webnovel

Menyusuri Jalan Lama

Sinar mentari yang hangat menghilangkan rasa dingin semalam yang menyelimuti ruang hati. Suasana pagi di kota istimewa memang berbeda dibandingkan dengan kota yang ada di daerah khusus. Tetap ada hilir mudik kendaraan lewat, namun tidak sampai semacet dan seramai kota Jakarta. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat dirindukan sejak lama oleh Albert. Sudah lama rasanya sejak dia dan Awan pindah menuju ke sebuah kota yang sangat padat dan keras kata orang-orang.

"Pagi Pak", seru Albert menyapa penjual makanan favoritnya selama di Yogyakarta.

"Pagi dek, mau pesan apa?", tanya pedagang itu dengan ramah.

Albert kemudian melihat-lihat menu yang ada di hadapannya.

Setelah beberapa saat menimang-nimang, pemuda itu kemudian memesan menu makanan paginya. "Saya pesan ayam, sate jeroan, sama nasi satu porsi ya Pak. Oh iya, saya juga minta sambalnya".

Tempat makan itu adalah salah satu tempat makan favorit Awan dan Albert. Bagi mereka berdua, tidak ada menu makanan lain di Yogyakarta yang seenak menu warung itu, apalagi sambalnya. Jika biasanya sambal yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah terkenal manis, tetapi di tempat itu sangatlah berbeda. Rasa sambalnya kuat dan pedas.

"Bapak gak ingat sama saya?", tanya Albert kepada penjual itu.

Bapak-bapak penjual makanan itu kemudian menoleh menatap wajah Albert. Tampak dia mencoba mengingat-ingat kembali wajah pemuda yang saat ini ada di hadapannya.

"Ohh nak Albert, benar kan ini kamu?", tanya penjual itu mencoba menerka dengan percaya diri.

Albert tersenyum, "betul sekali, akhirnya sampeyan ingat juga".

"Apa kabar dek? Tiba-tiba aja loh kamu pindah. Pindah kemana sih kalau boleh tahu?"

"Saya pindah ke Jakarta Pak", sahut Albert sembari menyuap satu sendok nasi ke dalam mulutnya.

"Nak Awan juga kok ikut-ikutan pindah?", tanya penjual itu penasaran.

Albert diam sejenak karena sedang mengunyah makanan yang ada di mulutnya.

"Singkat ceritanya, Awan yang pindah duluan. Lalu karena alasan tertentu aku ikut pindah bersama Awan", sahut Albert sembari mengambil minuman yang sudah tersedia di depannya.

Sesaat berlalu, satu porsi makanan yang dipesan sudah lenyap tanpa sisa karena berpindah ke perut kosong Albert. Setelah membayar makanan yang dipesan, dia kemudian berpamitan pergi untuk melanjutkan perjalanannya.

Albert sengaja tidak memesan ojek online atau taksi online karena tempat tujuannya tidak terlalu jauh dari tempat dia menginap. Selain menghemat uang, dia juga punya alasan untuk ikut membantu menjaga iklim dunia.

Langkah kecil kaki lelaki itu kemudian terhenti di sebuah kedai klasik. Bentuk bangunanya sangat berbeda dari bangunan café atau kedai kopi saat ini. Terlihat dari bentuk bangunan dan arsitekturnya bahwa ini adalah bangunan lama, bahkan mungkin sjeak zaman pra kemerdekaan. Suasanannya benar-benar tenang dengan alunan musik gamelan Jawa yang meneduhkan hati.

Mata Albert memandang kesana kemari untuk mengecek apakah orang yang janjian dengannya sudah datang atau belum. Arah matanya kemudian tertuju pada satu kursi yang ada di pojokkan, tepat di sampingnya adalah jendela yang cukup untuk melihat pemandangan yang ada di luar.

"Hai, Eunike kan?", seru Albert menyapa seseorang yang ada di depannya.

Wanita itu kemudian menoleh ke belakang dan bangkit berdiri.

"Hai, iya betul namaku Eunike. Kamu Awan kan?", sahut wanita itu sembari mengajak berjabat tangan.

Albert membalas jabatan tangan itu dan terseyum. Kemudian dia duduk di depan Eunike.

"Udah makan belum? Kalau belum aku pesen makanan ya", tanya Eunike dengan ramah.

Dengan segera Albert menolak hal itu. "Maaf aku baru aja makan", sahutnya dengan sopan supaya tidak menyinggung.

"Mau minum apa? Aku yang bayar, kan aku yang ngajak kamu untuk ketemuan", sekarang giliran Albert bertanya.

Eunike kemudian membaca daftar menu untuk memilih minuman apa yang ingin dia pesan. "Aku mau teh hangat aja satu, tawar tapi"

Pesanan tiba tidak terlalu lama karena mereka berdua sama-sama tidak memesan makan. Mereka saling berbasa-basi sejenak untuk lebih nyambung lagi ke depannya. Sebenarnya mereka pernah bertemu dan sudah saling kenal, namun tidak terlalu lama. Apalagi setelah bertahun-tahun tidak saling bertemu, jadi wajar saja kalau akan ada kecanggungan di antara mereka berdua.

"Kalau begitu, boleh langsung aja ke intinya?", tanya Albert setelah beberapa saat saling mengobrol supaya tidak ada rasa canggung.

"Boleh kok", sahut Eunike sambil tertawa.

Albert kemudian mengeluarkan satu amplop berisi kesatuan kertas. Kemudian lelaki itu menghela nafas dan mulai menjelaskan maksud dari kertas-kertas itu.

"Jadi ini adalah naskah dan alur cerita yang akan kita buat videonya. Mungkin kamu sudah pernah menerimanya dalam bentuk soft copy, tetapi supaya lebih berasa vibes syutingnya, maka aku bawakan yang versi hard copynya. Di sini juga ada beberapa peraturan dan SOP yang dilaksanakan selama proses pembuatan video. Kamu coba lihat-lihat dan baca terlebih dahulu, nanti kalau ada yang tidak paham boleh ditanyakan kembali kepadaku atau kepada teamku"

Eunike kemudian mengambil berkas tersebut dan membacanya. Tidak ada salahnya untuk membaca script cerita yang versi hard copynya. Lagipula ada beberapa rules yang belum dia ketahui sebelumnya.

"Gimana? Ada yang ingin ditanyakan?", tanya Albert mencoba memastikan.

"Sejauh ini gak ada, tapi nanti kalau ada yang bingung aku akan tanyakan lagi kepada kalian", sahut wanita itu.

Sejenak terdiam karena tidak ada bahan obrolan, akhirnya Eunike memberanikan diri untuk bertanya, sekaligus membuka obrolan supaya tidak canggung.

"Katanya kamu kesini bareng Awan, tapi kok dari tadi aku lihat kamu sendirian. Dia sakit perut atau bagaimana kok gak ikutan kesini?".

"Ohh iya aku sampai lupa memberitahu. Jadi aku mewakili Awan meminta maaf karena dia tidak bisa ikut syuting. Memang awalnya dia berencana ikut, tetapi semuanya batal beberapa jam sebelumnya", sahut Albert sedikit tersedak karena dia baru tersadar akan hal tersebut. Untung saja Eunike menanyakan hal tersebut, kalau tidak dia pasti akan kena marah Awan karena lupa tidak memberitahu wanita itu kenapa dia tidak jadi ikut.

"Kenapa kok tiba-tiba batal? Keluarganya ada yang meninggal atau sakit?", tanya Eunike menebak-nebak.

Awan menggelengkan kepala segera mengklarifikasi. "Bukan itu alasannya. Jadi dia diminta untuk ikut penelitian tentang bahan bangunan dari bahan bekas. Penelitian ini sangat penting karena dilaksanakan bersama dengan Universitas Oxford. Dengan mengikuti penelitian ini, maka peluang Awan untuk masuk ke universitas tersebut akan semakin terbuka, apalagi itu adalah kampus impiannya sejak dahulu. Jadi mohon maaf atas hal ini dan mohon pengertiannya ya"

Eunike mengangguk paham. "Santai aja, selama itu memang penting aku tidak akan mempermasalahkannya. Justru aku senang mendengar hal itu. Aku bahkan pingin juga mendapatkan kesempatan itu. Jadi kalau aku jadi dia pun akan memilih keputusan yang sama. Sampaikan kepada Awan kalau aku gak marah"

Obrolan itu masih berlanjut sampai mendekati siang. Perbincangan mereka lebih kepada hal teknis tentang apa saja yang perlu dipersiapkan saat syuting dan lain sebagainya. Maklum saja, mereka berdua bukan berasal dari sekolah film, jadi segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang dan jangan asal-asalan. Tetapi di balik obrolan itu, Albert senang karena misi penyampaian mohon maaf dari temannya sudah berhasil, jadi sekarang dia tidak akan diganggu terus oleh telepon gak penting dari Awan yang selalu penasaran akan hal itu.