkan nama Mentari bersama ribuan sangsaka merah berkibar di bawahnya, biarlah ia menjadi saksi putra-putrinya yang membawa api abadi dalam jiwa-jiwa mereka."
"Sungguh hanya dua tujuan terlahirnya seorang Waraney, hidup mulia bersama Mentari! Atau mati membawa hormat di bawah bendera merah!"
"MENARILAH DALAM AMARAH!" Seru Amartya.
"GENKA!" Sorak para Waraney.
"WARANEEEY!!!"
"I YAYAT U SANTI!"
***
Di sisi lain pasukan Langit telah bergerak menuju Daratan. Mereka mengirimkan para klon terlebih dahulu untuk memeriksa keamanan pendaratan mereka. Tentu saja orang-orang Langit mengakui kemampuan memprediksi Hakan dan mungkin Amartya juga. Tapi mereka sama sekali tidak mencurigai Raja Magnet (aku), di situlah letak kesalahan mereka.
Dari awan mulai bermunculan sayap-sayap yang terbentang. Para klon perlahan turun mendekati Daratan untuk lekas mendarat di Asimi. Mereka tidak terlalu curiga melihat para penduduk masih menjalankan keseharian mereka seperti biasanya. Tentu saja para klon itu bodoh, mereka tahu apa?
Begitu sudah banyak klon yang terlihat... Daratan seketika dipenuhi cahaya jingga.
*Darr!! Darr!! Darr!!!*
Ribuan peluru pun melesat menembus tubuh dan sayap mereka, darah berceceran ke mana-mana, tubuh dan tongkat mereka berjatuhan menghujani Daratan. Para Waraney menyerang tanpa peringatan, langit menjadi kian merah dilalui garis-garis oranye dari peluru dan api. Di tengah kepanikan, mereka berbondong membuat perisai sihir untuk melindungi diri, sayangnya peluru baru para Waraney didesain untuk menembus energi sihir. Akan butuh sihir yang sangat kuat untuk melindungi mereka dari api-api yang melesat.
Pasukan Langit mulai melemparkan serangan balasan, dan hal yang sama seperti saat di Afaarit pun terjadi. Para Waraney menggunakan lempengan logam tahan sihir untuk melindungi diri mereka, misil-misil sihir yang terlontarkan hanya dapat menyentuh tanah dan lempengan logam itu, bahkan sengatan listrik pun tak mempengaruhi para Waraney, mengingat ketahanan mereka juga cukup tinggi terhadap listrik, dan di belakang baja itu telah tertempel isolator dari keramik.
Begitu ingin menembak, terdapat pintu kecil untuk memasukkan senapan mereka. Tak seperti Genka biasa, Waraney memiliki bidikan yang sangat akurat, bahkan ketika pandangan mereka tertutupi lempengan logam yang hitam pekat. Angkasa pun diubah menjadi jalur api bagi peluru-peluru untuk terbang dan melesat, membakar mangsa mereka.
Meski begitu, pasukan Langit tidak menghentikan pendaratan mereka, melainkan memilih untuk mengorbankan para klon agar penyihir lain bisa mendarat. Hingga salah seorang Magistra akhirnya turun dan membuat perlindungan kolosal bagi rekan-rekannya.
Perisai itu cukup kuat untuk menahan peluru-peluru api Waraney, tapi tidak untuk waktu yang lama melihat begitu banyaknya peluru yang terus membenturnya. Kini pasukan Langit dengan segala keterpaksaannya, mengirim sekutu mereka untuk membantu membersihkan tempat mereka mendarat.
"Ah dugaanku benar soal ikan-ikan itu." Ucap Amartya, seraya memandang pantai di bawahnya.
Pasukan Samudra muncul dan berlari ke arah barisan Waraney. Beberapa dari Waraney pun mengganti target mereka ke pasukan Samudra, namun seperti biasa jumlah mereka terlalu banyak, dan mereka kian ramai melempari para Waraney dengan lembing dan sihir mereka. Sementara di Angkasa jumlah pasukan Langit juga semakin menumpuk.
"Kurasa ini cukup baik."
Amartya memerintahkan para Waraney untuk mundur, dan kembali ke benteng Sfyra. Melihatnya, pasukan Langit menembakkan sihir-sihir mereka untuk menghentikan upaya kabur para Waraney, akan tetapi Naema segera menahan usaha mereka.
[Sihir Es]
[Tingkat 5 Ekstensi]
"(Tembok Tahanan Es)"
"Fortia Rantisfui!"
Dari dinginnya udara, ratusan rantai es terbentuk saling melilit satu sama lain membuat tembok yang panjang dan lebar. Dinginnya rantai-rantai es itu dapat terlihat jelas dari uap putih yang senantiasa dipancarkannya. Warna sian yang kian bening menggambarkan kemurnian es itu dengan indahnya, sebagaimana tiap sihir yang dibentuk Naema.
Misil-misil sihir tak cukup kuat untuk mematahkannya, namun mengingat mereka hanya rantai, beberapa percikan berhasil masuk dan menggores sebagian Waraney yang tengah mundur.
Melihat tembok yang dibentuk Naema, Amartya mendadak menghentikan langkahnya. Debu dari tanah yang tergesek kakinya, mengebul kian pekat, memenuhi tempatnya berpijak. Dari samping dirinya, dua cahaya merah pun muncul, kian agung dan benderang.
"Melantang!"
"Menggelegar!"
"Atas kuasa api!"
"Dengarlah titahku ini!"
Kedua cahaya itu pun seketika membentuk dua sianga api dengan rambut merah yang berkibar-kibar. Mata mereka menyala kian panas, bersama asap yang melayang-layang dari uap yang terbakar. Kini bersama dengan Amartya, tiap singa itu membuka mulut mereka selebar mungkin.
[Sihir Api]
[Tinkat 7]
Tiap uap yang berterbangan tertarik masuk ke mulut mereka. Cahaya merahpun terbit, panas kian teriknya, memenuhi mulut yang terbuka itu seakan mentari akan termuntahkan darinya.
"(Auman Raja Singa!)"
"Genleon Wakiak!"
*RAAAAAAAAWRRRR!!!*
Auman lantang mengisi hampanya udara. Suara yang menggelegar begitu dasyatnya membuat pening siapapun yang berada di hadapan arah datangnya suara. Tekanan yang ia lontarkan begitu kencang hingga hampir memangkas rerumputan dan dedaunan yang terjebak di jalurnya. Tiap oksigen yang ada di udara terbakar habis, mengubah pandangan di sana menjadi ruangan api selama detik suara itu menggema.
Pasukan Langit yang kian mendarat bisa merasakan kesulitan mereka untuk bernafas. Beruntung bagi mereka, seorang Magistra Wongali (suku angin) sudah berhasil turun dari portal, dan menarik oksigen dari udara yang tidak terbakar ke arah mereka. Namun ketika mereka kira, hanya api itu yang datang, kilauan cahaya pun kian menyilaukan mata mereka.
Ratusan rantai es terlempar ke arah pasukan Langit dengan kecepatan yang mengerikan. Para penyihir mampu menghindarinya, namun para klon kian terlilit rantai-rantai es itu dengan begitu eratnya, dan kini tertarik jatuh ke lautan.
Tentu saja ini bukanlah masalah yang besar, semenjak para peri laut ada di sana untuk membebaskan mereka. Akan tetapi hal ini cukup menghentikan langkah pasukan Langit untuk mengejar para Waraney yang telah berhasil kabur dari gapaian mereka.
***
Banyak dari Waraney yang terluka namun jumlah mereka tetap 999, dan bagi mereka mempertahankan angka suci ini adalah sebuah keharusan. Sesampainya di Sfyra, para Sarma serentak langsung mengobati luka-luka mereka, dan sungguh tak ada yang mengobati lebih cepat ketimbang sihir dari keturunan langsung Pohon Kehidupan!
Perang hari ini pun berakhir. Ilmuan Langit mengambil alih desa Asimi, dengan penduduk di sana banyak yang berhasil melarikan diri. Namun, banyak pula yang berakhir diburu oleh pasukan Samudra. Amartya sudah memperingatkan mereka, baginya itu salah mereka karena tidak menghiraukannya, walau ia tetap merasa bertanggung jawab sebagai orang yang akan memimpin Daratan suatu hari nanti.
Para penduduk yang selamat mengungsi di desa lain, tambang, dan beberapa ada pula yang datang ke Sfyra untuk perlindungan. Tentu saja Amartya mengizinkan mereka masuk selama mereka tidak mengganggunya.
Malam itu para Dubalang berjaga di sekitar dinding Sfyra, mengawasi setiap pergerakan yang terlihat oleh mata, dan terasa oleh raga. Sementara para Dara berkeliaran di luar benteng, memangsa siapapun yang mencurigakan. Sekarang hanya menunggu waktu hingga pasukan Langit menyerang Sfyra. Dan aku sangat yakin, pasukan Langit cukup naif untuk menyerang terlebih dahulu.