webnovel

Bagian 65 (Kejutan)

.

.

"Jangan tertawa. Aku bisa jadi ganas kalau cemburu."

.

.

***

Erika menyentuh keningnya dengan mata terpejam. Farhan yang sedang duduk di depannya, menatap istrinya dengan kekhawatiran.

"Sayang, kamu sakit?" tanya Farhan.

Menyadari Farhan memperhatikan gerak-geriknya barusan, Erika segera memasang mimik ceria.

"Ng-nggak kok, sayang. Cuman gak enak badan dikit aja. Mungkin masuk angin," jawab Erika.

"Apa izin aja dari kantor? Biar kamu bisa istirahat hari ini," kata Farhan.

Erika menggelengkan kepala.

"Oh ... sepertinya itu bukan ide bagus. Ada laporan tahunan yang harus selesai besok. Seisi kantor lagi hectic. Aku gak enak kalau izin pas lagi sibuk kayak sekarang."

"Oh ... gitu?" Wajah Farhan menyiratkan ketidaksukaannya.

Erika tahu kalau suaminya itu tidak pernah senang dengan ritme kerja di kantornya. Farhan pernah satu kali menyarankan Erika untuk pindah tempat kerja, tapi Erika menolak dengan alasan sudah merasa nyaman dengan teman-teman kantornya. Alasan yang lebih lengkapnya adalah, dia merasa malas kalau harus memulai karir lagi di tempat baru, dan harus mengulang proses penyesuaian diri dengan orang-orang baru.

Erika buru-buru menuntaskan sarapan telur omeletnya. Dia harus segera berangkat. Semakin siang, kemungkinan macet bisa semakin parah.

Saat Erika berdiri dari kursi, Farhan segera menumpuk piring kotor. "Kamu berangkat aja sayang. Cucian piring biar aku yang urus," ucap Farhan.

"Eh? Jangan, sayang! Biar aku aja yang beresin nanti setelah pulang kantor," kata Erika sebelum menepuk keningnya.

"Aduh. Aku lupa kalau hari ini kayaknya aku bakal lembur," kata Erika lesu.

Farhan mengerutkan alis. "Hah? Kamu lembur lagi? Bukannya semalem udah lembur?"

"Iya. Maaf ya, sayang. Soalnya, belum selesai laporannya."

Suaminya menghela napas. "Yah. Mau gimana lagi? Kamunya ngeyel sih. Betah banget kerja di kantor favoritmu itu."

Sindiran itu membuat Erika merajuk. Dia menarik ujung kaus polo putih suaminya. "Iih ... sayang. Kamu kok gitu sih?"

Farhan memperhatikan wajah Erika yang semakin cantik dengan pulasan bedak, blush on merona dan lip tint berwarna pink. Ia menyentuh pipi istrinya.

Erika memberi tatap penuh arti. "Kenapa?" tanya Erika.

"Enggak. Aku cuman kesel aja," sahut Farhan.

"Kesel?"

"Kesel kenapa wajahmu yang cantik ini bisa bebas diliatin sama temen-temen kantormu yang laki-laki."

Erika tertawa. "Ya ampun. Bapak Farhan Akhtar cemburu, nih?"

Tawa Erika malah menambah kesalnya. Dalam sekejap mata, Farhan mendaratkan ciuman ke bibir istrinya. Mata Erika terbelalak.

Farhan memberi jarak, tapi matanya masih menatap tajam. "Jangan tertawa. Aku bisa jadi ganas kalau cemburu."

Sebaris kalimat itu membuat wajah Erika terasa panas. "Memangnya, kamu pernah cemburu? Cemburu sama siapa?"

Ujung jari tangan Farhan menyentuh bibir istrinya. "Cemburu sama siapa?" gumam Farhan. Terbayang wajah pria itu di kepalanya. Yoga Pratama.

Tidak. Aku sudah berhasil mengalahkan dia.

Pria itu bahkan sudah tak ada di benak Erika. Hilang sama sekali.

Aku bahkan tidak peduli, apa foto itu masih ada di sana, atau tidak.

Tidak penting lagi. Aku sudah menang.

Farhan mendekat dan perlahan melumat bibir Erika. Salam pamitan intim mereka yang biasanya. Pagutan itu semakin dalam, seiring Farhan mengeratkan rangkulannya. Gairahnya membuat wajah Erika merona. Setelah agak lama, Farhan menyudahi ritual itu dan kini mereka sibuk mengatur napas.

"Sayang, nanti kalau kerjaanmu sudah selesai, kita 'olahraga' yuk. Mumpung gak ada Yunan, kita bisa bebas di mana aja, ya 'kan?" Ajakan itu diakhiri dengan kedipan mata nakal dari Farhan.

Erika merasa malu mendengarnya. Dia mencubit suaminya. "Kamu ini! Jangan-jangan kamu sebenernya seneng ya Yunan gak tinggal di sini??"

Farhan merayu istrinya yang marah. "Ih ... kamu kok nuduh, sih? Ya enggak, dong. Aku ya pengennya ada Yunan juga di sini. Tapi kalo ada Yunan 'kan jadi harus pelan-pelan. Nah ... kalo gak ada, kan jadinya --"

Sebuah pukulan mendarat di lengan Farhan, membuat pria itu tertawa.

"Udah ah, sayang! Aku harus berangkat sekarang! Ntar aku kena macet!! Kamu nih NAKAL banget sih!" omel Erika.

Farhan masih tertawa melihat reaksi Erika yang malu-malu. Untuknya, terlihat sangat menggemaskan. Farhan merangkul Erika dari belakang dan berbisik di telinga istrinya, "tapi kamu suka 'kan dinakalin sama aku?"

Wajah Erika merah padam. "FARHAAAN!! Aku gak berangkat-berangkat, niihh!"

"Ha ha! Iya, iya. Tuh aku lepasin, deh. Untuk sekarang aja tapi," kata Farhan mengangkat kedua tangannya, seperti sedang membebaskan tawanan.

"Uh dasar. Aku pergi dulu, ya. Assalamualaikum," ucap Erika pamit

"Wa alaikum salam," sahut Farhan sambil cekikikan

Farhan berdiri di pintu depan melepas kepergian istrinya. Mereka saling melambaikan tangan, dan tak lama mobil Erika melaju.

Dia gak sakit 'kan, ya? batin Farhan.

Alis Farhan berkerut saat mengingat-ingat sesuatu. Mendadak matanya terbuka lebar.

Bulan ini ... belum sama sekali? tebaknya.

Perlahan Farhan menutup bibirnya.

Tunggu dulu. Bulan lalu juga belum?

Sepertinya, dia harus tanya langsung pada Erika. Siang ini. Mungkin siang ini saat jam istirahat, Farhan bisa menelepon Erika.

.

.

"Pagi!"

Sapaan Erika disambut oleh dua orang temannya. Mey dan Selly sedang duduk mengobrol berhadapan di kubikal mereka. Di pagi hari seperti ini, biasanya orang-orang memang masih santai sambil menyeruput teh atau kopi.

"Pagi, Erika," jawab mereka nyaris bersamaaan.

"Kamu kenapa say? Kok pucat mukanya?" tanya Mey yang menyadari perbedaan di air muka Erika.

Erika menyentuh pipinya sendiri. "Pucat? Masa' sih? Make up-ku luntur, ya?"

Mey mencermati raut wajah Erika. "Mm ... enggak, sih. Make up-mu gak kenapa-kenapa. Lagi sakit, ya?"

Tangan Erika mengurut punggung lehernya. "Mm ... memang agak kurang fit sih rasanya. Masuk angin, mungkin."

Selly hendak merogoh sesuatu dari tasnya di meja. "Mau pake minyak angin? Aku bawa kayaknya."

Erika tak pernah suka dengan bau minyak angin. Membuat dia merasa tiga puluh tahun lebih tua. Tawaran itu segera ditolaknya dengan halus. "Gak usah. Makasih ya, Sel. Ntar juga sembuh sendiri. Biasa. Efek lemburan." Mereka tertawa.

"Yang sabar ya say. Aku juga terpaksa nih malem ini kayaknya bakal lembur juga," ucap Mey meringis.

Erika menghela napas. "Iya. Gila banget ya kerjaan dua bulan terakhir ini."

"Tau gak? Aku denger dari timnya Frans, satu orang junior mengundurkan diri! Tadi malem ngasih surat resign ke bos!" kata Selly berbisik.

"Oh ya??" seru Mey sebelum bersiul pelan. "Ya gak heran, sih. Mereka 'kan baru pertama kali masuk dunia kerja. Pastinya gak nyangka kalo kerja di sini jungkir balik. Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki."

Erika kembali menghela napas. "Iya. Udah kayak kuda lumping aja kita." Komentar aneh itu disambut tawa kedua temannya.

"Guys, aku duluan ya. Mau bikin kopi dulu," pamit Erika.

Mey melambaikan tangan sembari berseloroh. "Okee. Cemungudh eaa, Kakaa!"

Erika mengedipkan mata dan memberi salam hormat pramuka. "Dasar kamu Alay-ers!" balas Erika, disambut tawa keduanya.

.

.

Sebenarnya deretan to do list di kepalanya, membuat Erika hilang mood untuk meracik secangkir kopi. Tapi kegiatan ini sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Kantor ini adalah tempat kerja pertama Erika dari sejak lulus kuliah. Jadi, saat Erika menikahi Farhan, di saat yang sama, dia juga 'menikahi' kantor ini. Sama seperti usia pernikahannya, Erika telah bekerja 8 tahun di kantornya. Dia menjadi salah satu akuntan senior, yang jumlahnya tidak banyak. Mey dan Selly termasuk senior, tapi tetap belum selama Erika. Mey enam tahun bekerja, sementara Selly lima tahun.

Jadi, setelah setiap harinya selama delapan tahun Erika terbiasa meminum secangkir kopi di kantor, dia merasa tetap harus melanggengkan tradisi ini.

Erika mengaduk bubuk kopi yang baru saja dituang air panas dari termos listrik. Tak ada siapapun di pantry. Pantry mungil itu memiliki lemari-lemari kayu di bagian bawah, dan lemari kaca tergantung di bagian atas. Di dalam lemari kaca, terlihat deretan kopi sachet, teh celup, teh latte, jahe instan, dan segala macam minuman instan lainnya. Beberapa toples kaca berisi gula pasir, gula semut, gula merah bubuk, dan ada gula sachet juga. Tak ketinggalan toples-toples kaca yang lebih besar, berisi berbagai cemilan. Keripik singkong, keripik sambel, kue sagu, dan kue-kue kering lainnya. Kenapa heboh sekali mirip etalase toko kue? Karena, ini semua adalah demi untuk menunjang kegiatan yang super sibuk di kantor ini (Baca : untuk ransum bagi mereka yang diwajibkan lembur di malam harinya, dengan tujuan agar pekerja merasa nyaman dengan fasilitas kantor).

Suara sendok berdenting saat beradu dengan badan gelas. Mendadak suara seorang laki-laki muncul di dekatnya. "Halo, cantik. Rajin banget pagi-pagi udah nyampe kantor."

Erika berhenti mengaduk dan menoleh dengan ekspresi malas. Laki-laki ini dikenal sebagai playboy cap gomeh. Sebenarnya tampangnya lumayan. Dengan tubuhnya yang relatif tinggi, rambut bergelombang yang disisir rapi, dan wajah sebelas-dua belas dengan model iklan rokok Marl*oro, ya bisa dibilang lumayan cakeplah. Tapi kelakuannya yang senantiasa berambisi memacari perempuan-perempuan di kantor, tak peduli apakah mereka masih single atau sudah bersuami, membuat Erika illfeel dengannya.

Mario menyandarkan pinggangnya di ujung meja pantry. "Duh, kok cantik-cantik mukanya bete gitu sih, say?"

Erika kembali fokus mengaduk minumannya. "Minggir. Jauh-jauh, Mario. Mood-ku lagi kurang bagus hari ini."

"Oh. Apa lagi PMS hari ini?" tebak Mario.

Erika tidak menjawab. Hanya memberi satu tatapan tajam, lalu dia pergi berlalu meninggalkan Mario sambil membawa cangkirnya. Berjalan cepat di koridor ke arah mejanya. Rupanya Mario masih menempel ketat di belakangnya.

"Erika, tunggu! Aku dapat voucher makan di restoran sea food di mall seven!" kata Mario, berusaha mencegat kepergian Erika.

"Ajak aja yang lain. Lagian, aku juga gak bakal sempat. Ini aku sengaja dateng lebih pagi, supaya nanti lemburnya gak terlalu gila kayak kemarin," komentar Erika malas-malasan.

Mario nampak tak menyerah. "Oh ayolah. Cuma sebentar, paling cuma setengah jam. Aku anterin pake mobilku."

Erika sudah berdiri persis di samping kubikal mejanya. Dia berhenti berjalan dan menoleh pada laki-laki itu. "Mario. I said, NO! Sana pergilah, cari korban lain, oke?"

Tanpa menunggu jawaban, Erika meletakkan cangkirnya perlahan di atas meja dan duduk di kursi. Tangan kanannya meraih mouse dan membuka sebuah file di komputer yang terakhir dikerjakannya. Matanya fokus ke layar komputer. Mengetik, sembari sesekali menyeruput kopinya. Entah bagaimana, rasa kopi di lidahnya terasa aneh. Tidak seperti biasanya. Padahal ini adalah kopi dengan merk yang biasa dia minum. Mungkin dia memang benar sakit hari ini. Dia mulai mempertimbangkan untuk mengoleskan minyak angin yang ditawarkan Selly tadi.

Erika mendelik ke manusia yang masih juga berdiri di depan mejanya. Rupanya Mario masih belum beranjak. "Mau ngapain lagi sihh??" cetus Erika ketus.

"Erika, kamu 'kan belum lihat brosurnya. Coba lihat dulu. Sea food di sana terkenal yang paling ENAK! Yang biasa di mall mah, lewat! Lobsternya juga besar-besar! Nih coba lihat!"

Brosur itu dibuka dan diperlihatkan pada Erika. Sebuah mangkuk dengan hidangan beberapa ekor lobster yang telah dipotong-potong, disiram dengan krim kental putih, dan dikombinasikan dengan irisan tomat, kol dan daun bawang, terpampang di lembaran brosur. Nampak amat menggoda.

Namun entah kenapa, saat melihat foto makanan itu, perut Erika bereaksi. Rasa mual terasa naik hingga kerongkongannya. Erika menutup mulut dan berlari ke arah toilet.

"HEI!!! ERIKA!! KAMU KENAPA??" teriak Mario.

Tentu saja Erika tak bisa menjawab. Dia terus berlari hingga akhirnya berhasil membuka pintu toilet wanita. Erika merasa terharu saat melihat washtafel. Dan leganya, tak ada orang sama sekali di dalam toilet. Dia segera memuntahkan isi perutnya.

Sementara Mario berdiri menempelkan telinga ke pintu toilet dan mengetuk-ngetuk pintu. "Erika!! Kamu gak apa-apa??"

Suara muntahan masih terdengar dari luar pintu. Lalu tak lama berganti dengan suara siraman air keran.

Pintu terbuka. Erika sedang menyeka wajahnya dengan tisu. Dia bahkan tak peduli kalau make up-nya luntur atau tidak. Hari ini sungguh kacau, pikirnya. Semoga hari ini cepat berlalu.

"Ngapain, sih? Annoying banget! Gara-gara KAMU, aku jadi muntah!" omel Erika.

"Hah?? Emangnya aku ngapain? Aku 'kan cuma kasih liat gambar makanan!" ujar Mario dengan kernyitan di keningnya.

Erika berlalu meninggalkan pria itu yang masih berdiri di depan pintu toilet. Mario terheran-heran melihatnya.

"Kenapa ya? Pasti deh dia lagi PMS," gumam Mario.

.

.

***