webnovel

Ar-Rahman

Dia Qorfath. Anak remaja laki-laki berambut acak-acakkan dari sekolah 'SMK DUA SAUDARA 05'. Naksir cewek beda kelas, namanya Lidya Salsabila. Dia cantik, dan dia akan pindah sekolah demi masuk ke pondok pesantren 'Al-Mubin Akbar - Jombang'. Sebelum mengetahui kabar kepindahan Lidya, Qorfath memberanikan diri untuk menembaknya didepan umum - ditengah lapangan sekolah kala para guru melakukan rapat dadakan, maka Qorfath memanfaatkan hal tersebut untuk menyatakan cinta terpendamnya. Lidya yang mengetahui bahwa dia diumpan ditengah lapangan untuk menemui Qorfath, akan membalasnya dengan jawaban tak terduga. Hingga tiba perpisahan antara keduanya, pengejaran Qorfath pun diambang sia-sia. Qorfath mendapatkan selembar kertas bertuliskan "Ar-Rahman" pemberian Lidya. Apa maksud Lidya? Akankah Qorfath mempertahankan cintanya? Akankah doa mempertemukan mereka kembali? dan apa maksud Lidya dengan kertas lipatan bertuliskan "Ar-Rahman" tersebut? Yuk, baca kisahnya. Kisah cinta dalam doa, menguak emosi, penasaran, dan memahami arti perjuangan kedua belah pihak. Takdir adalah penentunya. Inilah story buatan Mubin, Ar-Rahman siap disuguhkan kepada pembaca.

FathMubs · Hiện thực
Không đủ số lượng người đọc
7 Chs

Bab 3 : Tabir Untaian Doa

•Eps. 03•

•Judul : Tabir Untaian Doa•

[[Pukul 05.31]]

Langit benar-benar menyapu bintang-bintang, suasana subuh hari yang sunyi nan tenang. Kubah masjid Al-Fath tersorot mengkilap oleh nyala silver pantulan bulan sempurna lingkaran. Jam subuh, tentu lampu sekitar maupun dalam masjid menyala terang persiapan adzan sholat subuh.

Grsk!

  Gersakan gemerisik testing mic.

(٢x) اَللهُ اَكْبَرُ،اَللهُ اَكْبَرُ

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (2x)

Toa masjid mengumandangkan suara adzan subuh.

(٢x) أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّااللهُ

Asyhadu allaa illaaha illallaah. (2x)

(٢x) اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. (2x)

(٢x) حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ

Hayya 'alashshalaah (2x)

(٢x) حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

Hayya 'alalfalaah. (2x)

(١x) اَللهُ اَكْبَرُ ،اَللهُ اَكْبَرُ

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (1x)

(١x) لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ

Laa ilaaha illallaah (1x)

Samar suara merdu tersebut berlalu...

Tergantikan derap langkah kaki tak beralas berjalan mendekati tempat tujuan. Diantara atas batas kedua kaki, kain sarung adalah ciri khas perlengkapan pakaian takwa darinya.

"Allahu Akbar!" 

Kalimat takbir terucap. Bagaimana tidak? Meski belum tersorot jelas wajah beliau, namun langkah kakinya terhenti tepat menghadap seseorang yang menjadikan tas slempangannya sebagai bantal ternyaman dekat salah satu pilar teras. Bisa ditebak, pria tertidur barusan adalah Qorfath. Entah sengaja tertidur, atau memang terlalu lelah. Setidaknya seorang takmir masjid menghampirinya. Yups, lelaki agak tua berpakaian taqwa pinky, tidak lupa peci hitamnya terkejut karena ada seseorang memasuki masjid tatkala beliau seorang diri menuju masjid. Terutama tugas takmir masjid untuk mengurus segala hal di masjid, salah satunya menjadi Bilal adzan sementara ketika Bilal lain belum datang. Sistem siapa cepat, dia dapat.

"Mas..." Mulailah pak takmir duduk jongkok, menepuk-nepuk pundak kiri Qorfath. Sebut saja beliau pak takmir🤭 males ngasih nama.

"Hmmm! Syuh! Syuh!" Berlagak mengusir karena masih mode terlelap, alhasil membalikkan Qorfath. Berganti posisi.

"Hei! Mas! Bangun! Ssst!" Tepukan pak takmir agak dikeraskan.

"Allahu Rabbi..." 

   Begitulah jawaban Qorfath

      Mengira dia sudah meninggal:v

"Loh?" kejut pak takmir.

"Hmm..." Sejenak tatapan menerawang. -"Man Nabiyyuka?" Mencoba bertanya.

Refleks mulut Qorfath bergerak. -"Mubammadun Nabiyyi." Sekalipun kedua mata rapat terpejam.

Semakin dibuat terkejut pak takmir, hingga bergeleng-geleng heran sekaligus takjub.

"Ini saya ceritanya jadi malaikat Mungkar dan Nakir? Dan mas-mas ini jadi ahli kubur? Eh? Kok?" Makin bingung.

"Saya coba lagi deh!"

  "Ma Dinuka?" - Pak takmir.

"Al-Islamu dini." - Qorfath.

"Ma Kitabuka?"

    "Al-Qur'an Kitabi."

"Aina Qiblatuka?"

    "Al-Ka'batu Qiblati."

"Buset! Jago bener jawabnya. Gimana nanti pas dia beneran meninggal. Auto dapat nikmat kubur."

Terhenti sejenak segala pertanyaan kubur pak takmir. Benar-benar takjub, bahwa mode tidur Qorfath mampu menjawab pertanyaan yang ditakutkan setiap muslim ketika wafat. Takut tak bisa dijawab maksudnya:v memang tergantung amal-nya.

"Hmm... Pertanyaan terakhir!" Nafas berat pak takmir terhembus, bersiap-siap.

"Man Ikhwanuka?"

   "Al-Muslimun Wal-Muslimat."

Masih saja dengan mudah Qorfath menjawab.

"Man Imammuka?"

"..." Terdiamlah Qorfath. -"Pak Ghofur Imammi."

"Loh?!" Langsung membuat pak takmir berdiri, terimbuh lompatan surut.

Deg! Seketika kedua mata Qorfath terbuka menunjukan tatapan melotot lebar.

"Astagfirullah!" Langsung segera duduk, tidak lupa mengelus-elus dada.

"Mimpi apa gue tadi?" Celingak-celinguk sebelum diam lantaran terkejut melihat seorang bapak-bapak bersarung berdiri menatap 'picing' dirinya.

"Alhamdulillah, bangun juga mas-nya..." Mengetahui Qorfath hanyalah manusia juga, maka ekspresi lega nan tenang pak takmir pampangkan.

"Loh? Jam berapa sekarang?" Kali ini Qorfath berdiri.

"Gimana mas? Gagal dapat nikmat kubur, hahahahahahahaha!" Mendadak pak takmir cengengesan menghibur. Bisa bermaksud meledek:"v

"Pak takmir masjid kan?" Tanpa basa-basi menanggapi, pertanyaan tepat oleh Qorfath.

Respon pak takmir mengangguk. -"Betul mas. Mas-nya ketiduran tadi. Sekarang masuk waktu subuh. Mas siap-siap wudhu, soalnya bentar lagi Iqomah."

"Insya Allah wudhu saya gak batal. Tadi saja habis sholat malam, terus ketiduran. Astagfirullah." Begitulah keadaan Qorfath sambil mengusapi singkapan mata.

"Masya Allah... Pantes bisa dengan mudah jawab pertanyaan kubur trial dari saya," sahut pak takmir.

"Emang saya tadi? Ngapain pak?" Tentu wajar jika Qorfath samar-samar mengingat.

"Apalagi suara merdu ngaji kamu. Kirain tadi malam kamu udah pulang dari masjid, tau-tau masih disini." Pak takmir melanjutkan.

"Loh? Kok? Kok? Kok bapak tau?" Dengan jari telunjuk menunjuk, selangkah Qorfath mundur terheran-heran.

"HmHmHm." Tertawa gumam. Lalu, pak takmir berkata "Wong saya tadi jam 3-an ada didepan pagar masjid kok. Yah, seharusnya habis isya' tadi pintu pagar masjid udah dikunci. Cuman saya harus pulang karena buru-buru ada urusan, eh tau-tau dirumah saya ketiduran setelah pulang dari urusan itu. Alhasil kebangun jam 3-an, lalu bergegas menuju masjid buat kunci pager. Nah, pas didenger-denger kok kayak ada suara. Eh, saya lihat ada mas-nya lagi hafalin surah Ar-Rahman. Merdu banget."

"Saat tau ada orang di masjid, saya coba masuk masjid saat itu. Cuman tiba-tiba ditengah langkah, saya ditelpon istri, katanya kunci pagar masjid ketinggalan."

"Terus? Kok bisa kuncinya kelupaan dibawa?" tanya Qorfath menikmati obrolan.

"Maklum mulai pikun, yang saya bawa kesini pas jam 3 ternyata kunci motor. Mana saya jalan kaki lagi, soalnya rumah dekat pesantren Al-Mubin Akbar. Alhasil saya balik pulang jalan kaki. Eh, pas pulang, kebetulan pas banget perut saya mules. Jadi ke WC bentar, dan balik kesini di jam 5-an lebih karena saya harus mandi lagi pas di rumah." Sangat detail pak takmir menjelaskan.

"Buset! Dari A sampai Z dijelasin semua." Merubah ekspresi datar Qorfath ketika membatin.

"Eh!" Tersentaklah Qorfath. -"Anu, ayo masuk ke masjid saja pak. Sekalian sholat subuh jama'ah."

"Iya, tapi sebelum itu saya mau tanya ke kamu..."

   "Tanya apa pak?" Tatapan selidik.

"Karena imam masjid disini udah tua, dan dari beberapa Minggu kemarin dia gak jadi imam masjid karena sakit-sakitan bikin saya kerepotan. Rencana saya nyari imam baru yang suara hafalannya merdu. Eh, Qodarullah... Insya Allah setelah denger bacaan surah kamu, saya ada niatan jadiin kamu imam disini. Soal gaji, insya Allah ada setiap bulanan. Sekalian bantu saya jadi takmir masjid. Jadi intinya gini, mas-nya mau gak jadi imam sekaligus sie takmir masjid tambahan?"

"Allahu Akbar! Beneran nih pak?!" Raut wajah Qorfath mendadak girang tak percaya. 

"Ya, saya pikir emang kamu orang yang tepat walau baru kenal. Tapi, gak kenal kalau gak sayang. Benar kan?"

"Ah! Bisa aja bapak!" Agak senyum-senyum segan. -"Maaf pak, yang bener, tak kenal maka tak sayang." 

"Iya, saya tau... Jadi kamu dari sekarang jadi imam masjid subuh ini ya, sampai sholat-sholat fardhu selanjutnya."

   "Alhamdulillah!"

Tiba-tiba kedua tangan Qorfath terangkat, bersyukur. 

Perlahan kedua tangan merendah...

"Tapi, insya Allah soal gaji gak usah dipikirin pak. Kalau udah rejeki insya Allah saya terima," ucap Qorfath.

"Hmm, urusan itu gampang. Ngomong-ngomong tinggal dimana kamu? Anak rantauan?"

"Bener pak! Saya sengaja nekad merantau kesini. Saya gak ada tempat tinggal, jadi saya mampir ke masjid ini buat istirahat sebentar."

"Wih! Keren kamu!" Membuat pak takmir kagum. -"Karena kamu bakal jadi imam. Saya tanya nih, udah juz berapa?" Melanjutkan pertanyaan.

"Wah, cukup Allah yang tau pak. Tapi, insya Allah gak sekedar ayat-ayat pendek." Kedua tangan Qorfath bersedekap, mencoba merendah.

"Wah! Sudah saya duga. Lain kali battle surah bareng saya." 

   "Siapp! Insya Allah pak!"

Acungan jempol Qorfath mengulur depan. Benar-benar antusias bahagia.

"Kalau gitu, ayo masuk masjid." Pak takmir hendak beranjak.

Namun...

"Tunggu pak!" Mendadak Qorfath menahan.

"Ya?" Membuat pak takmir menoleh.

"Saya mau sujud syukur dulu," jawab Qorfath.

   "Masya Allah! Silahkan..."

Sambil senyum-senyum, sesekali Qorfath mengangguk.

"Bismillah..." Mulailah Qorfath bersiap-siap sujud.

Terlihat, lekat erat kening Qorfath menyentuh lantai masjid. Melakukan sujud syukur atas jawaban segala doa-doa.

"Eh! Salah Qiblat!" Pak takmir menepuk dahi, baru menyadari.

"Iya juga! Kiblatnya kan disana." Segera Qorfath duduk Tasyahud. Lalu, merubah arah sesuai arah Kiblat dan kembali bersujud.

"Alhamdulillah! Ya Allah..." Terdengar lirih untaian syukur dari Qorfath.

"Masya Allah." Berkali-kali kalimat kagum terlontar oleh pak takmir.

"Alhamdulillah..." Kali ini selang beberapa menit melakukan sujud syukur, maka Qorfath berdiri tegak usai menenteng tas selempang.

"Ayo pak..." 

   "Let's go..."

"Loh!" Tiba-tiba langkah Qorfath terhenti.

"Kenapa lagi?! Astagfirullah..." Hampir saja pak takmir marah merasa jengkel.

"Kok gak ada jama'ah yang dateng?"

Terbilang pertanyaan tepat. Yups, dari balik kaca ruangan masjid, ruangan tersebut kosong tiada siapapun yang hadir.

"Loh! Iya juga!" Refleks pak takmir membuka peci hitam efek merasa gak nyaman.

Bruk! ClingKring! Benda kecil jatuh dari dalam peci yang kembali pak takmir pakai menutupi kebotakan.

"Apa itu pak?" 

  "Ini kan..." 

Pak takmir menyadari suatu hal.

"Kunci pagar masjid! Berarti..." Lanjutnya. -"Waduh! Kok saya kebablasan gini?!"

Bruak! TingTing! 

    Brak!

Gaduh hantaman lengking jelas terdengar dari arah pagar masjid. Sorotan berpindah, memperlihatkan sekumpulan jama'ah wanita maupun laki-laki yang masing-masing berpakaian rapi dari mukenah hingga taqwa berdiri menunggu menghadap depan pagar yang terkunci.

"Buka pintu pagarnya!"

   "Gimana nih! Kok malah dikunci!"

Keluhan sebagian bapak-bapak sholeh ngebet pahala.

  "Waduh! Maaf-maaf!"

Sigap pak takmir mengambil kunci pagar, lalu mengambil jurus langkah seribu untuk mendekati sumber suara.

"Hadeh!" Hanya bergeleng singkat Qorfath, diikuti tepukan dahi.

Kejelasan melebur, kian buram terkibas gelap.

  •••

Cuiit!

   Cuiitt!

Ptok!

   Ptok!

Ptok!

  KuKuruyuukkkk~ 

(Asli cringe parah bunyi kokok-nya)

Urung bosan oleh narator menambahkan intonasi burung-burung terbang melintasi langit segar berwarna biru keunguan, bisa dibilang pagi-pagi awal menjelang matahari menyingsing. 

Lokasi pesantren Al-Mubin Akbar...

[[Pukul 05.54]]

Seekor ayam jantan bersama kedua ekor ayam betina berkeliling pada satu kordinat, mematuk-matuk permukaan tanah. Sedangkan, ayam jantan lain berdiri tepat atas tepian melingkar tong sampah kosong demi menyuarakan alarm pagi alami.

Kian maju, zoom area pagar pesantren lebih dekat, menembus kedalam hingga terubah slide pemandangan.

Srkk!

   Srkkk!

Desisan kasar sapu lidi menyapu area lapangan bagian ujung pojok. 

"Assalamualaikum bu..." 

Ucapan salam lembut terucap oleh seorang gadis mengenakan gamis panjang, berkerung hijau Aqua.

  "Walaikumsalam..." 

Senyuman tulus pagi ditujukan Bu Maryam, selaku sie kebersihan pesantren. Kemudian, lanjut menyapu.

Tidak sendirian, gadis tadi bersama kedua sahabat sebaya tepat belakangnya. Diantara mereka, memeluk sebuah buku tebal warna kuning. Kitab kuning? Maybe🤭

"Mau dibantu Bu Maryam?" Gadis cantik paling depan menawarkan bantuan.

"Wah! Gak usah nak, ini juga tinggal sedikit. Emang mau kemana pagi-pagi? Masa iya jajan? Hayoo." Celetukan Bu Maryam sempat menolak bantuan.

"Gak kok Bu..." Begitulah gadis cantik diantara kedua sahabatnya yang tidak kalah cantik. Mereka cengengesan entah kenapa.

"Eh? Kok cengengesan. Kenapa nih hayoo?" Membuat Bu Maryam ikut senyum-senyum sendiri.

"Yakin, gak mau dibantu buk? Mumpung Lidya lagi baik." Lanjut cengengesan menatap sahabat-sahabatnya. Terungkap siapa nama gadis paling depan tersebut, yakni Lidya Salsabila.

"Lagi baik apa emang mau ada sesuatu nih. Ketahuan," sahut Bu Maryam menyerukan senyuman lebar.

"Itu buk... Kasih tau gak ya?" Tatapan selidik salah seorang sahabat Lidya, ekspresi bahagia jelas terpandang.

"Apaan sih!" Sigap membuat Lidya menepuk pelan pundak sang sahabat.

"Gini, Ini kemarin kata pak satpam pas kita mau jajan diluar, ada cowok ganteng yang nyari Lidya." Tiba-tiba, sahabat Lidya satunya membeberkan begitu saja.

"Loh? Beneran? Siapa teh? Siapa namanya? Ehem!" Betapa terkejutnya Bu Maryam.

"Gak kok! Apaan sih!" Gelagat salting Lidya terbaca. 

"Gak kok buk, sahabat saya tadi emang suka fitnah..." 

"Heleh! Kalau Bu Maryam gak percaya, tanya aja pak satpam disana! Tapi, pak satpam lupa nama cowok itu." Sangat cepat salah seorang sahabat tadi menyerocos.

"Cieee! Cieee!" Sikap 'friendly' Bu Maryam.

"Udah ah! Permisi ya bu..." Daripada dipanas-panasi berlama-lama, segera Lidya melangkah cepat menuju depan.

"Loh! Mau kemana?" tanya Bu Maryam keheranan.

"Mau nemuin papa didepan. Bye semua..." Langkah Lidya agak jauhan, tidak lupa menoleh sambil melambai.

"Bye! Lid!" Kompak kedua sahabat balas melambai.

Disini Bu Maryam sekedar senyum-senyum sendiri, diikuti gelengan. Tak lama lanjut menyapu.

"Eh! Kan papa-nya Lidya ada didepan. Jangan-jangan soal cowok yang kata satpam itu." Salah seorang sahabat Lidya tersebut memulai gosip pagi.

"Eh?! Bener juga kata kamu!" kejut seorang sahabat cantik sebelahnya.

"Berarti... Lidya... Bakal?"

   "Bakal kenapa?"

Tanya Bu Maryam refleks 'mendengar obrolan secara langsung.

   "BAKAL DILAMAR!" 

Kompak kedua gadis berjilbab cantik melompat kecil, saling menyeru antusias.

"Allahu Akbar!" Tentu Bu Maryam terkejut dengan telapak tangan kiri mengelus-elus dada.

"Hahahahahahahaha!" Ketawa bareng 'kelalapan.

"Ssstt! Kita intip aja yuk!" Ajak seorang diantara mereka.

"Yuk! Yuk!"🤭

Secepat ajakan gadis cantik berkerudung putih dengan Bros bunga mawar biru tersebut, secepat langkah mereka pula beranjak pergi menuju arah sama dari Lidya.

"Duluan Bu Maryam..."

      "Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam." Ekspresi bahagia meski agak heran menghiasi Bu Maryam pagi ini.

"Ada-ada aja nih gadis-gadis Sholehah." Sesekali bergeleng-geleng sebelum lanjut bersih-bersih debu serta dedaunan kering.

•••

Derap langkah lirih menghantarkan Lidya berjalan menghampiri lokasi pagar paling depan pesantren, atau biasa disebut gerbang utama.

Diantara sela-sela deretan tiang-tiang pagar, seseorang berpenampilan bapak-bapak sebagaimana ciri khas peci, kemeja batik, dan bercelana hitam kain sedang memeluk kardus Aqua yang terikat erat tali rafia. Beliau berdiri tepat tengah depan pagar, sedangkan pak satpam luar pagar tengah sibuk membuka kunci pagar.

Ngging! Kedua pintu pagar dibuka agak lebar. Selangkah pak Ghofur selaku papa kandung Lidya maju membawa senyuman tipis. Maka, pak satpam pun beranjak pergi menuju pos menetap.

"Papah!" Ekspresi Lidya terseruak girang. Ia berlari kecil agar lebih dekat 

"Lidya! Assalamualaikum! Hehehe" Respon pak Ghofur terkekeh-kekeh di-se-ujung kalimat salam.

"Walaikumsalam! Sini pah, biar Lidya bawa barangnya." Kini sekotak kardus berpindah pada pelukan kedua tangan Lidya.

"Biasa. Makanan kesukaan kamu yang sering dimasakin mama kamu."

  "Nastar isi blueberry?" 

Sontak betapa terkejutnya Lidya.

"He'em." Senyuman pak Ghofur sesudah mengangguk-menjawab iya.

"Loh? Siapa yang buat kue-nya? Kan mama..." Perlahan ekspresi murung Lidya tergambar, terlebih dia sedikit menunduk.

"Jelas papa yang buat sendiri dong! Baca resep di internet, gampang!" 

"Wih!" Kembali mewarnai cerah ekspresi Lidya. -"Tumben ih papa belajar buat kue." Senyum-senyum 'segan.

"Ya... Gimana lagi Lid." Nafas berat terhembus, maka pak Ghofur melanjutkan "Kan udah 10 tahun lalu mama gak ada, jadi mau gak mau papa harus coba bisa belajar bagaimana cara mama kamu buat kue."

"Ih! Papa ngingetin Lidya soal mama lagi." 😌😪 

"Ya maaf atuh! Kan emang kue-nya itu cuman mama kamu yang jago buat. Eh, nanti jangan lupa dibagi-bagi ke temen-temen kamu ya. Kalau ada yang gosong, maklumin."

"Okay siap pah!" Acungan jempol Lidya terangkat. 

"Eh! Iya! Papa hampir lupa. Bentar." Tersentaklah pak Ghofur, mulai tangan kanan menyelinap mengecek isi saku kemeja.

Set! Ketika tangan terangkat, menggenggam sejumput' gulungan uang kertas merah 2 lembar. Namun, secarik kertas ikut terangkat dari dalam saku, alhasil kertas putih tersebut jatuh mengejutkan Lidya maupun pak Ghofur.

"Eh? Kertasnya jatuh pah." Wajar jika Lidya refleks meletakkan kardus demi mengambil kertas barusan.

Bersamaan, tanpa pikir panjang pak Ghofur tergerak menunduk untuk mengambil secarik kertas tadi.

Yups, karena selisih kecepatan lebih dulu Lidya mendapatkan kertasnya.

"Jangan bilang papah nulis puisi lagi, Lidya cek ya puisinya." Bagi Lidya mengira selembar kertas adalah untaian puisi indah sebagai hobi sang papa.

"Eh! Ngapain?!" Gelagat pak Ghofur agak panik.

"Eits!" 

Segera Lidya menepis ketika tangan kanan papa-nya hampir saja merebut lipatan kertas itu.

Hingga... Srek! Lipatan kertas terbuka lebar oleh Lidya. Senyum lebar Lidya meredam hilang ketika melihat isi kertas.

Tatapan pak Ghofur melotot sambil menelan air ludah.

"Ar-Rahman?" Lidya menyuarakan bacaan tulisan tengah kertas.

Sementara...

"Ssstt!!!"

   "Ehem! Lidya ciee..."

"Sssttt!"

Agak tak terlalu jauh, kedua sahabat Lidya mengintip dari balik batasan dinding menuju pagar. Meski sempat saling desis-mendesis karena keduanya begitu banyak mengoceh antusias.

Tatapan Lidya menyelidik kanan-kiri sebelum terfokus pada kertas. -"Ini kan?" Membatin.

"Sini!" Ada kesempatan, gercap pak Ghofur ingin merebut paksa kertas.

"Eh! Apaan sih pah! Gak! Lidya simpan kertas-nya!" Selangkah Lidya mundur, refleks cepat menepis.

"Loh! Ngapain? Itu catatan kertas papah buat belajar hafalan surah Ar-Rahman." Sengaja pak Ghofur berbohong, juga mengira Lidya telah lupa siapa yang memberikan kertas itu 15 tahun lalu.

"Apaan!" Namun, Lidya cengengesan. -"Lidya gak percaya papah belajar hafalan, tumben. Toh biasanya suka dangdut." Sengaja pula Lidya memakai ekspresi bahagia cerah agar sang papa mengira Lidya benar-benar lupa.

"Dibilangin ngeyel! Mana kertasnya. Gak papah kasih uang jajan loh!" Memang benar, tangan kiri pak Ghofur erat menggenggam gulungan uang merah.

"Biarin! Tabungan Lidya masih ada banyak kok," tukas Lidya terkekeh-kekeh kecil.

"Beneran nih gak dikasih uang jajan?"

   "Simpan aja uangnya buat papah."

Usai tersenyum, harus cepat Lidya menyelipkan kertas yang dia lipat lagi menuju saku gamis.

   "Ya udah, Alhamdulilah." 

Gulungan uang tersebut telah terselip masuk menuju kantong saku kemeja pak Ghofur.

"Kalau gitu Lidya balik dulu ya pah! Makasih banyak udah bawain oleh-oleh!" Posisi Lidya kini mengangkat sekaligus memeluk sekotak kardus.

"Hmmm. Belajar yang rajin. Papa balik dulu kalau gitu." 

"Papah juga hati-hati dijalan! Nyetir yang bener. Dah pah~" Mulailah Lidya berbalik membelakangi.

"Setelah keluar pondok langsung ta'aruf ya!" seru pak Ghofur.

Hanya saja langkah Lidya keburu jauh, bisa dibilang seruan pak Ghofur sekedar Lidya anggap angin lewat.

"Wah... Untung Lidya gak ingat siapa yang ngasih kertas itu. Bisa-bisa dia jatuh cinta sama pria kemarin! Udah jelas dulu mereka itu pasti pacaran! Untungnya Lidya gak tanya macem-macem. Kayaknya emang beneran udah lupa. Mending secepatnya Lidya harus dilamar pria pilihan papa sendiri!" Dalam kesendirian, cerocosan pak Ghofur terlontar.

•••

Drep!

   Drep!

Drep!

Kecepatan langkah Lidya berjalan tertintih-tintih agak buru-buru dengan pandangan fokus pada kedua tangan yang erat memegang lembaran kertas bertuliskan "Ar-Rahman". Keadaan mencangklot ikatan tali rafia kardus tak terlalu berat pada pundak kiri 'bak mencangklot tas belanja.

"Kok bisa kertas ini ada sama papah? Apa jangan-jangan cowok yang katanya nyari gue waktu itu? Ah! Gak mungkin! Kok Qorfath tau kalau gue ada ditempat ini," batin Lidya menunjukkan bahwa dia masih ingat siapa Qorfath, termasuk kertas yang pernah dia tulis cukup lama.

Tetapi...

       "HAAAAAHHHH!!!"

Kompak kedua sahabat Lidya melompat kecil menghadang Lidya.

"Allahu Akbar!" Betapa terkejutnya Lidya. -"Kalian? Loh? Ngapain?" Celingak-celinguk.

"Hahahahahahahaha!"

Tawa girang kedua sahabat.

"Kaget gak? Kaget gak? Kaget lah! Masa gak!" 

   "Apaan sih!" 

Ekspresi 'ketus Lidya.

"Hayoo! Itu lagi pegang kertas apa?" Salah seorang sahabat menunjuk kepo.

"Tuh! Kan! Mulai! Mulai deh kepo-nya!" Tangan kanan Lidya seketika menggenggam erat serta menggulung paksa kertas barusan.

  "Itu surat cinta ya Lid?🤭"

"Kalian jangan aneh-aneh!" Wajar jika Lidya agak jengkel.

"Mau baca dong suratnya! Buat gue ya? Ya?" Bisa dibilang desakan candaan seorang sahabat.

"Gak!" 

Saat Lidya menolak mentah-mentah, saat itu pula segera menyelipkan gulungan kertas kedalam saku.

"Ciee... Mentang-mentang mau lulus dari pondok, pasti ada yang ngelamar lu kan Lid?" 

"Bodo! Gue gak denger." Kedua mata Lidya terpejam paksa, tidak lupa membiarkan masing-masing telunjuk menyentuh telinga.

"Ehem! Ehem!"

"Gak seru ah! Main rahasia-rahasia-an."

"Biarin!" Masih terpejam, lebih dulu Lidya melangkah cepat.

"Eh! Lid! Lid! Main tinggal aja!"

Seorang sahabat barusan berlari kecil menyusul langkah Lidya, begitupun sahabat satunya.

"Kalau kalian ngompor-ngomporin, gue gak ngasih jajan loh! Mumpung gue bawa kardus isi kue." Kali ini Lidya membuka mata, menujukan tatapan sinis.

"Yah! Jangan gitu dong!" 

    "Pelit itu dosa!"

Yups, tepat sebelah kanan maupun kiri Lidya, kedua sahabat tersebut menyamakan langkah.

"Sumpah! Kalian kayak setan aja, ada dikanan sama kiri gue, gak bosan-bosannya manas-manasin," keluh Lidya.

"Lagian, lu kalau gak ngasih tau apapun soal cowok itu. Ya udah, gak masalah. Kita udah tau kok namanya."

Terbelalaklah Lidya, mengatakan "Emang kalian tau?"

"Ya taulah! Kita dong!"

Bebarengan mereka berdua cengengesan.

"Hmm..." gumam Lidya sesekali melirik kanan-kiri. -"Padahal gue gak tau siapa cowok itu, dan padahal gue gak dilamar siapapun. Apa gue harus pura-pura tau soal cowok itu dan ngebenarin kalau gue dilamar? Biar gue dapat info dari mereka-mereka ini." Menyuarakan batin.

"Iya deh, rencana gue bakal dilamar..." lirih Lidya berucap, intonasi agak malas walau cuman kebohongan.

  "Tuh kan! Kan! Infonya bener!"

Blak-blakan seorang sahabat arah kanan Lidya menyeru.

"Emang kalian yakin siapa nama cowoknya? Yang tebakannya benar, gue kasih kue nih!" Begitulah cara Lidya agar bisa mendapatkan informasi.

"Eits! Sebelum kita kasih tau, pertama liatin ke kita soal kertas tadi! Gimana? Deal?" Syarat baru sang sahabat.

"Hadeh..." Alhasil membuat Lidya menghembuskan nafas berat, diikuti gelengan.

"Iya deh! Gampang!" Mau gak mau Lidya menjawab demikian. -"Nanti gue kasih tau pas di kamar."

"Jangan di kamar! Kalau bisa bacain itu pas kita di kantin. Biar semua santriwati tau! Gimana?" Syarat lain lagi oleh sahabat Lidya arah kiri.

  "Setuju tuh! Hehehe." 

     (Tertawa kecil)

Kesekian kali hembusan nafas Lidya terhembus. Sempat menunduk pasrah.

"Iya deh! Iya!" Intonasi Lidya menyeru 'bete.

  "YES! Alhamdulillah!" 

Kebahagiaan masing-masing sahabat barusan. Mengangkat rendah tangan yang terkepal tanda berhasil.

"Tapi, janji yah! Kalian!" Telunjuk Lidya mengarah kedua sahabatnya.

  

"Janji kalau emang kalian tau namanya, kasih tau gue. Kalau bener, gua kasih jajan full gratis." Padahal sebenarnya Lidya belum tau soal nama cowok yang dirumorkan:v

"Gampang! Tapi, janji dulu! Nanti di kantin kasih tau kita isi kertasnya, baru kita ngasih jawaban nama cowok itu, pasti bener deh!" 

Raut ekspresi Lidya tampak datar...

"Astaga, pake acara dikantin lagi. Pasti gue dilihat semua santriwati disana. Tapi, mau gimana lagi. Karena emang gue penasaran apa iya sahabat-sahabat gue tau nama cowok itu? Kalau tau, masa iya... Qorfath? Sekali lagi gak mungkin! Udah lama banget, pasti Qorfath udah nikah juga. Ngapain mikirin dia mulu. Cks! Tapi, sejak 15 tahun lalu pas gue ngasih kertas tadi ke Qorfath, gue malah suka kepikiran dia terus sampai sekarang. Kalau emang dia janji bakal ngejar gue, seharusnya gak sampai selama 15 tahun ini. Gua juga mulai bodo amat sama dia, cuman... Masih kepikiran, kertas tadi kan pemberian gue waktu Qorfath ngejar gue di mobil? Kok? Kenapa ada sama papah ya? Papah juga kayak panik gitu. Emang bener, soal nama cowok yang mau nemuin gue, jawaban sahabat-sahabat gue nanti semoga gak sesuai tebakan gue yang ngawur! Bismillah..." 

  Ucapan kebimbangan batin Lidya.

  "Lid? Gimana? Deal ya?"

Melihat Lidya melamun membingungkan kedua sahabat tersebut.

"Eh?" Tersentaklah Lidya.

  "Iya deh! Deal!"

Sekilas Lidya berwajah ceria, namun lambat laun berubah masam karena memikirkan sesuatu.

Bersambung...