webnovel

Another One For You

Berawal dari pembicaraan iseng, akhirnya Alfa benar-benar terikat dengan Elion yang terus mencoba terlibat dengannya. Mengabaikan fakta bahwa usia mereka terpaut 9 tahun; bahwa Elion baru saja dibuat patah hati oleh mantannya yang menikah dengan laki-laki lain; bahwa Elion adalah kakak dari sahabatnya, Alfa memberanikan untuk menyatakan perasaannya pada laki-laki itu. Alfa pikir dia beruntung memiliki Elion yang selalu bersikap dewasa, supportif, pengertian, juga memiliki hubungan yang baik dengan papa Alfa. Namun, ternyata nggak semudah itu. Hubungan mereka nggak semudah yang Alfa bayangkan dari awal, hingga mereka menemui titik jenuh dan memutuskan untuk saling memberi jeda. Namun, jeda itu berhenti pada akhir yang berbeda dari harapan Alfa sebelumnya. *note: Selamat membaca (◍•ᴗ•◍) silahkan follow Instagram @cnsdav_ (untuk visual dan sneak peek). Terima kasih ^^

CANES · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
286 Chs

SI PENJAGA

"Ri, kalau dilahirin lagi ... kira-kira lo mau jadi siapa?"

Naufal Bestari. Laki-laki yang memangku gitarnya itu sempat diam sebentar demi mendengar pertanyaan aneh Alfa.

"Siapa aja, yang penting sama lo," jawabnya, lalu menyesap coklat dalam cangkir di atas meja yang mulai dingin. Itu cangkir coklat kedua yang Alfa buatkan untuknya. Gadis itu menolak membuatkan kopi karena tahu Ari bakal merecokinya sepanjang malam kalau tak bisa tidur.

"Lah? Ngapain harus sama gue?"

Tapi Ari tidak menjawab, memilih memetik senar gitarnya lagi. Diam-diam memikirkan jawaban yang masuk akal tanpa perlu mengungkit-ungkit perasaannya.

"Heh!" Alfa memukul pelan lengan Ari hingga temannya itu menghentikan aktivitasnya. "Jangan bilang lo naksir gue lagi."

"Gue udah ada cewek kalau lo lupa."

Bicara soal Ari tak bisa lepas dari fakta bahwa laki-laki itu pernah menjadi cinta monyet Alfa beberapa tahun lalu.

Kalau boleh Alfa bilang, Ari adalah anak terlantar. Laki-laki itu sejak kecil sudah dititipkan pada nanny-nya. Jarang bertemu dengan orang tuanya yang workaholic. Bahkan beberapa tahun terakhir ini Ari seperti hidup sendiri. Hanya ditemani satpam dan asisten rumah tangga yang datang dua hari sekali—di rumah besarnya. Karena itu, Ari jadi sering melancong ke rumah Alfa tanpa kenal waktu. Bahkan kalau Alfa begadang dan lupa mematikan lampunya, Ari akan melompat dari balkon dan mengetuk pintu.

Seakan menjadi tetangga balkon kamar dan besar bersama selama belasan tahun tak cukup, Ari masih mengikuti ke mana pun Alfa sekolah. Laki-laki itu juga menggunakan kekuasaan orang tuanya untuk memaksa dimasukkan di kelas yang sama dengan Alfa.

" .... Gue cuma nggak mau ada cowok brengsek yang nyakitin lo." Alibi seperti itu yang selalu Ari lemparkan setiap kali Alfa mempertanyakan sikapnya.

Mendengar itu, Alfa menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, menatap langit cerah tanpa bintang di atas sana.

"Kalau gue sih," katanya sambil melirik Ari dari ekor matanya, "pengennya dijauhin dari sahabat cowok yang posesif."

"Jadi lo nggak suka?"

Alfa hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar kalimat bernada tidak terima yang Ari lontarkan padanya. Sebenarnya, siapa sih yang tidak suka diperhatikan sedemikian rupa? Tapi kalau sampai perhatian itu terkesan mengekang, bukankah jadinya sebaliknya?

"Gue suka kok. Sukaaaa banget. Tapi coba deh buat jangan berkeliaran terlalu sering di sekitar gue. Cowok-cowok bakal ngira lo pacar gue tau. Lo mah enak udah ada pacar, lah gue? Terus, kalau gue suka sama cowok, lo jangan nyamperin cowok itu. Mulai sekarang, bisa kan lo nggak begitu?"

"Siapa lagi sekarang?" Seolah hafal dengan tabiat Alfa, Ari bertanya demikian. Yakin ada seseorang yang sedang mengusik pikiran Alfa.

"Lo kemarin suka sama Fariel yang jelas macarin nyaris semua cewek di kelas kita. Sebelum Fariel, lo naksir ketua paskib yang ternyata kecanduan judi di luar sekolah. Gue nyamperin cowok yang lo taksir karena gue mau mastiin cowok itu bukan brengsek-nggak tahu diri yang bakal lo bucinin setengah mati."

Lalu, Ari menyela, bahkan sebelum Alfa berancang-ancang untuk mengatakan sesuatu. "Apa gue perlu sebutin siapa aja yang pernah manfaatiin lo waktu kita SMP?"

Ari itu ... definisi cuek, tapi menakutkan. Dia bukan tipe laki-laki dengan temperamen buruk. Malahan, seantero sekolah mengenalnya sebagai patung berjalan. Diam saat disapa; diam juga saat ditanya. Mau sepenting apa pun pertanyaannya, kalau Ari malas bicara, si penanya nggak akan dapat jawabannya. Tapi lain kalau dihadapkan dengan Alfa. Ari banyak bicara, bahkan sampai marah-marah begini. Dan saat sudah tersulut, kalimat Ari tak terbantahkan.

"Kenapa malah ngungkit itu sih? Lo sebenernya mau jagain gue atau halangin gue buat pacaran?"

"Jadi, lo mau pacaran sama cowok yang bakal nyakitin lo? Punya kebiasaan buruk? Lo mau bucinin cowok kayak gitu? Mikir dong."

"Terus, lo pikir ada cowok yang sempurna? Lo mau nyariin gue cowok yang kayak gimana? Yang tajir, ganteng, pinter, punya circle pergaulan yang sempurna? Mau dapetin di mana lo cowok kayak gitu? Lo aja macarin Stevani yang jelas suka kecentilan sama cowok lain."

"Gue nggak butuh Stevani. Dia yang ngejar-ngejar gue."

"Persis! Bahkan sifat lo aja nggak ada bagus-bagusnya gini. Gimana bisa lo mau nyariin cowok sempurna buat gue?" Sedetik setelah berkata begitu, Alfa menyesalinya. Sebab, matanya menangkap ekspresi kecewa Ari sebelum laki-laki itu menyesap habis coklat dalam cangkirnya.

"Justru karena gue nggak ada bagus-bagusnya, gue jadi tau manusia mana yang satu circle sama gue, yang nggak boleh ngelewatin garis batas 'pertemanan' yang lo buat." Saat Alfa kira Ari bakal bangkit dan meninggalkannya sendiri, laki-laki itu malah menyandarkan punggungnya dan mulai memetik senar gitarnya lagi. "Terserah lo mau ngomong apa, yang pasti gue nggak berubah pikiran. Gue sendiri yang bakal nentuin cowok itu layak atau nggak buat lo."

Tak ingin kembali bicara kelewatan, Alfa memilih diam dengan rahang mengerat menahan luapan emosinya.

"Kalau lo nggak mau kasih tau, gue bakal cari tau sendiri." Masih sambil membuat suara-suara dengan gitarnya, Ari menggumam, "Gue jadi penasaran, cowok macem apa yang bikin lo sampai kayak gini."

Seingat Alfa, dulu Ari tidak semenyebalkan ini. Ari lima tahun lalu banyak bicara, supel, kadang jahil. Tapi Alfa tidak ingat sejak kapan Ari berubah drastis menjadi manusia dingin yang menakutkan saat punya keinginan. Pemaksa ... dan sulit dikalahkan.

"Lo balik aja deh. Gue mau tidur." Tanpa menunggu respons Ari, Alfa beranjak masuk. Melewati ruang TV di mana mama dan papanya tengah menonton box office yang ditayangkan di saluran televisi lokal.

"Ari mana?" tanya papa Alfa.

"Masih di belakang." Gadis itu menjawab sambil menaiki tangga ke kamarnya.

Samar, Alfa mendengar mamanya berkata, "Berantem lagi tuh pasti."

"Besok palingan akur lagi."

Benar. Mau semarah apa pun Alfa, Ari tak pernah memberinya jeda. Saat bertengkar begini, paginya Ari sudah menjemput Alfa, membuntuti ke mana pun Alfa pergi di sekolah. Seolah tak pernah terjadi perselisihan semacam ini di antara mereka.

Setelah diam sejenak di kamarnya, Alfa berdiri lagi, menyingkap korden kamarnya dan melihat Ari masih di teras belakang. Mengabaikan gitar di pangkuannya, sedangkan tangannya sibuk menekan-nekan layar ponsel.

Tring,

Ponsel di saku babydoll Alfa berbunyi. Gadis itu melirik sekilas karena terkejut, lalu melihat Ari lagi yang tengah melemparkan tatapan ke arah kamarnya yang belum diterangi.

Dari Ari, batin Alfa begitu membaca nama si pengirim pesan.

Katanya, 'Jangan terlalu benci sama gue. Love u.'

Ini yang sebenarnya Alfa benci dari Ari. Menyematkan kata cinta di setiap malamnya. Seakan dia hanya anak TK yang tak tahu arti dari kata-kata itu.

______________