Sebulan telah berlalu sejak pertengkaran di kafe hari itu, hubungan Randy dan Luna semakin dekat. Bahkan bisa di bilang lebih dekat, sedangkan Randy dan Rudy semakin perang dingin karna memperebutkan Luna.
Hari ini Randy kembali ke kediaman utama, yaitu rumah ayahnya. Untuk membicarakan masalah keputusan Randy untuk terjun ke perusahaan ayahnya, namun ternyata disana sudah ada Rudy yang merencanakan untuk melamar Luna.
"yah, aku ingin meminta bantuan ayah untuk melamar Luna." ungkap Rudy yakin.
Rudy cukup merasa tegang jika berhadapan dengan ayahnya, pasalnya terakhir kali ia menginjakkan kaki dirumah ini adalah saat ia memilih hidup sendiri dan membangan kehidupan sesuai keinginannya.
"Pelayan kafe itu?" tanya ayahnya pada Rudy.
"iya, kuharap ayah merestuiku lalu membantuku melamar Luna. Atau ayah akan menyesal." jawab Rudy dengan serius.
Dapat Rudy lihat jika tatapan mata ayahnya menajam, dan Rudy tau jika kata-katanya akan memprovokasi sang ayah.
"apa maksudmu?" tanya sang ayah dengan tajam.
"Randy mencintai Luna, jika ayah tidak segera melamarkan Luna untukku. Randy yang akan mendapatkan Luna, dan menjadikan Luna nyonya di rumah ini." jelas Rudy dengan senyum tipis.
Rudy tau jika sang ayah tidak menyukai wanita miskin masuk ke keluarga mereka, namun tidak berlaku baginya. Karna Rudy sudah keluar dari rumah ini, itu artinya ayahnya tidak lagi perduli dengan kehidupannya kecuali persoalan internal.
Seperti saat ini, Rudy meminta ayahnya untuk melamar Luna. Karna hanya ayahnya yang bisa melakukannya, atau Luna pasti menolak lamarannya jika ia melakukannya sendiri.
Licik memang, Rudy akui itu. Tapi hanya ini cara yang bisa ia lakukan untuk menjauhkan Luna dari Randy. Rudy benar-benar mencintai Luna, teramat sangat. Namun selama ini ia hanya memandamnya saja, karna takut Luna akan menjauh jika ia tau.
"besok akan ku lamarkan anak miskin itu untukmu, jauhkan dia segera dari Randy." ucap ayahnya tegas.
"baik yah" balas Rudy dengan senyum senangnya.
Rudy merasa puas mendengar jawaban ayahnya, dengan langkah tenang ia keluar dari rumah mewah itu. Sedangkan disisi lain, Randy mengepalkan tangannya hingga memerah. Lalu Randy memilih untuk pulang ke apartemannya saja, ia membatalkan niatnya untuk berdiskusi dengan sang ayah.
Randy mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, dan memarkirkan mobilnya asal. Lalu Randy berlari menuju aparteman miliknya, dan masuk ke kamarnya. Luna yang berada di ruang tamu pun tak dianggap oleh Randy, ia melewatinya dan mengunci diri dalam kamar.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pukulan pada tembok dan benda-benda yang berjatuhan. Di iringi oleh teriakan-teriakan yang Randy lakukan, hal itu membuat Luna merasa khawatir pada Randy.
"Ran, Randy lo kenapa? Ran, buka pintunya? Ran, lo jangan gila ya? Buka pintunya, Randy!" teriak Luna dari luar kamar Randy.
Luna mencoba berbicara dengan Randy, namun Randy tidak menanggapinya. Bahkan suara-suara mengerikan itu terus terdengar, entah apa yang terjadi pada Randy yang pasti itu bukan sesuatu yang baik.
Tidak kehabisan akal, akhirnya Luna terpaksa mengunjungi reseptionist di lantai dasar untuk meminta kunci kamar cadangan pada aparteman Randy. Setelah mendapatkannya, Luna langsung berlari kembali menuju kamar Randy.
Luna mencoba membuka kuncinya, dan akhirnya bisa terbuka. Luna langsung membuka pintunya, dan benar saja. Kamar Randy hancur berantakan, pecahan kaca dimana-mana.
Ranjang, vas bunga, jendela, dan benda-benda lain telah hancur berantakan. Semua tidak lagi berbentuk, ada apa sebenarnya dengan Randy? Luna mencari seseorang yang menjadi alasan dari rada khawatirnya, Randy. Randy terlihat berdiri menatap jauh tembok di depannya, dengan tangan yang menempel pada tembok.
Luna melangkah perlahan mendekati Randy, dengan memperhatikan kakinya agar tidak menginjak kaca yang berserakan itu. Luna melihat tangan Randy terluka dan langsung meraih tangan Randy yang terlihat memar dan penuh darah itu.
"astaga Ran, lo kenapa sih? Ya ampun tangan lo sampe robek gini, ayo keluar dulu gw obatin lukanya." ucap Luna khawatir.
Randy tetap diam tidak berbicara apapun, bibirnya terkunci rapat dan tatapannya tajam. Luna merasa bingung dengan sikap Randy, sebenarnya ada apa dengan dia?
.
.
.
.
.
Luna telah membersihkan kamar Randy, membuang semua pecahan kaca dan memastikan jika semua sudah benar-benar rapi. Lalu Luna menarik Randy, dan Randy hanya mengikuti Luna yang duduk di sofa ruang tamu. Luna memperhatikan luka Randy, laku ia melangkah mengambil kotak p3k untuk mengobati luka Randy.
"kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Randy dingin.
Luna menatap Randy bingung, namun ia tetap membiarkannya.
"apa gw perlu alasan untuk menolong orang?" balas Luna kembali mempertanyakan.
"lo terlalu baik Lun, apa lo gak takut kalo akhirnya gw akan suka sama lo?" ungkap Randy tanpa sadar.
Luna menatap Randy tak mengerti, namun Luna tau apa yang Randy katakan adalah tentang perasaannya.
"suka itu bebas Ran, selama lo gak ngerugiin orang lain itu hak lo." balas Luna tulus.
"tapi jika gw udah terlanjur sayang, akan sulit untuk bisa melepasnya Lun. Gimana caranya gw bisa menjalani rasa, dimana disana hanya gw sendiri yang melangkah?" tukas Randy ragu.
Luna menatap Randy lembut, lalu ia membalut luka Randy dengan perban dan mengikatnya perlahan.
"tergantung perasaan itu sendiri, apakah itu sekedar rasa suka atau cinta? Atau bahkan hanya rasa sayang biasa." balas Luna mempertanyakan.
"bagaimana jika rasa itu adalah Cinta?" jawab Randy dan kembali mempertanyakan.
Luna kembali berpikir sambil membereskan alat p3k yang ia gunakan, lalu menaruhkan kembali ke tempat sebelumnya.
"perjuangkan" balas Luna, singkat namun memiliki makna yang dalam.
"bagaimana jika cinta itu sulit diraih?" tanya Randy lagi dengan sendu.
"kalau memang itu cinta, seharusnya lo membiarkan semuanya mengalir. Lo gak bisa paksa keadaan agar tunduk sama keinginan lo, cinta gak harus memiliki. Tapi cinta bisa saling melengkapi, berjuang dan berkorban." jelas Luna sambil menatap Randy lembut.
Randy balas menatap Luna dengan sedih, lalu Randy memejamkan matanya menahan emosi yang bergejolak dalam hatinya. Mereka terdiam, terdiam dalam perasaan yang sama.
"lo kenapa si? Tumben banget jadi melow gini, sawan yah?" canda Luna, berusaha mencairkan suasana yang dingin ini.
Randy terkekeh mendengar pertanyaan Luna, jujur ia ingin sekali mengatakan semuanya pada Luna. Tapi itu tidak mungkin, terlalu sakit nantinya untuk mereka.
"kalau bang Rudy melamar lo, apa lo akan terima?" tanya Randy serius.
Luna terdiam, ia tidak mengerti apa maksud Randy. Tapi jika di posisi yang Randy sebutkan, apa yang akan ia lakukan yah?
"ntahlah, tergantung perasaan gw. Kalo cinta yang gw terima, kalo gak ya gw tolak." jawab Luna apa adanya.
"kok gitu?" tanya Randy lagi.
"bagi gw, pernikahan bukan hal sembarang. Gw mau pernikahan gw itu sekali seumur hidup, dan dengan orang yang gw cintai pastinya. Gw gak mau menikah karna terpaksa, yang akhirnya malah gw yang tersiksa." jawab Luna dengan tulus.
Randy terdiam, ia bisa sedikit bernafas lega sekarang. Setidaknya jika besok Luna menolak lamaran abangnya itu, maka perasaan Randy memiliki kesempatan untuk terbalaskan.