webnovel

Anti Sosial

Laras itu gadis biasa, tidak suka basa-basi dan pendiam setengah mati, bergerak bagaikan robot dengan pandangan sayu dan mulut terkatup. Rafan adalah Bos yang sangat disiplin, bermulut pedas dengan wajah tidak merasa bersalah, seminggu yang lalu dia mengalami kecelakaan, kedua matanya mengalami kebutaan. Meski begitu, tidak pernah terlihat raut kesedihan di wajah tampannya, Seno bahkan sampai bingung karena Bos nya malah semakin gila kerja setelah keluar dari rumah sakit, bahkan Dia tidak sama sekali melupakan Hobinya yang suka memecat orang jika di rasa orang itu sudah tidak pantas untuk berkerja di perusahaannya. Rafan membutuhkan Sekertaris Baru, tidak masalah lelaki atau perempuan, asalkan bisa bekerja dengan benar. Seno pusing sekali mendengar ucapan Rafan, tidak bisa berpikir atau mencari ditengah pekerjaannya yang menempuk, Hingga Seno melihat Laras di ruang pentry sedang membuat kopi hitam untuk dirinya. "Apa dia saja ya ?" gumam Seno dengan sorot mata terus menatap Laras. Setelah membaca cerita ini dan masih ada rasa penasaran dalam benak kalian, aku sarankan untuk membaca kembali ceritaku yang berjudul I Missing You yang menjadi lanjutan cerita dari cerita ini, terimakasih.

Dina_Nurjanah_7988 · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
192 Chs

Keluar!

Aku berdiri di depan gerbang besar yang membentengi rumah megah miliknya, rumah yang baru beberapa hari ini menjadi tempat tinggalnya sekaligus tempatnya bekerja juga, perasaanku bercampur aduk, baru kemarin dia mengalami tragedi yang membuatnya merasa bersalah sekaligus bersedih, rasanya selalu ada beban setiap pergi atau berurusan dengan orang yang mempunyai power.

Aku harus kembali profesional selama dua puluh empat jam, semangat Laras.

"Mba Laras" suara Tejo menyapa dari celah kecil yang ada, melihat Laras yang hanya berdiri mematung sambil memandang gerbang besar itu.

Tejo segera membuka gerbang besar itu dan mempersilakan untuk Laras masuk kesana, rumah besar yang sejujurnya membuat ia tak nyaman.

"Terimakasih Pak Tejo" ucap Laras dengan senyum manis.

"Sama-sama Mba Laras, ayo cepat masuk Mba, kayaknya mba Laras sudah di tunggu sama Pak Rafan"

Laras mengangguk sebagai jawaban, ia lalu berjalan masuk menaiki beberapa anak tangga yang terhubung langsung dengan pintu masuk rumah mewah itu.

Huft... Rasanya baru kemarin dia bisa sedikit bernafas lega, naik motor dengan adiknya, menikmati udara sore, meski sampai kerumah dia harus merasa pusing menghadapi masalah keluarganya yang tak kunjung selesai dan malah bertambah setiap hari, setiap bulan, bahkan setiap tahun.

Aku masuk kedalam rumah ini, menginjakkan kakiku kembali pada lantai-lantai marmer ini, seperti biasanya, rumah besar ini selalu sepi, dengan berat hati dan berat langkah tak dapat mencegahku untuk menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar si Tuan muda yang tak lain bosnya sendiri, beruntung aku sudah siap dari rumah memakai baju kerja, jadi dia tidak perlu mampir kedalam kamarnya dan membuang waktu.

Laras sudah berdiri di depan pintu kamar yang ia tuju, tangannya bersiap mengetuk pintu itu sampai akhirnya dia kaget karena pintu itu dibuka dari dalam dan memperlihatkan wajah Bi Inem yang membawa nampan kecil berisi gelas kosong.

"Eh Mba Laras, baru datang ?" tanya Inem berbisik sambil tersenyum.

Laras mengangguk sesaat "Iya Bi, Pak Rafan ada ?" tanya Laras sambil matanya yang melongok mengintip kedalam kamar itu.

"Ada, masih tidur, ini Bibi baru kasih madu, Mba Laras nanti pelan-pelan ya bangunin Pak Rafannya, soalnya Pak Rafan baru balik subuh tadi"

Laras terlihat kaget, matanya membulat menatap Inem "Pak Rafan lembur mungkin ya" sahut Laras namun Inem tak menanggapi, Dia malah membuang wajah seperti menghindari obrolan ini dengan Laras.

"Mba Laras langsung masuk saja kedalam ya, Bibi mau lanjut masak lagi untuk sarapan" ucap Inem dan berlalu begitu saja.

Laras memperhatikan punggung Inem yang semakin menjauh, merasa aneh karena Bi Inem terlihat sedang menyembunyikan sesuatu padanya, Dia bahkan tidak menyapa Laras atau basa-basi menanyakan kabarnya seperti kemarin-kemarin mereka bertemu.

Aku kembali melihat kearah kamar yang kini pintunya terbuka begtu saja, berjalan masuk kedalam dan menutup pintu itu dengan sangat pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu waktu tidur bosnya.

Beberapa baju berserakan di lantai, sepatu, dasi, gesper, jas, celana... semuanya berceceran dilantai membuat Laras mau tidak mau mengambilnya satu persatu dan memasukkannya kedalam keranjang pakaian kotor yang ada di dalam kamar itu, Aneh! tidak biasanya bosnya begini.

Setelah selesai merapikan semua pakaian yang berserakan dan menaruh barang-barang itu ditempat yang sewajarnya, Laras berjalan kearah ranjang besar yang mana kini sudah tampak seperti kapal pecah.

Seprei yang tidak beraturan, bantal yang jatuh kebawah dan selimut yang terbentang luas menutupi tubuh bosnya yang masih terbaring dialam mimpi dengan nyaman dan penuh kehangatan.

Laras menarik nafas sejenak, menyiapkan mentalnya untuk membangunkan sang pangeran itu, semoga saja dia tidak terkena amukannya.

"Pak Rafan... Selamat Pagi" pelan, Laras membangunkan dengan suara begitu lembut bak lagu pengantar tidur yang tentu saja tidak berhasil membuat Rafan untuk lekas bangun dari tidurnya.

Selimut itu malah semakin bergerak menutupi tubuh di dalamnya, membuat Laras kembali harus membangunkannya. "Pak Rafan, sudah jam enam pagi, waktunya bangun Pak" ucap Laras lagi, kali ini dengan sedikit keberanian menarik pelan selimut itu.

Bosnya nih lagi kenapa sebenarnya ?! Gak biasanya dia begini, setiap Laras datang pasti bosnya sudah bangun, tapi sekarang.... Hutf, Sabar!

"Pak Rafan ayo bangun Pak, sudah jam enam pagi"

Sabar Laras sabar.

Terjadi tarik menarik selimut antara Laras dan Bosnya yang bahkan tidak sama sekali terlihat wajahnya karena semakin menenggelamkan tubuhnya pada selimut itu.

"Apaansih kamu, pergi sana..." lantur Rafan dibalik selimut tebalnya, membuat Laras kesal mendengarnya.

Gua bangun pagi-pagi sengaja biar gak telat, gue paksain meskipun matanya gue masih sepet gak bisa melek dengan sempurna, biar Dia gak ngamukkin gue, tapi ini orang malah begini, Sumpah nyebelin banget!

Laras jelas gak terima, Dia semakin selimut itu, jika tadi dia masih bersikap lembut dengan hati yang penuh rasa sabar, kini... sudah selesai, Laras tampaknya sudah habis kesabaran, Dia kini seperti layaknya seorang ibu yang membangunkan anak sulit bangun pagi untuk pergi kesekolah.

"Laras saya masih ngantuk!" bentak Rafan sambil menendang selimutnya, matanya terbuka memandang seperti memandang Laras.

Laras langsung terdiam, ia lekas membekap mulutnya dan menutup matanya takkala melihat keadaan Rafan yang terbaring dengan hanya memakai celana pendek berwarna hitam dengan dada bidang yang terekspos begitu saja.

"Pak Rafan gak mau ke kantor hari ini ?" tanya Laras masih dengan menutup matanya.

Terdengar helaan nafas Rafan yang begitu lelah, pria itu lalu mengusap wajahnya dengan frustasi dan mengibas-ibaskan rambutnya, mata Rafan terlihat merah sekali, Dia sepertinya benar-benar masih mengantuk dan kurang tidur.

"Saya masih ngantuk Laras, saya masih ngantuk!" ucap Rafan dengan begitu kesalnya lalu memaksakan dirinya untuk bangun dan terduduk dikasurnya.

"Keluar" ucapnya yang langsung membuat Laras bingung.

"Tapi Pak... ini sudah jam..."

"Saya bilang keluar"

Rafan tampak masih mencoba untuk bersabar walaupun kini tangan memegang guling dengan begitu kuatnya yang langsung membuat Laras takut.

"Pak Rafan..."

"Oh atau kamu mau temenin saya tidur ? Sini tidur disebelah saya." Rafan langsung menggeser tubuhnya dengan sebelah alisnya yang terangkat meremehkan.

Laras terdiam, namun ia masih mencoba bersabar dan kembali menjelaskan kegiatan bosnya hari ini yang padat dengan agenda meeting dan pertemuan.

"Pak Rafan, bapak hari ini ada meeting penting, pertemuan di salah satu hotel yang har..."

"SAYA BILANG KELUAR!"

Laras tersungkur begitu bantal itu menambrak wajahnya, Rafan yang melemparkannya dan entah kenapa walau tidak bisa melihat, tapi bantal itu melayang tepat pada sasarannya bersamaan dengan suara teriaknya.

"Keluar"

Ucapan Rafan itu membuat Laras tak lagi mendebatnya, perasaannya campur aduk saat ini, ia keluar sambil memegangi pipinya yang kini terasa panas akibat lemparan telak Rafan yang begitu kuat.