webnovel

Bagian 47 (Anak Angkat)

.

.

"Yunan, apa kamu bersedia jadi anak kami?"

.

.

***

Setahun berlalu setelah Reuni.

Setelah perbincangan serius antara Erika dan Farhan, mereka sepakat untuk memiliki seorang anak angkat. Sebenarnya ini lebih karena Erika menginginkannya. Farhan sudah menyatakan dirinya siap jika mereka sama sekali tidak punya anak sampai kapan pun. Tapi Farhan tahu Erika sebenarnya masih ingin merasakan punya anak. Maka muncullah ide itu. Anak angkat.

Awalnya, mereka sama-sama membayangkan akan mengangkat anak yang masih bayi atau balita. Dengan pemikiran bahwa di masa-masa itu adalah masa yang menurut kebanyakan orang, anak sedang lucu-lucunya. Tapi, akhirnya yang terjadi sama sekali berbeda dengan yang mereka rencanakan.

"Silakan, sebelah sini, Bu, Pak," kata wanita muda berjilbab putih itu membukakan pintu yang ada jendela kaca di sampingnya.

Dari luar jendela kaca, sudah terlihat bayi-bayi yang tidur di dalam keranjang bayi dari kayu. Tapi melihatnya langsung dari dekat, itu lain cerita.

Erika menggenggam tangan Farhan sambil menunjuk ke seorang bayi mungil. "Aww ... lucu sekali, sayang! Coba lihat dia!"

Farhan tersenyum mendengar Erika yang sudah terbiasa memanggilnya 'sayang' bahkan tanpa dia memintanya.

Farhan mendampingi Erika menemui satu demi satu bayi yang telah menjadi yatim piatu. Sebagian dari mereka adalah bayi yang ditelantarkan orang tuanya. Sebagian berasal dari keluarga yang tidak mampu, sehingga akhirnya dirawat di panti asuhan ini.

Setelah satu jam, mereka berdua duduk di bangku panjang di sebuah ruang koridor. Farhan mengelus punggung Erika. "Sayang, jangan dipaksakan. Kalau kamu merasa kurang sreg, kita 'kan tidak harus menandatangani surat-surat hari ini. Kita bisa datang lagi nanti, kalau kamu sudah mantap dengan pilihanmu."

Erika menyandarkan kepalanya di pundak Farhan. "Mereka lucu-lucu, tapi aku merasa belum ... entahlah. Aku merasa ragu. Aku belum bisa memutuskan. Gimana kalau kamu aja yang pilih?"

Farhan mengelus kepala Erika dengan lembut. "Lho kok jadi aku? Ini 'kan awalnya ide kamu, sayang. Nanti kalau kamu sudah pilih, kita didiknya bareng-bareng. Tapi aku mau kamu yang pilih."

Erika menggigit bibirnya. "Ya udah aku pikirkan dulu deh."

Seorang bapak yang usianya 40-an berdehem tak jauh dari mereka berdua. "E-ehm. Maaf, permisi Pak Farhan."

Erika segera menegakkan kepalanya yang tadinya menempel dengan pundak suaminya. Mereka berdua tersipu malu. Farhan menjawab panggilan Bapak itu. "Iya, Pak. Gimana?"

"Tadi Bapak katanya mau tanya soal persyaratan pengangkatan anak?"

"Oh iya, Pak," sahut Farhan segera berdiri. Dia menengok sebentar ke Erika. "Sayang, aku ke kantor admin dulu ya. Kamu keliling aja dulu di sekitar sini ya."

Erika mengangguk. "Iya," jawab Erika. Farhan berlalu bersama staf panti asuhan ke arah kantor admin.

Erika menunduk ke lantai dan menghela napas. Dia menoleh ke koridor yang di ujungnya tersambung dengan taman. Terdengar suara anak-anak tertawa dari arah taman. Erika berdiri dari bangku dan melangkahkan kakinya menyusuri koridor. Sinar terang dari ujung koridor menyentuh kulit wajahnya.

Sebuah siluet anak laki-laki di salah satu ruangan yang ada di sisi kiri koridor, membuat langkah Erika terhenti. Dia menoleh ke ruangan itu. Rupanya ruangan itu adalah kamar tidur, dengan kasur bertingkat di kedua sisi kamar, dan sebuah jendela di antaranya. Anak laki-laki itu sedang menatap ke luar jendela yang berbingkai kotak-kotak. Dilihat dari tinggi badannya, anak itu mungkin berusia sekitar sembilan tahun.

Erika heran melihat dia hanya diam berdiri menatap ke arah taman, dimana beberapa anak tengah bermain riang. Suara tawa mereka terdengar cukup jelas di dalam kamar.

Mata Erika dipicingkan, dan perlahan matanya beradaptasi dengan sinar matahari dari arah jendela. Wajah anak itu mulai nampak jelas. Pancaran matanya teduh, alisnya tebal, garis bibirnya tipis, kulit wajahnya mulus langsat dan rambutnya berponi, menutupi sebagian alisnya. Ada sesuatu dengan anak itu, yang membuat Erika memiliki perasaan yang mirip dengan saat pertama dia melihat Farhan. Kesan itu begitu kuat. Erika merasa penasaran, celingukan menoleh ke kiri dan kanan koridor. Seorang staf wanita melintas di dekatnya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Erika menyapanya. "Bu, maaf, permisi."

"Ya?" sahut staf wanita itu.

"Mau tanya. Anak itu kenapa sendirian di dalam kamar, ya?" tanya Erika.

"Oh, dia? Namanya Yunan. Dia baru datang ke sini tiga hari yang lalu. Orang tuanya meninggal tahun lalu. Kami mendapat informasi dari warga di pemukiman daerah bantaran sungai di pinggiran Jakarta. Tadinya ada Om-nya di luar kota yang sering mengiriminya uang tiap bulan, tapi belakangan sepertinya Om-nya sudah tidak bisa mengirim uang lagi, karena tanggungannya bertambah."

"Oh begitu? Trus selama Om-nya nggak bisa mengirim uang, gimana cara dia bertahan hidup?".

"Dia sempat kerja serabutan. Pagi jadi loper koran, siang keliling jualin es. Tapi menurut kabar dari tetangga yang melapor pada kami, Yunan sempat sakit 2 minggu. Mereka khawatir karena dia tidak punya saudara sama sekali di Jakarta. Akhirnya kami datang menjemput dia."

Erika menoleh lagi ke arah anak itu. Yunan.

"Ibu boleh kok menyapa dia. Anaknya sebenarnya ramah, cuma agak tertutup. Kami dengar dari tetangganya, kucingnya baru saja mati. Kelihatannya itu juga yang membuat dia sempat jatuh sakit. Sebenarnya kondisi badannya sudah lebih sehat sekarang, tapi kami sengaja memberi dia libur. Supaya dia terbiasa dulu dengan lingkungan panti. Mungkin dalam dua hari lagi, dia baru mulai masuk sekolah."

"Sebelumnya dia pernah SD? Kelas berapa sekarang? Empat?" tanya Erika lagi.

"Sebenarnya dia sama sekali belum pernah sekolah formal. Tapi Ibu akan kaget kalau bicara dengannya. Anak itu lebih cerdas dari kebanyakan anak seusianya. Saya dengar, almarhumah Ibunya sebenarnya adalah sarjana lulusan S1, tapi memutuskan menikah dengan ayahnya yang seorang pedagang kecil di pasar. Ibunya sering membantu suaminya berdagang di pagi hari, lalu siangnya, Ibunya pulang ke rumah. Mengurus keperluan Yunan dan sekaligus mendidik Yunan.

Saya tidak tahu bagaimana cara Ibunya mendidiknya, tapi anak itu cerdas, bukan cuma membaca, menulis dan berhitung, dia juga ilmu agamanya bagus. Jadi dengan pengetahuannya, kami tidak khawatir, dia insyaallah akan bisa mengikuti Madrasah Diniyah."

Erika mendengarkan dengan takjub.

"Silakan sapa dia, Bu. Ibu boleh kok masuk ke dalam. Mari, Bu. Saya permisi dulu."

"Iya, terima kasih, Bu," ucap Erika sopan.

Wanita itu pergi ke arah taman. Erika kembali melihat Yunan. Jari tangan Erika mengetuk pintu. "Assalamualaikum," sapa Erika.

Yunan menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut. "Wa alaikum salam," sahutnya. Yunan pikir wanita di depan pintu adalah staf panti, tapi ternyata bukan. Wanita cantik ini dia tebak usianya sekitar dua puluh akhir, atau tiga puluh awal. Atasan lengan panjang yang dilapis brukat putih nampak kontras dengan rok panjang hitam yang ada motif siluet dedaunan putih di bagian atasnya. Melihat cara berpakaiannya, wanita ini jelas berasal dari kelas menengah ke atas, tebak Yunan.

"Boleh Tante masuk?" tanya Erika ramah.

Yunan tertegun sejenak sebelum menganggukkan kepala. "Boleh," jawab Yunan singkat.

Erika melangkah masuk ke dalam kamar, dan berdiri di samping Yunan. Ikut melihat ke luar jendela.

"Kamu lagi liat apa di luar?" tanya Erika.

Yunan sempat menatap mata Erika beberapa detik, tapi lalu kembali melihat ke jendela. Dia terlihat ingin menjawab, tapi ragu.

"Lagi liat temen-temenmu main? Kenapa kamu gak ikut main di taman? Tante denger kamu habis sakit ya? Sakit apa?"

Jari telunjuk Yunan mengarah ke seekor kucing yang sedang menjilat bulu kakinya di bawah pohon di taman.

"Aku bukan sedang melihat mereka, tapi kucing itu," jawab Yunan.

Mata Erika mengikuti arah telunjuk Yunan. Kucing yang ditunjuknya berbulu putih dengan totol hitam. Di bagian matanya ada lingkaran hitam yang membuat kucing itu mirip sapi.

"Tante dengar, kucingmu mati ya? Tante ikut sedih. Kalau kucing sudah lama dipelihara, biasanya rasanya seperti bukan hewan peliharaan, tapi lebih mirip keluarga," kata Erika.

"Tante pernah pelihara kucing?" Pertanyaan pertama Yunan.

"Dulu di rumah Ibunya Tante, ada kucing liar yang sering main ke rumah. Karena sering dikasih makan, jadi dia datang terus. Enggak tau bisa dibilang kucing peliharaan atau bukan. Soalnya sebenernya dia kucing tetangga. Tapi kalo kucing itu nggak mampir sehari aja, rasanya ada yang hilang," jawab Erika tersenyum.

Yunan tertunduk dan bibirnya menyunggingkan senyum. "Iya. kucing memang seperti keluarga," gumamnya.

"Siapa nama kucingmu?" tanya Erika.

"Mueeza."

Alis Erika berkerut. "Mueeza? Jantan?"

"Iya jantan. Mueeza adalah nama kucing Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam."

"Ooh. Sudah berapa lama Mueeza jadi kucingmu?"

"Satu tahun."

Jawaban itu membuat Erika terdiam. Dia masih ingat staf wanita barusan yang bilang kalau orang tua Yunan meninggal setahun yang lalu.

Seperti memahami pikiran Erika, Yunan tersenyum padanya dan berkata.

"Aku bertemu Mueeza persis setelah penguburan orang tuaku."

Erika merasa seperti ada angin dingin di tubuhnya. Meskipun Yunan masih kecil, tapi Yunan sepertinya baru saja melewati masa-masa yang sangat buruk dalam hidupnya. Ditinggal kedua orang tua kandung bersamaan, lalu sekarang kucingnya satu-satunya mati meninggalkannya juga. Kehidupan antara Erika dan Yunan sama sekali tak bisa dibandingkan. Erika selalu hidup berkecukupan, tak pernah sekalipun dirinya merasa kelaparan. Tapi mendengar kisah hidup Yunan dari staf panti, Erika merasa hidup Yunan sangat keras, untuk anak sekecil dia. Mungkin itu juga yang membuat dia dewasa lebih cepat ketimbang anak-anak lain seusianya.

Dirinya merasa ingin bertanya. Bagaimana orang tuamu meninggal? Apa kamu punya teman di sekitarmu? Atau kamu selalu sendirian? Tapi dia tidak tega melakukannya. Akankah pertanyaan-pertanyaan itu menyakiti perasaannya?

Mendadak muncul keyakinan dari dalam hatinya. Dia adalah anak yang dicarinya! Semakin Erika melihatnya, Erika semakin yakin. Dia tidak perlu lagi berlama-lama 'me-wawancarai'nya dengan berbagai pertanyaan.

Yunan nampak heran dengan cara Erika memandanginya. Tapi lebih terkejut lagi saat tiba-tiba Erika bertanya padanya. "Yunan, apa kamu mau punya orang tua angkat seperti Tante?"

Bagaimana wanita ini bisa tiba-tiba bertanya seperti itu padanya? Mereka bahkan belum bercakap lebih dari tiga menit, dan sekarang wanita ini menawarkan diri untuk menjadi orang tua angkatnya?

Yunan terlihat ragu. Dia kembali melempar pandangannya ke jendela.

"Apa Tante memilihku karena kasihan? Aku enggak suka dikasihani," kata Yunan.

Erika kembali dibuat kaget oleh anak ini. Staf tadi benar. Yunan memang penuh kejutan.

"Sama dong. Tante juga gak suka dikasihani orang. Tante pilih kamu karena gabungan dari apa yang sudah kamu alami, dan kesan yang Tante dapat begitu melihat dan bicara padamu. Jadi, sama sekali gak ada hubungannya dengan rasa kasihan.

Lagi pula, kalau maksudmu kasihan karena kamu yatim piatu, bukannya semua anak di sini semua yatim piatu? Berarti harusnya Tante kasihan sama semua anak di sini dong?" kata Erika tersenyum.

Pertanyaan Erika membuat bola mata Yunan melirik ke atas dengan ekspresi yang seolah mengatakan 'iya juga ya?' Erika tersenyum geli.

Yunan kembali menatap Erika. "Apa Tante belum punya anak?" tanya Yunan.

Erika agak terkejut. Tak menyangka Yunan akan bertanya seperti itu padanya.

"Belum. Tante memang belum punya anak," jawab Erika jujur.

"Apa Tante bermaksud menjadikan aku 'pancingan'?" tanya Yunan langsung.

Erika memicingkan mata. "Hah? Pancingan?"

Yunan masih melihat Erika tak berkedip.

"Iya. Kemarin aku gak sengaja dengar percakapan seorang Tante dan Om di koridor. Mereka bahas soal 'pancingan'. Katanya supaya si Tante itu bisa jadi hamil setelah adopsi anak."

Erika bengong. Dia tertawa. Walau bagaimanapun, Yunan tetap masih anak-anak. Dan pertanyaannya barusan, adalah gambaran dari kepolosannya.

"Maaf," kata Erika berdehem setelah menghentikan tawanya. Dia berjongkok di depan Yunan, hingga wajah mereka kini sama tinggi. "Enggak. Insyaallah, Tante gak ada niat angkat anak untuk jadi 'pancingan'."

Sorot mata Yunan seolah bertanya padanya 'Lalu, untuk apa?'

Erika tersenyum. "Kamu pernah dengar hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam yang ini? 'Saya dan orang yang memelihara anak yatim di surga, seperti ini' (sambil merenggangkan jari telunjuk dan jari tengah)" *

*Hadits riwayat Abu Hurairah radiallahu anhu

Yunan mengangguk. "Ya. Aku pernah dengar dari almarhumah Ibuku."

"Tante ingin mengangkat anak, salah satu alasannya adalah karena ingin mengikuti hadits itu. Alasan satu lagi, karena Tante merasa harus melakukan ini. Sulit dijelaskan. Tante juga gak tau kenapa," imbuh Erika.

Yunan menatap mata Erika seperti sedang mencoba 'membaca'nya. "Tante punya suami?" tanya Yunan.

"Ada. Suami Tante lagi di kantor admin. Kamu mau ketemu? Sebentar ya," ucap Erika sebelum keluar ke koridor.

Yunan memperhatikan sosok Erika dari belakang. 'Keluarga baru?' pikirnya.

Aku baru 3 hari di sini, lalu seseorang mengajakku menjadi bagian dari keluarganya, setelah bertemu denganku hanya beberapa menit?

Anak itu masih tak percaya. Benarkah sebentar lagi dia akan punya keluarga baru?

***

Farhan memelotot setelah mendengar sebaris pernyataan dari Erika. "Sayang, aku sudah menemukan anak itu!" Erika mengatakannya dengan mata berbinar-binar.

Sebentar. Bukankah sepuluh menit yang lalu dia bilang masih tidak yakin? pikir Farhan.

Belum sempat Farhan bertanya, Erika sudah menggenggam tangannya dan menariknya ke arah kamar Yunan. Jari Erika menunjuk ke dalam ruangan. "Dia anaknya," kata Erika tegas.

Farhan memperhatikan anak laki-laki itu, yang sekarang sedang melihat ke luar jendela.

"Namanya Yunan," imbuh Erika.

Mata Farhan masih belum berkedip menatap siluet anak itu dari belakang. "Aku boleh bicara dulu dengan dia?"

Dari kalimat itu, Erika merasa Farhan ingin bicara berdua saja dengan Yunan. Erika mengangguk dan tidak ikut masuk ke dalam kamar.

Farhan mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum."

Yunan menoleh. "Wa alaikum salam," sahut Yunan. Dia terkesan dengan Farhan yang wajahnya nampak bersahabat dan santun. Penampilannya sederhana dan wajahnya terlihat cerah dengan baju putih.

"Boleh Om masuk?" tanya Farhan.

"Boleh, Om," jawab Yunan dengan anggukan.

Farhan memasuki kamar dan berdiri persis di depan Yunan. "Om mau bicara sebentar sama kamu. Duduk dulu, yuk," ajak Farhan.

Yunan mengangguk. Mereka duduk bersebelahan di tepi kasur.

"Namamu Yunan?" tanya Farhan meski sebenarnya sudah tahu nama Yunan dari Erika.

"Iya Om," jawab Yunan singkat.

Farhan menyodorkan tangannya. "Nama Om, Farhan," kata Farhan memperkenalkan diri.

Yunan mencium punggung tangan Farhan. Farhan tersenyum. Hati Farhan terasa hangat. Farhan refleks mengusap kepala Yunan. Yunan diam saja, tapi usapan itu membuatnya merasa nyaman.

Farhan menoleh sebentar ke luar pintu. "Nama istri Om, Erika," imbuh Farhan.

Yunan mengangguk. Dia memang belum tahu sama sekali siapa nama wanita yang tadi bicara dengannya.

"Apa dia sudah cerita padamu? Kami berdua belum punya anak. Kami sudah enam tahun menikah," tanya Farhan.

Yunan kembali mengangguk. "Iya. Tante Erika sudah cerita."

"Yunan, Om ada di sini untuk menemani istri Om, memilih seorang anak untuk jadi anak angkat kami. Om memang sengaja membiarkan dia yang memilih. Om sangat mencintai dia, dan Om ingin anak ini menjadi hadiah terindah untuknya. Karena Om tau, istri Om sangat rindu dengan kehadiran anak di rumah kami."

Mata Yunan memandangi pancaran mata Farhan yang lembut. Walaupun masih kecil, dia bisa merasakan, pasti Farhan sangat mencintai istrinya.

"Saya ngerti, Om," sahut Yunan tersenyum.

Farhan membungkukkan punggungnya hingga wajah mereka berdua sejajar. "Yunan, apa kamu bersedia jadi anak kami?"

Yunan memandangi mata Farhan dan merasa tenang hanya dengan melihatnya. Usianya memang baru sembilan tahun, tapi selama sembilan tahun hidup di daerah yang biasa disebut orang 'pinggiran', dia sudah bertemu macam-macam orang dengan beragam karakter. Bahkan orang berpakaian resmi dan berdasi, hatinya bisa rusak, tak serapi pakaiannya. Yunan bisa mengenali orang jahat dan baik. Dan orang di hadapannya ini, Farhan, bukan hanya baik. Dia orang yang sangat baik. Setidaknya itu yang dirasakannya sekarang.

Hidup sungguh tidak bisa ditebak. Di suatu hari Yunan sedang menghabiskan kesehariannya bersama Ibunya. Membantu Ibunya mencuci piring, di saat Ibunya sedang sibuk membuat pesanan kue.

Satu kejadian yang paling diingatnya adalah pagi terakhir dia melihat ibu dan bapaknya. Saat itu bapaknya membonceng ibu dengan motor butut mereka satu-satunya. Membawa plastik dan karung berisi kue, seperti biasa. Hari itu seperti hari-hari biasanya. Tak dirasa ada yang janggal, atau yang biasa orang bilang dengan 'pertanda'.

Bapaknya berpesan sebelum mereka berangkat. "Bapak dan Ibu berangkat ya, Nak. Jangan lupa bersihkan rumah, rendam cucian, mandi, salat Dhuha, baca Qur'an."

Yunan mencium punggung tangan keduanya. "Iya Pak, Bu," jawabnya.

Hanya satu kalimat yang kemudian ditambahkan oleh bapaknya. "Setelah salat, do'akan bapak dan ibumu ya, Nak."

Entah kenapa, saat mendengar kalimat itu, Yunan merasa seperti ingin menangis, tapi dia menahan rasa itu, dan melepas kepergian mereka berdua dengan senyuman.

Dan sekarang, mendengar Farhan bertanya seperti itu padanya, tiba-tiba bayangan orang tua kandungnya muncul di pikirannya. Dalam hati Yunan meminta izin pada mereka berdua, dan bayangan mereka berdua tersenyum padanya, seolah mereka rida jika Farhan dan Erika menjadi orang tua angkatnya, melanjutkan tugas orang tua kandungnya dahulu.

Yunan mengangguk. "Iya, Om. Saya mau," jawab Yunan mantap.

Farhan bisa melihat mata Yunan yang berkaca-kaca, tapi bocah tegar ini berusaha menahan dirinya agar tidak menangis. Farhan tersenyum dan memeluk Yunan. "Kalo gitu, mulai sekarang, panggil aku 'Ayah'," kata Farhan.

"Iya, Ayah."

Farhan tersenyum. Hatinya tersentuh. Panggilan 'ayah' pertamanya.

***